EPISTEMOLOGI INTEGRASI INTERKONEKSI M. AMIN ABDULLAH PDF

Title EPISTEMOLOGI INTEGRASI INTERKONEKSI M. AMIN ABDULLAH
Pages 15
File Size 237.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 361
Total Views 581

Summary

EPISTEMOLOGI INTEGRASI-INTERKONEKSI M. AMIN ABDULLAH Suratno1 ABSTRAK Dunia keilmuan mengalami kemunduran pesat sejak terjadi pemisahan antara keilmuan agama dan keilmuan alam atau umum. Hal ini dimulai sejak dikotomi pendidikan agama dan umum kemudian muncul sebagai akibat dari penjajahan barat yan...


Description

EPISTEMOLOGI INTEGRASI-INTERKONEKSI M. AMIN ABDULLAH

Suratno1

ABSTRAK Dunia keilmuan mengalami kemunduran pesat sejak terjadi pemisahan antara keilmuan agama dan keilmuan alam atau umum. Hal ini dimulai sejak dikotomi pendidikan agama dan umum kemudian muncul sebagai akibat dari penjajahan barat yang menyebabkan umat islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam kemasyarakatan dan keilmuan sehingga memunculkan intelektual baru yang disebut Intelektual sekuler. M. Amin Abdullah adalah salah satu penggagas integrasi-interkoneksi setelah mendapatkan pendidikan modern dari Pondok Darussalam Gontor, kemudian melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mendalami bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki dan kemudian mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada. Sejak saat itulah gagasan untuk menerapkan penyatuan kembali keilmuan yang disebut dengan integrasi-interkoneksi di perguruan tinggi di Indonesia khususnya perguruan tinggi berbasis agama Islam. Maka diuji cobakan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ketika M. Amin Abdullah menjabat direktur. Paradigma Integrasi-interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Dalam arti keduanya saling ada keterkaitan dan saling membutuhkan, maka perlu adanya penyatuan kembali sebagai solusi menghadapi permasalahan kekinian. Kata kunci: Integrasi-interkoneksi, M. Amin Abdullah, dikotomi.

1

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, e-mail: [email protected].

1

A. Pendahuluan Kemunduran pendidikan Islam di Indonesia yang merupakan penyebabnya adalah adanya sistem pendidikan sekuler yang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Dalam paradigma sekuler timbul anggapan bahwa jika peserta didik berakhlak buruk, dan tidak menjalankan ajaran agama dengan baik maka yang patut disalahkan adalah guru agama, sedang guru umum lainnya tidak masalah jika tidak mengerti persoalan agama dan tidak masalah jika tidak benar-benar taat beragama. Kondisi ini kemudian membuat sekat yang sangat jelas antara ilmu-ilmu agama dan umum dalam dunia pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam mengembangkan potensi diri yang dimilikinya secara utuh, baik potensi jasmaniah maupun rohaniah. dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.2 Pendidikan dalam pengertian tersebut mengharuskan adanya pembentukan dan pengembangan skill dan knowledge yang beriringan terwujud dalam akhlak serta kepribadian yang baik. Umat Islam perlu meninjau ulang format pendidikannya melalui upaya pengembangan struktur keilmuan yang integratif-interkonektif, agar dapat dicapai konsep keutuhan ilmu. Yang dimaksud integratif disini adalah keterpaduan kebenaran wahyu dengan bukti-bukti yang ditemukan di alam semesta. Sedangkan interkonektif adalah keterkaitan satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain akibat adanya hubungan yang saling mempengaruhi. Kemudian sebagai muara dari Integrasi-Interkoneksi Agama dan Ilmu merupakan usaha untuk menyatukan dan menjadikan sebuah 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. http://peraturan.go.id/uu/nomor-20-tahun-2003. html diakses 25 November 2017.

