Fakta Versus Realita dan Kaca Mata Sudut PDF

Title Fakta Versus Realita dan Kaca Mata Sudut
Course Educational Justice
Institution Harvard University
Pages 9
File Size 273.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 37
Total Views 146

Summary

Download Fakta Versus Realita dan Kaca Mata Sudut PDF


Description

Fakta Versus Realita dan Kaca Mata Sudut Pandang Yusrin Ahmad Tosepu @Makassar, Juni 2020

Special Interest Articles:

 Apa Itu FAKTA  Apa itu REALITA

Tulisan ini terinspirasi dari postingan saya di media sosial “Fakta versus Realita”. Terlepas dari semua kontroversi penjelasan terkait keduanya yang terjadi di kehidupan kita sekarang ini.

Page | 1

Bagi saya ada satu hal yang sebenarnya menarik untuk dicermati bahwa fakta itu kadang-kadang tidak sejalan sama realitanya walaupun di mana ada fakta, pasti ada realita. Ya, fakta kadang-kadang mengkaburkan kebenaran yang sebenarnya, apa yg dilihat, disimak, disampaikan belum tentu fakta yg sebenarnya.Fakta hanya akan membawa kita dari A menuju B, namun realita mampu membawa kita dari A ke manapun. Jadi ada yg kontras antara fakta sebagai “kenyataan” anggapan dan realita sebagai kenyataan sejati. Dalam tulisan ini, penulis tidak menerangkan secara detail konsep mengenai kedua jenis „kenyataan‟ itu. Tapi coba mengurai perbedaan mendasar dari fakta dan realita itu dalam kehidupan sehari-hari. Realita itu adalah hal yang nyata, yang benar-benar ada. Atau disebut sebagai Kenyataan sejati. Keberadaan yang dimaksudkan di sini tentu tidak terbatas hanya pada segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera kita belaka, tetapi juga meliputi segala sesuatu yang tidak terindera tanpa bantuan peralatan maupun menggunakan peralatan dan sebagainya yang keberadaannya telah dapat diverifikasi oleh para ilmuwan dalam bidangnya masing-masing. Sebaliknya, fakta atau “kenyataan” anggapan kadang tidak dapat membuktikan keberadaan dari segala sesuatu yang dianggapnya sebagai kenyataan itu baik secara empiris dengan panca indera telanjang maupun dengan peralatan sains canggih. Kenapa demikian? Karena Fakta atau “Kenyataan” anggapan itu merupakan “kenyataan” yang kadang dibentuk dari asumsi, persepsi, pernyataan yang subjektif dan atau dapat ditemukan pada masa lalu. Misalnya dalam kasus sistem kepercayaan yang berdasarkan pada “kenyataan” anggapan masa lalu. Atau kata daya pikirnya sendiri yang sangat terkondisi oleh “realita” anggapan itu sendiri. Contoh lain, ketika kita sedang menikmati keindahan terbenamnya sang mentari di Pantai Losari, Makassar, misalnya, perbedaannya jauh sekali ketika kita menikmatinya secara langsung dan benarbenar baru pertama kali dengan kita telah mendengar berbagai penjelasan dari teman-teman atau sanak saudara yang pernah menyaksikannya. Yang pertama mungkin memberikan pengalaman keindahan dan kegembiraan yang merasuk jiwa, dan yang kedua mungkin malah akan mendatangkan kekecewaan karena pikiran kita membandingkan penggambaran dari orang lain yang kita cocokkan dengan realita yang sebenarnya, yang ternyata tidak sama dengan bayangan kita. Alih-alih menikmati keindahan secara langsung berikut dengan suasana keramaian sekelilingnya yang selalu baru pada saat itu juga, kita malah memakai „kacamata‟ penjelasan orang lain untuk menilai realita yang ada di hadapan kita sekarang ini, yang sama sekali tidak menimbulkan rasa indah dan gembira spontan alami itu. Tapi satu yg patut di ketahui bahwa, fakta adalah sesuatu yang benar adanya jika kita lihat tetapi belum dibuktikan kebenarannya. Sedangkan realita adalah sesuatu yang benar benar terjadi/ada dan sesuai dengan kebenaran. Dan fakta bisa juga sesuai dengan realita, tetapi kadang fakta tidak sesuai dengan realita.

