ETIKA DASAR Hakikat Agama Saling Toleransi (Søren Kierkegaard) PDF

Title ETIKA DASAR Hakikat Agama Saling Toleransi (Søren Kierkegaard)
Author Thimotius Valentino
Pages 6
File Size 241.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 12
Total Views 292

Summary

ETIKA DASAR Hakikat Agama Saling Toleransi (Søren Kierkegaard) THIMOTIUS VALENTINO 20201000050 PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS BUDDHI DHARMA 20201 Wacana Multikulturalisme baru muncul sekitar tahun 1970-an ketika banyak imigran dari benua Asia (Turki, Arab, ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

ETIKA DASAR Hakikat Agama Saling Toleransi (Søren Kierkegaard) Thimotius Valentino Thimotius Valentino

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Edit or: Saidiman Ahmad Husni Mubarak Test riono Faiz Rifki

Fides et Rat io Heribert us Tri Warno Penguat an Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial jurnal farabi

ETIKA DASAR

Hakikat Agama Saling Toleransi (Søren Kierkegaard)

THIMOTIUS VALENTINO 20201000050

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS BUDDHI DHARMA 20201

Wacana Multikulturalisme baru muncul sekitar tahun 1970-an ketika banyak imigran dari benua Asia (Turki, Arab, India, Cina) berbondong-bondong masuk Eropa dan Amerika. Para imigran itu membawa latar belakang agama dan budaya masing-masing dan hidup berdampingan dengan agama dan budaya barat (Toynbee & Ikeda, 1987). Pertemuan ini memberikan dampak besar, mtmbuat dunia sadar bahwa ada agama lainnya yang sedang berkembang dan membuat agama tersebut ingin diakui. Menurut Parekh (Parekh, 2000) tuntutan pengakuan identitas ini terus menerus bergerak menuju level yang lebih tinggi. Para imigran menuntut supaya penerimaan itu tidak hanya sekedar berhenti di level toleransi, tetapi terutama supaya mencapai tingkat penerimaan, penghormatan, dan akhirnya pengakuan publik atas perbedaan cara hidup. (Morimitsu, 1987) Bahkan menegaskan bahwa lebih dari itu semua, penerimaan harus bisa mencapai tingkat kerjasama demi menghasilkan hidup bersama yang lebih berkembang dan bermutu. (Kiwiet, 1991)yang mengatakan bahwa toleransi yang sesungguhnya harus bisa menghasilkan ekumene di mana masing-masing orang yang berbeda agama bisa secara bebas tanpa beban bersatu memuji dan mengagungkan Sang Khalik dengan cara dan ritus yang berbeda-beda pula. Tuntutan-tuntutan semacam ini, sedang terjadi juga di Indonesia dalam konteks perbedaan suku, agama, dan budaya. Fakta multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia semacam itu, di satu sisi perlu dilestarikan sebagai kekayaan bangsa sebagaimana hal ini nyata dalam prinsip Bhineka Tunggal Ika yang telah ikut menjaga berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, tetapi di sisi lain, hal itu perlu terus menerus diolah supaya berbagai aspek di dalamnya berkembang dan terutama agar tidak menjadi bumerang dalam hidup bersama. Pluralisme agama adalah salah satu realitas sosial yang telah ikut mendorong lahirnya berbagai teori hidup bersama, seperti toleransi, kerukunan, dialog antar umat beragama, dan lain-lain. Hal-hal ini bahkan telah menjadi bahan perenungan filsafat selama berabad-abad. Masalah dalam hakikat agama sebagai wilayah paradoks. Berhadapan dengan hidup sebagai misteri, manusia terus menerus bergulat demi memberi makna kepada hidup itu baik secara bersama maupun secara sendirisendiri. Salah satu hal yang biasa diandalkan umat manusia untuk berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama karena melalui agama, manusia berharap bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh nalar. Kemampuan daya nalar manusia memang telah banyak membantu menyelesaikan berbagai problem, tetapi disadari bahwa peran itu hanya terbatas pada penanganan masalah-masalah teknis pendukung

kehidupan. Nalar ternyata tidak cukup untuk diharapkan ikut menyelesaikan persoalan-persoalan essensial hidup (Bergson & Mvika, 1977). Agama diharapkan bisa membantu nalar dalam konteks ini, namun kenyataan menunjukkan bahwa peran itu belum terlalu ideal dimainkan oleh agama-agama. Atas dasar ini, permenungan menemukan hakikat agama secara terus menerus dan berkelanjutan menjadi hal yang penting dan serius. Persoalannya, mengandalkan agama berarti ada tuntutan membuka diri untuk iman. Iman berarti komitmen pada hal-hal yang jauh dari ukuran kebenaran rasional dan hidup yang dijalani dalam konteks ini diharapkan mampu mendatangkan jawaban atas kerinduan-kerinduan eksistensial manusia sehingga manusia semakin berada dalam hidup yang bermutu dan berkualitas. Bagian ini secara khusus hendak menelusuri makna paradoks itu dalam paradigma berpikir Kierkegaard yang didasarkan pada latar belakang pengalaman hidup kekristenan Kierkegaard sendiri, dalam terang filsafat eksistensial. Tema-tema yang dibahas itu antara lain; paradoks absolut, paradoks dan kebenaran abadi, paradoks dan pengaruh dosa, serta paradoks dan cinta. Bapak eksistensialisme, Søren Kierkegaard menemukan dalam permenungannya bahwa di dalam religiositas dan lebih konkret di dalam penghayatan hidup beragama, manusia berpeluang besar menemukan eksistensinya itu. Agama adalah salah satu tempat di mana manusia bergumul terus menerus untuk menemukan diri. Persoalannya, menurut (Mackey & Kierkegaard, 1971), untuk merealisasikan maksud luhur agama sebagai tempat kepenuhan kemanusiaan, pemahaman tentang hakikat agama yang benar menjadi hal yang penting dan berpengaruh besar. (M, 1989) Hakikat agama sebagaimana yang ditawarkan Kierkegaard adalah konsep yang dalam aplikasinya sangat terbuka untuk kemungkinan keberagaman pemahaman terhadap Tuhan. Pemikiran Kierkegaard ini sangat relevan dalam konteks pluralitas hidup beragama seperti di Indonesia. Himbauan semacam ini menjadi hal yang penting sebagai kontrol supaya pemeluk agama-agama tidak terjerumus dalam fanatisme agama yang berlebihan di tengah kecenderungan mengagungkan agama sendiri karena pengaruh egoisme modernitas. Dalam konteks Indonesia, sumbangan pemikiran Kierkegaard ini beroperasi pada tataran pengolahan pluralitas agama guna ikut menyiapkan masyarakat Indonesia mewujudkan cita-cita bangsa ini menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia sebagaimana yang diharapkan dalam dasar negara Pancasila. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah sungguh pemikiran filsafat yang sederhana tetap membutuhkan refleksi mendalam untuk memahaminya. Ini berarti secara tidak disadari, pemikiran Kierkegaard menuntut umat beragama untuk memiliki tingkat refleksi yang tinggi guna memahami hakikat agama yang ditawarkannya. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama dengan demikian mengandaikan juga bahwa

