Program Terapi Rumatan Buprenorfina di Indonesia PDF

Title Program Terapi Rumatan Buprenorfina di Indonesia
Author Samsul Anwar
Pages 4
File Size 115.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 107
Total Views 651

Summary

Program Terapi Rumatan Buprenorfina suntik (Rawson et al., 2000), transfer dari terapi (PTRB) di Indonesia subutex ke buprenorfina komibnasi naloxon harus dilaukan dengan hati-hati dan dimonitor Samsul Anwar secara berkala dengan kemungkinan kecil buprenorfina dengan kombinasi nalokson akan disalahg...


Description

Program Terapi Rumatan Buprenorfina (PTRB) di Indonesia

suntik (Rawson et al., 2000), transfer dari terapi subutex ke buprenorfina komibnasi naloxon harus dilaukan dengan hati-hati dan dimonitor secara berkala dengan kemungkinan kecil buprenorfina dengan kombinasi nalokson akan disalahgunakan (Simojoki et al., 2007). Best practice dalam beberapa penilitain tersebut kiranya menjadi salah satu dasar diaturnya terapi buprenorfin di Indonesia.

Samsul Anwar

PhD Student. School of Social Science, University of Science Malaysia. Email : [email protected]

Di Indonesia, prosedur yang mengatur tentang penggunaan buprenorfina untuk tujuan rehabilitasi penyalahguna opiat diatur dalam bentuk Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 47 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Terapi Buprenorfina. Dalam PMK tersebut dikatakan bahwa terapi buprenorfina merupakan bagian dari Rehabilitasi Medis bagi pecandu narkotika yang tercatat dalam program wajib lapor pecandu narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wajib lapor dalam hal ini adalah pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika yang dengan sukarela melaporkan diri atau dilaporkan oleh orang tua, atau oleh walinya kepada IPWL. Sementara itu IPWL Penyelenggaraan Terapi Buprenorfina hanya dapat dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, dan klinik yang merupakan Fasilitas Rehabilitasi Medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Buprenorfina termasuk dalam daftar psikotropika pada Convention on Psychotropic Substance tahun 1971 dan digolongka psikotrpika golongan III. Meskipun begitu, ada kekhawatiran buprenorfina yang digunakan untuk tujuan pengoabtan diedarkan pada pasar gelap. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemungkinan bererdarnya di pasar gelap dapat di minimalisir dengan mebgeluarkan prosedur tertentu (UNODC, 2012). Dalam sebuah penelitian yang melibatkan pecandu heroin, sejumlah 44 orang diberi buprenorfin plus plasebo naltrekson, 43 dengan naltrekson plus plasebo buprenorfin, dan 39 dengan dua plasebo. Pasien pada awalnya didetoksifikasi cepat selama enam hari dan kemudian diberi terapi pengganti atau plasebo. Tes urin dilakukan tiga kali seminggu untuk mengetahui apakah mereka memakai heroin. Hasilnya terapi substitusi dengan obat opiat, buprenorfin, mampu membuat para pengguna heroin tidak menggunakan heroin elama tiga kali lebih lama dibandingkan dengan orang yang memakai plasebo, dan meningkatkan hampir empat kali lipat proporsi peserta yang menyelesaikan uji coba tanpa kambuh (Schottenfeld R. et al, 2008)

Penggunaan Buprenorfina, sebagaimana diatur dalam PMK ini, untuk kepentingan terapi Sindrom Putus Opioida dan/atau terapi Rumatan berupa Buprenorfina dalam bentuk kombinasi dengan Nalokson. Dalam bentuk tunggal dapat digunakan untuk pasien hamil atau asien yang sensitif terhadap nalokson. Penggunaan Buprenorfina dapat dilakukan bagi pasien ketergantungan opioida yang membutuhkan penghentian dalam waktu singkat.

Bukti keberhasilan terapi buprenorfina juga ditemukan dalam banyak penelitian lainnya. Buprenorfina lebih aman ketimbang metadon dalam hal kemungkinan over dosis. Sebaian besar pasien metadone beralih kepada terapi buprenorfina dan mereka merokomendasikan untuk tetap menjalani terapi buprenorfina (Awgu et al., 2010), kecil kemungkinan untuk terjadinya gejala putus zat dan digunakan secara

Terapi buprenorfina dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap sesuai dengan kondisi klinis pasien dan ketersediaan tempat pelayanan. Akan tetapi, terapi buprenorfina harus dilanjutkan dengan terapi rehabilitasi rawat jalan lainnya, berupa Rumatan Buprenorfina atau Rumatan metadon, atau 1

dengan terapi rehabilitasi rawat inap yang disertai intervensi psikososial.

pidana karena yang bersangkuta sedang atau akan menjalani program rehabilitasi. Persetujuan dan format wajib lapor sangat penting dimiliki oleh pasien sebagai bukti menjalani program rehabilitasi bilamana dalam satu kondisi pasein tersebut tertangkap tangan oleh penyidik Polri atau BNN. Apabila pasien tersebut dapat membuktikan bahwa dirinya sedang menjalani rehabilitasi maka pasien tersebut harus dilepaskan demu hukum.

