Tahta untuk Rakyat.pdf PDF

Title Tahta untuk Rakyat.pdf
Author Maman Suratman
Pages 64
File Size 9.9 MB
File Type PDF
Total Downloads 233
Total Views 833

Summary

Nusantara majalah dwi bulanan EDISI maret-april 2016 dari untuk indonesia tahta untuk rakyat g a g a s a n p o l i t i k d i n e g e r i b u d aya EDISI mar-apr 2016 |Nusantara | 1 Merekam Zaman dari SudutPandang Jogja SALAMREDAKSI D alam sejarah berdirinya, Majalah Nusantara konsisten hadir dengan ...


Description

EDISI maret-april 2016

Nusantara majalah dwi bulanan

dari

untuk indonesia

tahta untuk rakyat g a g a s a n p o l i t i k d i n e g e r i b u d aya

EDISI mar-apr 2016 |Nusantara |

1

Merekam Zaman dari SudutPandang Jogja

SALAMREDAKSI

D

alam sejarah berdirinya, Majalah Nusantara konsisten hadir dengan perspektif “Dari Jogja untuk Indonesia”. Sejak kepengurusan sebelumnya, Majalah selalu menghadirkan wacana dan pola pikir khas pelajar yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Acapkali merekam segala peristiwa zaman dari sudut pandang kota ‘Jogja’. Begitupun Tim Redaksi Majalah Nusantara yang baru. Di tengah kesibukan rutinitas belajar sebagai mahasiswa, kami mencoba untuk terus melanjutkan apa yang telah dibangun oleh kepengurusan yang lalu. Konsistensi ini kami coba kembangkan dengan muatan ide-ide dari apa yang dikandung dalam falsafah Keistimewaan kota budaya ini. Jika sebelumnya Majalah Nusantara hadir dengan perihal isu-isu kontemporer, kali ini kami coba tambahkan dengan muatan lokal khas Jogja. Setelah di edisi sebelumnya mencoba menelaah kembali deinisi ‘budaya’ yang kental dengan kota Jogja, kali ini tim redaksi Majalah Nusantara ingin menjabarkan makna falsafah Jogja ‘Tahta untuk Rakyat’. Hal ini sebagai wujud pengabdian terhadap ruang kreatiitas yang diberikan kepada Tim Majalah Nusantara dan Seluruh Mahasiswa Daearah yang belajar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Harapannya, Majalah Nusantara menjadi bekal bagi seluruh Mahasiswa Nusantara dalam pembangunan dan menjadi model pengembangan daerahnya. Perlu kiranya mencontoh segala aspek keluhuran yang ada di kota Istimewa ini. Kota yang hampir tak pernah mati dari hiruk-pikuk keramaian, beragam aktiitas silih berganti. Mulai dari aktiitas pasar, sekolah, kampus, kantor, tongkrongan, wisata dan lain sebagainya hadir bergantian saling mengisi. Segala aktiitas ini seolah-olah menjadi cermin bahwa yang bertahta di Jogja adalah rakyat. Tahta untuk Rakyat ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan populis Jogja yang memberikan kenyamanan dan beragam fasilitas di setiap aktiitas yang dapat dijumpai dan dirasakan baik oleh Masyarakatnya maupun para pendatang. Benar kiranya apa yang disampaikan Anis Baswedan ‘setiap sudut Jogja itu romantis’. Semoga saja romantisme Majalah Nusantara dengan para pembacanya terus berjalan seirama dan semakin menumbuhkan semangat berkarya bagi keduanya. Kritik dan saran yang konstruktif terus kami harapkan sebagai bagian dari pengembangan kreatiitas Majalah Nusantara. Tim Redaksi selalu terbuka bagi siapapun yang ingin menuangkan ide dan gagasannya untuk merekam zaman. Menulis adalah bekerja untuk keabdian, karena sepandai apapun, bila ia tidak berkarya (menulis) maka akan hilang ditelan sejarah, begitulah Pramodya Ananta Toer menegaskan. Akhirnya, kami ucapkan banyak terima kasih kepada siapapun ia yang telah berandil besar, langsung ataupun tidak, dalam penerbitan Majalah Nusantara edisi kali ini. Khususnya, kepada Tim Redaksi Majalah Nusantara yang kian konsisten dan solid menata beragam rubrik agar terus hadir di tangan pembaca. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca! Salam Nusantara! Redaksi

