SUMBER HUKUM PERBURUHAN PDF

Title SUMBER HUKUM PERBURUHAN
Author Aria Miya
Pages 18
File Size 258.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 371
Total Views 620

Summary

I. SUMBER HUKUM PERBURUHAN Sumber hukum perburuhan memiliki posisi penting karena merupakan acuan para pihak jika mereka menghadapi suatu perselisihan. Oleh karena itu, sumber hukum perburuhan bernilai yang sangat strategis dalam hubungan kerja. Apabila dilihat dari jenisnya, ada dua macam/jenis sum...


Description

I.

SUMBER HUKUM PERBURUHAN Sumber hukum perburuhan memiliki posisi penting karena merupakan acuan para pihak jika mereka menghadapi suatu perselisihan. Oleh karena itu, sumber hukum perburuhan bernilai yang sangat strategis dalam hubungan kerja. Apabila dilihat dari jenisnya, ada dua macam/jenis sumber hukum dalam hukum perburuhan, yaitu1: 1) Kaidah Otonom dapat didefinisikan sebagai ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kerja berdasarkan pada kehendak bebeas yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. 2) Kaidah Heteronom dapat didefinisikan sebagai ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh pihak ketiga (pemerintah/negara) di luar para pihak yang terkait dalam hubungan kerja. Secara umum sumber-sumber hukum perburuhan ada beberapa, yaitu:

A. UNDANG-UNDANG Peraturan perundang-undangan yang ada, dari zaman Hindia-Belanda sampai Era Reformasi sekarang ini sebenarnya sudah menyiapkan perangkat hukum yang mengatur mengenai kemungkinan menuju kehidupan ketenagakerjaan yang serasi dan seimbang, yaitu2: 1.

Undang-undang pada zaman Hindia-Belanda (Pra Kemerdekaan) 1) Peraturan tentang pendaftaran budak (1819); 2) Peraturan tentang pajak atas kepemilikan budak (1820); 3) Peraturan tentang larangan mengangkut budak yang masih anak-anak (1892); 4) Pada tahun 1954, perbudukan dinyatakan dilarang; 5) Regeringsreglement Pasal 115 sampai dengan Pasal 117 yang kemudian menjadi Pasal 169 sampai dengan Pasal 171 Indische Staatsregeling dengan tegas menetapkan vahwa paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia (Hindia-Belanda) harus dihapuskan.

Aloysius Umiyono dkk, Asas-Asas Hukum Perburuhan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 20-23. Ikhwan Fahrojih, Hukum Perburuhan: Konsepsi, Sejarah, dan Jaminan Konstitusional, Setara Press, Malang 2016, hlm. 25-26. 1 2

6) Peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak dan wanita di waktu malam (staatblad 1925 nomor 60); 7) Peraturan tentang ganti kerugian bagi buruh yang mendapat kecelakaan (Ongevallen Regeling tahun 1939); 8) Peraturan tentang ganti kerugian bagi pelaut yang mendapat kecelakaan (Schpen Ongevallenregelin tahun 1940); 9) Peraturan

yang

membatasi

Vreemdelingenarbeid Staatsblad

buruh

asing

(Crisis

Ordonantie

tahun 1935 nomor 426 juncto Staatsblad

tahun 1940 nomor 573); dan 10) Peraturan mengenai pengawasan khusus terhadap hubungan-hubungan hukum

antara

majikan

dengan

buruh

(hubungan

kerja),

yaitu

Bijzondertoezidlt op de rechtverhoudingan tussenwergevers en aebeiders Staatsblad tahun 140 nomor 569, yang berlaku surut mulai 10 Mei 1940. 2. Undang-Undang Setelah Kemerdekaan  Era Pasca Kemerdekaan Berikut adalah beberapa undang-undang ketenagakerjaan dimasa pemerintah Soekarrno, 1945 sampai dengan 1966 : 1) Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja; 2) Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan; 3) Undang-Undang No. 22 Tahun1957 tentang Perselisihan Hubungan Industrial; dan 4) Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta.  Era Pra Reformasi Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun dan diundangkan sepanjang era ini yaitu : 1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tantang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja; 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; 3) Undang-Undang No. 2 Tahun 1971 tentang Kecelakaan Kerja; dan 4) Undang-Undang

No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja (jamsostek).

