PROSES KREATIF PENULISAN DAN PEMANGGUNGAN PDF

Title PROSES KREATIF PENULISAN DAN PEMANGGUNGAN
Author Tirto Suwondo
Pages 234
File Size 1.6 MB
File Type PDF
Total Downloads 873
Total Views 981

Summary

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA i Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) Editor: Herry Mardia...


Description

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

i

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) Editor: Herry Mardianto Penulis: Y.B. Margantoro Tirto Suwondo P. Ari Subagyo Indra Tranggono Agus Noor Sri Harjanto Sahid Imam Budi Utomo B. Rahmanto Hamdy Salad Landung R. Simatupang Agus Prasetiya Bambang J. Prasetya Nur Iswantara Cetakan Pertama: November 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Katalog Dalam Terbitan (KDT) Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi), Herry Mardianto (Editor), Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012 (xii, 224 hlm.; 21cm) ISBN 978-979-188-404-7

ii

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

Pengantar Editor

BELAJAR DARI YANG “TERCECER”

Banyak tulisan yang menarik dan “tercecer” di Balai Bahasa Yogyakarta, entah itu makalah yang termuat dalam antologi Bengkel Sastra dan Bahasa (sudah dilakukan sejak tahun 1995, setiap antologi memuat dua atau tiga makalah tutor di samping puluhan karya siswa berupa karya sastra maupun esai) serta tulisan berupa makalah yang semula dimanfaatkan dalam program kegiatan Peningkatan Keterampilan Berbahasa dan Bersastra. Tulisan-tulisan “tercecer” itu ditulis oleh praktisi bahasa dan sastra sehingga jika dicermati kembali maka tulisan-tulisan tersebut pada umumnya tidak terpusat pada dunia “keilmuan”, justru lebih dekat kepada hal-hal praktis yang berkaitan dengan proses kreatif penulisan esai/artikel, penulisan karya sastra, dan pemanggungan karya sastra. Tulisan-tulisan seperti ini tentu merupakan barang langka yang jarang bisa kita dapatkan di berbagai toko buku atau perpustakaan, terlebih buku ini hadir bagaikan “gado-gado”, memuat sekaligus proses penulisan karya ilmiah populer, karya sastra, dan proses pemanggungan karya sastra. Penerbitan buku ini didasarkan pada keinginan memberi motivasi sekaligus bimbingan kepada pembaca (guru, dosen, siswa, mahasiswa maupun masyarakat umum) agar mengetahui bagaimana langkah-langkah proses kreatif penulisan dan pemanggungan. Untuk mewujudkan harapan itu dipilihlah tulisaniii

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

tulisan sederhana berkaitan dengan bahasa jurnalistik, proses penulisan esai, artikel, feature, cerita pendek, cerita anak, puisi, naskah drama, pemanggungan puisi, pementasan cerpen, dasardasar bermain drama, proses produksi pementasan lakon, serta sutradara dan penyutradaraan. Tulisan-tulisan tersebut ditampilkan secara berurutan sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan dapat dipahami dengan mudah. Setelah membaca buku ini--sebagai pegangan praktis penulisan dan pemanggungan-diharapkan akan muncul generasi yang gemar menulis dan tidak ada lagi keluhan bagaimana mementaskan atau membacakan karya sastra di depan publik. Ucapan terima kasih sekaligus permohonan izin pemuatan tulisan kami sampaikan kepada para penulis: Y.B. Margantoro, Tirto Suwondo, P. Ari Subagyo, Indra Tranggono, Agus Noor, Sri Harjanto Sahid, Imam Budi Utomo, B. Rahmanto, Hamdy Salad, Landung R. Simatupang, Agus Prasetiya, Bambang J. Prasetya, dan Nur Iswantara yang selalu memberi inspirasi dalam membimbing generasi muda untuk mencintai dunia kepenulisan dan pemanggungan. Herry Mardianto