TIMREDAKSI Majalah

Nusantara Penerbit: Disdikpora DIY, Jl. Cendana No. 9 Yogyakarta Alamat Redaksi: Jl. Bintaran Tengah No. 10 Kota Yogyakarta [email protected] Redaksi Nusantara menerima tulisan fakta, opini, dan iksi, serta foto. Karya harus original/non-plagiat. Redaksi berhak mengedit tulisan. PENASEHAT Drs. R. Kadarmanta Baskara Aji (Kepala Dinas Dikpora DIY) PENANGGUNGJAWAB Dra. Triana Purnamawati, MM (Kabid Dikmenti Dikpora DIY) Tri Widyatmoko, ST., MT., (Kasi Dikti Dikpora DIY)

2 | Nusantara | EDISI mar-apr 2016

DEWAN REDAKSI Ratih Datrini Yuniarti (Staf Dikmenti Dinas Dikpora DIY) Ben Senang Galus (Staf Dikmenti Dinas Dikpora DIY) Haidz Arif, Syafuandi, Mishbah Silawane, La Ode Idul, Moh. Musyiq, Fathurrahman TIM REDAKSI Pemimpin Redaksi : Moh. Ariyanto Nuruyunan Editor : Maman Suratman Desi Syukriati Reporter : Arief Pradhana Oci T Peka Tariska Cover & Layouter : Muh. Fajrin Dinul Islam

dAfTArISI

LAporAnutAmA

PoPulISmE PolItIK & DEmoKRASI AlA YogYAKARtA MENEGuHKAN TAHTA uNTuK RAKYAT SebAgAI KebIJAKAN PubLIK yANg POPuLIS

10

20

30

AKADEmIA

PolItIK

KEARIfAn loKAl

PeNdIdIKAN dALAM LANSKAP PeMbANguNAN

WAJAH KEBEBASAN (deMOKRASI)

