Tasawuf Syekh Arsyad Al-Banjari dan Syekh Nafis Al-Banjari.pdf PDF

Title Tasawuf Syekh Arsyad Al-Banjari dan Syekh Nafis Al-Banjari.pdf
Author Sabarudin Ahmad
Pages 23
File Size 1.5 MB
File Type PDF
Total Downloads 272
Total Views 430

Summary

TASAWUF DI INDONESIA SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI DAN SYEKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf Pembimbing : Dr. H. Khairil Anwar, M. Ag. Disusun oleh Malik Aminatus Sariroh (1102110364) Sabarudin Ahmad (1102110373) JURUSAN SYARI’AH PRODI AL AHWAL AL SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Tasawuf Syekh Arsyad Al-Banjari dan Syekh Nafis Al-Banjari.pdf Sabarudin Ahmad Makalah/paper

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

ISLAM BANJAR rahmadi rahmadi

ASPEK TASAWUF Zham Al Muzzammil INSAN KAMIL DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI DAN ABDUSH-SHAMAD AL-FALIMBÂ… Jurnal St udia Insania

TASAWUF DI INDONESIA SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI DAN SYEKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf Pembimbing : Dr. H. Khairil Anwar, M. Ag.

Disusun oleh Malik Aminatus Sariroh (1102110364) Sabarudin Ahmad (1102110373)

JURUSAN SYARI’AH PRODI AL AHWAL AL SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA TAHUN AKADEMIK 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Proses masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara sangat terkait dengan sejarah dan pemikiran tasawuf. Para sejarahwan menilai bahwa pemikiran Islam pertama yang disebarkan di Nusantara adalah pemikiran Islam sufisme. Kelembutan dan kelenturan tasawuf mewarnai penyebaran tersebut, menjadikan Islam berhasil masuk dan kemudian mengakar dalam diri masyarakat Nusantara. Tanpa terkecuali Pulau Kalimantan yang kaya akan sumber alam yang melimpah. Di bumi Borneo ini terkenal paham-paham sufi dan tasawuf yang dibawa oleh dua tokoh yang mampu mengubah kehidupan masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan menjadi masyarakat yang Islami. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis Al-Banjari adalah dua tokoh yang menyebarkan agama Islam. Keduanya hidup dalam satu zaman sekitar abad XVI M dan sama-sama menuntut ilmu di tanah Mekkah. Namun, dalam pemikiran tasawuf beliau terdapat perbedaan antara keduanya. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang kami ambil dalam makalah ini, yakni: 1. Bagaimana pemikiran tasawuf Syekh Arsyad dan Muhammad Nafis Al-Banjari ?

2

2. Bagaimana perbedaan antara kedua pemikiran tersebut ? 3. Bagaimana relevansi pemikiran tasawuf tersebut dengan konteks sekarang ini ? C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini, yakni: 1. Mengetahui bagaimana pemikiran tasawuf Syekh Arsyad dan Muhammad Nafis. 2. Mengetahui perbedaan antara kedua pemikiran tersebut. 3. Mengetahui relevansi pemikiran tasawuf tersebut dengan konteks sekarang. D. Metode penulisan Adapun metode penulisan dalam makalah ini, yakni: 1. Dengan melakukan pencarian sumber-sumber informasai dari bukubuku perpustakaan. 2. Dengan melakukan tambahan informasi melalui akses di Internet.

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemikiran tasawuf Syekh Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis Al-Banjari Kajian tasawuf

Nusantara adalah merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak Islam masuk ke Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarkat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman sebagian muslim Indonesia. Di bumi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan sosok pembaharu Islam bernama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari

adalah tokoh yang tidak bisa

dipandang sebelah mata dalam konteks penyebaran agama Islam. Serta pemikiran-pemikiran beliau dan karya-karya tangan beliau yang sampai saat ini masih sangat bermanfaat sehingga banyak peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang siapa sebenarnya beliau dan bagaimana pemikiranpemikiran beliau khususnya di bidang Ilmu Tasawuf. Syekh Muhammad Arsyad adalah tokoh sufi yang lebih memfokuskan dirinya berkecimpung di bidang syariat. Syekh Arsyad ialah seorang ahli Ilmu Kalam dan sekaligus ahli