Page | 2

Nah, suntuk lebih jelas perbedaannya, saya sinonimkan dulu kata Fakta dan Realita di atas: Realita = Truth Fakta = True Apa yang benar mungkin saja valid tetapi yang terlihat benar (Fakta) belum tentu bisa mewakili seluruh kebenaran (Realita).

Adalah sebuah fakta kita hidup secara empiris, tetapi empirisisme saja tidak mewakili seluruh realita kehidupan. Bagi saya pribadi, ada tiga unsur yang dapat mewakili realita kebenaran: Empirisme (Bukti Faktual, Natural dan Historis), Moralitas (Standar baik dan salah), dan Eksistensial (Relevansi makna dan signifikansi hidup). Di kehidupan ini, sering timbul campur aduk pikiran dan perasaan dalam proses menyikapi setiap objek, ataupun permasalahan dalam pertarungan antara fakta dengan realita. Idealnya, memang seharusnya antara fakta dan realita harus selalu berjalan serasi. Apa yang dapat dilihat oleh mata sebagai sebuah fakta umumnya harus dapat terasa masuk akal. Itulah kenapa seni sulap (magic) selalu menjadi contoh yang tepat sekali untuk menggambarkan ketidakteraturan antara fakta dan realita. Beda seni sulap dengan ilmu-ilmu eksak lainnya adalah kita senantiasa dengan sukarela menyerahkan logika kita dengan fakta di depan mata tanpa melakukan pergolakan yang berarti. Bagi saya pribadi, jika diharuskan memilih antara Fakta atau realita, maka realita akan selalu menjadi panduan saya dalam menyikapi atau menilai sebuah fakta dan kenyataan. Realita inilah yang membedakan manusia berakal - berpikir dengan manusia yang hanya berakal. Kita dibekali akal dan diberikan kemampuan berpikir oleh Sang Pencipta dengan tujuan untuk memberikan pilihan dan keputusan terhadap fakta kehidupan. Fakta terkadang tak seperti namanya “the fact” yang ada kalanya sering dimanipulasi oleh berbagai tangan-tangan kepentingan.

