Tawuran Pelajar PDF

Title Tawuran Pelajar
Author Jejen Musfah
Pages 3
File Size 101.2 KB
File Type PDF
Total Downloads 433
Total Views 872

Summary

1 Tawuran Pelajar dan Pendidikan Karakter Oleh Jejen Musfah, Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. [email protected] Cermin pendidikan karakter telah hancur oleh serangkaian peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh insan terpelajar, baik siswa maupun mahasiswa, belakangan ini. Hanya dalam w...


Description

1 Tawuran Pelajar dan Pendidikan Karakter Oleh Jejen Musfah, Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. [email protected]

Cermin pendidikan karakter telah hancur oleh serangkaian peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh insan terpelajar, baik siswa maupun mahasiswa, belakangan ini. Hanya dalam waktu setahun, 13 pelajar di Jabodetabek tewas mengenaskan gara-gara tawuran. Alawy Yusianto Putra, siswa SMA Negeri 6, Jakarta Selatan, meninggal terkena senjata tajam. Belum kering air mata duka keluarga Alawy, terjadi tawuran yang menewaskan Deny Januar, pelajar SMA Yayasan Karya 66 (Yake). Mengejutkan jawaban pelaku pembunuhan Deny, AD mengaku puas dengan aksinya saat ditanya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), M Nuh di tahanan Polres Jakarta Selatan. Sementara sehari sebelum tewas, Deny menulis status dalam akun Fa e ook ya: Mu gki ke atia adalah keadila ya g ersifat pali g perso al . (detikNews, 26/9/2012) Apa yang dilakukan pelajar saat tawuran dengan menggunakan senjata tajam yang membahayakan dan mematikan sungguh tidak masuk akal sehat. Mereka mempersenjatai diri dengan senjata yang tidak selayaknya dibawa oleh seorang pelajar yang tugasnya adalah belajar, menimba ilmu, mengembangkan keterampilan, dan mengasah sikap. Pikiran pelajar dipenuhi oleh rasa dendam, permusuhan, dan kebencian. Menghadapi masalah dengan cara fisik bukan dengan cara akal dan hati nurani. Lingkungan buruk Tidak hentinya tawuran pelajar disebabkan oleh: pertama, lemahnya peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama. Orangtua kerap menyerahkan tugas mendidik kepada guru di sekolah. Padahal, interaksi guru-murid di sekolah sangat terbatas, baik karena waktu yang sempit maupun jumlah murid yang banyak. Pengaruh teman sekolah lebih besar dibanding pengaruh guru. Orangtua sibuk menjadi sebab minimnya komunikasi edukatif dengan anak. Orangtua bukan tempat bertanya anak. Anak tidak terbiasa terbuka kepada orantua tentang masalah yang dihadapinya. Bahkan, anak kehilangan kepercayaan kepada orangtua. Anak tidak merasa rumah sebagai tempat berlindung yang nyaman dan menyenangkan. Kedua, gagalnya pendidikan karakter di sekolah. Integrasi pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran gagal mengembangkan sikap murid ke arah yang baik. Pendidikan karakter dipahami baru sebatas aspek kognitif. Artinya, murid baru mengenal karakter baik itu apa, belum menjadi sikap hidup yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Pendidikan karakter sudah tertulis di dalam silabus dan RPP, namun lingkungan sekolah dan komunitasnya tidak mencerminkan karakter yang positif dan utama. Di sekolah sering ditemukan fakta berikut: kepala sekolah yang sulit ditemui, guru yang malas membaca, staf sekolah yang sulit tersenyum, dan lingkungan sekolah kotor dan sempit. Fakta seperti inilah yang dihadapi murid, sehingga sulit mengembangkan karakter, karena lain kenyataan dengan yang dikatakan guru. Ketiga, minimnya teladan dari masyarakat. Pelajar disuguhi peristiwa yang berseberangan dengan upaya penegakan karakter. Misalnya, para pemimpin negeri ini banyak yang terlibat korupsi,

