Kekerasan Seksual masa berpacaran & Strategi Coping Pada Remaja Perempuan PDF

Title Kekerasan Seksual masa berpacaran & Strategi Coping Pada Remaja Perempuan
Author Syaiful Hida
Pages 19
File Size 103.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 284
Total Views 606

Summary

ANALISIS CLUSTER TENTANG KEKERASAN SEKSUAL DAN PERILAKU COPING REMAJA PEREMPUAN Oleh: Mulik Azizah & Syaiful. H ABSTRAK Fenomena kekerasan seksual pada remaja perempuan pada masa berpacaran, terutama korban kekerasan tidak mampu melawan, bersikap pasrah, dan sebagian berusaha mengatasi masalahny...


Description

ANALISIS CLUSTER TENTANG KEKERASAN SEKSUAL DAN PERILAKU COPING REMAJA PEREMPUAN Oleh: Mulik Azizah & Syaiful. H

ABSTRAK Fenomena kekerasan seksual pada remaja perempuan pada masa berpacaran, terutama korban kekerasan tidak mampu melawan, bersikap pasrah, dan sebagian berusaha mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang kadang justru meningkatkan kekerasan pada diri perempuan sendiri. Pada akhirnya perempuan korban kekerasan seksual oleh pacarnya tidak jarang mengalami trauma dan sulit melepaskan diri dari kekerasan oleh pacarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku kekerasan seksual remaja perempuan selama berpacaran, dan mengelompokkan karakteristik perilaku serta pengalaman seksual remaja. Penelitian ini mengambil 108 subjek secara purposive sampling, yaitu remaja perempuan berusia antara 15-26 tahun yang berdomisili di Kota Surabaya dan sekitarnya. Data dikumpulkan menggunakan angket yang didistribusikan secara online dan dianalisis melalui teknik analisis K-mean cluster. Hasil analisis menunjukkan 51% subjek masuk dalam kategori kelompok yang takut kehilangan, 38% subjek masuk dalam kategori kelompok yang butuh pengakuan, 11% subjek masuk kategori kelompok over confidence. Kata kunci: remaja perempuan, strategi coping, kekerasan seksual.

1

1. Pendahuluan Kekerasan dalam berpacaran atau dating violence merupakan kasus yang sering terjadi setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Data Rifka Annisa didapat fakta yang mengejutkan bahwa dating violance menempati posisi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga. Tercatat dari 1994-2011 (JanuariOktober), Rifka Annisa telah menangani 4952 kasus kekerasan pada perempuan, posisi pertama kasus KDRT sebanyak 3274 kasus, dan posisi kedua kasus dating violance tercatat 836 kasus. Kekerasan dalam pacaran masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga data-data yang akurat masih sulit untuk didapatkan secara spesifik berdasarkan jenis kekerasan yang dialami korban (dalam Rina, 2011). Menurut Sugarman & Hotaling (dalam Subhan, 2004), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. Selanjutnya Stets & Straus (dalam Heatrich & O`Learry, 2007) kekerasan dalam berpacaran terbagi atas kekerasan verbal, psikologis, seksual, dan kekerasan fisik. Kekerasan seksual dan psikologis merupakan dua bentuk kekerasan yang cenderung muncul bersama-sama. Warkentin (2008) menyebutkan kekerasan seksual adalah segala tindakan kekerasan dan pemaksaan yang berkaitan dengan masalah seksual. Masalah kekerasan seksual, terutama pada masa-masa berpacaran merupakan kasus yang banyak terjadi di setiap daerah (Agustina, 2007), juga di Indonesia. Laporan akhir tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membawa kabar duka. Sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual (Samsul, 2013). Menurut Fayuni (2013), bahwa pada pada 2012 terdapat 746 kasus. Jumlah ini meningkat 226% dari tahun sebelumnya dengan jumlah kasus sebanyak 329 kasus pada tahun 2013. Lebih lanjut Anshari (2013) menegaskan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat, dan pada remaja kasus kekerasan seksual ini banyak dilakukan oleh pacarnya sendiri. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh DirectGov (dalam Sarwono, 2010), sebuah situs online di Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada

2

perkembangan remaja, mencatat bahwa 25% remaja perempuan dan 18% remaja laki-laki pernah mengalami kekerasan dari pasangannya, baik secara fisik maupun emosional. Jenis kekerasan yang sering terjadi selama pacaran atau kekerasan yang berpotensi terjadi selama pacaran, yakni (1) kekerasan emosional, (2) kekerasan verbal, (3) perilaku yang suka mengontrol, (4) kekerasan fisik, dan (5) kekerasan seksual (dalam Herkutanto, 2006). Tower (dalam Murniati dan Nunuk, 2004) mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Anak perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki-laki (Papalia, 2004). Sesuai dengan Hukum Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Berdasarkan teori Psikologi Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja. Santrock (2001) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir di usia 18 tahun-22 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (18 sampai 21 tahun). Remaja perempuan seringkali menjadi korban merasa tidak mampu melawan pelaku, dan bersikap pasrah. Hingga pada akhirnya korban mengalami berbagai dampak setelah kekerasan secara seksual terjadi. Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anak-anak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial. Dampak yang diakibatkan peristiwa kekerasan tentu saja mempengaruhi remaja secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut Maschi (2009), dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam pacaran mempengaruhi masa remaja hingga dewasa. Korban pemaksaan hubungan seksual memiliki kemungkinan mengalami stres dan trauma setelah hubungan seksual dan pemerkosaan. Seperti yang diungkapkan oleh Herkutanto (2006) dan Sony (2009) bahwa korban perkosaan mengalami stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Upaya yang dilakukan remaja perempuan terhadap ketidaknyamanan dan tekanan emosional akibat kekerasan dengan pasangannya disebut sebagai coping.

3

Pengertian coping menurut Taylor (dalam Smet, 1994) adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutantuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Menurut Lazarus (dalam Anthonia, & Asuquo, 2013) coping adalah upaya kognitif dan tingkah laku untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal yang khusus dan konflik diantaranya yang dinilai individu sebagai beban dan melampaui batas kemampuan individu tersebut. Individu akan memberikan reaksi yang berbeda untuk mengatasi stres ataupun tekanan emosional pada dirinya. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan mendeskripsikan jenis-jenis perilaku kekerasan seksual remaja selama berpacaran, mengelompokkan karakter perilaku dan pengalaman seksual remaja berdasarkan jenis kekerasan, serta memberikan gambaran tentang upaya sebagai strategi coping pada remaja dalam mengatasi masalah atau dorongan seksual. 3. Kajian Teori Menurut Straus (dalam Valentine, dan Nisfiannoor, 2006), dating didefinisikan sebagai interaksi yang ‘saling’ (dyadic), termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit dan implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan saat ini. Dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Subhan, 2004). Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan

4

pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Definisi violence menurut VandenBos (dalam Fayuni, 2013) merupakan ekspresi kemarahan dengan tujuan untuk melukai atau merusak seseorang atau properti mereka secara fisik, emosi, maupun seksual. Sedangkan dating sexual violance yaitu kekerasan atau pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih

sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Anita and

McDaniel, 2005). Menurut Murray (2007), sexual abuse terdiri dari: a) Perkosaan. Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu; b) Sentuhan yang tidak diinginkan. Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong dan yang lainnya; dan c) Ciuman yang tidak diinginkan. Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya, hal ini bisa terjadi di area publik atau di tempat yang tersembunyi. Kekerasan seksual dalam masa berpacaran menurut Sanituti (dalam Agustina, 2007) adalah kekerasan yang berupa hubungan seks yang dipaksakan, pelecehan, penghinaan seksual, memaksa pasangan melakukan tindakan seksual yang menjijikkan seperti oral, anal, maupun vaginal. Kekerasan seksual selama masa berpacaran dapat dalami perempuan remaja. Cantos, Neidig, & O’Leary, (dalam Anita and McDaniel, 2005; Jessica and Deborah, 2006; dan Ali, Swahn, and Hamburger, 2011) yang dapat digolongkan sebagai bentuk kekerasan seksual pada masa berpacaran (dating violance sexual abuse) meliputi: a. Perkosaan. Melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau melakukan pemaksaan untuk berhubungan seksual, baik dengan suatu ancaman ataupun tidak. b. Pelecehan seksual. Yaitu merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual,

