Tafsir Sunda Rawdhhat al-Irfan karya KH. Ahmad Sanoesi PDF

Title Tafsir Sunda Rawdhhat al-Irfan karya KH. Ahmad Sanoesi
Author F. (Fakhroyy)
Pages 10
File Size 948 KB
File Type PDF
Total Downloads 25
Total Views 274

Summary

PAPER TAFSIR SUNDA Analisis Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân Karya KH. Ahmad Sanusi Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Sunda yang diampu oleh : Dr. Izzah Faizah Siti Rusydati Khaerani, M.Ag Disusun Oleh : Dodi Insan Kamil 1171030056 Eneng Nurlatifah 1171030061 Husni Azhari...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Tafsir Sunda Rawdhhat al-Irfan karya KH. Ahmad Sanoesi Fakhri Putra Tanoto (Fakhroyy)

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

RAUDHAT UL 'IRFAN FI MA'ARIFAT I AL-QUR'AN: Mahakarya Tafsir Sunda KH Ahmad Sanusi Oleh… Salim Rosyadi Sejarah Perkembangan Tafsir di Sunda Fakhri Put ra Tanot o (Fakhroyy) POLEMIK KEAGAMAAN DALAM TAFSIR MALJA' AT ̣- T ̣ĀLIB N KARYA K.H. AHMAD SANUSI Jajang A Rohmana

PAPER TAFSIR SUNDA Analisis Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân Karya KH. Ahmad Sanusi Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Sunda yang diampu oleh : Dr. Izzah Faizah Siti Rusydati Khaerani, M.Ag

Disusun Oleh : Dodi Insan Kamil

1171030056

Eneng Nurlatifah

1171030061

Husni Azhari

1171030087

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2020

Analisis Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân Karya KH. Ahmad Sanusi A. Pendahuluan Sejarah kajian Al-Qur’an di Indonesia yaitu diawali hadirnya Islam datang dan masuk kedalam masyarakat Indonesia, yang dibawa oleh ulama-ulama dari luar. Pengajaran AlQur’an di Nusantara, dimulai sejak pertama Islam masuk ke Aceh tahun 1290 M. Pada waktu itu bermunculah ulama-ulama yang membangun surau-surau atau mesjid. Perkembangan tafsir juga memasuki daerah Priangan Timur yang disebut tatar Sunda, di antaranya karya KH Ahmad Makki, Muhammad Romli, Moh. Emon Hasyim, KH Ahmad Sanusi (1888-1950) dan lain-lain. KH Ahmad Sanusi (1888-1950) adalah sekian dari beberapa mufasir Sunda yang memiliki beberapa karya keagamaan, salah satunya tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân, Malja Al-Thâlibîn fî Tafsîri Kalâmi Rabb alÂlamîn, Tamsiyyatu al-Muslimîn fî Tafsîri Kalâmi Rabb al-Âlamîn dan sebagainya.1 Pada awal abad 19, Ahmad Sanusi (W.1950 M) ulama yang produktif menghasilkan karya di Nusantara. Gunseikanbu mencatat tidak kurang dari 101 karyanya. Bahkan Manshur mengatakan karyanya berjumlah 480 buah. Tampaknya, ia juga bisa dianggap sebagai ulama paling produktif menulis tafsir pada masanya karena terdapat tujuh tafsir yang dianggap sebagai karyanya. Namun, terjemah lengkap yang dihasilkannya hanya satu, yaitu Rawdhat al-'Irfan fi Ma'rifat al-Qur'an. Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân karya KH. Ahmad Sanusi bin Abdurrahman dari Sukabumi, Jawa Barat merupakan Salah satu karya tafsir yang dikenal di masyarakat Nusantara. Beliau adalah salah satu dari tiga ulama Nusantara (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab asli Nusantara yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat dan ulama plus penyair ‘Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karyakarya penting tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan alGhazali. Martin Van Bruinessen, peneliti pesantren asal Belanda, menyebut ketiganya sebagai penulis karya orisinil dan bukan pen-syarah atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX.