Page | 3

Fakta juga untuk beberapa saat seperti sebuah keadaan yang ingin kita lihat dan percayai hanya karena sedang atau pernah terjadi sebelumnya. Oleh sebab itu, akan dibutuhkan sebuah usaha yang besar sekali untuk mengubah realita di depan mata daripada mengubah fakta. Realita telah ada semenjak manusia dapat “membaca” dan berpikir dalam menyimak fenomena semesta alam semesta dan membedakan antara kebaikan dan keburukan. Proses ini berlangsung secara terus menerus di alam pikir kita. Setiap kejadian, apapun itu, selalu punya banyak sudut pandang. Satu orang saja bisa memandang dari berbagai sisi. Ada banyak kacamata sudut pandang manusia dalam melihat objek, benda ataupun permasalahan yang ada di atas muka bumi ini. Ada kacamata sudut pandang menurut si A - si B - si C - si D - si E, dan seterusnya. Lalu, apakah semua sudut pandang ini salah? Gak juga. Tergantung gimana kita melihatnya lagi. Kacamata sudut pandang manusia adalah cara melihat - menilai - merumuskan - menghakimi bahkan sampai kepada memvonis segala sesuatu yang ada dalam kehidupan berdasar kepada suatu pandangan atau cara pandang tertentu yang dibentuk oleh fikiran serta pengertian manusia. Kacamata sudut pandang manusia yang terkenal serta memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah kehidupan umat manusia karena memiliki banyak pengikut serta pemakainya dikategorikan sebagi 'isme'. Sebagai contoh : ada faham materialisme - idealisme - rasionalisme - empirisme - eksistensialisme humanisme - saintisme - liberalisme - fenomenologisme - historisisme - relativisme dan banyak lagi isme isme yang lainnya yang lahir dari rumusan rumusan yang dibentuk berdasar kepada pikiran serta pengertian manusia dalam melihat dan menilai segala suatu. Artinya ada orang orang tertentu yang memiliki kapasitas untuk melahirkan kacamata sudut pandang tertentu yang khas yang biasanya adalah golongan para filsuf - pemikir –ilmuwan. Dunia filsafat adalah institusi yang paling banyak melahirkan 'kacamata sudut pandang manusia' yang paling banyak berpengaruh dalam benak umat manusia baik secara langsung maupun tak langsung, dimana bila kita mendengar ada istilah 'benturan agama dengan filsafat' maka hal itu menyiratkan adanya benturan antara kacamata sudut pandang manusia vs kacamata sudut pandang Ilahiah. Bandingkan dengan agama yang adalah 'kacamata sudut pandang Tuhan' atau kacamata sudut pandang yang dibentuk oleh fikiran atau pengertian Ilahiah sehingga melihat berdasar kacamata sudut pandang agama berarti melihat - menilai serta menghakimi sesuatu dengan menggunakan kacamata sudut pandang Ilahiah atau melihat - menilai berdasar kepada pengertian pengertian Ilahiah. Dalam fakta kenyataannya ada orang orang yang lebih banyak menggunakan kacamata sudut pandang manusia dalam melihat - menilai dan menghakimi segala suatu dan ada juga yang lebih banyak menggunakan 'kacamata sudut pandang Tuhan' yang dirumuskan dalam 'kacamata sudut pandang agama' Kebenaran menurut 'kacamata sudut pandang manusia'. Artinya, kebenaran bila dilihat dan dinilai oleh jalan fikiran atau pengertian manusiawi, sedang kebenaran menurut kacamata sudut pandang agama berarti kebenaran yang dilihat dan dinilai melalui kacamata sudut pandang atau pengertian - pengertian Ilahiah.