2

keterhubungan antara nilai-nilai agama dengan keilmuan umum dalam upaya untuk membentuk embrio-embrio intelektual yang mampu membumikan nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul ketika tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa terkecuali pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globlalilasi ini, dibutuhkan reorientasi pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan. Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” dimana keduanya seolah berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, dan mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formalmaterial, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya satu sama lain.3 Terkait dengan hal di atas, penulis berusaha untuk mendalami dan memaparkan lebih jauh, maka perlu diketahui siapa M. Amin Abdullah, bagaimana paradigma integratif-interkonektif menurutnya dan mengapa timbul pemikiran tersebut serta bagaimana konsep integrasi-interkoneksi. B. Biografi M. Amin Abdullah Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 28 Juli 1953. Lulus dari SD Negeri Margomulyo pada tahun 1966, kemudian melanjutkan studinya di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo (lulus pada tahun 1972), dan Program 3

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 431.

3

Sarjana Muda (Bachelor of Art) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) (lulus pada tahun 1977)4. Selepas pendidikan di Gontor, Amin Abdullah melanjutkan pendidikanya ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (lulus tahun 1982) dan kemudian, dengan beasiswa Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, dia bersekolah melanjutkan program doktor dalam bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1985-1990) dan kemudian, pada tahun 1997-1998, dia mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada Selain mengembangkan pemikiran filsafat, Amin Abdullah juga tertarik dengan dialog antaragama. Obsesi untuk mewujudkan dialog antarumat beragama sudah tumbuh pada diri Amin Abdullah sejak memasuki IAIN Sunan Kalijaga dan terus menguat setelah menjadi pejabat di UIN ini. Begitu masuk IAIN di Yogyakarta tahun 1978, Amin merasa kota ini amat kondusif untuk kerukunan hidup beragama. Istilah Amin, “Yogyakarta adalah kota yang unik dan inspirasitif dalam kaitan dialog antar-agama”. Semua penganut agama ada di kota ini dan hidup rukun, karena itu layak menjadi sentral dialog tentang multikulturalisme di Indonesia. Keberagaman suku, agama, komunitas, tata perumahan, kultur Jawa yang kental hanya dimiliki Yogyakarta. Dari kenyataan itu, setelah menjadi Rektor, Amin Abdullah pernah menyatakan, bahwa tugas ini menarik sebab ia memiliki pengalaman yang berharga, selain akademik juga administratif.5 Profesi sebagai dosen dan kemudian menjadi Guru Besar Filsafat Agama (1999) serta kedudukannya sebagai pejabat di IAIN/UIN Sunan Kalijaga adalah waktu yang cukup dalam membentuk pemikiran Amin Abdullah dalam bidang pendidikan terutama keterpaduan ilmu keislaman dengan ilmu umum. Konversi IAIN Sunan Kalijaga menjadi Universitas 4

Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistemologi, Dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme (Yogjakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 278 5 Parluhutan Siregar, Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman dalam Perspektif M. Amin Abdullah, Miqot, Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

4

Islam Negeri (UIN)6, pada masa Amin Abdullah menjabat Rektor, banyak menyita pemikirannya untuk berkonsentrasi pada bangunan keilmuan dalam sistem pendidikan di PTAI. Dan merupakan tantangan tersendiri dalam menata sistem, bukan saja di lingkungan UIN Sunan Kalijaga tetapi seluruh PTAI di Indonesia. Dan yang terkait dengan pembahasan kali ini adalah tentang artikel “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN: dari Pendekatan Dikotomis-Atomistis ke Integratif-Interkonektif”. C. Studi Islam Integrasi-Interkoneksi Secara etimologis, kata interkoneksi berarti hubungan satu sama lain, sedangkan integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.7 Poerwadarminta mengungkapkan bahwa integrasi secara etimologis dapat dipahami sebagai perpaduan, penyatuan, dan penggabungan dua objek atau lebih.8 Jadi intregrasi-interkoneksi adalah suatu penggabungan dan penyambungan dari berbagai ilmu umum khususnya ilmu alam dengan ilmu-ilmu agama dalam hal ini al-Qur’an dan as-Sunnah. Berbagai ilmu pengetahuan itu saling berkaitan antara ilmu yang satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu kita seharusnya tidak hanya belajar satu ilmu, melainkan berbagai ilmu, karena hubungannya antar ilmu itu saling berkaitan. Studi Islam integrasi-interkoneksi adalah kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, baik objek bahasan maupun orientasi metodologinya dan mengkaji salah satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya serta melihat keterkaitan antar berbagai disiplin ilmu tersebut. Jika ditelusuri lebih jauh, gagasan tentang integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualisasi diri umat Islam terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global. Islam dan tantangan modernitas merupakan tema paling 6