orang-orang beragama perlu memiliki tingkat intelektual tertentu karena tanpa itu apa yang dimaksudkan oleh Kierkegaard tentang hakikat agama akan sulit dipahami. Situasi nyata menunjukkan bahwa untuk realisasi pemahaman terhadap hakikat agama yang ditawarkan Kierkegaard masih memerlukan banyak waktu, sekurangkurangnya waktu untuk penyesuaian dengan pola dan cara berpikir Kierkegaard yang khas filsafat eksistensial ini. Kontribusi bagi pemahaman akan keragaman klaim kebenaran agama-agama di Indonesia. a. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama membangun kesadaran bahwa kebenaran agama-agama mesti dipahami dalam kaca mata eksistensialisme bahwa setiap klaim kebenaran dalam agama-agama adalah bentuk ungkapan kolektif pribadipribadi yang unik, yang perlu dihargai dan diberi ruang bergerak yang memadai. b. Penghargaan terhadap perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi pintu masuk guna memahami kebenaran agama-agama di luar agama sendiri. c. Kerendahan hati dan kerelaan yang tulus untuk melihat perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi jalan masuk ke dalam kesadaran bahwa keberagaman klaim kebenaran agama-agama sesungguhnya dibangun, tumbuh, dan berkembang di atas dasar-dasar yang sama, yakni bahwa agama-agama, sama-sama memiliki pemahaman dasar (central insight) dan konsep tentang realitas ilahi yang sama pula. (Yandell, 2002) Oleh karena itu pemikiran Søren Kierkegaard tentang hakikat agama ini, apabila dipahami secara baik dan benar akan membuat setiap orang beriman terhindar dari upaya pengaruh mempengaruhi dalam hal keyakinan. Setiap orang disadarkan bahwa kebenaran agamanya memang mengandung kebenaran yang khas, tetapi itu tidak bersifat mengikat bagi orang yang tidak menganut agama itu. Pemikiran-pemikiran Søren Kierkegaard ini dalam prakteknya disinyalir akan lebih berdaya guna apabila diakomodasi sebagai bekal bagi para pelaku dialog antar umat beragama dalam kegiatan-kegiatan konkret Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sumbangan-sumbangan pemikiran Søren Kierkegaard ini disadari sangat membutuhkan kegiatankegiatan awal sebagai persiapan sebelum mengaplikasikan pemikiran-pemikiran itu secara maksimal.

Referensi Bergson, & Mvika, P. (1977). Bergson et la théologie morale. Paris: Phoba Mvika. Kiwiet, J. (1991). Hans Küng. Peabody. M, H. V. (1989). Religions and the Truth: Philosophical Reflections and Perapectives. Amsterdam: Amsterdam. Mackey, L., & Kierkegaard, S. (1971). Kierkegaard: a kind of poet. Pennsylvania: Philadelphia : University of Pennsylvania Press. Morimitsu, P. (1987). In The Company of Eck Master. Minneapolis. Parekh. (2000). Pragmatic Pluralism and American Democracy. Toynbee, A., & Ikeda, D. (1987). Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog. Jakarta: PT Indira. Yandell, K. (2002). Philosophy of Religion: A Contemporary Introduction. London: Routledge.

DAFTAR PUSTAKA 1. Bergson, & Mvika, P. (1977). Bergson et la théologie morale. Paris: Phoba Mvika. 2. Kewuel, H. K. (2012). PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA: KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP. Yogyakarta. 3. Kiwiet, J. (1991). Hans Küng. Peabody. 4. M, H. V. (1989). Religions and the Truth: Philosophical Reflections and Perapectives. Amsterdam: Amsterdam. 5. Mackey, L., & Kierkegaard, S. (1971). Kierkegaard: a kind of poet. Pennsylvania: Philadelphia : University of Pennsylvania Press. 6. Morimitsu, P. (1987). In The Company of Eck Master. Minneapolis. 7. Parekh. (2000). Pragmatic Pluralism and American Democracy. 8. Toynbee, A., & Ikeda, D. (1987). Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog. Jakarta: PT Indira. 9. Yandell, K. (2002). Philosophy of Religion: A Contemporary Introduction. London: Routledge. 10. Kewuel, H. K. (2012). PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA: KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP. Yogyakarta....


Similar Free PDFs