4444180035 dina riziani laprak 3 eng PDF

Title 4444180035 dina riziani laprak 3 eng
Author DINA RIZIANI
Course Teknologi Pangan
Institution Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pages 14
File Size 427.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 209
Total Views 1,023

Summary

Laporan Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Rabu, 14 April 2021PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEINDina Riziani 4444180035Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Corresponding author : dinarzn17@gmail Abstrak Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan oleh ...


Description

Laporan Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Rabu, 14 April 2021

PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEIN Dina Riziani 4444180035

Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa *Corresponding author : [email protected]

Abstrak Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan porsi yang cukup besar disamping zat gizi lain, seperti karbohidrat. Keberadaan protein terdapat di berbagai bahan pangan baik hewani maupun nabati. Protein cukup banyak terkandung di bahan pangan hewani dengan daya cerna yang lebih baik dibandingkan protein pada bahan pangan nabati. Namun, terdapat juga bahan pangan nabati yang sarat akan kandungan protein yang lengkap, seperti kedelai. Kedelai merupakan alternatif sumber protein yang menjanjikan untuk menggantikan protein hewani. Protein kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Selain itu protein kedelai mengandung asam amino yang relatif lebih tinggi daripada protein biji-bijian lainnya, terutama asam amino lisin. Tujuan praktikum ini yaitu untuk mengukur daya cerna protein pada beberapa macam sampel produk dari kedelai dengan menggunakan metode in-vitro dan mengetahui daya cerna protein melalui analisa penurunan pH sampel setelah mengalami reaksi hidrolisis. Kata Kunci : Analisis Protein, Daya Cerna Protein, Kedelai, Tempe

Pendahuluan Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan porsi yang cukup besar disamping zat gizi lain, seperti karbohidrat. Keberadaan protein terdapat di berbagai bahan pangan baik hewani maupun nabati. Protein cukup banyak terkandung di bahan pangan hewani dengan daya cerna yang lebih baik dibandingkan protein pada bahan pangan nabati. Namun, terdapat juga bahan pangan nabati yang sarat akan kandungan protein yang lengkap, seperti kedelai. 1

Kedelai merupakan alternatif sumber protein yang menjanjikan

untuk

menggantikan protein hewani. Protein kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Selain itu protein kedelai mengandung asam amino yang relatif lebih tinggi daripada protein biji-bijian lainnya, terutama asam amino lisin (FAO 1971). Selain dikonsumsi secara langsung, terdapat juga berbagai jenis produk olahan kedelai yang beredar di pasaran, seperti tempe, kecap, dan minuman bubuk kedelai. Meskipun berbahan dasar sama, masing-masing bentuk olahan kedelai tersebut memiliki nilai gizi yang berbeda. Secara keseluruhan, tempe memiliki kadar dan daya cerna protein yang lebih tinggi di antara produk -produk olahan kedelai lainnya (Sugiyono 2008). Adanya perlakuan selama pengolahan menyebabkan peningkatan nilai gizi protein dan ketersediaan zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Palupi 2007). Hal tersebut disebabkan karena terlepasnya asam amino bebas, sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh (Astawan 2008). Berdasarkan pernyataan tersebut, dilakukan analisis lebih lanjut tehadap beberapa produk olahan kedelai untuk mengetahui daya cerna protein kedelai secara in vitro, serta membuktikan adanya peningkatan daya cerna terhadap protein kedelai pada produk olahan kedelai tersebut. Tujuan praktikum ini yaitu untuk mengukur daya cerna protein pada beberapa macam sampel produk dari kedelai dengan menggunakan metode in-vitro dan mengetahui daya cerna protein melalui analisa penurunan pH sampel setelah mengalami reaksi hidrolisis.

Metode Waktu dan Tempat Praktikum dilaksanakan pada Rabu, 14 April 2021 pukul 07.00-09.30 WIB secara virtual melalui zoom meeting.

