Tayamum dan Istinja Sudut Pandang Mazhab Empat PDF

Title Tayamum dan Istinja Sudut Pandang Mazhab Empat
Author Fazrul Hidayat
Pages 14
File Size 164.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 241
Total Views 687

Summary

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu FIQIH Ahmad Taufik Mubarak, TAYAMMUM DAN ISTINJA Disusun Oleh : Kelompok 1 (Satu) Aldia Meliyana : 180105020263 Fazrul Hidayat : 180105020244 Lili Rahmawati : 180105020280 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM S1 PERBANKAN SY...


Description

Tugas Terstruktur FIQIH

Dosen Pengampu Ahmad Taufik Mubarak,

TAYAMMUM DAN ISTINJA

Disusun Oleh : Kelompok 1 (Satu) Aldia Meliyana

: 180105020263

Fazrul Hidayat

: 180105020244

Lili Rahmawati

: 180105020280

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM S1 PERBANKAN SYARIAH 2018

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..............................................................................

i

DAFTAR ISI ............................................................................................

ii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................

1

B. Rumusan Masalah ........................................................................

1

C. Tujuan Penulisan ..........................................................................

1

BAB II : PEMBAHASAN A. Pengertian Tayamum ...................................................................

2

B. Syarat dan Rukun Tayammum .....................................................

6

C. Hal Yang Membatalkan Tayammum ...........................................

9

D. Pengertian Istinja’ ........................................................................

10

E. Alat-Alat Ber-istinja’ ...................................................................

11

F. Cara Ber-istinja’ ...........................................................................

13

G. Etika Dalam Ber-istinja’ ..............................................................

14

BAB III : PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................

16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thaharah berdasarkan arti harfiah berarti bersih dan suci, sedangkan berdasarkan pengertian syara, thaharah berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadast dan najis, khususnya pada saat kita hendak melakukan shalat. Lebih jauh lagi, thaharah berarti mensucikan diri dan hati. Thaharah atau bersuci menduduki masalah penting dalam islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa thaharah ibadah kita tidak diterima, sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah, tanpa thaharah ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah maka tidak akan diterima Allah. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari Tayamum? 2. Apa saja Syarat dan Rukun dari Tayamum? 3. Hal-hal apa Saja yang dapat Membatalkan Tayamum? 4. Apa pengertian dari Istinja? 5. Apa saja Alat-alat beristinja? 6. Bagaimana Cara beristinja? 7. Bagaimana etika dalam beristinja? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui pengertian Tayamum. 2. Mengetahui Syarat dan Rukun Tayamum. 3. Mengetahui hal yang dapat membatalkan Tayamum. 4. Mengetahui pengertian Istinja. 5. Mengetahui alat-alat Beristinja. 6. Mengetahui cara Berisntinja. 7. Mengetahui etika dalam Beristinja.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tayamum Tayamum ialah mengusap muka dan kedua tangan dengan debu yang suci dan mensucikan dengan di sertai niat. Tayamum adalah sebuah keringanan yang diberikan oleh Allah di dalam agama islam karena adanya sesuatu sebab. Yaitu seperti sebab tidak ada air, atau ada air tetapi untuk persediaan minum dan sebagainya.1. Imam Hanafi berpendapat : Orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayammum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. Imam Hanafi mengemukakan pendapatnya itu berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6:2 “ ...... Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang diantara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah....” Ayat diatas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayammum selama orang itu bukan musafir atau sakit. Bila tayammum itu hanya khusus bagi orang yang musafir3 dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan shalat, karena ia tidak bersuci. Dan shalat hanya diwajibkan bagi orang yang suci.4 Apabila bertayammum untuk shalat sebelum waktunya masuk dan mencari air, maka ia tidak boleh mengerjakan shalat dengan tayammum tersebut, melainkan ia boleh mengerjakan shalat apabila waktunya telah masuk sehingga apabila ia mengerjakan shalat tersebut maka hukumnya sah, dan setelah ia mencari air tetapi tidak mendapatinya (air).5 Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapati air wajib bertayammum dan shalat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan. Sakit maupun sehat berdasarkan hadis yang mutawatir:6 1 Abu Syahid Alwiy. Tanya Jawab Tentang Hukum-Hukum Agama Menurut Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Amani, 1984), hlm. 43. 2 Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, & Hambali, (Jakarta: Basrie Press, 1984), hlm. 99. 3 Orang yang bepergian meninggalkan kotanya (perantau). 4 Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, & Hambali, (Jakarta: Basrie Press, 1984), hlm. 100. 5 Dr.Rif’at Fauzi. Dkk. Al-Umm , Terj.Abu Faiq (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), hlm. 872. 6 Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab ... hlm. 100.

”Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang Islam, sakalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun”. Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat : Kalau mendapatkan air tapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pada sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayammum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayammuminya. Mazhab-mazhab yang lain : Adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak diwajibkannya selain bertayammum. Semua ulama mazhab sepakat bahwa di antara sebab-sebab dibolehkannya bertayammum itu adanya mudharat untuk menjaga kesehatan bila mempergunakan air. Maka barang siapa yang takut ditimpa suatu penyakit, atau penyakitnya bertambah atau memperlambat kesembuhannya, maka ia boleh bersuci dengan cara bertayammum (menggunkan debu).7 Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk bertayammum. Semua ulama mazhab sepakat bahwa bahan yang wajib dipergunakan tayammum itu adalah tanah yang suci, berdasarkan firman Allah SWT : ”Maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci”. (Q.S. Al-Maidah :6). Juga berdasarkan hadist Rasulullah SAW : ”Bumi ini dijadikan sebagai masjid (tempat sujud) dan suci”. Suci itu adalah yang tidak terkena najis. Dan ulama mazhab berbeda pandangan tentang hal tersebut. Imam Hanafi dan Sebagian kelompok Imamiyah : (Imam Hanafi dan Sebagian kelompok Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan debu, pasir dan batu, hanya mereka melarang bertayammum dengan barang-barang tambang, seperti kapur, garam, dan lain-lain.8 Imam Syafi’i : Imam Syafi’i membolehkan bertayammum dengan menggunakan tanah dan pasir kalau keduanya berdebu. Tetapi kalau bertayammum dengan batu tidak boleh.9 Jika ia mengikis debu dari dinding lalu beratayammum dengan debu tersebut, maka hukumnya sah. Jika ia meletakkan kedua tangannya pada dinding lalu ada debu yang menempel dan ia bertayammum dengan debu tersebut, maka hukumnya sah. Tetapi jika tidak ada debu yang menempel, maka hukumnya tidak sah.10 Imam Hambali : hanya membolehkan bertayammum dengan menggunakan tanah saja, dari itu tidak boleh bertayammum dengan pasir dan batu. 7

Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab... hlm. 101. Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab... hlm. 102. 9 Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab... hlm. 102. 10 Dr.Rif’at Fauzi. Dkk. Al-Umm, ... hlm. 889.

8

Imam Maliki : membolehkan bertayammum dengan menggunakan tanah, pasir, batu, dan barang tambang, kalau barang tambang tersebut tidak dipindahkan dari tempatnya, kecuali (yang dilarang) seperti emas, perak, dan permata. Imam Maliki melarang mempergunakan hal-hal tersebut untuk bertayammum secara mutlak.11 B. Syarat dan Rukun Tayammum Syarat sah tayammum, sebagai berikut: ➢ Islam, Orang yang non muslim tidak sah tayammumnya. ➢ Telah masuk waktu shalat. ➢ Tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi debu tanah sampai ke kulit, misalnya: lilin, aspal, cat, dan sebagainya. ➢ Tidak dalam keadaan haid dan nifas bagi wanita. ➢ Mukallaf (sudah baligh), tidak wajib dan tidak sah tayammum orang-orang yang gila, sedangkan anak-anak yang belum baligh, boleh ia lakukan sebagai latihan baginya, sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. ➢ Mencari air sebelum bertayammum, bagi orang yang tidak menemukan air maka boleh melakukan bertayammum.12