Dalam PMK ini diatur juga bahwa pasien yang dapat mengakses layanan ini adalah pasien denga kriteria ketergantungan opioida, berusia diatas 18 tahun, toleran terhadap buprenirfina, toleran terhadap nalokson bila menggunakan buprenorfina dalam bentuk kombinasi dan tidak mengalami gangguan jiwa berat. Adapun bagi pasien di bawah usia 18 tahun, penggunaan Buprenorfina harus berdasarkan pertimbangan dokter spesialis kedokteran jiwa dan di bawah pengawasan keluarga atau wali.

Selanjutnya, petugas akan melakukan asesmen. Format yang digunakan adalah format ASI, Addiction severity Index, yang sudah dimodifikasi Kementrian Kesehatan. Hasil asesmen kemudian akan dijadikan bahan informasi untuk menyusun rencana terapi apakah rawat inap atau rawat jalan atau bahkan pasien tersebut dapat dilanjutkan dalam PTRB atau dirujuk kepada modalitas terapi lainnya yang sesuai dengan kebutuhan calon pasien. Selain itu, pasien juga akan menerima penjelasan terkait pentingnya keterlibatan ke;uarga atau wali dalam PTRB agar dapat diperoleh hasil yang optimal.

Buprenorfina tidak boleh diresepkan kepada pasien-pasien yang hipersensitif terhadap Buprenorfina. Hipersensitivitas bisa bermanifestasi sebagai ruam dan gatal-gatal. Kadang hipersensitivitas menyebabkan reaksi hebat (seperti konstriksi saluran udara dan syok anafilaktik. Selain itu, pemberian resep buprenrfine hars hati hati terhadap pasien dengan kemungkinan penggunaan jenis narkoba lainnya karena dapat membahayakan pasien tersebut. Merujuk pada PMK ini, layanan Program Terapi Rumatan Buprenorfina (PTRB) dilakukan dengan beberapa tahapan layanan

Pelaksanaan Terapi Pada tahapan ini, pelaksanaan terapi dibagi menjadi dua tahapan, inisiasi dan stabilisasi. Inisiasi Terapi Buprenorfina dapat berupa terapi awal atau terapi pada pasien yang di transfer dari terapi Rumatan lainnya. Terapi awal adalah terapi yang diterima oleh pasien pertama kali (tidak didahului oleh terapi Rumatan lainnya).

Tahap penerimaan. Pada tahapan ini, pasien harus dilakuka skrining atas kriteria inklusinya. Skrining dalam hal ini dilakukan dengan mengetes urin klien. Jika urin menunjukkan positif opioda maka calon pasien dapat mengikuti layanan ini. Selain itu, skrining juga dilakukan dengan mencocokkan data calon pasien terutama segi usianya. Hal ini dikarenakan hanya pasien dengan usia diatas 18 tahun yang dapat mengikuti layanan Terapi Buprenorfin.

Pada tahap inisiasi pasien yang belum pernah mendapatkan terapi Rumatan lainnya harus mempertimbangkan tingkat neuroadaptasi terhadap opioida dimana pasien dengan tingkat neuroadaptasi terhadap opioida yang rendah (toleransi opioida rendah) harus memulai Terapi Buprenorfina/nalokson dengan dosis rendah, tingkat gejala putus opioida setelah pemberian Buprenorfina pertama, kemungkinan penggunaan Narkoba lain pada saat yang sama, kondisi medis penyerta, durasi antara pemakaian heroin atau opioida lainnya terakhir kali dan pemberian dosis Buprenorfina yang pertama, dan semakin lebar interval waktu

Kemudian pasien harus melakukan penandatanaganan persetujuan PTRB dengan didahului oleh penjelasa tentang PTRB. Salah satunya dengan penjelasan bahwa dengan mengikuti PTRB berarti calon pasien juga dianggap telah melakukan lapor diri. Dengan lapor diri berarti pasien dibebaska dari tuntutan 2

antara pemakaian dosis terakhir Heroin atau opioida lainnya dengan pemberian dosis pertama Buprenorfina, semakin baik keluaran gejala putus opioida (prepicitated opioid withdrawal)

melakukan perjalanan, dimana pelayanan Buprenorfina tidak tersedia, pasien diperkenankan untuk membawa dosis Buprenorfina sesuai dengan kebutuhannya maksimal kebutuhan 1 bulan. Untuk keperlua seperti perjalanan, pasien harus mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam PMK ini.

Pada tahap stabilisasi, Dosis Rumatan optimal perlu diatur secara individual sesuai respon pasien terhadap Buprenorfina-Nalokson. Respon pasien dapat bervariasi luas, sesuai dengan faktor tingkat absorpsi atau metabolisme Buprenorfina-Nalokson, tingkat neuroadaptasi dan ketergantungan opioida, pengalaman mengalami efek samping dan tetap sembunyi-sembunyi menggunakan obat-obat lain.