Page | 4

Apakah kacamata sudut pandang manusia atau isme yang melahirkan atau menciptakan kebenaran sejati yang bersifat mutlak dan menyeluruh ?... tentu saja tidak,...kebenaran sejati yang bersifat mutlak dan menyeluruh hanya bisa diciptakan oleh Tuhan tidak bisa diciptakan oleh manusia. Isme hanyalah kacamata kacamata sudut pandang yang lahir dari pikiran serta pengertian manusia yang berupaya melihat dan menilai kebenaran mengikuti sudut pandang manusia. Sebagaimana agama melahirkan berbagai konsep yang bersifat fundamental dalam kehidupan seperti konsep tentang 'kebenaran' - konsep ilmu - konsep realita - konsep ajaran moral - konsep hukum - konsep etika, dan lain sebagainya. Demikian pula kacamata sudut pandang manusia itu juga melahirkan hal hal yang serupa, sehingga kelak akan ada konsep 'kebenaran' menurut agama dan konsep 'kebenaran' menurut isme tertentu, kosep moralitas - etika menurut agama dan konsep moralitas - etika menurut isme tertentu, konsep hukum menurut agama dan konsep hukum menurut isme tertentu, dan lain sebagainya. Kita juga terbiasa melihat ada banyaknya perbedaan bahkan hingga ke pertentangan di berbagai sisi dan segi tertentu antara pandangan menurut isme tertentu dengan pandangan agama dalam melihat serta menilai problematika atau obyek tertentu. Bandingkan pandangan agama dengan pandangan rasionalisme dalam memandang 'akal', bandingkan pandangan agama dengan pandangan saintisme dalam memandang pengertian 'ilmu', bandingkan pandangan agama dengan pandangan humanisme dalam memandang hakikat 'manusia' . Bandingkan pandangan agama dengan pandangan feminisme dalam melihat masalah gender, bandingkan pandangan agama dengan pandangan liberalisme dalam memandang persoalan 'kebebasan', dan banyak lagi bentuk perbedaan lain yang bisa anda telusuri Apakah pandangan serta penilaian yang dibentuk oleh kacamata sudut pandang manusia atau isme tertentu selalu baik dan benar ? jawabnya adalah relative. Bisa benar dan juga bisa salah,dan bisa bergantung dengan menggunakan kacamata sudut pandang apa dan yang bagaimana kita menilainya Yang ideal adalah bila kita ingin melihat benar salah nya sebuah kacamata sudut pandang manusia atau sebuah pemikiran atau pandangan yang berasal dari kacamata sudut pandang manusia atau isme tertentu maka kita harus melihatnya dengan menggunakan kacamata sudut pandang Ilahiah yang ada dalam agama. Misal, melihat dan menilai pemikiran atau pandangan manusia yang ada dalam isme tertentu dengan menggunakan kacamata sudut pandang agama, sebab itu akan berarti pandangan Ilahiah yang melihat - menilai serta menghakimi jalan pikiran atau pandangan manusiawi. Sehingga misal, bagaimana agama memandang pandangan atau pemikiran tertentu yang ada dalam atau lahir dari faham humanisme - feminisme - saintisme - liberalisme, dlsb. Tetapi juga sering terjadi keadaan yang sebaliknya yaitu isme yang melihat dan menilai bahkan menghakimi agama,dan isme isme tertentu sering melahirkan pandangan baik yang positif maupun yang negatif terhadap agama. Kita juga mengetahui bahwa banyak stigma stigma negatif terhadap agama yang lahir dari kacamata sudut pandang isme tertentu seperti tuduhan agama sebagai 'hanya ajaran moral'-'sesuatu yang tidak berdasar ilmu'-'hanya suatu yang berdasar ilusi - delusi' dan lain sebagainya.

Page | 5

Tidak bisa di pungkiri kacamata sudut pandang tertentu memang sering keliru dalam memvonis permasalahan seputar Tuhan - agama bahkan bukan saja berlawanan dengan pandangan Tuhan melainkan juga berlawanan dengan logika akal sehat manusia. Sebagai contoh : seseorang yang disadari atau tidak (oleh dirinya) memakai kacamata sudut pandang tertentu memvonis Tuhan sebagai 'delusi', padahal bila kita memakai logika akal sehat bagaimana mungkin delusi manusia bisa membelah laut merah, bisa menghidupkan orang mati, bisa membuat nubuat yang tepat dan banyak lagi bentuk mukjizat lainnya. Kacamata sudut pandang tertentu juga sering memvonis pandangan yang berhubungan dengan masalah ketuhanan - agama sebagai 'apologetic' atau pengertiannya mungkin : 'mengada ada' 'ilusionis'. Padahal yang dilakukan seseorang bisa jadi adalah berfikir dengan menggunakan logika akal sehatnya, misal ia berlogika tentang keharusan adanya 'sang desainer' dibalik adanya berbagai bentuk keserba tertataan di alam semesta, tentang idealitas adanya konsep balasan bagi adanya kebaikan dan kejahatan yang terjadi di dunia. Anehnya sebagian manusia mungkin tidak menganggap prinsip 'kebetulan' sebagai pandangan yang apologistic mengada ada, oleh karena sebab tak pernah ada contohnya dalam kenyataan wujud yang tertata - beraturan bisa berasal dari 'kebetulan' tanpa desainer. Tidak bisa dipungkiri bahwa di sepanjang zaman selalu terjadi clash - benturan antara agama versus isme,dan bahkan akhir zaman seperti merupakan puncak dari banyak terjadinya benturan antara kacamata sudut pandang manusia dengan kacamata sudut pandang Ilahiah, sehingga terjadinya fenomena pandangan agama versus pandangan isme sepertinya merupakan salah satu ciri khas yang utama dari akhir zaman. Membingkai Fakta Dengan Bingkai Sudut Pandang Menyeluruh Bila kita ingin melihat sesuatu secara utuh maka lihatlah sesuatu itu dari berbagai sisi dan sudut pandang. Sebagai contoh, mungkin kita pernah memperhatikan seorang arsitek-perancang bangunan ketika ia selesai mengerjakan sesuatu yang katakan dianggap sebagai sebuah 'maha karya' nya misal sebuah 'rancangan gedung bertingkat yang unik' karena gaya arsitekturnya yang khas. Nah, untuk menilai hasil karyanya itu secara utuh dan menyeluruh maka ia akan melihatnya dari berbagi sisi dan sudut pandang : ia akan melihatnya dari muka sehingga terlihat tampak muka,ia akan melihatnya dari sisi kiri sehingga terlihat tampak sisi kiri,ia akan melihatnya dari sisi kanan sehingga terlihat tampak sisi kanan. Mengapa ia berusaha untuk melihatnya dari berbagai sisi dan sudut pandang (?) Tentu ia ingin melihat gambaran yang utuh-menyeluruh dan menyatu agar bisa menilai keindahan 'maha karya'nya itu. Contoh lain, seorang seniman pemahat yang teliti yang mengerjakan sebuah karya selama berbulan bulan maka ketika karya nya itu selesai ia tak akan merasa cukup bila melihatnya hanya dari satu sisi misal dari depan saja tapi ia akan berusaha melihatnya dari berbagai sisi dan sudut pandang tiada lain agar ia bisa menilai hasil karyanya itu secara utuh dan menyeluruh. Atau bila kita ingin membeli sesuatu misal barang elektronik, maka untuk menilainya kita akan cenderung melihatnya dari berbagai sisi dan dari berbagai faktor. Dimana cara melihat dari berbagai sisi dan faktor itu menjadi pertimbangan kelak untuk kemudian membelinya atau tidak.