Sebab-sebab yang membolehkan tayammum: Masuknya waktu shalat. Jika shalat (yang akan dilaksanakan) adalah shalat fardhu yang akan dilaksanakan pada waktunya, maka seseorang tidak boleh bertayammum sebelum masuknya waktu shalat. Sementara Abu Hanifah berkata, “Sah (melakukan) tayammum sebelum waktu shalat (tiba), sebab tayammum adalah bersuci untuk membuat shalat menjadi diperbolehkan. Oleh karena itu, diperbolehkan melaksanakan tayammum lebih awal dari (masuknya) waktu shalat, seperti semua thaharah (lainnya). Diriwayatkan dari Ahmad dia berkata, “menurut qiyas , tayamum itu sederajat dengan thaharah (wudhu), hingga seseorang menemukan air atau berhadast. “Berdasarkan kepada qiyas ini, tayammum boleh dilaksanakan sebelum (masuknya) waktu (shalat). “Namun yang dianut oleh Mazhab (Hambali) adalah pendapat yang pertama. Sebab tayammum adalah thaharah darurat, sehingga tidak diperbolehkan sebelum (masuknya) waktu (shalat), seperti tahaharahnya wanita yang sedang istihadhah (setelah haid). 11

Muhammad Jawad Mughiyah. Fiqih Lima Mazhab... , hlm. 102. Drs. H. Muhammadiyah Djafar. Pedoman Ibadah Muslim Dalam empat Mazhab Sunni Dan Dalil Dalilnya (Pasuruan: Garuda Buana Indah, 1992), hlm. 150-151. 12







Adapun qiyas mereka, hal itu terbantahkan oleh thaharahnya wanita yang mengalami istihadhah. Lebih dari, tayammum itu berbeda dari semua thaharah lainnya. Sebab semua thaharah yang lain itu bukan karena darurat.13 Telah mencari air Syarat ini dan syarat tidak menemukan air hanya diharuskan bagi orang yang akan bertayammum karena udzhur tidak ada air. Selain itu, juga karena alasan bahwa seseorang tidak mengetahui adanya air di dekatnya, sehingga dia identik dengan orang yang mencari air kemudian tidak mendapatkannya. Allah berfirman, ”lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammum lah.” (Q.S. Al-Maidah [5]:6) Dalam hal ini, seseorang belum bisa dipastikan tidak menemukan air kecuali setelah dia mencarinya. Selain itu, juga karena alasan bahwa tayammum adalah untuk (boleh) melakukan shalat yang hanya di khususkan untuknya. Oleh karena itu, seseorang harus bersungguh-sungguh dalam mencari air ketika tidak menemukannya. Jika tidak melihat kedepan, belakang, kanan dan kiri, tapi dia menjumpai kepada orang-orang yang mempunyai air, maka dia dapat meminta air kepada mereka. Tayammum merupakan thaharah darurat, dan tayammum itu tidak dapat menghilangkan hadats. Oleh karena itu, tayammum tidak boleh dilakukankecuali pada saat darurat, sementara jika air masih ada, maka status darurat menjadi hilang.14 Sakit atau lambat sembuh Jika seseorang mengkhawatirkan jiwanya atau khawatir rusaknya anggota badan jika ia menggunakan air, karena memang ia sedang sakit atau demam, sehingga dia bimbang jikalau dia menggunakan air, maka sakitnya akan bertambah parah atau semakin lambat sembuh, dan dia mengetahui hal ini berdasarkan pengalaman maka dia dibolehkan bertayammum. Ini adalah pendapat ulama maliki dan syafi’i.15 Tidak ada alat untuk mengambil air Orang yang sebenarnya mampu menggunakan air boleh melakukan tayammum, jika tidak ada orang yang dapat membantunya untuk mendapatkan air, ataupun ia tidak mempunyai alat untuk memperoleh air, seperti tidak adanya tali ataupun tidak ada timba.16 13

Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Dkk. Al Mughni, Terj.Ahmad Hotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 392-393. 14 Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Dkk. Al Mughni,... hlm. 393-394. 15 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Terj.Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: DarulFikr, Damaskus, 2007), hlm. 479. 16 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ... hlm. 481.