KeARIFAN MANdAR uNTuK NuSANTARA

12

24

32

ESAI

PEnDIDIKAn

gAYA hIDuP

MeNgeMbALIKAN FITRAH KeISTIMewAAN yOgyAKARTA

16 huKum

MeNyOAL KeTeRTINggALAN PeNdIdIKAN INdONeSIA

gAdgeT dAN PeRILAKu ANAK uSIA dINI

28

34

buDAYA

PuStAKA

MeMbINCANg MuLTIKuLTuRALISMe dALAM KeRANgKA KeINdONeSIAAN

PeRCIKAN PeMIKIRAN deMOKRASI dI yOgyAKARTA

ReLASI HARMONIS HuKuM DAN KEKuASAAN

EDISI mar-apr 2016 |Nusantara |

3

editorial

Tahta Untuk Rakyat

D

i edisi yang telah lalu, Majalah Nusantara Edisi Januari – Februari, telah kami suguhkan secara panjang lebar wacana seputar keistimewaan Yogyakarta. Kala itu, keistimewaan kami tempatkan sebagai satu strategi kebudayaan. Arus dan prinsipnya kami suguhkan dengan menyertakan banyak nilai yang senantiasa menjadi nafas gerak penyemaian gagagasan-gagasan publiknya bagi kehidupan rakyat. Dan di edisi kali ini, nafas dari keistimewaan kembali akan kami suguhkan. Bukan dalam arti hendak melakukan pengulangan atasnya, melainkan lebih sebagai penegasan kembali nafas keistimewaan yang terejawantah sebagai sebuah falsafah hidup masyarakat Yogyakarta. Dan dari sinilah akan nampak bahwa Yogyakarta ternyata punya wajah demokratis yang itu sangat tercermin—meski berbeda secara praktik dari konsep demokrasi secara umum—dari konsep “Tahta untuk Rakyat” besutan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. “Tahta untuk rakyat” adalah istilah di mana kekuasaan itu dipercaya; ketika kekuasaan itu tumbuh dari rasa cinta rakyat pada pemimpinnya lantaran ia senantiasa hadir dalam persoalan-persoalan kehidupan mereka. “Tahta untuk rakyat” adalah konsep hubungan antara pemimpin dan rakyatnya—manuggaling kawula gusti. Sebagai sebuah ilsafat kenegaraan, “tahta untuk rakyat” adalah peristilahan lain dari konsep atau sistem demokrasi. Konsep atau sistem ini bertitik tekan pada kebijakan publik. Sejauh kebijakan diperuntukkan dari rakyat, oleh dan untuk rakyat, sejauh itu pula konsep demokrasi, dalam hal ini “tahta untuk rakyat”, tersemai sebagaimana seharusnya. Mengapa ini penting? Di edisi perdana sebelumnya, Majalah Nusantara Edisi Januari – Februari, editorial telah menekankan pentingnya pembaruan pemikiran atas kebudayaan, yakni rethinking of culture. Kami meyakini bahwa memikirkan kembali kebudayaan secara kritis dan proporsional akan menghadirkan tidak hanya wajah-wajah baru, melainkan pijakan-pijakan dasar tersendiri yang konstruktif bagi masa depan. Dan hubungan dari tema “tahta untuk rakyat” di edisi selanjutnya ini adalah tak lain sebagai penegasan kembali aspek-aspek apa yang utama dalam pengarahan sebuah kebudayaan sebagai cikal bakal peradaban manusia. Bicara tentang “tahta untuk rakyat”, senantiasa kita akan

4 | Nusantara | EDISI mar-apr 2016

terarah pada perbincangan seputar ilsafat kenegaraan yang pernah digagas oleh seorang pemimpin pertama Yogyakarta pasca kemerdekaan: Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Karena memang, melalui percikan pemikirannya yang terangkum dalam Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Atmakusumah dkk, 1982). HB IX menempatkan “tahta untuk rakyat” sebagai pijakan kepemimpinannya, sebuah pijakan bagaimana keputusan-keputasan politik diambil dan dicanangkan, bagaimana sebuah kebijakan-kebijakan bagi warganya (rakyat) harus direalisasikan. Secara prinsip, dasar pijakan tersebut mengambil bentuknya yang senada dengan konsep demokrasi yang dikenal dewasa ini. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, adalah prinsip-prinsip yang terangkum dalam tahta untuk rakyat. Peneguhan tekad “tahta untuk rakyat, demikian juga “tahta” bagi kesejahteraan kehidupan sosial-budaya, adalah komitmen besar Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Komitmen tersebut selalu membela kepentingan rakyat, berusaha untuk bersama rakyat, dan memihak hanya pada kepentingan rakyat. Bahwa “tahta untuk rakyat” mesti benar-benar harus dipahami dalam konteks keberpihakan Kraton dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran serta mengarah pada peningkatan kualitas hidup bagi seluruh rakyatnya. Lebih jauh, “tahta untuk rakyat” tertuang dalam konsep ilosois “manunggaling kawula gusti”. Hematnya, keberadaan Kraton karena adanya rakyat. sementara rakyat memerlukan dukungan Kraton agar terhindar dari eksploitasi yang bersumber dari ketidakadilan dan keterpurukan. Bahwa Kraton, sejauh konsep tersebut masih dijadikan sebagai alas berpikirnya, tidak akan ragu-ragu memperlihatkan keberpihakannya terhadap rakyat, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa-masa revolusi dulu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Yogyakarta berprinsip politik yang demokratis. Kebijakan publiknya adalah kebijakan yang bermekanisme populis. Meski ditetapkan bukan dipilih, dalam arti konsep demokrasi yang umum dipahami di Indonesia, itulah keistimewaan yang tidak boleh kita naikan. Redaksi