Page | 6

Itulah filosofi 'melihat segala suatu secara utuh dan menyeluruh' memang biasanya selalu disertai tindakan melihat segala suatu dari berbagai sisi dan sudut pandang. Prinsip demikian adalah suatu yang sebenarnya bersifat alamiah artinya tidak diajari sekalipun secara alami filosofi cara pandang demikian melekat dalam pikiran manusia, baik pada orang awam atau ber ilmu. Itulah berbagai gambaran-analogi sehingga kemudian kita boleh atau patut untuk bertanya : mengapa filosofi cara pandang demikian sering tidak dipakai ketika manusia berhadapan dengan problematika yang teramat sangat penting bahkan seperti problem keilmuan dan kebenaran (?) Sebab karakter alami manusiawi itu sering sekali mudah hilang oleh karena berbagai faktor tertentu sehingga ketika manusia berhadapan dengan berbagai masalah yang sangat bersifat mendasar seperti masalah 'kebenaran' cara pandang seperti itu seringkali 'hilang' atau seperti tidak dipakai. Coba kita selidiki, tidak sedikit pernyataan filosof-saintis yang nampak 'ganjil' bila kita melihatnya dari sisi yang lain tapi sebagian orang tetap saja menganggap pernyataannya sebagai 'benar' atau 'rasional' karena yang menilai pun sama tidak melihatnya dari berbagi sisi dan sudut pandang. Sebagai contoh nyata adalah pernyataan yang datang dari Descartes : 'aku berfikir karena itu aku ada' bila dilihat dari satu sisi memang akan seperti nampak 'benar'. Tapi bila kita melihatnya dari sisi lain maka kita akan menemukan bahwa pernyataan itu sebenarnya sama sekali salah. Bahkan andai seluruh dunia mengatakan 'benar' saya tetap pada pandangan bahwa pernyataan itu bisa salah kalau kita melihatnya dari sisi realita, karena realitanya 'keberadaan' manusia itu sama sekali tidak ditentukan oleh faktor manusia tapi penciptanNya. Tepai tentang baik dan buruknya manusia itu ditentukan oleh faktor manusia itu sendiri. Contoh lain, ada fakta saintis yang mengatakan : 'teori relativitas mengguncangkan teori Newton dan fisika quantum meruntuhkannya' bila dilihat dari satu sisi seperti 'nampak benar' tapi bila kita melihat dari sisi realitanya maka kita akan menemukan bahwa ungkapan itu sangat salah kaprah. Realita alam semesta yang Tuhan ciptakan pada hakikatnya dipahami sebagai suatu yang tertata secara beraturan itu sama sekali tak bisa diruntuhkan oleh teori sains yang melihatnya dari sudut pandang manapun. Itulah dengan prinsip 'melihat segala suatu dari berbagai sisi dan sudut pandang' kita akan bisa menemukan hal hal yang sebenarnya salah dan keliru bahkan yang berasal dari pemikir 'kelas dunia' yang oleh sebagian manusia telah 'terlanjur' dianggap sebagai sebuah 'kebenaran yang bersifat mutlak'. Nah kesalahan yang paling fundamental biasanya adalah cara pandang manusia (pemikir disini) terhadap agama. Kita banyak menemukan banyak sekali stigma negatif terhadap agama yang sebenarnya berasal dari menilai berdasar cara pandang yang melihat agama hanya dari satu atau dua sisi tidak dari berbagai sisi dan sudut pandang. Sehingga dari cara pandang demikian lahirlah stigma terhadap agama seperti hanya ajaran „moral', suatu yang „irrasional‟, atau suatu yang tidak berdasar „ilmu', dan lain sebagainya.

