PERLINDUNGAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PDF

Title PERLINDUNGAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Author Budi Daya
Pages 12
File Size 159.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 274
Total Views 462

Summary

PERLINDUNGAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Oleh Syainul Irwan (STKIP Budidaya Binjai) Abstrak Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, m...


Description

PERLINDUNGAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Oleh Syainul Irwan (STKIP Budidaya Binjai) Abstrak Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, maupun bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, pembentukan sterotip atau pelabelan negatif, dan kekerasan. Perlindungan perempuan umumnya dilakukan dalam memberikan pendampingan dan perlindungan kepada perempuan yang terlibat persoalan-persoalan kekerasan baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Hal ini dikarenakan kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu kejahatan yang sangat terkait dengan masalah structural dalam masyarakat, maka upaya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan hendaknya ditempuh baik melalui sarana penal maupun non penal, meliputi keseluruhan sistem hukum baik komponen structural, kultural, maupun substantif. Kata Kunci: Perlindungan perempuan dan anak, Penangan tindakan kekerasan PENDAHULUAN Perkembangan era sekarang ini, upaya penyetaraan kedudukan antara kaum laki-laki dan perempuan telah dilakukan dengan tujuan penghapusan dominasi dari salah satu di antaranya. Peranan yang dilakukan manusia dalam masyarakat telah berubah sebagai akibat perkembangan kehidupan pergaulan manusia. Perempuan tidak hanya berperan dalam rumah tangga sebagai ibu atau istri, melainkan juga mempunyai peran sosial dan ekonomi. Kondisi yang demikian ini beresiko bagi perempuan terhadap gangguan-gangguan/ penyerangan hak, termasuk tindakan yang berhubungan dengan pribadinya sebagai perempuan. Untuk itu diperlukan hokum yang memfasilitasi dalam melindungi kepentingannya. Kenyataannya selama lebih dari enam puluh sembilan tahun usia Republik Indonesia, pelaksaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan Hak Asasi Manusia masih jauh dari memuaskan. Hal ini tercermin dari kejadian tindak kekerasan terhadap perempuan yang merupakan salah satu fenomena paling krusial saat ini. Banyak perempuan korban tindak kekerasan yang tutup mulut, tidak mau bercerita pada siapapun tentang penderitaan yang dirasakannya. Ini dikarenakan jika mereka mengadukan apa yang mereka alami, korban justru berpotensi untuk memperoleh kekerasan yang berikutnya, dan jika apabila kasus tersebut terungkap, akan membawa dampak psikis karena aibnya telah diketahui oleh banyak orang. Hal ini mengakibatkan korban semakin sedih dan semakin memendam penderitaannya.

Menurut Linda Gumelar Menteri Pemberdayaan Perempuan, berdasarkan data terakhir di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, setiap tahun selalu ada selisih antara angka indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG). Selisihnya, kata Linda pada kisaran 5 persen. Linda mencontohkan, pada 2011 lalu, IPM Indonesia berada pada angka 72,77 persen, sedangkan IPG hanya 67,8 persen. Sedangkan pada 2010, IPM berada pada angka 72,77, sedangkan IPG pada angka 67,2 persen. “Masih ada kesenjangan dan trennya masih begitu”, kata Linda. Lebih lanjut Linda mengatakan, hingga kini pengarusutamaan gender belum ditempatkan sebagai isu strategis dalam pembangunan nasional dan daerah. Padahal persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan menjadi satu dari tiga isu utama dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2010-2014. Kenyataannya, kata Linda, banyak program pemerintah hanya focus pada pemerintahan yang bersih dan pembangunan berkelanjutan. “Isu gender sebagai poin ketiga sering dilupakan.” (www.tempo.co/news/Pembangunan-Gender-Masih-Tertinggal diunduh 29 Juli 2014 pukul 12:10:45) Masuknya kesetaraan gender dalam RPJM, kata Linda, sebenarnya bertujuan agar setiap pembangunan yang dilakukan memperhatikan perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan. Pemerintah berharap kesetaraan gender bisa diwujudkan paling lama 2025 mendatang. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender, namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, maupun terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, sub-ordinasi atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, pembentukan sterotip atau pelabelan negatif, dan kekerasan (violence). Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (Burden dalam Saraswati, 2006:14). Dengan adanya ketidakadilan dalam persoalan pembagian peran gender tersebut, maka menimbulkan berbagai upaya untuk mengubah bahkan menghilangkan pembagian peran gender yang merugikan perempuan atau diskriminatif itu. Di seluruh dunia terjadi perubahan, perempuan dan mereka yang membela perempuan, akan terus bergerak meminta perubahan sampai tidak terjadi lagi ketidakadilan gender, apalagi kekerasan terhadap perempuan yang mana sebagian besar berakar pada diskriminasi ketidakadilan gender tersebut. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan perlindungan terhadap kaum perempuan belum juga membawa hasil. Hal ini disebabkan karena belum diimplementasikan secara maksimal, bahkan akhir-akhir ini wacana yang membahasa tentang