surat pembaca

Berkarya Untuk Keabadian Adalah kebanggaan yang luar biasa bagi diri saya secara pribadi bisa melayangkan Surat Pembaca ini kepada segenap kalangan luas, terutama Pengurus Majalah Nusantara secara khusus. Saya telah membaca Majalah Nusantara Edisi Januari – Februari (edisi sebelumnya). Dan saya sepakat apa yang banyak kalangan ujarkan terkait isi keredaksian Majalah ini. Bahwa Majalah Nusantara, baik secara isi maupun tampilan, benar-benar membentuk warna tersendiri yang itu jauh lebih progresif dari warna-warna yang sebelumnya di angun oleh pengurus terdahulu. Ya, itu fakta, dan pastinya tetap relatif untuk terklaim sebagai kebenaran yang absolut. Tanpa hendak kembali memaniskan kata-kata untuk Majalah Nusantara edisi sebelumnya, dalam Surat Pembaca ini, saya ingin mengajak rekanrekan pengurus untuk terus konsisten dalam nuansa kekaryaan. Karena memang, hidup manusia tanpa berkarya adalah hidup yang tak berarti apa-apa. Begitulah yang sering para arif bijaksana ajarkan kepada saya secara pribadi, mungkin juga segenap pembaca sekalian yang budiman. Ya, apapun resiko dan konsekuensinya, orang harus tetap berkarya tidak hanya sebagai peneguhan eksistensi diri, terlebih sebagai keber-ada-annya secara esensi kemanusiaanya. Meminjam kata-kata Kartini melalui ungkapan yang juga dituturkan Pram, berkarya, dalam hal ini menulis, adalah bekerja

untuk keabadian. Melalui pandangan yang sedikit banyak ilosois di atas, maka ke depan, mau tidak mau segenap Pengurus Majalah Nusantara harus siap sedia sebagai pembawa obor kebenaran, terlebih di tengah carut-marutnya realitas kebangsaan seperti yang dewasa ini bisa kita rasakan. Bahwa tiadanya konsistensi di antara kata dan tindakan, maka buahnya adalah kehancuran yang tak terperih. Dan mungkin saja bukan generasi kita yang akan mengalami itu, melainkan generasi-generasi ke depan, ke generasi para pelanjut masa depan. Akhir kata, saya ingin mengutip pendapat yang pernah dilontarkan seorang inspirator sekaligus pemimpin dunia, The Tso Chuan: “Orang yang sangat mulia adalah orang yang mempelopori suatu gerakan moral yang berguna bagi generasinya dan juga generasi berikutnya. Orang yang memberikan jasa besar bagi masyarakat pada umumnya. Dan orang yang kata-katanya mampu memberikan pencerahan dan inspirasi bagi orang lain. Inilah tiga pencapaian yang tak akan mati dalam kehidupan.“ Selamat untuk Pengurus Majalah Nusantara. Suara kalian adalah suara nurani untuk semua. Dan karya kalian adalah karya yang sangat-sangat dibutuhkan. Salam karya!

Abdul Hakim Tim Advokasi Perhimpunan

EDISI mar-apr 2016 |Nusantara |

5

Populisme Politik & Demokrasi ala Yogyakarta:

Meneguhkan Tahta untuk Rakyat Sebagai Kebijakan Publik yang Populis Oleh: Maman Suratman