Konversi IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN terjadi pada tahun 2004 berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/0/SKB/2004; Nomor: ND/B.V/I/Hk.00.1/058/04 tentang Perubahan Bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004. 7 Tim Penyusun, KBBI (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008), hlm. 559. 8 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 384.

5

menonjol dalam agenda pembaharuan pemikiran Islam yang di dengungkan oleh para mujaddid Islam sepanjang sejarah. Berkaitan dengan realitas kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan kemajuan dunia barat. Salah satu fokus garapan para pembaharu dalam proses modernisasi Islam adalah bidang pendidikan. Karena dipandang sebagai sektor paling terbelakang yang menghambat laju percepatan modernisasi di dunia Islam, akibat pola pikir umat yang terkondisikan oleh anggapan bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang bersumber dari hasil pikiran manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu sama lain. Akibat pemahaman terbelah ini, karakter pendidikan Islam yang semula tidak memisahkan antara kebutuhan terhadap agama dengan ilmu, iman dengan amal, serta dunia dengan akhirat lalu kemudian mengalami kemujudan yang berdampak pada penjajahan dunia Islam atas supremasi barat. Berlawanan dengan perkembangan dunia barat, Islam mengalami kemunduran dan sebagian besar wilayah Islam mulai dijajah barat. Dalam masa penjajahan yang panjang dan hampir merata diseluruh dunia Islam, terjadi alkulturasi budaya, alkulturasi pemikiran dan intelektualisme Barat dengan negeri-negeri Islam. Azmuyardi Azra mengatakan bahwa dikotomi pendidikan agama dan umum kemudian muncul sebagai akibat dari penjajahan barat yang menyebabkan umat islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam kemasyarakatan dan keilmuan sehingga memunculkan intelektual baru yang disebut Intelektual sekuler.9 Reaksi dari munculnya para intlektual muslim sekuler yang mewarisi paham dikotomi agama dan ilmu dari dunia barat, para fuqaha mengambil langkah protektif dengan cara memakruhkan bahkan mengharamkan tindakan mengambil apapun yang bersumber dari dunia barat, termasuk Ilmu-Ilmu Alam, Sosial, Humaniora. Imam Ghazali sebagai salah satu tokoh dalam dunia Islam kemudian mengambil langkah protektif yang tidak terlalu ekstrim 9

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. 159-160.

6

dengan cara membagi Ilmu itu menjadi Ilmu Fardu ‘ain dan Ilmu Fardu Kifayah. Pembagian ini kemudian yang menjadi dasar dikotomi agama dan ilmu yang amat kontras dalam dunia Islam Indonesia yang termanifestasi dalam prilaku sebagian besar Pelajar Islam (santri) dalam bentuk menfokuskan diri pada ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan bahkan membuang ilmu-ilmu Alam, Sosial, Humaniora. D. Paradigma Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah Paradigma keilmuan integratif dan interkonektif merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan dan bertegur sapa antar berbagai disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerjasama antar berbagai disiplin ilmu akan menjadikan narrowmindedness. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperdekat jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Hal demikian, pada gilirannya juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang apa yang disebut “agama”. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata. Pada penghujung abad ke 19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke 20, terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang “agama” dari yang dahulu terbatas pada “Idealitas” ke arah “historisitas”, dari “doktrin” ke arah entitas “sosiologis dari diskursus “esensi” ke arah “eksistensi”.10

10

M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, ), hlm. 9.