Tasawuf, beliau sangat

dikenal dengan sebutan “Datu Kalampayan” oleh kalangan masyarakat

4

Banjar dan sekitarnya. Syekh Arsyad yang berpaham Suṇi telah berhasil mendakwahkan Islam, baik lewat dakwah kultural, maupun struktural kepada masyarakat Banjar.1 Sejalan dengan Al-Raniri, Syekh Arsyad tergolong heterodoks yang memandang tasawuf tidak bisa lepas dari batasan syari’at. Hal ini sesuai ketika pada masa itu sempat berkembang paham waẖdatul wujud. Namun, sulit untuk mencari karya beliau tentang pemikiran tasawufnya. Seperti dari hasil penelitian Steenbrink yang mengatakan bahwa belum satupun karangan Syekh Arsyad di bidang tasawuf. Dalam penelitian lain Zafri Zamzam mengatakan ada karangan Syekh Arsyad dalam bidang ini, yakni Kanzul Ma’rifat.2 Hal ini seperti yang dikatakan juga dalam makalah Amirul Masyriqi, dari sekian banyak karya beliau, yang membahas tentang tasawuf adalah kitab Kanzul Ma’rifat yang merupakan risalah kecil mengenai tasawuf.3 Di dalam kitab Kanzul Ma’rifat, Syekh Arsyad menjelaskan bahwasanya kewajiban seseorang dalam mendirikan petunjuk Allah dan Nabi Muhammad agar dia menjadi hamba Allah yang sejati. Tidak hanya itu saja, tetapi Syekh Arsyad juga menambahkan tentang bagaimana berḏzikir agar selalu ingat kepada Allah Swt., dengan cara tertentu sehingga setiap keluar masuknya udara yang kita hirup dalam hembusan nafas adalah ḏzikir kepada Allah Swt.

1

Khairil Anwar, Teologi Al Banjari, Bandung: Global House Publications, 2009, h. 16. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/8109110.pdf 3 Amirul Masyriqi, “Tasawuf di Indonesia: Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Muhammad Nafis Al Banjari”, Makalah Kuliah, 2011, h. 3. 2

5

Di bawah ini Syekh Arsyad menjelaskan tata cara berdzikir kepada Allah4 : a. Sebelum ḏzikir hendaklah mandi dahulu, menghilangkan segala kotoran yang melekat pada tubuh. b. Bersuci dari hadas dengan berwuḏhu dan untuk membersihkan batin dengan banyak-banyak mengucapkan istiḡhfar serta meminta ampun kepada Allah. c. Memakai pakaian putih-putih dan berkḥalwat di tempat yang sepi. d. Mengerjakan shalat sunah dua rakaat sekali salam untuk memohon taufik dan hidayah dari Allah. e. Duduk bersila sambil merendahkan diri kepada Allah serta menghadap kiblat dengan mengangkat kedua telapak tangan seraya mengucapkan Laa Illaha dengan meyakinkan bahwa keadaanku dan alam semesta ini wujudnya bukan wujud yang hakiki. f. Selanjutnya membaca iḷa Allah dengan memejamkan mata dan meyakinkan dalam hati bahwa hanya Allah wujud yang hakiki. g. Setelah ḏzikir maka dilanjutkan dengan menyebut nama Allah dalam hati dan membiasakan dalam kehidupan sehari-hari. h. Akhir kata Allah, yaitu hu agak dipanjangkan sedikit pengucapannya sambil meresapkan pandangan hatinya bahwa seakan-akan dirinya lenyap ingatan kepada selain Allah termasuk dirinya sendiri sehingga hanya Allah yang wajibul wujud. Syekh Arsyad yang bercorak Suṇi dengan kitabnya Tuẖfat alRaḡhibin yang beranggapan bahwa para penganut tasawuf wujudiyah mulhid sebagai kafir.5 Bahkan beliau juga memberikan penilaian atas berbagai firqah tasawuf yang beliau sebut sebagai kaum “mulhid yang bersufi-sufi diri”. Sebenarnya penilaian yang dilontarkan Syekh Arsyad terlalu keras, penilaian ini merujuk kepada pendapat ulama Suṇi yang terpandang dan terpercaya.6