1

Pangrodjong Nahdatul Oelama, Tasikmalaja Jurnal Al-Mawaidz, No. 41 13 Oktober 1936

Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 1630. mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Nusantara, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat Nusantara umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya. Keterangan yang ada di bagian kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), jumlah ayat, serta huruf-hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan masalah fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua madzhab dalam Islam itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim di wilayah Jawa Barat. Dari sini terlihat bagaimana KH. Ahmad Sanusi mempunyai strategi tersendiri dalam menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham masyarakat pada umumnya.2 B. Pembahasan 1. Biografi KH. Ahmad Sanusi KH. Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 03 Muharram 1036 H (18 September 1889) di Kampung Cantayan, Desa Cantayan, KecamatanCikembar Cibadak, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.3 Dan meninggal pada tanggal 15 Syawal 1369 H (1950) di usia 64 tahun. Ahmad Sanusi adalah putra ketiga dari KH. Abdurrahim bin H. Yasin keturunan dari Syekh Abdul Muhyi penyebaran Islam di daerah Tasikmalaya.4 Sebagai seorang putra kyai membuat Ahmad Sanusi menjadi perhatian banyak orang, baik santri maupun dari masyarakat sekitar pesantren. meskipun seperti itu Ahmad Sanusi tetaplah menjadi seorang anak biasa, seperti anak-anak lainnya. Ketika usia 7 sampai 10 tahun, ia sering mengikuti temannya mengembala kambing kerbau

2

Al-Tsaqafa: Jurnal Peradaban Islam. Tafsir Qur'an Berbahasa Nusantara (Studi Historis terhadap Tafsir Berbahasa Sunda, Jawa dan Aceh) 3 Augustinus Subekti, Ensiklopedia Jawa Barat 2, (Jakarta: Lentera Abadi , 2011), 42 4 Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan KH. Ahmad Sanusi, (Sukabumi: Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2009), 11

atau kuda yang dipergunakan untuk delman atau sado.5 Ayahnya mengajarkan pendidikan agama langsung kepada Ahmad Sanusi. Ketika ia menginjak dewasa ayahnya memintanya untuk menempuh pendidikan di luar pesantren cantayan. Ia melanjutkan pendidikannya ke beberapa pondok pesantren di Jawa Barat seperti Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya yang diselesaikan dalam tempo singkat selama empat setengah tahun, sebelum menikah dan menunaikan Ibadah Haji pada tahun 1910. Hal demikian agar Ahmad Sanusi dapat memperdalam pendidikan agama, juga untuk menambah pengalaman serta memperluas pergaulan dengan masyarakat. Setelah merasa cukup dalam menimba ilmu di tanah air, kemudian pada tahun 1910 ia beserta istrinya berangkat ke Mekkah untuk menjalankan ibadah Haji dan selama lima tahun berada di Mekkah ia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Salih Bafadil, Syaikh Ali Maliki, al-Tayyibi dan kepada ulama yang umumnya bermadzhab Syafi’iyyah.6 Selama di Mekkah ia berkenalan dengan tokoh pergerakan Indonesia yaitu KH. Abdul Halim sebagai tokoh pendiri PUI Majalengka, dan Raden Haji Abdul Muluk sebagai tokoh SI.7 Selama lima tahun bermukin di Mekkah, Ahmad Sanusi memanfaatkan waktu sebaik maungkin untuk mendalami, mengkaji, dan memahami berbagai disiplin ilmu tentang keislaman, hingga berkembang di kalangan para ulama Sukabumi, dengan kepandaian ilmu yang ia miliki dari para Syaikh di Mekkah, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menjadi imam shalat di Masjidil Haram. Bahkan salah seorang Syeikh mengatakan, “Jika ada orang Sukabumi yang ingin memperdalam ilmu keagamaannya, tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke Mekkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang ilmunya telah cukup untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikuti”.8 Setelah bermukim di Mekkah, selain belajar dan memperdalam ilmu agama, Ahmad Sanusi mulai berkecimpung dalam dunia politik. Diawali perjumpaannya dengan tokoh Serikat Islam (SI) di Mekkah yang bernama Abdul Muluk. Sehingga disana pun ia

