Sosialisasi FIX - Sosiologi PDF

Title Sosialisasi FIX - Sosiologi
Author piskachu 17
Course Sosiologi
Institution Universitas Airlangga
Pages 3
File Size 83.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 108
Total Views 150

Summary

Sosiologi...


Description

Sosialisasi: Aktivitas Dua Pihak Aktivitas sosialisasi adalah aktivitas sosial yang tidak mungkin dilakukan secara sepihak, namun dilakukan secara aktif oleh dua pihak. Pihak-pihak yang melakukan sosialisasi ini dibagi menjadi dua, yakni pihak pertama adalah pihak yang mensosialisasi, dan pihak kedua adalah pihak yang disosialisasi. Pihak yang mensosialisasi melakukan aktivitasnya dengan cara mensosialisasikan sesuatu yang ingin disampaikan kepada pihak yang disosialisasi, sedangkan aktivitas pihak yang disosialisasi adalah mendengar dan mengamati apa saja yang disampaikan saat sosialisasi tadi, aktivitas ini dinamakan dengan internalisasi. Terdapat orang-orang yang berperan penting dalam melakukan aktivitas sosialisasi. Mereka yang melakukan sosialisasi ini telah berperan penting dalam “mewakili” masyarakat. Orang-orang yang melakukan sosialisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Orang-orang yang mempunyai wibawa dan kekuasaan atas tiap-tiap individu yang disosialisasi. Contohnya adalah ayah, ibu, guru, atasan, pemimpin, dan lain sebagainya. 2. Orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat dengan orangorang yang tengah disosialisasi. Contohnya, saudara sebaya, kawan sepermainan, kawan sekelas, dan lain sebagainya. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berwibawa sangat berbeda dengan apa yang disosialisasikan oleh orang-orang yang sederajat. Orang-orang yang mempunyai wibawa ini cenderung melakukan sosialisasi secara paksa dan bersifat otoriter. Karena sifat sosialisasi yang demikian, menjadikan sosialisasi ini dikenal dengan nama “sosialisasi otoriter”. Sosialisasi otoriter ini tidak semata-mata hanya menyuruhnyuruh tiap-tiap individu dengan tanpa tujuan yang jelas, melainkan bertujuan untuk menanamkan norma-norma sosial yang mengandung keharusan untuk taat kepada kewajiban-kewajiban yang telah disepakati, baik antara pembuat aturan maupun masyarakat luas yang ditunjukkan kepada tip-tiap individu yang disosialisasi, sehingga nantinya individu-individu tersebut diharapkan dapat dikendalikan secara disiplin dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya dapat tercipta kehidupan bermasyarakat yang tertib dan sesuai apa yang dicita-citakan masyarakat. Proses sosialisasi otoriter biasanya lebih dipercayakan kepada para orang tua (ayah dan atau ibu). Hal ini karena sosialisasi yang pertama kali diterima adalah sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Proses sosialisasi seperti ini biasa disebut dengan sosialisasi primer. Eratnya hubungan antara anak dan orang tua inilah yang menjadikan orangtua berkewajiban memberi sosialisasi kepada sang anak sejak dini. Adanya perbedaan usia yang cukup jauh antara orang yang memberi sosialisasi dengan orang yang menerima sosilisasi seringkali menyebabkan orang yang disosialisasi itu sering tidak bisa memahami dasar dan alasan yang sebenarnya dari segala ajaran yang disosialisasikan itu. Akan tetapi, ditinjau dari sudut kepentingan masyarakat, hal itu tidak menjadi masalah, karena dalam proses sosialisasi yang dilakukan secara otoriter itu yang penting bukanlah “apakah anak yang disosialisasi itu mengerti atau tidak tentang dasardasar rasional dari norma-norma yang disosialisasikan itu atau apakah dari sosialisasi itu dapat menanam dan merasakan sesuatu yang disampaikan itu sebagai kewajiban yang mutlak yang harus dilaksanakan atau tidak oleh si anak yang disosialisasi itu”. Karena masyarakat tidak dapat menunggu terlalu lama sampai sang anak cukup memahami dasar-

