TEORI KOMUNIKASI (TEORI AGENDA SETTING PDF

Title TEORI KOMUNIKASI (TEORI AGENDA SETTING
Author Yayan Maryanti
Pages 8
File Size 69.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 113
Total Views 298

Summary

TEORI KOMUNIKASI (TEORI AGENDA SETTING) ARBY DJUHANDI DJUWARSA 2016-41-119 KELAS: H Teori Agenda Setting Teori Penentuan Agenda (bahasa Inggris: Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentra...


Description

TEORI KOMUNIKASI (TEORI AGENDA SETTING)

ARBY DJUHANDI DJUWARSA 2016-41-119 KELAS: H

Teori Agenda Setting Teori Penentuan Agenda (bahasa Inggris: Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Teori Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita.

Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menetukan “acara” (agenda) kampanye. Dampak media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas Agenda Setting telah membangkitkan kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa.

Mereka menuliskan bahwa audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan kepada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan para kandidat dalam suatu kempanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media

massa menetapkan 'agenda' kampanye tersebut. Kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa. Dalam hal kampanye, teori ini mengasumsikan bahwa jika para calon pemilih dapat diyakinkan akan pentingnya suatu isu maka mereka akan memilih kandidat atau partai yang diproyeksikan paling berkompeten dalam menangani isu tersebut.

McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi pemberitaan. Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya adalah, ternyata ada kesamaan antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu yang ditonjolkan oleh pemberitaan media massa. McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.

Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apaapa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita.

Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing. McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997)

Contoh Kasus Belum lama ini kita disibukan dan dibuat resah oleh pemberitaan di media massa. Terutama pemberitaan mengenai kasus korupsi. Isu-isu dan kasus yang berkembang seolah terdapat setting dari media massa. Pengalihan isi pemberitaan menjadi hal yang perlu dikaji dan dianalisi secara cermat. Alih-alih rating menjadi alasan yang kuat dalam isi pemberitaan.

Salah satu kasus yang pernah terjadi yakni kasus Bank Century. Setelah sekian lama tak terdengar kabar, akhirnya baru-baru ini menguap kembali ke permukaan. Beberapa elite politik ternyata ikut masuk dalam daftar hitam. Pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun berlanjut. Seolah menemui titik cerah, optimisme terhadap penyelesaian kasus ini pun kian terbuka. Media massa begitu antusias memberitakan perkembangan kasus ini. Di media cetak apalagi, kasus ini sempat beberapa kali menjadi headline.

Tetapi beberapa hari kemudian, arah pemberitaan media massa berbelok. Munculah sebuah kasus baru yang menggemparkan lembaga hukum negeri ini. Kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjadi topik menarik dalam pemberitaan di media massa. Khalayak kembali digiring menuju pemberitaan yang lain.

Khalayak yang tidak begitu cermat dan kritis terhadap pemberitaan tersebut mugnkian akan menerimanya begitu saja. Sebagaimana yang disuguhkan oleh media massa. Tanpa merasa ada keganjilan. Tetapi bila kita kritisi dan kaji secara cermat, ada setting-an tersendiri yang dilakukan oleh media massa. Yang kemudian dipopulerkan oleh sarjana-sarjana komunikasi sebagai teori Agenda Setting.

Hubungan yang kuat antara berita yang disampaikna media dengan isu-isu yang dinilai penting oleh publik merupakan salah satu jenis efek media massa yang paling populer yang dinamakan dengan agenda setting. Istilah “agenda setting” diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972, 1993), dua peneliti dari Universitas North Carolina, untuk menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu) yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut.[1]

Media massa mempunyai kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif individu. Asumsi dasar teori ini yakni jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa atau isu, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting oleh media massa, maka dianggap penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat.[2]

Agenda setting menjelaskan betapa besarnya pengaruh media massa berkaitan dengan kemampuannya memberitahukan khalayak terhadap isu-isu apa saja yang dianggap penting. Seperti pemaparan kasus di atas, media massa mempunyai kekuatan untuk mengarahkan dari satu isu ke isu yang lainnya. Mulanya kasus Bank Century yang hampir terungkap titik cerahnya, kemudian beralih pada kasus suap ketua MK.

Meskipun yang menjadi alasan yakni ratting, tetapi itu semua tidak terlepas dari agenda setting media massa. Memang rumit, karena media massa harus mengikuti perkembangan peristiwa yang hangat di masyarakat. Kalau tidak seperti itu sebuah media massa bisa jadi ditinggalkan pembaca.

Intervensi Pemilik Modal

Sebuah media massa tidak mungkin terlepas dari adanya kepentingan pemilik modal, karena dalam praktek kejurnalistikan mempunyai modal yang tidak sedikit. Ini menjadi catatan

tersendiri. Di satu sisi seorang wartawan di media massa harus di tuntut untuk idealis, tapi di sisi lain mereka harus mengikuti mekanisme kepentingan pemilik modal.

Dari berbagai kasus, terpusatnya kepemilikan media di tangan segelintir pemodal bisa diajukan sebagai kambing hitam utama. Konsentrasi kepemilikan menyebabkan media kemudian (di)identik(kan) dengan pemiliknya. Anggapan bahwa agenda media merupakan manifestasi perwujudan agenda pemilik modal menjadi tak terhindarkan. Alhasil, prinsip jurnalistik yang dituntut untuk “objektif, independen, dan berimbang” perlahan mulai memudar. Mengikuti kepentingan-kepentingan pemilik modalah yang menjadi prinsip baru di dunia jurnalistik.

Intervensi pemilik modal juga memengaruhi pada agenda setting media massa. Sebenarnya tidak ada masalah bagi pemilik modal untuk “membeli” sebuah media massa. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah intervensi pemilik modal pada pemberitaan. Misalnya dalam kasus lumpur Lapindo. Salah satu stasiun televisi swasta mencoba untuk mengkritisi penyelesaian ganti rugi kasus korban lumpur Lapindo yang terendam rumahnya. Menurut stasiun itu, biaya ganti rugi tidak sesuai dan sebagian masyarakat tidak kebagian jatah.

Tetapi di stasiun televisi lain mengambil angel yang berbeda. Stasiun itu menganggap bahwa pemenuhan tanggung jawab PT. Lapindo terhadap ganti rugi masyarakat yang terkena dampak lumpur sudah dipenuhi. Justru TV itu menganggap ada oknum yang mecoba mengambil kesempatan di dalam kesempitan.

Di satu media sebuah kasus bisa menjadi berita yang bernada positif, tetapi di media lain beritanya justru bernada negatif. Terkadang masyarakat akan kebingungan karena terjadinya distorsi berita, di mana masyarakat kesulitan harus percaya pada berita yang mana yang benar. Dalam kasus lumpur Lapindo di atas, ternyata ada “permainan” politik tersendiri. Pemilik modalah yang menjadi aktor utama dalam pemilihan angel sebuah berita. Kedua pemilik modal tersebut rupanya mempunya jabatan dalam politik yakni sebagai ketua partai politik. Tentunya ini merupakan permainan politik dengan menjadikan media massa sebagai alat politik.

Dengan demikian, jelas bahwa agenda setting dalam pemberitaan di media massa tidak bisa telepas dari pemilik modal. Terutama bila pemilik modal eksis pula di dunia politik. Media massa bisa jadi sebagai alat politik pemilik modal untuk sebuah pencitraan. Supaya mereka (pemilik modal) bisa mendapatkan suara dan posisi di pemerintahan....


Similar Free PDFs