Alat dan Bahan Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain tabung reaksi bertutup, gelas ukur, pH-meter, neraca analitik, tabung sentrifus plastik, vortex, pipet Mohr, sentrifuge, waterbath dan spektrofotometer. Adapun bahanbahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu kasein, tepung kedelai mentah,

2

tepung kedelai matang, tepung tempe mentah, tepung tempe matang, akuades pH 8.0, NaOH 1N, campuran enzim (tripsin, kimotripsin, pankreatin), TCA 0.1M, Na2CO3 0.4M, dan pereaksi Folin

Prosedur Kerja Daya cerna protein pada sampel dilakukan secara in vitro dengan menggunakan campuran enzim (tripsin, kimotripsin, dan pankreatin) yang kemudian akan dibandingkan dengan daya cerna kasein, sehingga diketahui daya cerna protein relatif masing-masing sampel. Asam amino yang dihasilkan akibat reaksi enzimatis kemudian direaksikan dengan pereaksi Folin, sehingga intensitas warna yang dihasilkan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 578 nm. Diagram alir prosedur analisis dapat dilihat pada gambar 1.

*

3

*

Gambar 1. Diagram alir penentuan daya cerna protein in vitro

Analisis Data Praktikum yang dilakukan untuk mengukur daya cerna protein pada beberapa macam sampel produk dari kedelai dengan menggunakan metode in-vitro dan mengetahui daya cerna protein melalui analisa penurunan pH sampel setelah mengalami reaksi hidrolisis.

Hasil dan Pembahasan Hasil Tabel 1. Data hasil daya cerna protein in vitro Absorbansi Sampel

Sampel

Absorbansi

Daya Cerna Protein Relatif

Blanko

(%)

Rata-rata Daya Cerna Protein Relatif (%)

Kasein Kontrol Tepung kedelai

U1

U2

U1

U2

U1

U2

1.450

1.467

0.059

0.050

100.00

100.00

100.00

0.940

1.022

0.831

0.722

7.84

21.17

14.50

0.620

0.761

0.364

0.497

18.40

18.63

18.52

mentah Tepung kedelai matang

4

Tepung kedelai matang

0.682

0.786

0.368

0.395

22.57

27.59

25.08

0.569

0.322

0.564

0.359

0.36

-2.61

-1.13

0.344

0.303

0.218

0.201

9,06

7.20

8.13

Tepung tempe mentah Tepung tempe matang

Gambar 2. Diagram daya cerna protein relatif

Penentuan daya cerna protein secara in vitro dapat dilakukan berdasakan prinsip absorbansi dengan penggunaan indikator berupa pereaksi Folin yang memberikan warna pada asam amino dan peptida hasil hidrolisis oleh enzim. Perbedaan intensitas warna larutan dapat menunjukkan perbedaan kandungan asam amino dan peptida (protein) pada sampel. Dalam prinsip ini absorbansi berbanding lurus dengan jumlah asam amino dan peptida dalam larutan. Nilai absorbansi sampel yang telah dikurangi dengan absorbansi blanko kemudian dibandingkan dengan nilai absorbansi kasein sebagai kontrol untuk menentukan daya cerna protein tersebut secara relatif terhadap kasein. Ada lima sampel yang diuji daya cerna proteinnya pada praktikum ini, antara lain yaitu sampel tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang 1 dan 2, tepung tempe mentah, dan tepung tempe matang. Kelima sampel tersebut dibandingkan dengan protein standar, yaitu kasein. Penggunaan kasein sebagai

5

standar dilakukan dengan alasan kualitas protein kasein yang baik serta merupakan satu protein tunggal yang lebih mudah dicerna dibandingkan sampel sehingga akan menunjukkan daya cerna yang baik pula dibandingkan sampel. Kasein didefinisikan sebagai beberapa kelompok phosphoprotein yang digumpalkan dari susu skim pada pH sekitar 4.6 sampai dengan 4.7 (Damodaran 1996). Kasein komersial umumnya dihasilkan dari susu skim yang mengalami pengendapan kasein dengan penambahan asam atau rennet. Komposisi kasein komersial terdiri dari protein 88.5%, lemak 0.2%, air 7%, dan mempunyai kadar abu 3.8% (Webb et al. 1981). Daya cerna protein dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksogenus dan endogenus (Guo et al. 2007). Faktor eksogenus misalnya interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor (Duodu et al. 2003; Ikeda et al. 1986). Sedangkan faktor endogenus terkait dengan karakterisasi struktur protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas dan perlakuan reduksi (Deshpande dan Damodaran 1989; Ikeda et al. 1991; Vaintraub et al. 1979). Fennema (1996) mengungkapkan bahwa daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas permukaan partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali. Konformasi protein dapat berhubungan dengan proses pengolahan produk. Pemanasan merupakan suatu proses termal yang dapat mengubah konformasi protein (Fennema 1996). Proses pemanasan, seperti perebusan kedelai atau pengeringan dapat meningkatkan daya cerna protein karena dapat mendenaturasi protein senyawa anti-nutrisi (anti-protease) (Muchtadi 1993). Hasil percobaan menunjukkan daya cerna relatif dari tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang 1, tepung kedelai matang 2, tepung tempe mentah, dan tepung tempe matang terhadap kasein masing-masing adalah 14,50% , 18,52%, 25,08%,