2 yang mencerminkan sikap mementingkan diri sendiri dan cinta dunia secara berlebihan. Film dan game berisi adegan kekerasan. Tawuran antar warga dan antar mahasiswa juga kerap terjadi. Korupsi tumbuh subur karena lemahnya sistem birokrasi dan penegakkan hukum yang lemah. Produser film dan pemilik televisi hanya mementingkan laba, sehingga mengesampingkan nilai-nilai pendidikan. Demikian pula warga dan mahasiswa tidak tumbuh menjadi manusia dewasa yang seharusnya memberikan perilaku keteladanan di dalam memecahkan setiap masalah, bukan dengan jalan kekerasan dan dendam. Keempat, lemahnya pengawasan aparat kepolisian terhadap sekolah-sekolah yang rawan terjadi tawuran pelajar. Tidak ada polisi yang berjaga-jaga, baik di sekolah maupun di tempat-tempat yang sering terjadi ataupun berpotensi tawuran. Polisi tidak aktif berkordinasi dengan sekolah yang rawan tawuran. Setelah terjadi tawuran, biasanya ada komunikasi antara polisi dan sekolah, namun setelah itu tidak ditindaklanjuti dengan program kerjasama konkrit untuk mencegah peristiwa tersebut terulang lagi. Pendidikan karakter Pendidikan karakter tidak cukup diajarkan di sekolah. Melalui prakarsa kepala sekolah, orangtua dan tokoh masyarakat, harus segera dilibatkan dalam menanggulangi atau mencegah tawuran melalui pendidikan karakter di tiga lingkungan secara bersamaan: sekolah, rumah, dan masyarakat. Kerjasama antara guru, orangtua, dan masyarakat akan memudahkan upaya menghilangkan dan/atau mencegah dan meminimalisir peristiwa tawuran pelajar. Sekolah juga bisa mengajak aparat kepolisian sebagai mitra kerjasama dalam menangani tawuran pelajar. Untuk mencegah tawuran pelajar, berbagai pihak yang disebutkan di atas, perlu melakukan introspeksi diri, sehingga tidak hanya mengutuk kekejian pelajar, dan melupakan kewajiban mendidik generasi bangsa. Pertama, orangtua wajib menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Ini bisa dilakukan saat sarapan, makan malam, sebelum tidur, dan saat berlibur bersama di Sabtu dan Minggu. Orangtua harus mengetahui perkembangan anak, masalahnya apa saja, temannya siapa saja, mata pelajaran kesukaannya apa, dan gurunya siapa dan bagaimana mengajarnya. Sesibuk apa pun orangtua harus menyempatkan berkomunikasi dengan anak, meski lewat telepon. Komunikasi bisa menumbuhkan kepercayaan diri anak dan kepercayaan anak terhadap orangtua. Bahwa anak merasa diperhatikan dan dihargai. Kedua, mengembangkan budaya di sekolah. Pendidikan karakter tidak hanya diajarkan di kelas, melainkan dicontohkan dalam setiap sikap dan perilaku komunitas sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan. Karakter baik menjadi budaya sekolah. Sekolah betul-betul mengajarkan kejujuran, kedisiplinan, saling menghormati, saling menghargai, dan mudah memaafkan. Masa orientasi siswa baru harus mengajarkan pendidikan karakter. Materi, panitia, dan pelaksanaan orientasi harus dalam kontrol dan bimbingan guru. Orientasi siswa baru harus menjadi momen penting untuk pengenalan karakter, bukan sebaliknya, menumbuhkan benih dendam karena berisi tindak kekerasan senior terhadap yunior. Ketiga, para pemimpin dan warga masyarakat perlu memberikan contoh karakter utama sesuai perannya masing-masing. Pemimpin menunjukkan sikap sederhana dan santun, serta peduli rakyat. Warga masyarakat hidup rukun. Mahasiswa melakukan unjuk rasa secara damai, dan memecahkan masalah dengan cara dialog. Produser membuat film yang mendidik.

3 Keempat, polisi seharusnya menjalin kerjasama dengan sekolah. Polisi mengawasi sekolah dan titik-titik rawan tawuran. Di Jakarta misalnya, terdapat 11 titik dan area kekerasan yang sudah dipetakan Polda Metro (detikNews, 26/9/2012). Seandainya polisi mencium gelagat yang tidak baik dari para pelajar atau ada indikasi akan terjadi tawuran di titik rawan tersebut, maka ia segera berkordinasi dengan timnya. Polisi juga bisa memantau media sosial para pelajar seperti Twitter yang menunjukkan percakapan antar pelajar di sekolah yang terlibat tawuran. Langkah ini bisa digunakan untuk mendeteksi rencana aksi lanjutan para pelajar, dan jika mungkin mengampanyekan anti tawuran melalui Twitter. Sebagai pengayom dan pemberi rasa aman warga masyarakat, polisi seharusnya bisa melaksanakan tugas tersebut—tentu dengan bantuan sekolah dan masyarakat pula. Tugas guru, orangtua, masyarakat, dan polisi tidak mudah untuk menghapuskan aksi tawuran pelajar. Karena itu, usaha yang serius dan menyeluruh, serta melibatkan semua pihak harus segera dilakukan guna mewujudkan pelajar yang berkarakter. Pelajar yang mencintai sesama dan berperilaku santun, serta menolak kekerasan; pelajar yang menggunakan akal dan hati nurani serta dialog dalam memecahkan masalahnya. Itulah tujuan sejati pendidikan karakter yang selalu kita dengungkan kepada guru di sekolah....


Similar Free PDFs