5

Mohammad Iskandar Kyai Ahmad Sanusi: Biografi Singkat Guru dan Pejuang Pedesaan, (Depok: Fakultas Sastra UI, 1991), 4 6 Saifuddin, Haji Ahmad Sanusi: Ulama dan Pejuang, Al-Qalan, 1995, 26 7 Sulasman, Kyai Haji Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen, Sejarah Lontar, (Juli, 2008), 5 8 Sulasman, KH. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen, (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007), 25

bergaul

dan

bertukar

informasi

dengan

tokoh-tokoh

pergerakan

sehingga

mempengaruhi pada pola pemikirannya. Peran politik yang KH. Ahmad Sanusi dimulai sejak dirinya menyatakan tertarik dan secara praktis ikut dalam keanggotaan Sarekat Islam (SI), dan setalah itu ia mempelajari AD/ART-SI saat ditemui oleh ketua SI Regional Sukabumi Haji Sirod, sepulangnya ia dari kota Mekkah. Disamping itu juga pada tahun 1915 ia terlibat dalam kegiatan politik dengan menjadi anggota Serikat Islam cabang Sukabumi dan pendiri organisasi AII (Al-Ittihad al-Islamiyyah) yang dibubarkan oleh Jepang kemudian berdiri kembali dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII) yang sekarang menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).9 Pada aspek politik, KH. Ahmad Sanusi hidup pada situasi negara dalam tekanan penjajah Belanda dan Jepang, kondisi itu memaksa dirinya utuk segera mengambil peran dalam merintis kemerdekaan Indonesia yang dilakukan sejak tahun 1920 sampai dengan wafatnya di tahun 1950, dengan spirit jiwa patriotism yang tidak pernah padam. Kondisi politik yang di bangun oleh penjajah Belanda dan Jepang yang acap kalitidak berpihak pada kepentingan rakyat, karenanya ia menerima jabatan sebagai anggota BPUPKI

dan pengurus AII/PUII, bersama KH. Wahid Hasyim sebagai ikhtiar

perjuangan melawan penjajah. KH. Ahmad Sanusi aktif memberikan pandangan politiknya, sehingga ia pun dikatakan memiliki peran aktif dalam politik perjuangan, yang merupakan cerminan dari sikap nasionalismenya.10 Setelah belajar di Mekkah ia kembali ke pesantren Cantayan pada tahun 1915 untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Dan setelah ia mengabdi di pesantren Canyatan. Pada tahun 1921 ayahnya KH. Abdurrahim mendorongnya untuk mendirikan pesantren di kampung Cantayan, yang diberi nama Pesantren Babakan Sirna Sukabumi. Di pesantren itu ia menjadi seorang Kyai yang produktif dalam menulis, beragam disiplin keilmuan Islam, mulai dari masalah fiqih, tauhid, tasawuf, juga tafsir al-Qur’an yang pernah ditulisnya. Adapun beberapa karya yang dimiliki Ahmad Sanusi yaitu Tahdir al-Awam min Mardiyyah fi Mukhtasir al-Furu’ al-Shafi’I, al Lu’Lu al-Nadid, Malja’ al-Talibin, Raudat al-Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an, Tamshiat al-Muslimin, Tafsir Surah Yasin dan Siraj al-Azkiyya.

9

Yayan Suryana, Dialektika Modernis dan Tradisionalis, Al-Qanun, (Juni, 2018), 50 H. Istikhori, KH. Ahmad Sanusi: Biografi Ulama Hadist Keturunan Nabi saw Asal Sukabumi, Jurnal Refleksi Vol. 18, 2009, 37 10