4

Ibid., h. 4. Ibid. 6 Khairil Anwar, Teologi, h. 77. 5

6

Di dalam buku yang ditulis oleh Khairil Anwar, bahwasanya jumlah firqah yang Syekh Arsyad nilai dan dikritiknya sebanyak 13 dan semuanya dimasukkan ke dalam 72 firqah yang bid’ah.7 Berikut firqahfirqah yang dinilai bid’ah oleh Syekh Arsyad :8 a. Murjiẏah Hubiẏah Menurut Murjiẏah

penilaian Syekh Arsyad,

paham yang dianut oleh

Hubiẏah ini adalah bid’ah

yang membawa kepada

kekufuran. Karena mereka berpendapat bahwa jika seorang hamba sudah sampai kepada martabat Allah, maka tidaklah wajib baginya ibadah zahir (nyata). Seperti salat, puasa, lalu ibadahnya cukup dengan bertafakur saja. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka beranggapan apabila seorang hamba sudah mencapai martabat maka dihalalkan baginya “berhubungan” dengan perempuan lain yang bukan muẖrim dengan sekehendak hati mereka dengan alasan semua makhluk di dunia ini hanyalah milik Allah Swt. b. Awliya’iyah Sedangkan dalam hal ini, Syekh Arsyad menilai atas kaum Awliya’iyah bahwa paham mereka menyimpang. Mengapa, karena mereka menyatakan apabila ada seorang hamba yang sudah mencapai kepada kedudukan wali, maka gugurlah bagi orang tersebut untuk amar ma’ruf nahi munkar dan mereka meyakini bahwa seorang Wali lebih utama daripada Nabi. 7 8

Ibid. Ibid., h. 78.

7

c. Ṣḳhraḳhiẏah (Ṣamraḳhiẏah) Syekh Arsyad menilai bahwa apabila sekelompok ini sudah mencapai derajat tinggi yang mana pada tingkat mengasihi Tuhan, maka tidaklah wajib bagi mereka amar ma’ruf nahi munkar. Oleh sebab itu mereka sering berbuat zina, karena bagi mereka nikah mut’ah itu halal. d. Ibahiyah Syekh Arsyad sangat menolak paham ini, karena sekelompok orang ini beranggapan bahwa mereka yang telah mencapai kesufian, sehingga tidak penting lagi bagi mereka untuk mematuhi peraturan hukum-hukum Islam. Karena bagi mereka hukum tersebut hanyalah dipergunakan bagi mereka-mereka yang awam yang belum sampai pada puncak kesufian seperti sekelompok ini. e. Haliyah Menurut Syekh Arsyad keyakinan mereka jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Rasulullah. Yang mana menurut Al-Hafni, sekelompok tasawuf ini sesat karena mereka memgamalkan paham “serba boleh” untuk melakukan zina dan mesum, serta mereka memperbolehkan setiap orang mengejar kenikmatan yang mereka inginkan dengan menghalalkan berbagai cara. f. Huriyah Paham ini mengajarkan paham “berhubungan” dengan para bidadari. Menurut Syekh Arsyad, mereka dinilai bid’ah ḏhalalah