iv

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Salah satu visi Balai Bahasa Provinsi DIY adalah menjadi pusat informasi yang lengkap dan menjadi pelayan prima di bidang kebahasaan dan kesastraan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, salah satu misi yang dilakukan adalah mengembangkan bahan informasi kebahasaan dan kesastraan baik Indonesia maupun daerah (Jawa). Dengan visi dan misi yang demikian, Balai Bahasa Provinsi DIY beharap agar bahan informasi kebahasaan dan kesastraan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra di Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Berkenaan dengan hal itulah, seperti dilakukan pula pada tahun-tahun sebelumnya, Balai Bahasa Provinsi DIY tahun ini (2012) kembali menerbitkan sejumlah buku kebahasaan dan kesastraan. Buku-buku yang diterbitkan itu antara lain ada yang berisi kajian atau ulasan ilmiah di bidang kebahasaan dan kesastraan, ada yang berisi esai tentang cara bagaimana proses kreatif berbahasa dan bersastra, dan ada pula yang berisi karya-karya kreatif (puisi atau cerpen). Buku berjudul Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) ini, salah satu di antaranya, berisi petunjuk praktis penulisan karya ilmiah populer dan fiksi serta pemanggungan karya sastra. Sekali lagi, Balai Bahasa berharap agar buku ini dapat dijadikan pegangan dan v

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

bermanfaat bagi guru, dosen, siswa, mahasiswa, maupun masyarakat umum yang ingin mengetahui dan mendalami proses penulisan dan pemanggungan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku ini siap dipublikasikan dan dibaca oleh khalayak (masyarakat). Harapan lainnya mudah-mudahan buku ini mengisi ruang perpustakaan dan ruang pengetahuan serta pikiran kita. Yogyakarta, November 2012 Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.

vi

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

DAFTAR ISI

PENGANTAR EDITOR : BELAJAR DARI YANG “TERCECER” ................................................................................. iii PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ..................................... v DAFTAR ISI .................................................................................. vii BAHASA JURNALISTIK .............................................................. 1 Y.B. Margantoro PROSES KREATIF PENULISAN ESAI DAN FEATURE .... 15 Tirto Suwondo MENULIS ESAI, EASY OR NOT EASY? ................................. 25 P. Ari Subagyo MENULIS ESAI ATAU ARTIKEL DI MEDIA ....................... 37 Y.B. Margantoro MENULIS CERITA PENDEK .................................................... 47 Indra Tranggono USAHA MENYUSUN CERITA ................................................. 55 Agus Noor SENI BACA CERPEN DI PENTAS ........................................... 67 Sri Harjanto Sahid KIAT SEDERHANA MENULIS CERITA ANAK .................. 79 Imam Budi Utomo PUISI, UNSUR PEMBANGUN, DAN APRESIASINYA ..... 91 B. Rahmanto vii

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

PADA MULANYA, PUISI ADALAH KATA ........................ 123 Hamdy Salad BEBERAPA HAL TENTANG PENCIPTAAN DAN PEMANGGUNGAN PUISI ...................................................... 133 Landung R. Simatupang DASAR BERMAIN DRAMA ................................................... 141 Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya BERKENALAN DENGAN DRAMA DAN APRESIASINYA. 151 B. Rahmanto PROSES PRODUKSI PEMENTASAN LAKON ................. 165 Bambang J. Prasetya SUTRADARA DAN PENYUTRADARAAN ........................ 183 Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya MENUMBUHKEMBANGKAN POTENSI DIRI UNTUK BEREKSPRESI DRAMATIK .................................................... 195 Nur Iswantara

viii

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

BAHASA JURNALISTIK Y.B. Margantoro

Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dimiliki setiap orang sebagai media komunikasi yang sangat kompleks. Ada kecenderungan setiap pemakai bahasa lebih sering mengikuti jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam bahasa (tata bahasa). Sebagai penutur yang selalu mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa, berusaha menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa yang dipelajari. Bahasa pun kita kenal sebagai alat kesadaran. Apa yang kita katakan kesadaran itu sekurang-kurangnya terdiri atas tiga perangkat organ, yakni parangkat alat penginderaan, perangkat alat emosional (afektif), dan perangkat penalaran (logika). Penginderaan menangkap kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar kita, memungkinkan manusia memperoleh pengalaman, perangkat emosional memungkinkan manusia memberi penilaian atas semua yang dialaminya, sedangkan perangkat penalaran bertugas menghubung-hubungkan bermacam hasil penginderaan (pengalaman) dan tangkapan perangkat alat manusia. Semuanya itu lalu diungkapkan dengan bahasa sebagai alat yang paling utama. Perangkat logika akan mulai bekerja bila seseorang pengamat sadar akan objek penginderaannya dan sadar secara emo1