5

mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. c. Penyiksaan seksual. perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas

perempuan

yang

dilakukan

dengan

sengaja,

sehingga

menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. d. Eksploitasi seksual, yaitu pemaksaan pada pacar untuk melakukan hubungan seksual berupa melayani orang lain baik bernuansa komersial ataupun tidak. e. Diskriminasi seksual, yakni berupa pemaksaan pacar untuk berpakaian tertentu untuk menunjukkan organ seksual yang bernuansa penyerangan agama yang terkait dengan masalah seksual. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan merujuk pada kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan pasangannya. Kekerasan seksual itu berbahaya, menurut Finkelhor & Browne (dalam Anita and McDaniel, 2005), dan Wyatt & Powell (dalam Fields, 2005), akibat tidak menyenangkan bagi perempuan baik anak-anak maupun remaja yang secara fisik cukup matang untuk merasakan sensasi seksual merasa sakit dan menderita dari akibatnya. Bukti kekerasan seksual pada perempuan meliputi: a) Gangguan perilaku seperti mengotori, membasahi, atau mencelakakan diri sendiri b) Kelainan keadaan emosional seperti cemas, depresi, dan menarik diri c) Gangguan dalam proses belajar dan yang berhubungan dengan pendidikan, remaja memerlukan bimbingan pendidikan yang spesial d) Perubahan hubungan sosial, mereka hanya dapat berhubungan dengan orang dewasa yang satu jenis kelamin dan tidak mempunyai teman satu kelas atau mengasingkan diri.

6

Sebagai upaya yang dilakukan remaja perempuan dalam menghadapi dampak kekerasan seksual pada masa berpacaran disebut sebagai strategi coping. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron & Byrne (dalam Rina, 2011) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negative dari situasi yang dihadapi. Menurut Stone & Neale (dalam Friedman & Schustack, 2006) coping meliputi segala usaha yang disadari untuk menghadapi tuntutan yang penuh dengan tekanan. Menurut MacArthur & MacArthur (dalam O’Sullivan, Meyer-Bahlburg, dan

McKeague, 2006), mendefinisikan strategi

coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan

orang

untuk

menguasai,

mentoleransi,

mengurangi,

atau

meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Flokman & Lazarus (dalam Anthonia, & Asuquo, 2013) secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu : a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stres yang mengancam individu (Taylor, 2009). b. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dankognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol,

7

narkoba, mencari dukungan emosional dari teman – teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan (Lazarus dalam Anthonia, & Asuquo, 2013). 4. Metode Penelitian Penelitian ini di fokuskan pada kekerasan seksual pada masa berpacaran dengan mengambil subjek remaja yang pernah mengalami kekerasan selama masa berpacaran. Kekerasan seksual pada masa berpacaran adalah kekerasan atau pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual pada pacar meskipun pacar tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & Boney-McCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). Subjek penelitian ini adalah remaja antara 15 tahun sampai 26 tahun, dengan menetapkan remaja perempuan yang telah pernah memiliki pasangan atau pacar maupun yang sedang berpacaran. Selanjutnya sampel akan dipilih berdasarkan kriteria, yaitu subjek perempuan yang pernah mengalami kekerasan selama masa berpacaran. Data dikumpulkan melalui angket dalam bentuk skala Likert dan pengambilan data dilakukan melalui dengan mendistribusikan angket melalui internet dalam program Google Monkey Survey yang dapat diambil dari https://docs.google.com/forms/d/1uPvrHRLmFgDJorHrI9OSt6EcnT3C3LEsfDho NwbO4y0/viewform, di sebarkan melalui situs jejaring sosial face book, adapun cara lain yang dilakukan dengan menemui beberapa subjek penelitian secara langsung dalam pengambilan data. Validitas data atau diartikan sebagai ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran (tes) dalam melakukan fungsi ukurannya, karena itu setiap