kekerasan terhadap perempuan semakin banyak ditemukan di berbagai media, baik media massa ataupun media elektronika. Kekerasan itu tidak hanya terjadi di luar rumah, namun kekerasan itu terjadi di dalam tumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban berupa kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual. Kekerasan fisik yang dialami oleh perempuan akibat tindak kekerasan terhadap perempuan seperti dipukul dan ditampar. Kekerasan psikologis yang dilakukan suami berupa main perempuan, suami sering mabuk, berkata-kata tidak senonoh, mengancam akan membunuh. Sedangkan kekerasan ekonomi berupa suami tidak memberikan nafkah lahir, merampas penghasilan istri, menjual barang-barang istri, baik harta bawaan maupun harta bersama tanpa persetujuan istri. Sedangkan kekerasan seksual antara lain, suami mempunyai kelainan seksual dan perkosaan. Dengan berbagai macam jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang berada di masyarakat, tetap saja pihak perempuan yang selalu menjadi korban. PEMBAHASAN Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam perkembangan kehidupan manusia, peranan perempuan tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, banyak hambatan karena pengaruh aspek cultural, politik, ekonomi, dan sosial. Tren kekinian yang juga berentetan jauh ke belakang dengan tradisi dan budaya masyarakat di negara-negara telah terjadi diskriminasi ataupun dominasi dari sekelompok orang terhadap kelompok lainnya, utamanya berkaitan dengan jenis-kelamin, sehingga menimbulkan penindasan dan kesewenangan terhadap HAM, dan termasuk perempuanlah yang menjadi korban. Pada pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat sengsara atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau di dalam kehidupan pribadi (Wahid, 2001:32). Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, Schuler (dalam Martha, 2003:23) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai setiap kekerasan yang diarahkan kepada perempuan hanya karena mereka perempuan (any violent act perpetrated on women because they are women). Menurut Harkrisnowo (dalam Martha, 2003:35), bila dilihat dari muatannya, sebenarnya tindak kekerasan terhadap perempuan dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, diantaranya:

a. Kekerasan fisik. Kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa dorongan, cubitan, tendangan, jambakan, pukulan, cekikan, bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan tajam, siraman dengan zat kimia atau air panas, menenggelamkan dan tembakan. Kadang-kadang kekerasan fisik ini diikuti dengan kekerasan seksual, baik berupa serangan ke alat-alat seksual (payudara dan kemaluan) maupun berupa persetubuhan paksa (pemerkosaan). Pada pemeriksaan terhadap korban akibat kekerasan fisik, maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan adalah bila didapati perlukaan bukan karena kecelakaan pada perempuan. Bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga yang fatal. b. Kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan korban. Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu, karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan seksual tidak sekadar melalui perilaku fisik belaka. c. Kekerasan psikologi. Pada kekerasan psikologis, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis sulit diukur. d. Kekerasan ekonomi. Misalnya suami mengontrol hak keuangan istri, memaksa atau melarang istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, serta tidak memberi uang belanja, memakai/menghabiskan uang istri. Selanjutnya Deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap Perempuan ini juga merumuskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (pasal 2) yang harus dipahami tetapi pada hal-hal sebagai berikut: a. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi. b. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

c. Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya kekerasan terhadap perempuan tersebut khususnya yang termasuk kekerasan seksual di atas telah cukup diatur dalam peraturan perundangundangan kita (Katjasungkana, 2001:81:82). Sehubungan