-1,13%, dan 8,13%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang memiliki

daya cerna protein relatif yang paling tinggi adalah tepung kedelai matang 2, sementara sampel tepung tempe mentah memiliki daya cerna protein yang paling rendah. Pada dasarnya, sampel dalam bentuk tepung-tepungan seperti yang diuji pada praktikum ini akan memiliki daya cerna protein relatif yang tinggi karena

6

perlakuan pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein. Hal ini terjadi karena proses pengeringan akan mengeluarkan air dari protein serta membuat protein memiliki luas permukaan yang lebih luas dari sebelumnya dikarenakan partikel protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya, enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein (Fennema 1996). Sampel tepung kedelai matang memiliki daya cerna yang paling tinggi dikarenakan adanya proses pemanasan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi protein yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 °C) selama satu jam atau kurang. Rendahnya daya cerna protein relatif pada sampel tepung tempe mentah maupun tepung tempe matang tidak sesuai dengan hasil penelitian Guo et al. (2007) yang menyatakan bahwa proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan 2008). Ketidaksesuaian ini kemungkinan dipengaruhi oleh sifat protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi 1993). Selain itu, adanya kesalahan prosedur praktikum, yaitu waktu inkubasi kedua yang lebih dari 20 menit serta ketidakstabilan pereaksi Folin juga dapat mempengaruhi hasil uji. Pereaksi Folin merupakan senyawa yang sangat reaktif dan mudah berikatan dengan senyawa lain seperti amonium sulfat, sesium bikarbonat, glisin (lebih besar dari 0,5%), sukrosa, glukosa, EDTA, NaCl, sorbitol, octyl glucoside, chaps, chapso, lubrol, tris, Triton X-100, dan lain-lain. Amonium sulfat, lubrol, chaps, chapso, dan sesium bikarbonat merupakan contoh senyawa pengganggu yang dapat mengendapkan protein. Glisin dan EDTA adalah contoh senyawa pengganggu yang menyebabkan tidak terbentuknya warna biru pada reaksi (Walker 2002). Selain itu, merkaptan (2-mercaptoethanol) dan ditiotreitol (DTT) merupakan senyawa

7

pengganggu yang mereduksi protein untuk bereaksi dengan pewarna. Inkubasi kedua (setelah penambahan pereaksi Folin) pada sampel tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim yang lebih dari 20 menit kemungkinan menyebabkan asam amino glisin pada sampel bereaksi secara berlebihan dengan ion Cu2+ dalam pereaksi Folin, akibatnya intensitas warna biru yang terbentuk pada sampel tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim lebih rendah daripada tepung tempe mentah perlakuan tanpa penambahan enzim, sehingga daya cerna protein relatif yang terukur bernilai negatif.

Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang dilakukan terhadap beberapa sampel tepung berbahan dasar kedelai dapat diketahui bahwa sampel yang memiliki daya cerna protein tertinggi berturut-turut adalah kasein, tepung kedelai matang, tepung kedelai mentah, tepung tempe matang, dan tepung tempe matang. Tepung kedelai matang memiliki daya cerna protein yang lebih tinggi daripada tepung tempe yang telah mengalami proses fermentasi. Hal ini dimungkinkan adanya pengaruh oleh sifat protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida.