Page | 7

Bila kita melihatnya dari berbagai sisi dan sudut pandang ternyata kita bisa menemukan dan bisa menyusun banyak argumentasi untuk membuktikan bahwa agama sebenarnya bukan hanya ajaran „moral', bukan sesuatu yang „irrasional' dan bukan sesuatu yang tidak berasas „ilmu'. Dan yang lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan masalah agama adalah masalah 'sorga dan neraka'. Bila manusia melihatnya hanya dari satu sisi yaitu sisi dimana manusia sudah terbiasa melihat dan memahami 'realita' sebagai suatu yang panca indera terbiasa menangkapnya maka deskripsi tentang 'sorga-neraka' itu bisa langsung di vonis sebagai bukan „realita', hanya ajaran „moral' bahkan 'mitos', dan lain sebagainya. Tapi coba kita bijak melihat segala suatu tidak hanya dari satu sisi karena disamping panca indera manusia, pun kita diberi oleh Tuhan yaitu akal fikiran. Maka cobalah tela'ah masalah sorga-neraka itu dari sisi yang akal fikiran bisa memahami keharusan keberadaannya. Coba kaji oleh akal andai di dunia ini ada kebaikan dan kejahatan dan otomatis ada yang berbuat baik dan berbuat jahat tapi Tuhan tidak menciptakan konsep balasannya. Makna 'benar-salah', kebaikan, kejahatan serta makna 'keadilan Tuhan' akan hilang sama sekali, sehingga tanpa adanya konsep sorga dan neraka itu maka kehidupan otomatis akan menjadi suatu yang janggal-ganjil bagi akal atau irrasional tak bisa masuk di akal. Kehidupan menjadi acak-acakan tanpa penataan yang beraturan, sedang akal selalu menuntut ketertataan-segala suatu yang bisa difahami secara tertata- secara konstruktif. Manusia terkadang terbiasa melihat sesuatu dari satu sisi karena berbagai faktor, katakan faktor emosional. Misal, bila seseorang yang kita benci mengatakan sesuatu perihal 'kebenaran' mungkin sulit untuk masuk ke hati kita karena adanya faktor rasa benci yang membuat kita terhalang untuk melihat sisi lain dari orang itu yaitu sisi atau sesuatu yang positif nya. Dan contoh yang bersifat umum, misalnya cap atau stigma negatif terhadap ...


Similar Free PDFs