dasar rasional setiap norma untuk mulai menerapkan proses sosialisasinya, sebab, jika demikian halnya, segalanya akan terlambat. Sementara itu, dilain pihak, proses sosialisai juga dilakukan dengan jalan tidak memaksa atau otoriter, melainkan atas dasar kesamaan dan kooperasi antara yang mensosialisasi dan yang disosialisasi. Proses sosialisasi inilah yang kemudian dikenal dengan nama “proses sosialisasi ekualitas”. Proses sosialisasi ekualitas yaitu sosialisasi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sederajat dengan orang yang menerima sosialisasi dimana kedua pihak tersebut memiliki kecenderungan untuk saling melindungi dan saling menolong daripada saling menguasai atau saling memaksakan kehendak. Dalam aktivitasnya, proses sosialisasi ekualitas juga sama-sama mengusahakan tertanamnya pemahaman norma-norma sosial kepada tiap individu-individu yang disosialisasi dengan catatan hanya bersifat ekualitas saja, karena tujuan utamanya adalah untuk memasuki suatu hubungan kerja sama yang koordinatif dan kooperatif dengan pihak yang mensosialisai, sehingga diharapkan dapat sampai ke arah terealisasinya suatu kooperasi yang baik. Misalnya saat seorang anak mengajarkan suatu permainan kepada temannya tentang bagaimana cara-cara melakukan suatu permainan tersebut sesuai dengan aturannya, maka disini yang dituju bukanlah pengarahan seorang subjek agar berdisiplin demi kepentingan masyarakat umum, melainkan suatu pengarahan ke arah kemungkinan dilaksanakannya suatu permainan bersama demi kegembiraan dan kepuasaan mereka masing-masing. Tidak peduli dengan perbedaan sifat dari kedua sosialisasi tersebut, karena baik sosialisasi otoriter maupun ekualitas sama-sama penting untuk “mematangkan seorang bocah mentah”. Norma-norma yang bersangkut-paut dengan urusan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab akan diturunkan lewat proses-proses sosialisasi otoriter, sedangkan untuk hal lainnya akan diturunkan lewat proses-proses sosialisasi ekualitas. Perlu digaris bawahi bahwa aktivitas sosialisasi tidak selalu dilakukan secara sadar dan sengaja. Banyak sekali kita jumpai aktivitas-aktivitas sosialisasi yang dilaksanakan tanpa disadari oleh orang yang mengerjakan itu. Dalam aktivitas ini, sosialisasi tidak memandang kedudukan tiap pihak, entah itu berkedudukan otoriter maupun ekualitas terhadap pihak yang disosialisasi. Mereka melakukan suatu tingkah pekerti dan interaksi sosial tertentu terhadap orang yang disosialisasi, dengan hal-hal kecil tersebut tanpa disadari telah “mengajarkan” atau memberi contoh kepada pihak yang disosialisasi ini tentang bagaimana orang bertingkah di dalam situasi-situasi tertentu. Misalnya seorang anak melihat ibunya saat ibunya bertingkah dengan sopan dan santun dalam menjamu tamu-tamunya, maka seseungguhnya sang ibu ini tanpa disadari telah mensosialisasikan norma-norma “bagaimana seharusnya bertingkah pekerti dalam berhadapan dengan tamutamu” kepada anaknya itu. Proses sosialisasi seperti ini dapat dengan mudah diterima dan dimengerti oleh seorang anak, karena saat proses sosialisasi dilakukan secara sengaja melalui pendidikan dan pengajaran sang anak cenderung belum dapat menguasai dan mengerti tentang apa yang harus dilakukannya, mengingat usianya yang masih sangat muda untuk mengerti tentang simbol-simbol arbitrair. Namun, ketika usianya semakin dewasa, sang anak sudah mampu menguasai simbol-simbol arbitair, dalam hal ini sosialisasi banyak dilakukan secara sadar, sengaja, dan formal.

Segi balik dari aktivitas melaksanakan sosialisasi adalah aktivitas internalisasi. Internalisasi adalah sebuah proses yang dikerjakan oleh pihak yang tengah menerima proses sosialisasi. Dalam proses ini, rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh kedua pihak bersifat aktif. Pertama-tama dia aktif dalam menginterpretasi makna dari apa-apa yang disampaikan dan disaksikannya. Pada langkah berikutnya, dia aktif dalam meresapi dan mengorganisir hasil interpretasinya itu ke dalam ingatan, perasan, dan batinnya. Di sepanjang hidup seorang individu, tentu saja indididu tersebut tidak hanya bertemu dengan ayah dan ibunya saja, akan tetapi juga dengan banyak tokoh lainnya, dengan demikian dapat dimengerti bahwa proses perbedaan identitas dan proses integrasi (proses sosialisasi) akan terjadi secara terus-menerus dan berulang kali di dalam mental si anak. Secara berangsur dan terus-menerus sistem sosial yang diinternalisasi sang anak akan terus berkembang, sehingga ia bisa bisa mengidentifikasi peranan apa yang dijalankan oleh berbagai orang. Lewat penyaksian dan penghayatannya ia dapat mengidentifikasi bahwa seorang ibu itu (harus) berperan menjadi sumber kasih sayang keluarga; bahwa seorang ayah itu (harus) berperan sebagai pencari nafkah; bahwa seorang guru itu (harus) berperan sebagai pengajar kepandaian dan keahlian; bahwa seorang polisi itu (harus) berperan sebagai penjaga keamanan masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan hasil internalisasi inilah seorang anak akan belajar memahami dan menyesuaikan diri dengan berbagai tingkah pekerti dan peranan yang dijalankan di dalam masyarakat. Jika proses pemahaman ini terus berlangsung dengan baik, maka kelak pada saat ia sudah dewawsa, sang anak tersebut sudah bisa mengetahui tingkah pekerti apa yang seharusnya ia lakukan, dan tingkah pekerti apa saja yang seharusnya orang lain lakukan ketika menerima peranan tertentu....


Similar Free PDFs