T

ampilnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai igur politik terkemuka di Indonesia, diakui atau tidak, merebak beragam optimisme segenap kalangan, terutama mereka yang percaya akan hari esok. Optimisme tersebut tersua bahwa nantinya akan lahir sebuah masa depan bumi pertiwi yang sudah lama diidam-idamkan, yang itu sebelumnya hampir tak pernah mewujud, bahkan untuk sekadar sebagai harapan sekalipun. Tak hanya desain gayanya yang merakyat yang pada kenyataannya seolah menyihir mereka yang menengoknya, tetapi lebih kepada kebijakan-kebijakan politiknya yang secara praktis mampu mengubah rasa tawar menjadi manis. Dapat terkatakan bahwa yang terakhir inilah yang mungkin dapat kita kedepankan sebagai dalih betapa Jokowi dengan gaya dan kebijakan politiknya yang khas, benar-benar tampil sebagai harapan satu-satunya bagi bangsa yang memang sudah lama dirundung kemalangan hidup ini. Segenap pembaca mungkin akan bertanya-tanya apa maksud penulis berucap manis atas diri seorang Jokowi; mengapa penulis mencoba mengarahkan bahwa berkarakter khas ini adalah harapan yang selama ini menjadi impian rakyat Indonesia. Tidak. Penulis sama sekali tak ingin berpretensi pada pengagungan Presiden ke-7 Republik Indonesia ini. Penulis tak ada maksud memuliakannya, apalagi sekadar mempromosikannya tanpa sebab yang memadai. Bahwa penulis hanya mencoba memberi pengantar awal kepada segenap pembaca ke perihal tajuk yang penulis ajukan dan akan diurai secara lebih lanjut dalam laporan utama edisi Majalah Nusantara kali ini. *** Seperti kita ketahui, tampilnya sosok Jokowi dengan kebijakannya yang khas, berbeda dari

6 | Nusantara | EDISI mar-apr 2016

laporan utama

pemimpin sebelumnya, berhasil menarik “populisme” dalam nuansa perbincangan dan perdebatan. Banyak orang yang mendebat bahwa adakah populisme hanya dijadikan sekadar sebagai kedok politik para pemimpin? Benarkah kebijakan-kebijakan populis benar-benar lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? Sebelum berlanjut pada perbincangan seputar hal di atas, adalah utama untuk membincang terlebih dahulu seputar atau perihal populisme itu sendiri. Apa itu populisme? Mengapa populisme digadang-gadang sebagai pembawa angin segar di dunia yang sudah penat kompleksitas persoalan ini? Bagaimana teori dan penerapannya dalam alam demokrasi seperti di Indonesia ini? Sejumlah jawaban atas pertanyaan itulah yang akan mengisi penuh bagian awal dari laporan utama ini. Dan selanjutnya, ulasan ini juga akan memperlihatkan bahwa agenda demokratisasi, sebagaimana dicanangkan para pemimpin populis seperti Jokowi, nampak senada dengan apa yang pernah dibesut oleh salah seorang pemimpin Raja Mataram, Sri Sultan Hamenku Buwono IX—seperti kita ketahui bahwa melalui percikan pemikirannya, dalam hal ini “Tahta untuk Rakyat”, HB IX mampu menjelmakan tatanan Kraton sebagai negeri yang punya kekhasan dalam model pengambilan kebijakannya. Bahwa “Tahta untuk Rakyat” adalah percikan pemikiran sang Sultan hingga melahirkan demokrasi ala Yogyakarta.

Populisme Sebagai Nafas Gerak Politik Dalam aras demokrasi, populisme menjadi seperangkat alas yang tepat guna dalam mengubah atau mengangkat harkat-martabat manusia-manusianya. Seperti kita ketahui, input dan output demokrasi adalah rakyat (kepentingan dan kebutuhannya) di mana populisme menjadi alas yang senada dalam proses

perealisasiannya. Secara konsep, populisme menjadi seperangkat kepercayaan masyarakat akan pemimpin yang dinilai dapat mengakat harkat-martabat hidup mereka. Populisme menjadi semacam ilsafat politik yang jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): sebagai “paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat. Sebagai nafas dari gerak politik, populisme tidaklah menekankan popularitas (keteranaran) seseorang sehingga ia dianggap populis. Jauh daripada itu, populisme senantiasa harus terejawantah melalui kepemimpinan yang membela kepentingan dan kebutuhan rakyat dengan seperangkat kebijakan-kebijakannya yang langsung tertuju pada hal-hal mendasar dalam hidup dan penghidupan mereka (rakyat). Hemat kata, populisme sama sekali tak boleh digunakan dalam rangka menggambarkan retorika politik individu atau partai politik. Sebab dengan menilainya demikian, populisme hanya akan terbawa secara konotasi peyoratif dan dianggap hanya sebagai “lip service” yang hanya tertuju pada penyenangan orang banyak tanpa bukti yang jelas dan memadai. Alhasil, pemberian harapan tak lebih sekadar pepesan kosong. Begitulah realitas yang kini menjerat arus kebudayaan kita dari dulu hingga sekarang, dan mungkin juga kelak. Ya, tujuan kunci di balik populisme adalah terletak pada partisipasi politik secara aktif. Bahwa rakyat tanpa kecuali harus punya kesempatan yang sama-setara sebagai bagian rill dari masyarakat. Bahwa mereka harus berperan aktif dalam segenap pemerintahan yang hari ini melulu mengatasnamakan diri mereka dengan tendensi tanpa kelamin. Hemat kata, keutamaan populisme adalah keutamaan rakyat; kehen-