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

sional akan nilai yang ada di balik objek-objek itu. Logika kita bisa berjalan untuk menghubung-hubungkan semua itu tanpa bantuan bahasa, tetapi pada saat kita ingin mengungkapkan semua hal itu, perangkat bahasa siap untuk menyalurkannya. Dan, karena bahasa sudah dipelajari dan dikuasai sejak kecil, semua penginderaan, perasaan, dan hasil penalaran selalu mempergunakan bahasa sebagai alat pengungkapnya. Karena emosi menyangkut sesuatu yang intern dalam tiap manusia dan kemampuan penalaran juga merupakan warisan utama bagi setipa manusia, maka yang paling penting di sini ialah kemampuan seorang penulis/wartawan mempertajam daya penginderaannya terhadap apa yang ada di sekitarnya. Ketajaman penginderaan ini bisa dilatih, antara lain dengan mengungkapkan melalui bahasa. Bahasa yang dipergunakan harus efektif, artinya harus mampu menyampaikan secara tepat apa yang dipikirkan, dan bahasa yang digunakan harus mampu “menggerakan” orangorang yang membaca/mendengar amanatnya sehingga tercipta suatu pengertian yang sama dengan apa yang dipikirkan penulis. Ini sebenarnya, dasar komunikasi. Perhatikan contoh berikut, karena susunan bahasanya tidak baik, maka fakta yang hendak dan perlu dikemukakan menjadi tidak jelas: 1. Terbungkus rapi setebal kira-kira duapuluh sentimeter, Laksamana Sudomo menyebutkan berkas perkara tersebut baru merupakan hasil pemeriksaan intelijen. 2. Ketika berusia 5 tahun, ayahnya, Wonorejo, meninggal dunia. 3. Di Tasikmalaya ada 60 orang korban meninggal, tetapi tidak melapor. Contoh lain yang menyangkut soal generalisasi, sebagai berikut: 1. Daniel orang Timtim sehari-hari makan jagung. 2. Peter orang Timtim sehari-hari makan jagung. 2

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

3.

Da Costa orang Timtim sehari-hari makan jagung dan beberapa orang lain di Timtim makan jagung. Generalisasi: Orang-orang (masyarakat) Timtim makan jagung.

Untuk generalisasi yang baik haruslah didukung oleh fakta yang meyakinkan. Jika fakta (Daniel, Peter, Da Costa dan sebagainya) tidak mencerminkan orang Timtim, generalisasi tidak bisa dibuat. Jika diperoleh kesan lebih banyak orang Timtim yang makan jagung ketimbang makan nasi atau roti sehariharinya, dapat disimpulkan kebanyakan orang-orang Timtim sehari-hari makan jagung. Dalam jurnalistik, generalisasi harus dihindari. Penulis/ wartawan hanya menguraikan fakta. Jika pun ditemui fakta sama, penulis hendaknya memerincinya, tidak menggeneralisasikannya. Contoh generalisasi yang terlalu luas – sebagi akibat salah nalar (disebut juga induksi yang salah) – orang Indonesia itu malas, dan sebagainya. Tiga Aspek Bahasa jurnalistik, termasuk di dalamnya kalimat jurnaliastik mencakup tiga aspek, yaitu penguasaan materi (isi) yang dikemukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan teknik penyajian. Ketiga aspek ini tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya (LP3Y, 1990). Dalam kehidupan sehari-hari terasa ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk tata bahasa di sekolah, dan norma berdasarkan kebiasaan pemakaian. Norma yang terkhir ini belum dikodifikasi secara resmi, antara lain, yang dianut oleh kalangan media massa (wartawan) dan sastrawan muda, terutama dalam pers. Selain itu, diakui adanya posisi yang berbeda dari lingkungan guru di satu pihak, dengan lingkungan wartawan dan sastrawan di pihak lain, yang menghasilkan dua parangkat nor3

