Potensi dan Hambatan Pengembangan Hutan Jati Rakyat: Kasus di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu PDF

Title Potensi dan Hambatan Pengembangan Hutan Jati Rakyat: Kasus di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu
Author Edwin Martin
Pages 13
File Size 7.5 MB
File Type PDF
Total Downloads 138
Total Views 274

Summary

POTENSI DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN HUTAN JATI RAKYAT: Kasus di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu Edwin Martin dan Bondan Winarno Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang ABSTRAK Tulisan ini merupakan fenomena perkembangan hutan jati yang dikelola masyarakat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengku...


Description

POTENSI DAN HAMBATAN PENGEMBANGAN HUTAN JATI RAKYAT: Kasus di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu

Edwin Martin dan Bondan Winarno Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Tulisan ini merupakan fenomena perkembangan hutan jati yang dikelola masyarakat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, dimana jati dianggap sebagai tanaman eksotik yang sebelumnya lebih dikenal di Provinsi tetangganya, Lampung. Budidaya jati rakyat di Kaur mencapai puncak perkembangannya pada tahun 1999 - 2000. Pada saat itu motivasi masyarakat menanam jati terutama karena nilai tambah yang akan diperoleh dan kemudahan penguasaan teknik budidayanya, selain masih luasnya lahan-lahan yang belum termanfaatkan. Animo pembudidayaan jati menurun dratis setelah tahun 2002. Ini dipengaruhi oleh adanya kenyataan tidak lakunya kayu hasil penjarangan, pertumbuhan jati yang responsif terhadap perawatan dan tempat tumbuh, serta menyempitnya peluang bagi usaha tani tanaman pangan pasca penanaman jati. Kata Kunci : budidaya jati, hutan rakyat, Kabupaten Kaur

I. PENDAHULUAN Kabupaten

Kaur

merupakan

pemekaran

Kabupaten

Bengkulu

Selatan

yang

dikukuhkan pada tahun 2003. Kabupaten yang terletak paling selatan dari Provinsi Bengkulu dan berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung ini mempunyai wilayah seluas ± 236.380 Ha dengan jumlah penduduk 318 .759 jiwa/76.023 KK.

Sebesar 60,74% dari

total luas kabupaten adalah kawasan hutan yang didominasi oleh taman nasional dan hutan lindung yang terletak di bagian utara, selatan dan timur. Pada bagian barat kabupaten yang dilalui jalan lintas selatan Padang-Bengkulu-Bandar Lampung ini terbentang Samudera Indonesia. Praktis areal yang digunakan untuk kegiatan pembangunan bidang pertanian, perkebunan, dan pemukiman bagi penduduk hanya seluas 92.811,73 Ha (39,26%). Kabupaten

Kaur mengandalkan sektor pertanian,

perkebunan dan

kehutanan

sebagai sumber pendapatan daerah maupun mata pencaharian penduduk. Lahan milik masyarakat sebagian besar berupa kebun campuran b.erbagai · jenis tanaman perkebunan maupun semusim. Studi ini dilakukan pada Bulan Agustus hingga awal September 2004. Pertanyaan yang diajukan adalah: (1) Apa latar belakang berkembangnya jati di Kabupaten Kaur ?; (2) Bagaimana karakteristik masyarakat yang mengembangkan jati ?; (3) Bagaimana status perkembangan jati saat ini ?; (4) Bagaimana prospek perkembangan jati rakyat ke depan ?. Hasil kajian ini menjadi menarik untuk disampaikan pada saat munculnya persepsi negatif dari banyak kalangan tentang jati di Sumatera yang berhadapan dengan pandangan positif tentang kemauan dan keswadayaan masyarakat dalam mengembangkan jenis tanaman penghasil kayu pada lahan milik. Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera

101

I

II. SEJARAH DAN STATUS PERKEMBANGAN JATI RAKYAT DI KAUR

Jati sebenarnya mulai ditanam di Kaur pada masa kolonial Belanda sekitar tahun 1930-1940an. Informasi tersebut diceritakan oleh masyarakat Desa Perigi Kecamatan Kinal yang pernah memanen jati berdiameter lebih dari 70 em dari areal pekarangan rumahnya. Tanaman jati berusia tua tersebut kini tidak banyak lagi