 Era Reformasi Berikut adalah sejumlah tonggak dalam sejarah ketenagakerjaan di Indonesia dalam era ini, yaitu : a) Pemerintah BJ. Habibie (1998-1999) 1) Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998, yang mengesahkan Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 2) Meratifikasi Konvensi ILO No. 138 tahun 1937 tentang Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang memberi perlindungan terhadap hak asasi anak dengan yang memberi perlindungan terhadap hak asasi anak dengan membuat batasan usia untuk diperbolehkan bekerja melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 1999. 3) Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia Tahun 1998-2003 yang salah satunya diwujudkan dengan mengundangkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. b) Pemerintah Abdurrahman Wahid (1999-2001) 1) Dilihat dari peraturan ketenagakerjaan yang dihasilkan, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid dinilai memperbaiki iklim demokrasi. Ini juga tercermin disektor ketenagakerjaan yang di zamannya dikeluarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. c) Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004) 1) Peraturan ketenagakerjaan yang dihasilkan sangat fundamental yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menggantikan sebanyak 15 peraturan ketenagakerjaan, sehingga undang-undang ini merupakan payung bagi peraturan lainnya. 2) Undang-Undang yang juga sangat mendasar lainnya adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang disahkan pada 14 januari 2004 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.

3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. d) Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) 1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang efektif di berlakukan sejak 14 januari 2006; 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 185 mengenai Dokumen Identitas Pelaut Tahun 1958; 3) Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian; dan 4) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. 3 B. PERATURAN LAIN Peraturan lain yang dimaksud di sini adalah peraturan-peraturan yang lebih rendah kedudukannya dengan undang-undang. Peraturan tersebut adalah sebagai berikut4: 1) Peraturan Pemerintah, peraturan ini ditetapkanvoleh presiden untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan undang-undang (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). Misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1950 tentang waktu kerja dan waktu istirahat, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang istirahat tahunan bagi buruh/pekerja, Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1977 tentang asuransi sosial tenaga kerja. Pada zaman pemerintahan Hindia belanda yang kedudukannya setingkat dengan peraturan pemerintah adalah Regeerings-verodening yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal. 2) Keputusan Presiden, merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus atau mengatur hal tertentu saja. Misalnya, keputusan presiden tentang pengangkatan ketua Gita F. Lingga dan Tauvik Muhamad, Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta, 2011, hlm.13-23. 4 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 34. 3

dan anggota panitia penyelesaian perselisihan perburuhan. Pada zaman pemerintahan

Hindia

Belanda

keputusan

presiden

ini

disebut

Regeringaluit. 3) Peraturan atau keputusan instansi lain. Dalam bidang perburuhan suatu instansi atau pejabat tertentu diberi kekuasaan membuat peraturan atau keputusan tertentu yang berlaku bagi umum. Misalnya menurut Pasal 4 Arbeidsr-regeling-nijver-heids-bdrijven diperusahaan

perindustrian)

(peraturan

menetapkan

bahwa

perburuhan kepala

instansi

perburuhan berhak mengadakan peraturan tentang pengurusan buku yang harus dikerjakan oleh pihak majikan. C. KEBIASAAN Kebiasaan (Customary Law) dapat didefinisikan sebagai kebiasaan atau perilaku yang terus-menerus dilakukan dan berulang-ulang yang lama menjadi hukum dimana para pihak terikat untuk melaksanakannya. Satu kali dilakukan dan dijadikan dasar pemberian hak kepada buruh,akan dijadikan acuan untuk selanjutnya, kecuali ada alasan-alasan yang dapat diajukan untuk tidak melaksanakannya asalkan dibuat perjanjian/persetujuan dari pihak buruh/pekerja. Misalnya: Pemberian bonus diakhir tahun5. Menurut ajaran Jellinek bahwa perbuatan yang diulang akhirnya memunyai kekuatan normative (die normatieve karft des factischen).

Kebiasaan tidak lain

adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang, perbuatan yang dianggap sebagai patut dilakukan, seyogyanya dilakukan. Kebiasaan ini kemudian memunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat6. Paham yang menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum hanyalah undang-undang sudah ditinggalkan sebab kenyataannya tidak mungkin mengatur kehidupan bermasyarakat yang begitu kompleks dalam suatu undang-undang. Disamping itu, undang-undang yang brsifat statis itu mengikuti perubahan kehidupan masyarakat yang begitu cepat.

5 6

Aloysius Umiyono dkk, Op. Cit., hlm. 23. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm. 93.

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan diterima

oleh

masyarakat.

Berkembangnya

hukum

kebiasaan

dalam

ketenagakerjaan disebabkan oleh beberapa hal7 : 1.

Perkembangan

masalah-masalah

perburuhan

jauh

lebih

cepat

dari

perundang-undangan yang ada. 2.