8

karena mereka mengatakan “Tetkala kami pingsan, datang kepada kami para bidadari, kemudian kami berhubungan dengan mereka dan ketika kami sadar kami mandi jenabat (mandi wajib)”. g. Waqi’yah Syekh Arsyad menilai aliran ini juga merupakan bid’ah ḏhalalah karena mengajarkan untuk

berhenti mengenal Allah dan dapat

membawa kepada kekufuran dikarenakan mengingkari beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis yang menyuruh untuk mengenal Allah Swt. h. Mutajahiliyah Dalam aliran ini mengajarkan tentang kepura-puraan tidak mengetahui hukum Islam sehingga mereka sering melakukan zina. Syekh Arsyad menilai sekelompok orang ini sebagai fasiq. i. Mutakasilah Pandangan Syekh Arsyad terhadap aliran ini bid’ah yaitu orang yang bermalas-malasan sehingga tidak mau bekerja keras, suka meminta-minta serta suka mengambil uang zakat dan sedekah untuk keperluan pribadi mereka sendiri. j. Ilhamiyah Dalam aliran ini Syekh Arsyad menilai bahwasanya mereka itu adalah orang yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Allah

9

sehingga mereka dengan sesuka hati menafsirkan ajaran Islam sesuai kehendak. k. Hululiyah Dalam aliran ini mereka menghalalkan berdansa, bernyanyi, memeluk yang bukan muhrim, bahkan tidak segan-segan melakukan zina dan sodomi. l. Wujudiyah Syekh Arsyad membagi aliran ini menjadi dua kelompok yaitu, Wujudiyah Muwaḥidah dan Wujudiyah Mulhidah. Dan yang menjadi sasaran dalam penilaiannya Syekh Arsyad adalah Wujudiyah Mulhidah, yang mana dalam aliran ini di nilai sangat ekstrem. Aliran ini meyakini Tuhan hanya “berada” di alam makhluk dan tidak ada di luar alam mereka. Syekh Arsyad menilai aliran ini bisa membawa kepada kekufuran, zindiq, bahkan mulhid. Tidak hanya Syekh Arsyad yang menguraikan pemikiranpemikiran tasawufnya, walaupun beliau di kenal sebagai sufi yang aktifitasnya banyak dicurahkan kepada syariat Islam. Namun berbeda dengan Syekh Nafis Al-Banjari, walaupun sama-sama dari Banjar dan hidup sezaman dengan Syekh Arsyad, namun beliau lebih memfokuskan hidupnya di bidang kesufian.

10

Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari merupakan seorang sufi yang berpaham sama dengan pendapat Syekh Muhyiddin ibn Al-Arabi.9 Muhammad Nafis juga memperoleh gelar “Syeikh Al-Murṣid”, yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasawuf, gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain.10 Yang kemudian ia tuangkan dalam kitabnya Al Durr Al Nafis fi Bayan Wahdat al - Af’al al –Asma’ wa al Sifat wa al Dzat al Taqdis, yang beredar luas di Nusantara.11 Pemikiran tasawuf Syekh Nafis yaitu “merukunkan” tasawuf suṇi dan falsafi yang diposisikan diametral. Ia mendorong umat untuk semangat aktivisme yang kuat, bukan pasrah.12 Tidak hanya terkenal akan pemikiran tasawuf serta karyakaryanya. Namun, Syekh Nafis juga ahli dalam bidamg Ilmu Kalam, yang mana di dalam kitabnya al Durr al Nafis. Beliau menekankan transcendental mutlak dan Keesaan Allah, Tuhan pencipta alam.13 Di masa Syekh Nafis gencar dalam menyiarkan Islam dan mencetuskan pemikiran-pemikiran beliau tentang

tasawuf, kolonial

Belanda yang pada saat itu sedang menguasai sebagian Kalimantan Selatan merasa gelisah. Karena dikhawatirkan lewat pemikiran-pemikiran

9

Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara:Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta:Kencana, 2006, h.115. 10 http://sufiroad.blogspot.com/2012/01/syaikh-muhammad-nafis-al-banjari.html 11 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara. H. 113. 12 http://taufik79.wordpress.com/2008/07/26/mari-selamatkan-moral-generasi-bangsa-2/ 13 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, h.114.