dijumpai di Kaur dan tidak

diketahui siapa yang menanam. Bisa jadi tanaman jati tersebut ditanam bersamaan dengan jati di Lampung yang juga diketahui memiliki jati berumur tua. Peran jati dalam kehidupan petani di Kaur belum tampak hingga awal tahun 1990-an. Pada empat dekade antara tahun 1950-an hingga tahun 1990-an, Kaur dikenal sebagai sentra produksi cengkeh sepanjang pantai selatan Sumatera. Hampir semua masyarakat menggantungkan hidupnya dari cengkeh, baik sebagai petani pemilik lahan, pedagang maupun sebagai buruh tani. Berdasarkan catatan Pak Haji Nawawi seorang mantan pengusaha cengkeh, pada tahun 1970 saja Kewedanan Kaur menghasilkan 800 ton cengkeh yang diperjualbelikan melalui Pelabuhan Linau, sebuah pelabuhan transit yang ada di Kaur. Pada tahun 1974, harga cengkeh mencapai Rp. 16.000/kg sehingga pada saat itu lebih dari 100 orang mampu berangkat ke tanah suci Mekah untuk naik haji. Masa keemasan cengkeh ini telah membentuk sebagian masyarakat Kaur berkarakter wira usaha. Pada pertengahan dekade 1980-an cengkeh "dimusnahkan" oleh

pemerintah.

Masyarakat Kaur kehilangan tanaman andalannya. Areal produktif milik masyarakat berubah menjadi lahan tidur berupa semak belukar. Sebagian masyarakat terpaksa merambah kawasan hutan lindung atau taman nasional untuk mencari tanah yang lebih subur. Sebagian lainnya berprofesi sebagai pengumpul rotan dan gaharu. Tidak sedikit pula dari masyarakat Kaur pada era pasca kemusnahan cengkeh menjadi buruh bangunan dan jalan atau terpaksa berpindah ke daerah lainnya. Pada awal dekade 1990-an sebagian kecil masyarakat Kaur mulai mengenal jati sebagai salah satu tanaman budidaya. Mereka mengenal jati karena kedekatan geografis dan tingginya intensitas interaksi dengan masyarakat Lampung yang telah sejak lama membudidayakan jati. Jati ditanam oleh petani di Padang Guci (Kaur Utara) di kebun milik di antara tanaman lada atau kepi. Mereka mulai tertarik dengan jati sebagai tanaman alternatif pengisi bekas kebun cengkeh untuk digabungkan dengan tanaman keras lainnya. Belum banyak desa-desa di Kaur mengenal jati pada masa itu. Jati yang semula tanaman ujicoba tersebut kini telah dipanen dan dijual kepada pembeli/pedagang pengumpul. Lebih dari 82 m 3 kayu jati telah ditebang dan tercatat dalam dokumen Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik (IPKTM) pada Dinas Kehutanan Perkebunan Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DISHUTBUNNAKERTRANS) Kabupaten Kaur hingga Bulan Agustus 2004. Jati rakyat berkembang pesat di Kaur sejak pertengahan dekade tahun 1990-an dan menjadi salah satu tanaman preferensi masyarakat dengan beragam motivasi, terutama untuk memanfaatkan lahan bekas kebun cengkeh yang terlantar. Komoditi lain yang Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera

102

I

menjadi pilihan masyarakat saat itu adalah kelapa sawit, karet, kakao atau kembali menanam cengkeh. Gerakan kembali menanam ini menjadi marak setelah dipicu era krisis moneter tahun 1998 karena mereka mulai menyadari hasil bumi tanaman tahunan ternyata mampu bertahan dan bahkan menguntungkan pada saat krisis. Kedekatan geografis Kaur dengan Provinsi Lampung menyebabkan kuatnya interaksi masyarakatnya

terhadap

pola

pertanian

di

Lampung.

Gambaran

keuntungan

yang

menjanjikan dari budidaya jati rakyat di Lampung pasca era krisis merupakan pendorong utama masyarakat Kaur memberanikan diri menanam jati secara monokultur di areal milik yang terlantar. Mereka mempelajari pola budidaya jati secara swadaya dari petani Lampung,

seperti

penjarangan.

pengaturan jarak tanam,

penyiangan,

pemangkasan cabang

dan

Tabel 1 berikut menggambarkan sekilas pola pemanfaatan lahan di

Kabupaten Kaur saat ini. Tabel 1. Sebaran areal milik pemanfaatannya

No

Kecamatan

1. Kaur Utara 2. Tanjung Kemuning Kaur Tengah 3. 4. Kina I Kaur Selatan 5. 6. Maje 7. Nasal Jumlah

masyarakat dalam

Kabupaten

Kaur

Pola Pemanfaatan Lahan Tidur 1 > Kebun Campuran > (Ha) (Ha) 2.400 2.300 1.200 200 10.957 459 1.174 10.000 12.300 370 1.080 1.350 6.250 3.000 1