dak populisme berdasar pada kehendak dan kedaulatan rakyat. Populisme jangan disalaharahkan.

Demokrasi, Ruang Penyemaian Populisme Secara umum, mereka yang mendukung populisme adalah mereka yang berharap banyak pada alam demokrasi. Mereka percaya bahwa demokrasi adalah cara terbaik dari sekian banyak cara yang berpretensi pada kebaikan tertinggi. Mereka percaya bahwa demokrasi memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dan berperan penuh dalam upaya-upaya pemerintahan. Secara historis, akar demokrasi bisa kita telusuri dari para pemikir (ilsuf) Abad Pencerahan. Melalui gagasan teori kontrak sosial dari para ilsuf seperti homas Hobbes, John Locke dan JeanJacques Rousseau, nampak bahwa istilah demokrasi sangat bertolak belakang dengan komunisme atau sosialisme misalnya. Demokrasi menghendaki kesetaraan dalam perbedaan, sedang yang terakhir menghendaki keseteraan dalam persamaan. Sebenarnya, jauh sebelum para ilsuf Abad Pencerahan mendeinisikan demokrasi, ilsuf-ilsuf klasik seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, telah lebih dahulu mengkonseptualisasikan perihal demokrasi ini. Kira-kira 500 tahun SM, istilah ini mulai mendapat bentuknya ketika ada sekelompok kecil manusia yang berusaha mengembangkan sistem pemerintahan. Pada prosesnya, mekanismenya melibatkan rakyat banyak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan, dalam hal ini kebijakan publik secara langsung. Selain Yunani, Romawi Kuno pun tak luput menjadi satu sumber rujukan utama tentang demokrasi. Jika Yunani memperkenalkannya dengan konsep demokrasi langsung, melibatkan rakyat dalam urusan kebijakan publik,

EDISI mar-apr 2016 |Nusantara |

7

Romawi tampil menjadi inspirasi bagi para pemikir politik dan negarawan dalam hal penerapan demokrasi perwakilan—rakyat diberi ruang untuk memilih perwakilan yang nantinya akan bertugas merumuskan kebijakan-kebijakan publik bagi warga negara yang diwakilinya. Meski demokrasi hancur terbenam selama hampir 20 abad lamanya akibat sistem feodalisme dan monarki absolut di Abad Pertengahan, sistem pemerintahan ini mulai menuai kesuburannya kembali. Tentu dengan konsepsi yang lebih kompleks dari sebelumnya. Sekitar pertengahan abad ke-19, demokrasi mulai menunjukkan taringnya lagi, dan itu terjadi di negara-negara Eropa Barat. Melalui di masa inilah demokrasi kemudian dikenal dengan istilah “demokrasi Barat” atau demokrasi modern dalam arti dewasa ini. Tak hanya di belahan dunia seperti Eropa dan Amerika misalnya, di Asia seperti Indonesia pun perdebatan seputar demokrasi seolah tak akan pernah padam. Lagi-lagi, pro dan kontra selalu mewarnai sejumlah pergunjingannya. Di satu sisi, demokrasi berusaha diredam dengan anggapan bahwa ia tak sesuai dengan budaya “ketimuran” bangsa Indonesia. Solusi yang kerap dilontarkan untuk mengganti demokrasi pun tak tanggung-tanggun...


Similar Free PDFs