11

dan pendapat Syekh Nafis yang menolak pendapat Jabaṛiẏah yang mempertahankan determinisme fatalistik,14 akan mendorong umat Islam khususnya Kalimantan Selatan melakukan jihad dan memberontak serta melawan kolonial Belanda. Sehingga karya-karya beliau sempat dilarang beredar oleh Belanda baik di kalangan masyarakat Banjar maupun di luar regional Kalimantan Selatan. Bahkan sebagian ulama yang pada saat itu dekat dengan Belanda, mengeluarkan fatwa bahwa kitab al Durr al Nafis adalah Bid’ah yang sesat dan menyesatkan.15 Bahwasanya, menurut Hawash Abdullah masalah dilarangnya kitab Syekh Nafis beredar di kalangan masyarakat itu hanyalah siasat Belanda. Karena Belanda mengetahui bahwa paham sufi versi Syekh Nafis itu bisa membuat masyarakat Banjar menjadi tidak takut mati, apalagi Belanda mengetahui bahwasannya sufi-sufi tasawuf mengajarkan antikafir, dan itu artinya anti juga terhadap kolonial Belanda lantaran mereka beragama Kristen.16 Hawash Abdullah juga menambahkan bahwa kitab yang dikarang oleh Syekh Nafis tidaklah sesat dan menyesatkan karena kitab tersebut telah dipelajari oleh Ulama Nusantara sejak kitab tersebut diedarkan hingga saat ini. Terlepas dari semua tantangan yang dihadapi Syekh Nafis dalam melaksanakan dakwah sekaligus mencetuskan pemikiran-pemikiran tasawuf, kitab yang dikarang oleh beliau tersebut di dalamnya terdapat

14

Ibid. M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005, h. 309. 16 Ibid., h. 310. 15

12

banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis dengan tafsiran tasawuf. Secara garis besar buku itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi yang menjelaskan tentang maqam yang dilalui sufi, dan yang terakhir penutup.17 Bagian pendahuluan menjelaskan dua pokok bahasan yang mana pada pokok pertama menjelaskan tentang hal-hal yang merusak usaha orang salik. Yaitu: 1). Kasl, yaitu malas mengerjakan ibadah, 2). Futur, yaitu lemah pendirian, 3). Malal, yaitu mudah bosan dalam melakukan ibadah. Sedangkan pokok bahasan yang kedua berisi tentang hal-hal yang bisa mengakibatkan gagalnya seseorang dalam mencapai tujuan kepada Allah Swt. Yaitu : 1). Ṣẏirik ḳhafi (syirik yang tersembunyi), 2). Riya (pamer), 3). Sum’ah, 4). ‘ujb (kesombongan), 5). Saqata aẉaluh wuquf ma’a al-‘ibadah, 6). Hijab (penutup).18 Dalam bagian isi, termaktub apa yang dikatakan beliau bahwasannya menurut Syekh Nafis Keesaan Tuhan (tauhid), terdiri atas empat tahap, yaitu: Tauhid al-af’al (Keesaan perbuatan Tuhan), tauhid al-asma’ (Keesaan nama-nama Tuhan), tauhid al-shifat (Keesaan sifat-sifat Tuhan) dan tauhid al-dzat, para pencari kebenran akan mengalmi fana dan selama itu mereka akan dapat mencapai penyaksian dan penglihatan (musyahadah) esensi Tuhan.19

17 18

Ibid., h. 310. Syekh Muhammad Nafis, Ad- Durr An-Nafis, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003,

H. xxx. 19

Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, h. 115.