Banyak peraturan yang dibuat zaman Hindia Belanda yang tidak sesuai lagi dengan keadaan ketenagakerjaan setelah Indonesia merdeka.

D. YURISPRUDENSI Sudikno (1986:89) mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya (judicature rechtpraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu negara, serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Yurisprudensi juga dapat berarti putusan pengadilan8. Putusan adalah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang menangani sengketa perburuhan, yaitu: (1) Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah Pusat); (2) Putusan P4D Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah). Panitia penyelesaian perburuhan, sebagai suatu compulsory arbitration (arbitase wajib), mempunyai peranan penting dalam pembentukan hukum ketenagakerjaan karena peraturan yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Panitia ini tidak jarang melakukan interprestasi (penafsiran) hukum atau bahkan melakukan rechvinding (menemukan) hukum9. Salah satu contoh putusannya adalah putusan kasus terkait penegakan hak buruh dalam kasus kepailitan. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Berburuhan Pusat (P4P) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 dalam amar III dari Putusan P4P antara lain memutuskan mewajibkan kepada Pengusaha PT. DI (Persero) memberikan kompensasi pensiun dengan mendasarkan besarnya upah 7 8 9

R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 77. Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 99. R. Joni Bambang, Loc. Cit.

pekerja terakhir dan Jaminan Hari Tua sesuai UU NO. 3 Tahun 1992 tentang Ketenagakerjaan10. E.

PERJANJIAN Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang berjanji untuk melaksanakan sesuatu dan bersifat mengikat semua pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam masalah perburuhan adalah perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja. Imam soepomo menegaskan bahwa perjanjian perburuhan mempunyai

kekuatan

hukum

seperti

undang-undang

(Imam

Soepomo,

1972:42)12. Hingga saat ini indonesia belum pernah mengadakan perjanjian dengan negara lain yang berkaitan dengan perburuhan (Setikno,1977:24). Meskipun demikian, dalam hukum internasional ada suata pranata seperti traktat, yaitu convention.

Pada hakikatnya

convention

merupakan

rencana

perjanjian

internasional di bidang perburuhan yang di tetapkan oleh konferensi internasional ILO (International Labour Organization) (Setikno,1977:10). Sebagai anggota ILO, indonesia tidak secara otomatis terikat oleh konferensi tersebut. Untuk mengikat, convention harus diratifikasi terlebih dahulu. Beberapa convention yang telah diratifikasi oleh indonesia adalah sebagai berikut13: 1) Convention No.98 tentang berlakunya dasar-dasar hak untuk berorganisasi dan untuk berunding, yakni dalam UU No. 18 Tahun 1956 2) Convention No.100 tentang pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yakni dalam UU No. 80 Tahun 1957 3) Convention No.120 tentang higiene dalam perniagaan dan kantor-kantor, yakni dalam UU No. 3 Tahun 1969. F.

TRAKTAT Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih disebut perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional atau traktat. Khusus dalam bidang ketenagakerjaan perjanjian dengan negara lain belum pernah diadakan (kecuali

10 12 13

Agusmidah dkk, Bab-bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, hlm. 146. R. Joni Bambang, Op. Cit., hlm. 78. Ibid.

dalam konferensi meja bundar tentang bantuan tenaga kerja sipil) yang banyak kita jumpai adalah ketentuan internasional hasil dari konferensi ILO ( international labour organization )yang dikenal dengan istilah “Convention”. Ketentuan-ketentuan ini pun agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh negara peserta. Misalnya, Convention nomor 100 tentang pengupahan yang sama antara buruh pria dan wanita mengenai jenis pekerjaan yang sama (Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 Lembaran Negara 1957, nomor 71)14.

II.PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN A. TEMPAT HUKUM PERBURUHAN DALAM TATA HUKUM INDONESIA. Satu ciri khusus Hukum Perburuhan ialah bahwa cabang ini merupakan percabangan hukum yang sangat fungsional (functional field of law) yang mengkombinasikan semua percabangan hukum lainnya berkenaan dengan tema khusus bekerja di bawah majikan (subordinated labour). Sifat dasar hukum perburuhan ini tidak mudah untuk diklasifikasikan mengikuti pembagian tradisional percabangan sistem hukum15. Pada asalnya hukum perburuhan bersifat hubungan perdata antara buruh dan pengusaha, namun karena tidak adanya kesetaraan hubungan antara buruh dan pengusaha, dikarenakan secara natural kedudukan pengusaha lebih berkuasa daripada buruh dan buruh menggantungkan kesejahteraan diri dan keluarganya kepada pengusaha, maka pola hubungan tersebut sangat potensial terjadi eksploitasi, karena itu negara hadir melalui peraturan perundang-undangan maupun penegakan hukum untuk mencegah dengan memberikan jaminan perlindungan dan penegakan hak-hak buruh secara adil, karena itu hukum perburuhan tidak hanya bersifat hukum privat/perdata namun juga mengandung unsur hukum publik 16. Hukum publik yang terkandung dalam upaya perlindungan buruh ada yang masuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara atau Tata Usaha Negara, misalnya mekanisme perijinan, penetapan upah minimum, pengesahan peraturan 14 15 16