dengan

perlindungan

hokum

perempuan

paling

tidak

dapat

diidentifikasikan menyangkut perlindungan di dalam keluarga/rumah-tangga sebagai ibu atau isteri, perlindungan di luar rumah tangga sebagai karyawan atau pegawai, dan perlindungan terhadap tindak pidana kesusilaan. Di dalam rumah tangga, perempuan memperoleh perlindungan dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai pengakuan hak untuk menentukan sikap ketika hendak melakukan perkawinan, tidak mudah untuk diceraikan ataupun dimadu, dan berkedudukan sebagai ahli waris. Dalam melakukan pekerjaan sebagai pegawai pada instansi pemerintah maupun karyawan pada lembaga swasta tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama memperoleh hak dan kesempatan untuk mengembangkan karirnya. UU No. 8 Tahun 174 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (telah diubah dengan UU No.43 Tahun 1999) menentukan setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Perempuan yang bekerja pada lembaga swasta memperoleh perlindungan hukum dari UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Ada ketentuan yang menjamin perlakuan yang sama bagi semua tenaga kerja, tanpa diskriminasi (Pasal 5,6). Ada hak khusus bagi perempuan dalam melakukan pekerjaannya (Pasal 98). Keselamatan pekerja perempuan yang sedang hamil atau menyusui dilindungi kemungkinan cuti haid. Penyediaan fasilitas perusahaan untuk menyusui bayi (Pasal 99, 104, 105). Perlindungan terhadap perempuan dari tindak pidana kesusilaan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang merupakan dasar dari hukum pidana. Hukum pidana menentukan suatu perbuatan terlarang sebagai tindak pidana dan ancaman saksi pidananya bagi pelakunya. Tindak pidana kesusilaan diatur dalam KUHP, yaitu bab XIV tentang kejahatan kesusilaan (Pasal 281- 303), dan Bab VI tentang termasuk pengemisan, perjudian, mabuk. Kasus yang berkaitan dengan seksualitas, antara lain: tindak pidana perzinahan (Pasal 284), perkosaan (Pasal 285), pencabulan (Pasal 289), dan perdagangan perempuan (Pasal 297), kejahatan menyangkut perkawinan (Pasal 279 KUHP, PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 45). Peraturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dalam melakukan peranannya dapat dicatat, antara lain sebagai berikut (beberapa peraturan sudah diperbarui/ atau ada UU baru):

 UUD 1945, Pasal 27, 28, 29, dan 31 (UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, ketentuan mengenai HAM lebih komplit).  Tap. No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.  UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.  Kep. Pres. No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.  UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.  Kep. Pres. No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.  Kep. Pres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia  UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia  UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan  UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian  KUHP Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan terhadap Perempuan Teori-teori yang dipergunakan dalam mendiskripsikan penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yaitu: 1. Teori Sub Budaya Asumsi yang dikemukakan Wolfgang ini berlaku pada perilaku kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Umumnya bentuk kekerasan yang ditawarkan Wolfgang ini terjadi pada masyarakat (didasarkan pada struktur dan pola hubungan sosial ekonomi) yang menampilkan ciri dominasi dan ketidakadilan melalui proses sosial yang kompleks, sehingga menimbulkan sikap dan prilaku yang mendukung pada kekerasan. Pada masyarakat berbudaya tertentu, kekerasan terhadap perempuan secara umum disebabkan oleh kecenderungan prilaku yang muncul dalam budaya masyarakat tersebut yang masih menganggap perempuan sebagai “konco wingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam bentuk sikap dan prilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan terhadapnya.