Rukun Tayammum sebagai berikut: Niat

➢ ➢ ➢ ➢

Artinya: ”Sengaja aku bertayammum untuk melakukan shalat fardhu karena Allah Ta’ala”. Memindahkan tanah ke muka dan ke tangan Menyapu seluruh muka dengan tanah Menyapu seluruh tangan sampai dengan siku Tertib (berurutan)

C. Hal Yang Membatalkan Tayammum ➢ Segala yang membatalkan wudhu ➢ Murtad ➢ Melihat air sewaktu shalat Jika seseorang melihat air ketika sedang shalat maka tayammumnya batal menurut ulama Hanafi dan Hambali. Thaharah itu batal karena telah hilang sebabnya ditambah lagi shalat asalnya adalah harus dengan wudhu. Apabila ia melihat air artinya dia sanggup melakukan shalat dengan asal (wudhu). Menurut ulama mazhab Maliki tayammumnya tidak batal dan menurut ulama mazhab Syafi’i, jika dia seorang musafir, maka tayammumnya tidak batal karena dia benarkan shalat dengan tayammum. ➢ Mendapatkan air setelah shalat Jika seseorang melihat air setelah waktu shalat habis, maka para Fuqaha bersepakat bahwa dia tidak perlu lagi mengulanginya, demi mengelakan(menghindari) kesusahan. Jika dia melihat air ketika sedang shalat, maka menurut jumhur selain ulama syafi’i dia tidak perlu mengulanginya. Adapun menurut ulama syafi’i, jika orang tersebut dalam keadaan mukim, maka dia wajib mengulanginya. Tetapi jika dia dalam keadaan safar, di mana perjalanannya tidak ada tujuan maksiat, maka dia tidak perlu mengulanginya.17 D. Pengertian Istinja

17

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu,... hlm. 504-505.

Perkataan istinja’ menurut bahasa adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis, yaitu kotoran. Adapaun menurut istilah syara’ istinja’ adalah perbuatan yangdilakukan untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda seperti air atau batu.18 Istinja’ dapat diartikan juga sebagai tindakan menghilangkan najis yang kotor meskipun najis tersebut jarang keluar seperti darah, madzi 19, dan air wadi20. Pembersihan juga bukan dilakukan begitu saja, melainkan dilakukan ketika ada keperluan saja, yaitu dengan menggunakan air ataupun batu.21 Istijmar (bersuci dari sesuatu yang keluar dari jalur kemaluan dan anus dengan menggunakan batu) adalah bentuk istif’al dari kata al-jimar, yaitu batubatu kecil. Sebab, dia menggunakan batu-batu kecil tersebut dalam istijmarnya.22 E. Alat-Alat Beristinja Istinja’ hendaklah dilakukan dengan menggunakan air, batu, atau yang semacamnya, yaitu benda-benda yang keras, suci, dan mampu menghilangkan kotoran, dan juga barang tersebut bukanlah barang berharga. Di antara alat yang bisa digunakan untuk ber-istinja’ adalah kertas, potongan kain, kayu, dan kulit kayu. Dengan menggunakan alat-alat ini, maka tujuan istinja’ akan tercapai sama seperti ketika menggunakan batu. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan bahan yang keras dan juga air sekaligus. Yaitu, dengan mendahulukan menggunkan kertas dan yang semacamnya, kemudian diikuti dengan menggunakan air, karena benda najis itu akan hilang dengan kertas ataupun batu, dan bekasnya akan hilang dengan menggunakan air. Menggunakan air saja adalah lebih baik daripada menggunakan batu saja atau yang seumpamanya. Karena, air mampu menghilangkan zat najis dan juga berkasnya. Berbeda dengan batu, dan yang seumpamanya. Syarat ber-istinja’ dengan batu ataupun kertas dan yang seumpamanya adalah sebagai berikut. 1. Hendaklah najis yang keluar itu belum kering. Jika ia sudah kering, maka wajib menggunakan air ketika membersihkannya. 2. Jangan sampai najis itu berpindah tempat dari tempat keluarnya dan melekat pada tampat yang lain. Dan jangan sampai najis itu melewati 18