Ibid., hlm. 36. Agusmidah dkk, Op. Cit., hlm. 7-8. Ikhwan Fahrojih, Op. Cit., hlm. 3.

perusahaan, pendaftaran perjanjian kerja bersama dan sebagainya. Adapula yang menyangkut hukum pidana yaitu yang terkait dengan pelanggaran terhadap ancaman pidana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum perburuhan adalah disiplin ilmu tersendiri yang mengandung unsur privat dan hukum pubulik sekaligus 17. B. SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN Menurut Pasal 1233 BW ‘’Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang.’’ Pasal ini seharusnya menerangkan tentang pengertian perikatan karena merupakan awal dari ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan. Namun, kenyataannya pasal ini hanya menerangkan tentang dua sumber lahirnya perikatan, yaitu18: a.

Perjanjian, sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis.

b.

Sumber perikatan yang berupa undang-undang selanjutnya dapat dilihat dalam Pasal 1352, yakni dapat dibagi atas:

a)

Undang-undang saja

b) Undang-undang karena adanya perbuatan manusia. Berdasarkan Pasal 1353 juga dapat dibagi atas dua, yaitu perbuatan manusia yang sesuai hukum/halal dan perbuatan manusia yang melanggar hukum. Dalam menentukan sumber-sumber perikatan undang-undang tidak mencakup seluruh sumber perikatan. Selain persetujuan (perjanjian) dan undang-undang masih terdapat fakta-fakta hukum lainnya yang dapat menimbulkan perikatan. Apabila seseorang dalam surat wasiat membuat suatu legaat, maka pada waktu orang itu meninggal timbul suatu perikatan antara para ahliwaris dengan legataris di mana yang pertama berkewajiban dan yang kedua berhak. Perikatan yang timbul dari putusan hakim, di mana hakim membenarkan pengakuan penggugat yang tanpa hak atas suatu tuntutan, dan kewajiban untuk membuat perhitungan dalam hal memperkaya diri dengan tidak beralasan19.

Ibid. Ahmadi Miru, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 3-4. 19 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1987, hlm. 14. 17 18

C. KOMPONEN HUBUNGAN PERBURUHAN Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hubungan kerja timbul dari pekerjaan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu yang tidak tertentu. Hubungan kerja disebut juga hubungan perburuhan atau hubungan industrial. Ada beberapa istilah mengenai hubungan kerja ini20: 1)

Labour Relations

2)

Labour Management Relations

3)

Industrial Relation Pada tahun 1974, dikenal dengan dengan istilah Hubungan Perburuhan

Pancasila, namun dalam pelaksanaannya, istilah ini tidak populer, sehingga digunakan istilah industrial, yang mengedepankan fungsi para pihak dalam hubungan industrial guna mencapai cita-cita negara. Sarana dibutuhkan untuk terciptanya hubungan industrial yang ideal di Indonesia, yaitu21: 1) Serikat Pekerja/Serikat Buruh, merupakan organisasi yang dibentuk dari, dan oleh pekerja/buruh. Organisasi ini berguna untuk memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh. Dasar pembentukan Serikat Pekerja terdapat dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 2) Organisasi Pengusaha, diperlukan dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang diharapkan adalah organisasi pengusaha yang peduli akan kondisi pekerja. 3) Lembaga Kerja Sama Bipartit, merupakan forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan. 4) Lembaga Kerja Sama Tripartit, merupakan forum komunikasi konsultasi dan musyawarah, yang terdiri dari unsur serikat pekerja/serikat buruh , organisasi pengusaha dan pemerintah.

Aries Harianto, Hukum Ketenagakerjaan: Makna Kesusilaan dalam Perjanjian Kerja, Lakbang Pressindo, Yogyakrta, 2016, hlm. 194. 21 Aloysius Umiyono dkk, Op. Cit., hlm. 63-71. 20

5) Peraturan Perusahaan, yaitu ketentuan yang diadakan oleh pihak pengusaha dalam kaitan dengan hubungan kerja. Dibuat secara tert...


Similar Free PDFs