13

Syekh Nafis juga menambahkan seperti apa apa yang dikatakan oleh Abd Al-Shamad Al-Palimbani. Bahwa ḏzat Tuhan tidak dapat diketahu melalui penglihatan panca indera dan akal, melainkan hanya dengan kaṣf (intuisi langsung) sajalah orang akan mampu menangkap apa itu ḏzat Allah. Menurut hemat kami dari pembahasan diatas, bahwa yang dimaksud oleh Syekh Nafis jika kami bentuk ke dalam suatu grafis ialah :

Menauhidkan “ḏzat” Menauhidkan ”sifat ” Menauhidkan ”asma” Metode “af’al”

Didalam tauhid af’al bahwasanya Syekh Nafis menjelaskan adanya empat aliran besar, yaitu20 : 1. Aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwasannya segala yang terjadi pada manusia ialah karena kodrat manusia itu sendiri yang menentukan. Menurut beliau aliran ini termasuk bid’ah karena dapat menyebabkan seseorang fasik. 2. Aliran Jabariyyah yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu adalah perbuatan Tuhan, sedangkan perbuatan manusia tidak ada. Syekh Nafis berpendapat aliran ini dengan nyata bertentangan dengan syariat. 3. Aliran Asy’ariyah yangberpendapat bahwa semua kejadian pada hakikat awalnya adalah perbuatan Tuhan, sedangkan peran manusia terletak pada usaha (ikhtiar). 20

M. Solihin, Melacak Pemikiran, h. 312.

14

4. Aliran ahl al-kasyf,yang memandang bahwsanya segala sesuatu yang terjadi pada manusia hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, yang disandarkan kepada hmba-Nya. Dalam kitab Ilmu Tauhid selain al Durr al Nafis, keempat aliran ini tidak pernah dibicarakan. Tauhid af’al adalah maqam pertama kali yang harus ditempuh oleh seorang salik, sebelum mereka meningkat ke maqam yang lebih tinggi. Perihal dalam menauhidkan al asma’ Syekh Nafis berpendapat bahwasanya apa yang dipandang oleh mata maupun hati semua itu kembali kepada asma’ Allah. Yang pada hakikatnya segala apun yang dapat dinamakan dan bernama maka semua itu adalah nama kepunyaan Allah Swt.21 Adapun dengan menauhidkan sifat, bahwa dengan Dialah fana sekalian sifat yang ada pada diri manusia dan makhluk lain terkecuali sifat Allah Swt. Walaupun terkadang sifat-sifat Allah juga terlihat pada makhluknya tetapi itu hanyalah “majazi” saja. Apabila diperhatikan secara seksama ,maka benar-benar fanalah sifat makhluk pada sifat Allah, yaitu22: 1. 2. 3. 4. 5.

Tiada mendengar melainkan dengan pendengran Allah. Tiada melihat melainkan dengan penglihatan Allah. Tiada mengetahui melainkan pengetahuan Allah. Tiada hidup melainkan dengan hidup Allah. Tiada berkata melainkan perkataan Allah.

Bahwasanya pada maqam tauhid sifat inilah penghabisan maqam yang terdapat pada kebanyakan Nabi dan Wali Allah. Tiada seorang pun dapat melalui maqam ini kecuali melalui maqam Nabi Muhammad Saw. 21 22

Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, h. 121. Ibid., h. 122.

15

Adapun dengan menauhidkan ḏzat, Syekh Nafis berpendapat bahwa inilah setinggi-tingginya maqam. Tidak akan ada yang sampai pada menauhidkan ḏzat ini melainkan Rasulullah Saw. Bahwa apapun yang ada di dalam alam ini adalah ibarat pandangan di dalam mimpi, hanya sebuah benda tayali karena pada hakikatnya eksistensi tersebut tidak ada sama sekali. Dalam membicarakan Tauhid ḏzat, di dalam buku yang dikarang oleh Sri Mulyati bahwasannya Syekh Nafis menyebutkan: Ketahuilah olehmu hai thalib! Bawa tajalli Dzat itu ada tujuh tingkatan. Dia adalah satu ibarat dalam Dzat semata-mata, bahwa tidk di iktibarkan dengan Asma dan Sifat, yang di bahasakan orang putus daripada isyarat. Wujud Allah tiada dapat ditangkap dengan pancaindera, karena baginya tiada berhad dan hingga. Barangsiapa yang ingin mengetahui wujudnya Allah mustahil dia akan mencapainya hanya dengan menggunakan akal saja, bahwa dia dapat dite...


Similar Free PDFs