Ahmad Sanusi wafat pada tahun 1950 di usia 63 tahun di Pesantren Gunung Puyuh, beliau mendapatkan penghargaan sebagai perintis kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Soeharto, Bintang Maha Putra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 November 2009. 11 Namanya diabadikan oleh Pemerintah Kota Sukabumi menjadi salah satu nama Terminal dan jalan di kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan cigunung sampai dengan Degung dengan jalan yang dinamai jalan KH. Ahmad Sanusi. 2. Sistematika Penulisan Tafsir Rawdat al-Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an Tidak diketahui secara pasti kapan tafsir Rawdat al-‘Irfan ini ditulis, akan tetapi menurut Maman Abdurrahman, tafsir ini ditulis oleh KH. Ahmad Sanusi pada tahun 1935, dibantu oleh kedua muridnya yaitu Ajengan Misbah dan Ajengan Kosasih, pada saat itu beliau baru kembali dari pengasingan di Batavia Centrun kurang lebih 7 (tujuh) tahun sebagai tahanan politik oleh kolonial Belanda.12 Pada awalnya Tafsir Rawdat al-‘Irfan ini ditulis oleh Ahmad Sanusi per juz, kemudian diterbitkan. Namun baru sampai juz ke-16 penulisan tafsir tersebut terhenti dengan meninggalnya beliau menghadap Sang Khaliq. Sedangkan juz ke-29 dan juz ke-30 telah selesai ditulisnya juga lebih awal diterbitkan, mengingat banyaknya permintaan dari para kyai setempat untuk segera menerbitkan juz terakhir ini. Setelah beliau wafat yakni pada tahun 1950 M. penulisan tafsir Rawdat al-‘Irfan pun terhenti. Kemudian dilanjutkan kembali penulisannya pada taun 1982 M oleh putra beliau, yaitu pertama oleh Ahmad Zarkasih, ia menulis mulai juz ke-16 sampai juz ke18, dan juz ke-26 sampai juz ke-29. Lalu kedua oleh Badri Sanusi, ia menulis mulai juz ke-19 sampai juz ke-25 yang dibatu oleh sekretarisnya yaitu Maman Abdurrahman.13 Penulisan dan juga penyusunan tafsir ini selesai genap 30 juz pada tahun 1987, kurang lebih menghabiskan waktu 5 tahun, dengan total 1255 halaman termasuk do’a penutup sebanyak 5 halaman lebih yang terbagi dua jilid. Jilid yang pertama, mulai dari juz ke-1 sampai juz ke-15, yakni mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan pertengahan 11 Munandi Shaleh , Kyai Ahmad Sanusi dan Karyanya: Khasanan Literasi Ilmu Ajaran Islam di Nusantara, (Tangerang: Jelajah Nusa, 2017), 5 12 Abdullah al-Mahdi, Skripsi “Rawdhat al-Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an”, (UIN Syarifhidayatullah, 2007), 30 13 Al-Mahdi, Rawdat al-Irfan, 31

surat al-Kahfi, sedangkan jilid yang kedua, mulai dari juz ke-16 sampai dengan juz ke30, yakni dari pertengahan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas. Pada tahun yang sama pula tafsir ini dicetak secara lengkap 30 juz untuk pertama kalinya dipercetakan Orba Sakti, Jalan Pandu Bandung Jawa Barat sampai tahun 1990an. Kemudian pada tahun 2000 hingga sekarang, pindah ke percetakan C.V. Lestari Grafika, Sukabumi dan dicetak dibawah tanggung jawab Yayasan Asrama Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi.14 Hingga saat ini pun tafsir Rawdat al-‘Irfan masih mengalami cetak ulang kurang lebih sebanyak 12 kali. Dan menurut Maman Abdurrahman, tafsir ini disebar setiap dua tahun sekali ke berbagai daerah di Jawa Barat. 3. Sumber Tafsir Tafsir Rawdat al-Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an dapat digolongkan kepada tafsir bi alra’yi, yakni tafsir ayat-ayat al-Quran yang berasal dari upaya seorang mufassir dalam mencurahkan pemikirannya untuk menafsirkan. Seperti yang dikemukakan oleh alDzahabi, bahwa tafsir bil al-ra’yi merupakan istilah bagi penafsiran al-Qur’an dengan cara ijtihad setelah mufassir tersebut mengetahui seluk beluk bahasa Arab, serta mengetahui lafal-lafal Arab dan bentuk-bentuk dalilnya, juga mengetahui semua persyaratan yang dibutuhkan oleh seorang yang menafsirkan al-Qur’an. 15 4. Corak Penafsiran Dapat kita cermati secara seksama corak penafsiran yang digunakan oleh Ahmad Sanusi dalam tafsir Rawdat al -‘Irfan Fi Ma’rifat al- Qur’an ini bersifat umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak didominasi oleh suatu warna tertentu, semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa pesan khusus, seperti aqidah, fiqih, dan tasawuf. Tetapi menjelaskan ayat-ayat yang dibutuhkan secara umum dan proporsional, misalnya ayat-ayat tentang hukum fiqih dijelaskan jika terjadi kasuskasus fiqhiyyah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. 5. Kecenderungan Mufasir