Daftar Pustaka Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe, Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan dengan Tempe. Jakarta : PT Dian Rakyat Damodaran S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam: Fennema, OR. (Ed.). Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York. Deshpande SS, Damodaran S. 1989. Heat induced conformational changes in phaseolin and its relation to proteolysis. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) – Protein Structure and Molecular Enzymology 998: 179–188. Duodu KG, Taylor JRN, Belton PS, Hamaker BR. 2003. Factors affecting sorghum protein digestibility. J of Cereal Sci 38: 117–131. 8

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1971. Technology production from soybean. Agriculture Service Bulletin, Roma. Fennema ON. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York. Guo X, Huiyuan Y, Zhengxing C. 2007. Effect of heat, rutin and disulfide bond reduction on in vitro pepsin digestibility of Chinese tartary buckwheat protein fractions. J of Food Chem 102:118–122. Ikeda K, Oku M, Kusano T, Yasumoto K. 1986. Inhibitory potency of plant antinutrients towards the in vitro digestibility of buckwheat protein. J of Food Sci 51: 1527–1530. Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Owusu RK. 2002. Food Protein Analysis: Quantitative Effects on Processing. NewYork: Marcel Dekker. Palupi, Ns, FZ Zakaria, E Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP, Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB .

9

LAMPIRAN

A. Jawaban Pertanyaan Modul 1. Carilah literatur mengenai nilai daya cerna protein dari masingmasing sampel percobaan, bandingkan dengan hasil praktikum yang diperoleh! JAWAB: Hasil percobaan menunjukkan daya cerna relatif dari tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang 1, tepung kedelai matang 2, tepung tempe mentah, dan tepung tempe matang terhadap kasein masing-masing adalah 14,50% , 18,52%, 25,08%,

-1,13%, dan 8,13%. Hal ini menunjukkan

bahwa sampel yang memiliki daya cerna protein relatif yang paling tinggi adalah tepung kedelai matang 2, sementara sampel tepung tempe mentah memiliki daya cerna protein yang paling rendah. Pada dasarnya, sampel dalam bentuk tepung-tepungan seperti yang diuji pada praktikum ini akan memiliki daya cerna protein relatif yang tinggi karena perlakuan pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein. Hal ini terjadi karena proses pengeringan akan mengeluarkan air dari protein serta membuat protein memiliki luas permukaan yang lebih luas dari sebelumnya dikarenakan partikel protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya, enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein (Fennema 1996). Sampel tepung kedelai matang memiliki daya cerna yang paling tinggi dikarenakan adanya proses pemanasan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi protein yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 °C) selama satu jam atau kurang. Rendahnya daya cerna protein relatif pada sampel tepung tempe mentah maupun tepung tempe matang tidak sesuai dengan hasil penelitian Guo et al. (2007) yang menyatakan bahwa proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang

10

tempe, sehingga protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan 2008). Ketidaksesuaian ini kemungkinan dipengaruhi oleh sifat protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi 1993). Selain itu, adanya kesalahan prosedur praktikum, yaitu waktu inkubasi kedua yang lebih dari 20 menit serta ketidakstabilan pereaksi Folin juga dapat mempengaruhi hasil uji.

2. Apa saja faktor yang mempengaruhi daya cerna protein? JAWAB: Daya cerna protein dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksogenus dan endogenus (Guo et al. 2007). Faktor eksogenus misalnya interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor (Duodu

et al. 2003; Ikeda et al. 1986). Sedangkan faktor

endogenus terkait dengan karakterisasi struktur protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas dan perlakuan reduksi (Deshpande dan Damodaran 1989; Ikeda et al. 1991; Vaintraub et al. 1979). Fennema (1996) mengungkapkan bahwa daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas permukaan partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali.

3. Apakah ada pengaruh proses pengolahan terhadap daya cerna protein? Jelaskan! Kaitkan dengan hasil praktikum! JAWAB : Ya. Pada dasarnya, sampel dalam bentuk tepung-tepungan seperti yang diuji pada praktikum ini akan memiliki daya cerna protein relatif yang

11

tinggi karena perlakuan pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein.

Hal ini terjadi karena proses pengeringan akan

mengeluarkan air dari protein serta membuat protein memiliki luas permukaan yang lebih luas dari sebelumnya dikarenakan partikel protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya, enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein (Fennema 1996). Sampel tepung kedelai matang memiliki daya cerna yang paling tinggi dikarenakan adanya proses pemanasan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi protein yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (6090 °C) selama satu jam atau kurang. Selain itu, rendahnya daya cerna protein relatif pada sampel tepung tempe mentah maupun tepung tempe matang tidak sesuai dengan hasil penelitian Guo et al. (2007) yang menyatakan bahwa proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan 2008).

B. Perhitungan Daya cerna pro...


Similar Free PDFs