40.087

13.103

berdasarkan

pola

Hutan Jati 2 > (Ha) 30 35

so 75 170 40 25 425

Sumber: ll Data Dinas Pertanian Kabupaten Kaur tahun 2003 2 > Data diproyeksi oleh Dinas HUTBUN NAKERTRANS Kabupaten Kaur tahun 2004

Data sebaran hutan jati rakyat pada Tabel 1 merupakan bagian dari luasan kebun campuran. Meskipun hanya 1% dari total luas kebun campuran

tetapi jati rakyat telah

menyebar atau dapat ditemui di seluruh kecamatan dalam Kabupaten Kaur. Keberadaan jati rakyat di salah satu kabupaten dalam Provinsi Bengkulu ini menarik untuk dikaji,

karena

selama ini masyarakat tidak mengenal jati di luar sebaran alaminya. Seperti disebutkan oleh Martawijaya et a/. (1989) bahwa jati tumbuh tersebar di seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku, dan Lampung. Pada era sebelum tahun 90-an, masyarakat Sumatera kecuali Lampung sangat mengidentikkan jati sebagai kayu mahal yang tumbuh di Jawa. Budidaya jati rakyat di Kaur mencapai puncak perkembangannya pada tahun 1999 2000 yang kemudian direspon oleh PEMDA Bengkulu Selatan dengan Gerakan Menanam Sejuta Pohon Jati Oleh Rakyat dengan pola subsidi bibit pada tahun 2001. Parameter yang paling nyata adalah areal hutan jati yang sekarang ditemui paling banyak ditanam pada Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera

1o3

I

tahun 1999 dan 2000. Jati rakyat mulai mengalami penurunan perkembangan sejak tahun 2002. Indikasi menurunnya animo masyarakat terhadap jati ini diindikasikan dari catatan penjual bibit jati di Kaur. Salah seorang penjual bibit jati menyebutkan bahwa pada tahun 1999/2000 dia mampu menjual ± 500 ribu batang bibit jati berbentuk stump. Sedangkan pada tahun 2002 ia hanya mampu menjual 2000 bibit saja kemudian mengalami stagnasi pesanan pada tahun 2003 dan 2004.

Selain itu, pada tahun 2001-2002 program

penanaman sejuta pohon jati oleh Pemda Bengkulu Selatan dengan cara menyediakan bibit harga murah juga kurang diminati masyarakat. Bahkan, pada akhir tahun 2002 bibit jati ditawarkan secara gratis kepada petani namun tetap tidak mampu merangsang keinginan masyarakat untuk kembali menanam jati. Pada tahun 2004 Dinas HUTBUN NAKERTRANS Kabupaten Kaur memilih jati sebagai salah satu tanaman yang akan digunakan da lam Program 5 tahun Gerakan Nasional Rehabililtasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) luar kawasan hutan. Jati menjadi pilihan karena dianggap telah dikenal teknik budidayanya oleh masyarakat.

Sementara jenis tanaman

lokal lainnya, seperti kayu gadis (Cinamomum porectum), pulai (Alstonia spp.), meranti

(Shorea spp), tenam (Anisoptera sp), merambung (belum diidentifikasi) dianggap belum diketahui atau lebih rumit teknik budidaya bagi masyarakatnya.

III. MOTIVASI PEMBUDIDAYAAN JATI OLEH MASYARAKAT Motivasi merupakan faktor pendorong dari dafam dan luar

seseorang untuk

melakukan sesuatu. Responden studi ini terdiri dari 14 orang pemilik hutan jati yang tergabung dalam kelompok tani "Hamparan Jati" Kabupaten Kaur (Jumlah anggota kelompok 28 orang) ditambah 4 orang petani di luar kelompok tersebut. Responden dibatasi hanya bagi pemilik hutan jati monokultur yang luas tanaman minimal 0,25 hektar. Tabel 2 menyajikan latar belakang dan motivasi setiap responden dalam membudidayakan jati. Berdasarkan informasi pada Tabel 2, pengembang jati di Kaur umumnya berprofesi sebagai pengusaha atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta memiliki lahan garapan yang luas. Komoditas tanaman yang banyak diusakahan selain jati adalah kelapa sawit. Beberapa faktor pendorong

atau

motivasi

pengembangan jati

oleh

masyarakat Kaur,

yaitu:

keuntungan ekonomi, kemudahan budidaya, pemanfaatan lahan tidur, dan menurunnya potensi kayu alam. A. Proyeksi Keuntungan Ekonomi yang Akan Didapatkan pada Masa Depan