2. Teori Kontrol Sosial Teori ini pada asasnya menjelaskan bahwa moralitas dan nilai-nilai susila merupakan variabel yang tersebar tidak merata di antara manusia berkaitan dengan pergaulan hidup maka akan terdapat empat unsur pengikat yang akan dikembangkan lebih lanjut: a. Attachment atau ikatan. Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, orang memiliki hubungan terikat dengan lingkungan sekitar dapat menimbulkan sinergi saling mendukung satu sama lain. Kuatnya control lingkungan akan membatasi keinginan melakukan perbuatan menyimpang / tindak kekerasan terhadap perempuan. b. Commitment atau keterikatan dalam subsistem konvensional. Asumsi yang dikemukakan pada kemampuan seseorang untuk selalu berusaha melakukan aksi/ tindakan yang terbaik. Hal ini berkaitan dengan kesadaran untuk mempertimbangkan untung dan rugi dari perilaku konfirmatis. Kejahatan kekerasan yang ditimbulkan berkaitan dengan rendahnya subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi yang kurang optimal. Asumsinya adalah seseorang dengan sendirinya akan memperoleh hadiah / award, uang, pengakuan bahkan status sosial bila semua subsistem konvensional berfungsi dengan baik. Dengan demikian peluang untuk melakukan kekerasan semakin kecil karena tingginya penghargaan terhadap dirinya sendiri yang diwujudkan dari subsistem konvensional. c. Involvement atau berfungsi aktif dalam subsistem konvensional. Semakin senggang/ luang waktu yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi kecenderungannya untuk menimbulkan perilaku menyimpang/ kekerasan. Reaksi positif lebih sering muncul pada perilaku seseorang yang menjaga diri dengan kualitas dan prestasi terbaik bagi dirinya. Produk yang unggul selalu mendapat tempat dimasyarakatnya dengan kedudukan dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Hal ini disebabkan tingginya penghargaan terhadap peluang waktu senggang yang semakin pendek sehingga seseorang menyadari betapa pentingnya pemanfaatan waktu secara optimal. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan perbuatan menyimpang/ kekerasan semakin rendah frekuensinya. d. Beliefs atau percaya pada nilai-nilai moral dan norma-norma dan nilai-nilai pergaulan hidup. Perilaku menyimpang/kekerasan terhadap perempuan tidak akan terjadi jika seseorang dibentengi oleh nilai-nilai ritual, ibadah, nilai-nilai kepercayaan, dan norma yang mengikat bagi dirinya. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat selanjutnya dapat di pompa ke dalam perilaku yang tertata baik oleh nilai moral dan agama. Kecenderungan untuk melakukan kekerasan semakin kecil akibat tingginya keyakinan

dan kuatnya kesadaran yang diyakini seseorang untuk dapat melakukan perbuatan yang menyimpang. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Penanganan berarti proses, perbuatan, cara, menangani, penggarapan (Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1986:33). Penanganan kekerasan terhadap perempuan dapat disimpulkan sebagai suatu proses, cara menangani perbuatan-perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku tindak kekerasan yang tergolong tindakan pelanggaran kaidah-kaidah, nilai-nilai maupun hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal kejahatan-kejahatan kekerasan disarankan untuk membentuk komite (team) yang terintegrasi ke dalam birokrasi penegak hukum yang terdiri dari ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan (psikologi, sosiologi, sosiologi hukum, antropologi, kriminologi, hukum pidana, dan sebagainya) guna mengembangkan pendekatan interdisipliner terhadap kejahatan-kejahatan kekerasan dan merancang strategi pencegahan serta penanggulangannya, khususnya dalam hal prediksi “violence chronocity”, mendesain perangkat-perangkat violence-promotive (counter – therapeutic) dan violence – reducing (therapeutic). Rancangan tersebut akan merupakan masukan bagi birokrasi penegak hukum, baik dalam menentukan rencana atau pola dasar pencegahan kejahatan maupun dalam operasionalnya (Kusumah, 1990:39). Secara teoretis, usaha penanggulangan dan pencegahan kejahatan dengan kekerasan dapat diawali dengan penciptaan dan pembinaan sistematik lingkungan, yang dapat mengurangi tahap-tahap kekerasan dari orang-orang yang telah siap atau yang potensial melakukan kekerasan, setidak-tidaknya untuk mengurangi jarak antara kekerasan yang diharapkan dengan kekerasan aktual. Mengintegrasikan kembali norma-norma yang mengijinkan atau mendukung kekerasan ke dalam norma-norma dalam sistem-sistem budaya kita, adalah usaha tindak lanjut yang sungguhpun amat problematic, namun mau tidak mau harus diprogramkan guna mengurangi kejahatan-kejahatan dengan kekerasan. Memfungsionalisasikan sistem peradilan pidana serta mekanisme kerja unsurunsurnya adalah salah satu usaha dalam pelaksanaan program ini (Kusumah, 1990:43). Berbagai tindak kekerasan yang dialami kaum perempuan membawa dampak pada beban fisik, psikis serta kesengsaraan bagi korban tersebut. Maka masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam upaya menangani kasus ini. Tindakan yang harus dilakukan, antara lain: 1. Tindakan Preventif (tindakan pencegahan)

a. Mengenai Sistem Hukum Ada tiga komponen yang harus diperhatikan di dalam sistem hukum kita yakni isi/rumusan hukumnya (legal substance), aparat penegak hukum/ kelembagaannya (legal culture) serta kultur/kebiasaan yang ...


Similar Free PDFs