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

ma bahasa. Kita sempat melihat adanya sifat konfrontatif antara wartawan dan guru. Guru berasumsi bahwa bahasa surat kabar, bahasa yang digunakan surat kabar adalah bahasa kacau, sedangkan para wartawan menganggap para guru tidak atau kurang mau mengerti perkembangan bahasa, dan hanya terpaku pada kaidahkaidah bahasa yang sudah ketinggalan zaman. Perbedaan posisi ini perlu disadari. Bahkan, guru pada posisinya menjadi semacam “polisi” tata tertib lalu lintas bahasa, mengajarkan aturanaturan yang sudah baku. Bahasa yang tidak baku (bahasa surat kabar) dianggap tidak baku, harus ditolak karena belum tercantum dalam buku tata bahasa. Berdasarkan posisinya, wartawan dan sastrawan sering melakukan semacam “pelanggaran” tertib lalu lintas bahasa, dan ini dilakukan menurut tuntutan situasi berbahasa. Meskipun begitu, wartawan dan sastrawan tetap harus menguasai kaidahkaidah bahasa. Justru karena wartawan merasa adanya keterbatasan yang tak memungkinkannya mengemukakan perasaan dan pikiran secara efektif, wartawan terpaksa “melanggar” ketentuan resmi tata bahasa baku. Kalau para wartawan/sastrawan dianggap oleh para guru acuh tak acuh pada ketentuan tata bahasa, seenaknya saja menulis, sebaliknya wartawan/sastrawan (ada kalanya) menganggap tata bahasa terlalu mengekang daya cipta. Kelihatannya, diam-diam antara wartawan dan sastrawan terbentuk semacam persekutuan karena bekerja di ladang yang sama, yaitu dunia tulis-menulis. Namun bukan tidak ada perbedaan, antara bahasa sastrawan dan bahasa wartawan. Bahasa yang “Menjerit” Pada hakikatnya, Bahasa Indonesia Jurnalistik, sama saja dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Hanya saja, pengembangan bahasa pers lebih mengarah pada sikap publistik, mudah

4

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

dimengerti umum. Di sisi lain, prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap dipegang teguh. Diklat Jurnalistik Bernas (1995) membagi empat unsur yang harus diperhatikan dalam merangkai Bahasa Indonesia Jurnalistik. Unsur itu tergabung dalam akronim “Menjerit”, yaitu menarik, jelas, ringkas, dan tertib. Untuk menarik pembaca, harus dipancing dengan kata-kata, kalimat yang ekspresif. Kata yang dipilih harus mencerminkan realitas. Pilihan kata akan sangat mempengaruhi minat baca. Konsekuensinya, kata yang klise dan sloganistis harus siap menghadapi kenyataan pahit, yaitu ditinggalkan pembacanya. Untuk hal ini, hindari kalimat gaya roman yang bertele-tele dan gaya undang-undang yang kaku dan kering. Kalimat jangan panjang-panjang. Kejelasan kalimat menjadi sangat penting. Hindari pengertian ganda yang membingungkan, jangan lupa akurasi, ketepatan ejaan nama, angka, jumlah, dan lainnya. Hindari kalimat majemuk. Usahakan hanya dengan sekali baca, pembaca sudah dapat dengan cepat menangkap kesan dalam sebuah berita atau tulisan. Pengolahan kalimat juga jangan terlalu panjang yang menjemukan pembaca. Hindari kata abstrak, kata umum, dan kata-kata konotatif. Saat ini arus informasi sudah begitu deras mengalir dari berbagai penjuru dunia, maka pengasuh media massa harus menampilkan berita dengan ringkas, tidak menolerir munculnya kata atau kalimat mubazir (berlebih-lebihan). Prinsip ekonomi kata berlaku di sini. Tertib berbahasa diperlukan karena dalam prinsip ini menuntut kita selalu cermat dan tepat menulis sesuatu dengan menerapkan pedoman berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena antara penulis (wartawan) dengan pembacanya tidak bersemuka (face to face), bila terjadi salah informasi tidak mungkin memberikan penjelasan. Di sinilah pentingnya kita menulis dengan bahasa Indonesia yang “menjerit”.