Masalah yang mungkin akan muncul terkait pemberian THD perlu diantisipasi, misalnya overdosis atau kesalahan pemberian dosis Buprenorfina, THD meningkatkan risiko overdosis yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh pasien atau lainnya, khususnya anak-anak dan individu non-toleran lainnya, dan oleh siapa saja dalam hal kombinasi dengan obat sedatif lainnya, THD yang disuntikkan, mengakibatkan over dosis, merusak vena, atau konsekuensi medis lainnya, tidak patuh pada program terapi yang telah disetujui (non-compliance) mengakibatkan hasil yang buruk bagi pasien dan penyimpangan: memanfaatkan Buprenorfina yang dibawa pulang untuk diberikan kepada individu lain.

Dalam beberapa minggu pertama, dokter harus mengevaluasi pasien untuk penyesuaian dosis optimal Buprenorfina-nalokson secara individual, mengevaluasi pasien secara lebih komprehensif dan mendiskusikan rencana tindak lanjut terapi. Selain itu, dokter juga harus mengevaluasi pasien 2 -3 kali seminggu hingga stabil. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dosis adekuat, mendeteksi gejala putus zat atau efek samping dan memantau penggunaan narkoba lain secara sembunyi.

Untuk hard core addcits, pencandu narkoba yang tidak dapat menghentikan perilaku adiksinya sehingga memerlukan pemberian substitusi Buprenorfina yang adekuat, harus memperhatikan pemberian THD tidak diperbolehkan, pengawasan ketat konsumsi obat, dan dosis pemberian Buprenorfina/Nalokson harus harian diperlukan kajian terhadap faktor pemicu penggunaan narkoba yang terus menerus untuk melakukan intervensi dan dukungan psikososial yang memadai. Peningkatan dosis Buprenorfina (maksimum 32 mg) untuk pasien hard core dapat membantu mengurangi penggunaan opioida pasien.

Dalam kaitannya dengan pemberian resep, PTRB memungkinkan pasein mendapatkan dosis bawa pulang ( Take Home Doses/THD) tetapi masih dibawah pengawasan dokter. Manfaat dari THD adalah mendorong pasien untuk bertanggungjawab dalam terapi diri sendiri, mengurangi waktu dan biaya perjalanan, meningkatkan retensi pasien dengan mengurangi kesulitan karena harus berulang kali berkunjung untuk mendapatkan Buprenorfina. THD dapat diberikan bilaman pasien secara klinis pasien sudah mencapai dosis stabil, bersikap kooperatif dan dinilai dapat bertanggung jawab atas dosis yang dibawa pulang.

Selain pendekatan secara medis, intervensi pada PRTB juga harus menyertakan rehabilitasi sosial berupa intervensi psikososial. Terapi Buprenorfina bukan merupakan terapi tunggal untuk ketergantungan opioida dan umumnya tetap diperlukan intervensi psikososial. Pendekatan konseling, seperti motivational interviewing, pencegahan relaps dan pelatihan

Pada kondisi khusus, seperti sakit, kecelakaan, musibah (bencana alam, kebakaran, kebanjiran, keluarga inti meninggal) atau menjalani masa tahanan pada lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, THD dapat diberikan walaupun belum mencapai dosis stabil. Jika pasien 3

keterampilan sosial,terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT), banyak digunakan dan cukup efektif. Keterlibatan keluarga (Family Support Group/FSG) sangat membantu kepatuhan pasien untuk mengikuti program terapi.

Referensi Awgu, Ezechukwu, PhD;Magura, Stephen, PhD, CSW;Rosenblum, Andrew, PhD HeroinDependent Inmates' Experiences with Buprenorphine or Methadone Maintenance[dagger] Journal of Psychoactive Drugs; Sep 2010; 42, 3; Criminal Justice Database pg. 339 Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Terapi Buprenorfina Richard A. Rawson, Michael J. McCann, Albert J. Hasson & Walter Ling (2000) Addiction Pharmacotherapy 2000: New Options, New Challenges, Journal of Psychoactive Drugs, 32:4, 371378, DOI: 10.1080/02791072.2000.10400238 Schottenfeld RS, Pakes JR, Oliveto A, Ziedonis D, Kosten TR. Buprenorphine vs Methadone Maintenance Treatment for Concurrent Opioid Dependence and Cocaine Abuse. Arch Gen Psychiatry. 1997;54(8):713–720. doi:10.1001/archpsyc.1997.01830200041006 Simojoki, K., Vorma, H. & Alho, H. A retrospective evaluation of patients switched from buprenorphine (subutex) to the buprenorphine/naloxone combination (suboxone). Subst Abuse Treat Prev Policy 3, 16 (2008). https://doi.org/10.1186/1747-597X-3-16 UNODC (2012) Opioid Substitution Treatment (buprenorphine). Intervention Toolkit. Mensa Design Pvt. Ltd

4...


Similar Free PDFs