14 15

Al-Mahdi, Rawdat al-Irfan, 31 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol. 1, (Kairo, Dar al-Hadist, 2005), 221

Pada umumnya mufassir selalu memperlihatkan kecenderungan pemikirannya pada setiap karya, namun pada kitab tafsir ini K.H. Ahmad Sanusi tidak memperlihatkan kecenderungannya, ia menafsirkan ayat secara umum sehingga sulit untuk menemukan kecendrungan pemikirannya dalam tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân ini. Hal ini dapat kita lihat Ketika K.H Ahmad Sanusi menjel askan surat Al-Fatihah : “Hukumna maca bismillah ceuk mazhab Syafi‟I, Hambali wajib. Ceuk mazhab Hanfi, Maliki henteu wajib. Maca fatihah ceuk mazhab Syafi‟I, Maliki, Hambali eta wajib dina sholat, ceuk Hanafi meunang maca ayat sejen.”16 Namun kecenderungan K.H Ahmad Sanusi dapat kita jumpai dengan jelas pada kitab tafsir beliau yaitu : Malja’ Al-Thalibin Fi Tafsir Kalam Rabb Al-‘Alamin, dalam karya beliau yang satu ini, kita dapat mengetahui bahwa aliran fiqh beliau menganut madzhab Syafi’i. 6. Ciri Khas Penafsiran a. Penjelasana Struktur Surat Setiap awal surat atau sebelum K.H memulai pembahasan suatu surat, beliau selalu menjelaskan mengenai, struktur surat (terdiri dari berapa jumlah ayat, kalimat, dan huruf) b. Pembahasan Tafsir Pembahasan ayat dalam tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân menggunakan penguraian perkata dan penjelasan disampingnya. C. Kesimpulan Dilihat dari beberapa penelitian terdahulu tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân dengan menggunakan metode library research menghasilkan beberapa kesimpulan diantaranya, penafsiran tafsir ini menggunakan metode ijmali dan sumber penfasiran yang digunakan oleh oleh K.H Ahmad Sanusi dalam menafsirkan kitab tafsir ini didominasi oleh akal (Ra'yun).

Ahmad Sanusi, Rawdat al-Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an, (Sukabumi: Yayasan Asrama Pesantren Gunung Puyuh), 2

16

K.H Ahmad Sanusi ialah ulama yang berasal dari Sukabumi Jawa Barat, beliau lahir di desa Cantayan, Cibadak Sukabumi pada tanggal 3 Muharam 1306 H./18 September 1888, beliau merupakan penulis kitab Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân. Kitab Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân sebenernya tidak sepenuhnya di tulis oleh beliau, sebab ketika beliau sudah menyelesaikan Juz 18, beliau sudah di panggil oleh Allah SWT. Kepenulisan tafsir ini berhenti pada tahun 1950 dan kepenulisannya dilanjutkan oleh para putera beliau pada tahun 1982. Tafsir Raudhatul ‘Irfân fĩ Ma’rifāti Al-Qur’ân digolongan kedalam tafsir bi al-Ra’yi dan juga tafsir ini tidak memiliki corak tertentu, dalam kitab tafsir ini Ahmad Sanusi tidak memunculkan kecendrungan pemikirannya, beliau menafsirkan ayat secara umum....


Similar Free PDFs