Isu yang merebak saat terjadi "demam jati" pada era tahun 1997 - 2000 adalah jati dapat dipanen pada umur 15 tahun dengan harga per batangnya bisa mencapai Rp. 1 juta. Selain itu, tanaman jati diyakini dapat menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan pada saat melakukan penjarangan pada umur 4 - 5 tahun. Sumber keyakinan ini berasal dari

Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera

1o4

I

kisah sukses pemilik jati di Lampung dan dikisahkan kembali oleh beberapa orang yang kemudian berperan pula sebagai pemasok bibit. Tabel 2. Karakterisitik responden dan motivasinya dalam membudidayakan jati

Pekerjaan

Luas Tanaman lati (Ha)

PNS Guru

6,00

Jumadi

PNS

6,00

Azwar

Pengusaha Nelayan dan Petani

2,00

Petani/Kades

0,50

Petani/Penjual bib it

1,00

Din Kaco

Pedagang

1,00

Zulkifli Djasrie

Petani Pedagang

0,25 3,00

Erlan

PNS Guru

2,00

Sapuan

Pengusaha

0,50

Darwis

Pengusaha

5,00

H. Nawawi Sirad Pati

Pengusaha Pengusaha

5,00 0,50

Tajaf M

Pengusaha

0,75

Hasyim

Karyawan PLN

1,00

Muslim

Pensiun PNS

3,50

Zulkifli

Sopir Angdes

0,50

Nama Responden Saripudin

Teguh Buyung J. Yadi

0,25

Motivasi Awal Menanam ljati Memanfaatkan lahan tidur. Sederhana teknik budidayanya. Jati bisa dipanen saat umur 5 tahun Kayu di Kaur makin langka Gambaran keuntungan di masa depan Jati harganya mahal pada umur 5 tahun Memanfaatkan lahan tidur Terpengaruh tetangga Teknik budidayanya sederhana Harga kayu cenderung makin mahal Memanfaatkan sisa bibit yang tak laku Investasi masa depan Memanfaatkan lahan tidur Kayu di Kaur udah makin habis Gambaran keuntungan di masa depan Ikut-ikutan Perawatannya sederhana Karena sering melihat jati di Lampung Pamannya di Lampung bisa naik haji dengan menjual jati umur 12 tahun Gambaran keuntungan di masa depan Tanam jati 15 tahun bisa naik haji Ikut-ikutan karen a katanya jati bisa di panen umur 5 tahun Tanah di kaur murah Keluarganya menanam jati di Jawa Memanfaatkan lahan tidur Gambaran keuntungan di r'nasa depan Gambaran mahalnya harga kayu jati pada masa mendatang

Sumber: Data Primer Penelitian (2004)

B. Teknik Budidaya lati Mudah Dikuasai dan Sederhana Bibit jati yang dikembangkan di Kaur berbentuk stump asal Lampung . Stump memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, dapat langsung ditanam dan lebih tahan terhadap kekeringan (Mahfudz et a/., tanpa tahun). Calon petani jati cukup mempelajari cara penanaman dan perawatannya dengan bertanya kepada pemasok bibit atau tetangga yang lebih dulu menanam. Tidak seperti kopi atau kakao yang memerlukan penyiangan intensif, jati dianggap tidak banyak menyerap tenaga kerja dan akan tumbuh besar meski minim perawatan. Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera

1os I

c.

Memanfaatkan Lahan Tidur atau Tidak Produktif Potensi lahan tidur di Kaur cukup luas. Masyarakat berupaya menemukan komoditas

yang mampu menjadi sumber penghasilan keluarganya dari areal bekas kebun cengkeh yang "musnah" pada tahun 1980, di antaranya adalah jati. Jenis tanaman lain yang juga dikembangkan oleh banyak pemilik lahan tidur di Kaur adalah kelapa sawit. D. Antisipasi atas Makin Menurunnya Potensi Kayu Alam di Kaur Pada era tahun 1980-an meranti mudah diperoleh di Kaur, tetapi sekarang masyarakat hanya mengkonsumsi kayu "rimba campuran" di bawah kelas meranti. Jenis kayu non komersial seperti pulai yang semula sangat tidak berharga mulai diburu dan diperdagangkan. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Kaur yang memiliki sense of