7

Perkembangan studi ilmu-ilmu sosial, terlebih-lebih lagi ilmu-ilmu agama (religionwissenschaft) sebenarnya belum lama. Pendekatan empiris terhadap fenomena keberagamaan manusia baru muncul sekitar abad ke-19. Terlepas dari kontroversi keinginan beberapa peneliti untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk meneliti fenomena sosial, namun studi dan pengamatan empiris terhadap fenomena sosial keagamaan adalah merupakan suatu perkembangan yang sama sekali baru. Ilmu-ilmu Islam yang ‘ortodoks’ (fiqh, tasawuf, teologi) secara relatif tidak atau kurang mengenal diskursus baru ini. Hampir semua pemikiran Islam kontemporer mengakui hal ini. Hasan Hanafi, sebagai contoh, melihat dengan nyata menghilangnya nuansa pemikiran ‘historis’ dalam wacana keilmuan Islam. Sejak al-Kindi, al-Farabi, sampai sekarang. Filsafat Islam hanya menyinggung masalah mantiq, Tabi’iyyat dan Ilahiyyat. Ilmu-ilmu kemanusiaan (insaniah) dan sejarah (tarikh) tidak atau belum pernah menjadi sudut bidik telaah keilmuan Islam yang serius. Orang boleh mencatat sebagai pengecualian yang amat sangat jarang seperti Ibnu Khaldun. Suatu hal yang paling nampak dalam perkembangan epistemologi seperti yang dirasakan oleh mayarakat Barat modern adalah penemuan atau penerapan sains dan teknologi yang dengan keberhasilannya sangat berbeda jauh dengan kegiatan (kreativitas) para filosof sebelumnya, sehingga pada masa ini dijuluki dengan zaman pencerahan. Namun pada masa ini juga masyarakat modern semakin menyadari bahwa penerapan sains dan teknologi berdampak negatif, karena dengan asumsi bahwa “ilmu adalah bebas nilai” itu ternyata membawa pada dehumanisasi yang menjaukan diri dari nilai-nilai keagamaan. Berawal dari kesadaran inilah masyarakat modern untuk menggali kembali hubungan harmonis antara sains dan agama. Jika diruntut kebelakang, epistemologi model pemikiran Plato (alFarabi) dan model pemikiran Aristotle (Ibnu Rush) memang dapat dibedakan secara tegas. Pemikiran metafisik-spekulatif model pemikiran Christian Wolff dan pemikiran empiris model Hume dan Berkeley juga dapat dibedakan secara mendasar. Jika di Barat, dalam poses perjalanan sejarah menemukan 8

tokoh Immanuel Kant, yang dapat mengawinkan antara tradisi idealis dengan tradisi empiris, di dalam Islam agaknya belum ditemukan tokoh serupa. Mungkin saatnya sekaranglah untuk mencoba mereduksi hal tersebut. Bukan

masanya

sekarang

disiplin

ilmu-ilmu

agama

(Islam)

menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmuilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya,11 dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial secara sistematik. Hal ini bukan berarti bahwa peran nuansanuansa teologis dalam memberikan warna terhadap bentuk-bentuk aktivisme keislaman diabaikan sama sekali. Nuansa-nuansa teologis itu tentu saja harus dipahami secara memadai dengan memakai pendekatan-pendekatan klasik yang berakar didalam kajian-kajian Islam konvensional.12 Paradigma Integrasi-interkoneksi hakikatnya ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu, rasa superior, eksklusifitas, pemilihan secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis. Integrasi keilmuan mengalami kesulitan dalam memadukan studi Islam dan umum yang tidak saling akur karena keduanya saling mengalahkan. Maka

diperlukan

usaha

interkoneksitas

lebih

arif

dan

bijaksana.

Interkoneksitas dimaksud adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling koreksi dan saling berhubungan diantara disiplin keilmuan.13 11

M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 33. 12 Radjasa Mu’tasim dan Arifah Khusnuryani, Keilmuan Integrasi Interkoneksi Bidang Agama dan Ilmu-ilmu Sosial, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Suka, 2009), hlm. 175. 13 M. Amin Abdullah dkk, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 7-8.

9

Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular. 1.

Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.

2.

Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.

3.

Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan da...


Similar Free PDFs