8

alat ukur yang digunakan sebagai skala pengukuran harus diuji validitasnya (Azwar, 2010). Pengujian validitas yang digunakan dalam penelitian ini digunakan analisis uji validitas internal, (internal validity) yakni membandingkan indeks diskriminasi nilai korelasi butir pernyataan dengan korelasi butir total (total corected correlation). Menurut Azwar (2010) pengujian validitas alat ukur dapat membandingkan nilai korelasi butir dengan nilai 0,20 dan dibawah nilai tersebut sangat tidak disarankan. Tabel 1 Hasil uji validitas skala kekarasan Seksual berpacaran Nomer Pernyataan Aspek yang diukur Perkosaaan Pelecehan Penyiksaan seksual Eksploitasi seksual Jumlah

Butir diuji 1,2,9,10,17,21 3,4,11,12,18,22 5,6,13,14,19,23 7,8,15,16,20,24 24

Butir diterima 1,2,17, 11,12,18,22 5,6,19 7,16,24 13

Indeks Diskriminasi 0,402 – 0,506 0,202 – 0,475 0,288 – 0,551 0,276 – 0,614

Berdasarkan hasil analisis uji instrumen pada skala kekerasan seksual tersebut dapat diketahui bahwa dari 24 butir yang digunakan untuk mengukur gejala kekerasan seksual masa berpacaran terdapat 11 butir yang gugur, meliputi butir nomer 3,4,8,9,10,13,14,15,20,21, dan 23. Tabel 2 Hasil uji validitas coping Aspek yang diukur Problem-focused coping a. Planfull problem solving b. Direct action c. Ressistance seeking d. Information seeking Emotional Focused Coping a. Avoidance, b. Denial, c. Self-criticism d. Possitive reappraisal Jumlah

Nomer Pernyataan Butir diuji

Butir diterima

Indeks Diskriminasi

1,9,17 2,10,18 3,11,19 4,12,20

1,9,17 2,10,18 3,11,19 4,12,20

0,569 – 0,824 0,579 – 0,726 0,731 – 0,814 0,790 – 0,848

5,13,21 6,14,22 7,15,23 8,16,24 24

5,13,21 6,14,22 7,15,23 8,16,24 24

0,738 – 0,786 0,691 – 0,803 0,754 – 0,825 0,679 – 0,816

9

Berdasarkan hasil analisis uji instrumen pada skala trategi coping dapat diketahui bahwa dari 24 butir pernyataan yang diuji seluruhnya memiliki nilai koefsien validitas lebih dari 0,30, sehingga seluruh butir yang digunakan tergolong valid. Pengujian reliabilitas atau keandalan alat ukur dilakukan menggunakan uji alpha Cronbach’s, yang menurut Suryabrata (2005), bahwa alat ukur dapat dikatakan konsisten atau handal apabila memiliki nilai koefsien alpha lebih dari 0,60, dan dapat dikatakan sangat handal bila mendekati nilai 1,00. Tabel 3 Hasil uji Reliabilitas alat ukur Nilai α 0,651 0,971

Skala Kekerasan dalam berpacaran Strategi coping

Keterangan Handal Sangat Handal

Berdasarkan hasilm analisis uji reliabilitas pada skala kekerasan seksual dan skala strategi coping dapat diketahui bahwa kedua skala tersebut memiliki nilai alpha lebih dari 0,60, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini tergolong handal. 5. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis cluster melalui mean cluster dengan menentukan kategori nilai menjadi 3 bagian, maka dapat diketahui frekuensi pengelompokan subjek sebagai berikut. Tabel 4 Hasil uji Reliabilitas alat ukur Kelompok Kelompok A Kelompok B Kelompok C

f 55 12 41

% 51% 11% 38%

Tabel 4 menunjukkan hasil pengelompokan berdasarkan analisis cluster, yakni 51% subjek masuk dalam kategori kelompok A, 38% subjek masuk dalam kategori kelompok C, dan 11% subjek masuk kategori kelompok B.

10

Berdasarkan hasil analisis cluster tersebut, maka melalui distribusi silang dapat digambarkan karakteristik masing-masing kelompok sebagaimana tabel berikut. Tabel 5 Distribusi silang kekerasan berdasarkan kelompok Kekerasan Tinggi Sedang Sangat Rendah T...


Similar Free PDFs