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu,... , hlm. 283-284. Air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Kaeluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’. 20 Cairan putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing atau mungkin setelah melakukan pekerjaan melelahkan. 21 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ... , hlm. 284. 22 Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Dkk. Al Mughni, ... hlm. 258. 19

tempat keluarnya, jika ia melewati dan berada ditempat lain, maka untuk membersihkannya wajib menggunakan air. Ini merupakan kesepakatan ulama.23 Menurut pendapat ulama selain ulama madzhab Maliki, menggunakan kertas dan yang seumpamanya untuk mengusap darah haid ataupun nifas adalah mencukupi. Begitu juga menurut pendapat para ulama mazhab Syafi’i, Hambali, dan Hanafi, sudah cukup apabila seseorang menggunakan batu untuk mengusap apa saja yang keluarnya jarang seperti darah, wadi, dan juga madzi. Menurut pendapat ulama madzhab Maliki, seseorang tidak boleh beristijmar dengan menggunakan batu untuk membersihkan air mani, air madzi, dan darah haid, melainkan ia wajib menggunakan air untuk meghilangkannya. Begitu perempuan, baik perawan ataupun janda, maka harus menggunakan air.24 F. Cara Ber-isntija’ Hendaklah seseorang menuangkan air keatas tangan kirinya sebelum dia menyentuh najis, kemudian dia membasuh qubulnya, yaitu saluran air kencing, dan membasuh seluruh zakarnya apabila keluar air madzi. Kemudian barulah membasuh dubur diikuti dengan mencurahkan air, dan menggosok dengan tangan kiri. Hendaklah dia membungkukkan badan sedikit kemudian menggosoknya (dubur) dengan cermat sehingga tempat itu menjadi bersih. Beristinja’dengan menggunakan tangan kanan tidak dianjurkan. Begitu juga menyentuh zakar dengan tangan kanan. Seseorang yang sedang berpuasa hendaklah tidak memasukkan jarinya ke dalam dubur, karena tindakan itu dapat membatalkan puasa.25 Cara Ber-istijmar Hendaklah batu pertama digunakan untuk mengusap, di mulai dari bagian depan ke arah bagian belakang, dan batu kedua digunakan untuk bagian belakang ke arah bagian depan. Kemudian batu yang ketiga digunakan untuk mengusap seperti ketika menggunakan batu yang pertama, yaitu dari arah depan ke arah belakang. Ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa meratakan setiap satu batu ke semua bagian tempat (keluar najis) adalah sunnah, yaitu memulakan dengan batu yang pertama dari bagian depan sebelah kanan dubur, kemudian mendorongnya dengan perlahan mengelilingi dubur hingga kembali ke tempat semula. Begitu juga dengan batu yang kedua, tetapi hendaklah memulakannya 23

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu... hlm. 287-288. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu... hlm. 288. 25 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu... hlm. 290.

24

dari bagian depan sebelah kiri. Sementara, batu ketiga digunakan untuk membersihkan kedua belah sisinya dan juga bagian keluarnya najis yang dinamai musrabah.26 G. Etika Dalam Ber-istinja’ • Membaca Basmallah dan do’a sebelum memasuki kamar kecil Adapun hikmah dari membaca doa sebelum memasuki kamar kecil adalah agar terhindar dari gangguan setan yang memang bersarang dikamar kecil sebagai tempat favorit mereka. Sehingga ketika seseorang membaca dia, maka setan-setan akan keluar dari kamar mandi dan tidak akan mempengaruhi orang tersebut. Walaupun demikian, dianjurkan untuk tidak berlama-lama di dalam kamar kecil (WC). • Memasuki kamar mandi dengan kaki kiri, dianjurkan pula menggunakan alas kaki khusus di dalam kamar kecil • Tidak menghadap ke arah kiblat • Buang air dengan posisi duduk, baik buang air kecil maupun buang air besar. Hikmah buang air secara duduk adalah tercegah dari air seni sisa di alat kelamin laki-laki, dan lebih bersih. Adapun car...


Similar Free PDFs