5

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Pisau Aneka Fungsi Editing atau penyuntingan pada dasarnya dapat diibaratkan sebagai pisau dengan aneka fungsi. Ketika harus mengiris berita, tentu situasinya berbeda dengan ketika harus mengiris feature, opini, atau fiksi. 1. Naskah fiksi (anak-anak, remaja, dewasa) tidak memiliki sistematika bab, rumus-rumus, tabel-tabel, angka-angka statistik dan nonstatistik, lampiran, daftar pustaka. Yang penting: kalimat ini enak atau tidak, apakah naskah ini dimengerti oleh pembaca atau tidak. Lihat apakah mengandung SARA atau tidak, pornografi, dan sebagainya. 2. Naskah sastra (masuk golongan fiksi, tapi tak semua fiksi dapat dikategorikan naskah sastra), dibagi jadi: prosa (novel, novelet, dan cerpen), puisi, dan drama. Hati-hati, sebab, sastra itu unik. Ada kata-kata yang sengaja ditulis oleh penulisnya, misalnya kue, kuih, kueh. Catetan Th 1946, dan bukan Catatan Th 1946. 3. Naskah buku sekolah Mengandung nilai pendidikan. Sesuai dengan kurikulum dan garis-garis besar program pengajaran. Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah isi dan materinya. Disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 4. Naskah perguruan tinggi Rambu-rambunya tidak sebanyak naskah buku sekolah. dosen mengacu pada silabus. Ada indeks. 5. Naskah musik Berisi not balok/not angka. Berisi not balok/not angka dan teks lagu. Berisi pelajaran teori musik. 6

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

6.

Naskah matematika, fisika, dan kimia Banyak berisi angka-angka, rumus-rumus, dan tabeltabel. 7. Naskah biologi Mengandung istilah-istilah bahasa Latin. 8. Naskah kamus Layout berbeda dengan buku biasa. Entri kamus diberi diskripsi. Entri kamus dimulai dengan huruf kecil. 9. Naslah ilmiah Kajian dan penyajian secara ilmiah. Skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3). 10. Naskah ilmiah popular Naskah ilmiah yang disajikan secara popular. Penyunting harus peka terhadap kata-kata ilmiah dan kata-kata popular. 11. Naskah terjemahan Tips bagi penyunting: Penyunting naskah adalah pembantu penulis naskah, bukan penulis itu sendiri. Penyunting haruslah rendah hati, meskipun lebih pintar. Ada 3 golongan penulis naskah, yakni penulis pemula, semiprofesional, profesional. Dari segi watak: penulis yang gampang, sulit, dan sulitsulit gampang. Sebaiknya konsultasi dulu dengan penulis. tahu ciri khas naskah (pembacanya). Ejaan dan tata bahasa. Terus menerus ikuti perkembangan bahasa. Penyunting makin terampil menulis dan susun indeks. Selalu akan ada kesalahan: besar atau kecil. Hati-hati soal SARA. Kuasai bahasa asing. 7

Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan

Menulis yang baik pada hakikatnya adalah menulis ulang naskah yang belum baik, demikian saran penulis senior Slamet Soeseno. Masalahnya, penulis pemula sering tidak dapat menemukan kesalahan tulisannya atau menganggap tulisannya sudah bagus. Perbaikan daya tarik: Ada dua hal dalam persoalan ini, yakni bahan dan cara penulisan. Berhenti melucu pada saatnya yang tepat adalah ciri khas sebuah tulisan ilmiah popular. Misalnya, cerita tentang burung kakaktua yang kadang “diselonongkan” “burung” kakak saya. Tulisan humor perlu dirombak seluruh kalimat. Contoh kalimat yang lucu: “Sebetulnya sudah lama ada desas-desus bahwa kelapa bisa dibuat kopyor kalau pohonnya dipukuli sampai setengah mati. Tapi, sangat boleh jadi orang yang memukul itu yang setengah mati.” Bahasa komunikatif: Tulisan popular bisa tercipta kalau bahasa yang dipakai juga bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat dalam media massa. Bahasa popular tidak mementingkan kata-kata yang indah dan kalimat yang mengharukan, tetapi yang komunikatif (bebas dari kata pemanis dan basa-basi, serta cepat dapat ditangkap maksudnya). Caranya dengan menyederhanakan susunannya/persoalan yang dikemukakan. Ringkas, tetapi jelas. Lengkap dan teliti (misalnya, bisa menjawab pertanyaan “berapa”, dan teliti memilih/menyusun kata/kalimat). Kata kecil dan kalimat pendek. Slamet Soeseno buka kartu: berdasarkan pengalaman menulis selama tiga puluh tahun lebih, dia sampai pada tahap ke8

Bergelut dengan Fakta dan Fiksi

simpulan bahwa tu...


Similar Free PDFs