bussiness beranggapan bahwa menanam jati adalah investasi masa depan. Beberapa faktor pendorong tersebut di atas memunculkan keinginan yang kuat dari sebagian masyarakat Kaur untuk membudidayakan jati, meskipun harus mengeluarkan modal cukup besar. Salah seorang responden menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan dana lebih dari Rp. 80 juta untuk mengusahakan hutan jatinya. Motivasi akan berubah menjadi antipati manakala apa yang diharapkan tidak menjadi

kenyataan. Terdapat 3 (tiga) alasan yang mengemuka menyangkut perubahan

persepsi masyarakat terhadap jati, yakni:

segmentasi pasar lokal

kayu jati belum

terbentuk, pertumbuhan jati tergantung perawatan dan tempat tumbuh, dan lahan yang sejak awal ditanami jati secara monokultur tidak bisa dimanfaatkan untuk penanaman jenis lainnya 1. Segmentasi pasar lokal kayu jati belum terbentuk. Keluhan yang sering muncul dari pemilik jati adalah tidak adanya pasar hasil tebangan penjarangan. Jati yang berumur 4 - 5 tahun diyakini petani harus dijarangi guna meningkatkan pertumbuhan diameter, tetapi keinginan tersebut terpaksa ditunda karena ketiadaan pasar bagi hasil tebangan. Pengalaman kegagalan jual hasil tebangan antara ini menjadi kekhawatiran bagi petani lainnya. Pasar lokal untuk jati yang telah berumur di atas 13 tahun (kelas diamater lebih dari 25 em) baru terbentuk sejak pertengahan tahun 2004. Ini menyebabkan masyarakat tidak bisa menghitung proyeksi keuntungan atau kerugian atas investasi pada jati. 2. Pertumbuhan jati tergantung perawatan dan tempat tumbuh Anggapan sebagian masyarakat bahwa pembudidayaan jati adalah sederhana sering disalahtafsirkan dengan "tanam dan biarkan tumbuh alami". Pada kenyataannya jati membutuhkan perawatan

perawatan

cukup

intensif.

Tanaman

jati

muda

tetap

membutuhkan

seperti pembersihan dari gulma, pewiwilan, pembebasan dari hama hewan

peliharaan seperti kerbau, pemasangan alat sangga saat batang jati rebah dan sebagainya. Petani

yang

tidak melakukan

perawatan

terhadap jatinya

Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera

mengeluhkan

lambatnya

1o6

I

pertumbuhan dan buruknya penampakan tanaman jati mereka. Selain itu, jati yang ditanam di areal bekas kebun kelapa ternyata pertumbuhannya lebih lambat dari pada jati yang tumbuh di areal bekas semak belukar.

3. Lahan yang sejak awal ditanami jati secara dimanfaatkan untuk penanaman jenis lainnya

monokultur

tidak

bisa

Keluhan ini muncul setelah tanaman jatinya berumur lebih dari 2 (dua) tahun. Petani umumnya menanam jati dengan jarak tanam rapat seperti 1 m x 2 m, 1,5 m x 2 m atau 2 m x 2 m, sehingga setelah tajuk bersinggungan, tanaman lain tidak mampu tumbuh dengan baik. Di sisi lain, mereka enggan menjarangi tanaman jati mudanya. Tanaman preferensi masyarakat Kaur pada saat dilaksanakannya penelitian ini selain jati adalah Kelapa sawit. Berbeda dengan jati, kelapa sawit makin mendapat tempat di hati masyarakat Kaur. Kelapa sawit mulai mampu menjadi sumber penghasilan masyarakat pada saat berumur 3 tahun. Segmentasi pasar buah sawit segera terbentuk saat awal masa berbuah, sehingga

masyarakat dapat segera

menghitung proyeksi keuntungan dari

investasi jenis palma ini. Kelapa sawit ditanam masyarakat dengan jarak Iebar 8 m x 10 m, sehingga memungkinkan tumpang sari dengan jenis lainnya. Kelemahan tanaman kelapa sawit di mata masyarakat Kaur yaitu mahalnya investasi awal pembuatan tanaman, tetapi biaya tersebut diyakini akan tertutupi oleh keuntungan yang dapat diperoleh di kemudian hari.

IV.

SEGMENTASI PASAR LOKAL KAYU JATI DI KAUR

Pasar kayu di Kabupaten Kaur telah berkembang cukup lama. Pada dekade 1980-an Kaur dikenal sebagai pemasok kayu meranti di Provinsi Bengkulu. Sejumlah pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) juga pernah beroperasi di kabupaten yang dulu juga dikenal sebagai sumber rotan dan gaharu ini. Jenis kayu yang banyak beredar di Kaur pada tahun 2004 yaitu dari jenis merambung, gadis dan j...


Similar Free PDFs