FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA PDF

Title FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA
Author I. Samyo Raharjo
Pages 13
File Size 482.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 253
Total Views 666

Summary

54 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66 FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA Sugiharto Jurusan Ilmu Keolahragaan FIK Universitas Negeri Malang Abstrak: Olahraga merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kesehatan, ...


Description

54 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66 FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA Sugiharto Jurusan Ilmu Keolahragaan FIK Universitas Negeri Malang Abstrak: Olahraga merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kesehatan, kondisi fisik dan fisiologis, tetapi juga psikologis. Namun olahraga dengan dosis berat dan bersifat kompetitif salah satu penyebab stres (stresor). Sebaliknya olahraga yang dilakukan secara berkelanjutan dengan dosis yang tepat menurunkan sekresi HPA Axis, hypercotisol yang rendah, sitokin proinflamasi IL-6 aktif, merangsang sekresi hormone pertumbuhan (GH), prolaktin dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh dengan dirangsangnya Th2. Dalam upaya menjaga homeostatis, respon sistem stres diikuti oleh perubahan sikap dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan homeostatis, sehingga tidak diragukan lagi bahwa olahraga memiliki efek yang sangat menguntungkan bagi kesehatan baik kesehatan fisik maupun psikis. Kata-kata kunci: olahraga, crh, hpa axis, gh, il-6. Olahraga merupakan salah satu rangsangan yang sangat fisiologis dan melibatkan semua sistem tubuh, baik itu sistem otot, syaraf, sistem metabolisme maupun sistem hormon (Kanaley & Hartman, 2002) dan sebagai metode yang sangat efisien dalam mengontrol stres (Teixeira dkk., 2008). Hal ini karena olahraga dapat berperan untuk mengontrol neurohormonal, syaraf otonomik dan respon perilaku stres fisik dan psikologis (Rimmele dkk., 2009 ). Oleh sebab itu olahraga yang dilakukan dengan baik memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan psikis (Mastorakos dkk.,

2005), kesegaran jasmani, mood dan menurun- kan kecemasan serta mencegah depresi (Strohle,2009). Namun olahraga juga memiliki resiko (Rost, 1993), baik pada olahraga intensitas submaksimal maupun maksimal (Gervino & Douglas,1993). Terutama pada olahraga yang berlebihan dengan dosis berat dan kompetitif (Hackney,2006). Olahraga merupakan stres fisik, yang berpotensi menimbulkan gangguan homeostatis, khusususnya pada olahraga yang dilakukan secara berlebihan (Mastorakos & Pavlatou, 2005). Stres fisik yang ditimbulkan tersebut menurut Uchakin dkk. (2003) tidak hanya menyebabkan stres fisik itu sendiri, tetapi

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 55 juga dapat menyebabkan stres kimia fisiologis dan pikologis. Hal ini berpotensi mengganggu homeostatis (Fatouros dkk., 2010). Menurut Rimmele dkk. (2007) olahraga dengan dosis berat juga beresiko terjadi dehidrasi, menurunnya berat badan kronis, masalah lambung, hypo maupun hyperthermia, kerusakan otot dan collap. Olahraga menyebabkan peningkatan hormon kortisol baik olahraga dengan dosis maksimal (berat) maupun dosis submaksimal (Sugiharto 2009; Sugiharto dkk, 2010). Kortisol, meningkatkan aktivitas glukokorticoid dan cortikosteron, yang dapat menyebabkan resisten insulin, tubuh, hyphothalamichypophysis-adrenal axis (HHA) dan juga meningkatkan insiden penyakit jantung serta menurunnya daya tahan tubuh untuk penyakit (Contarteze dkk.,2007). Stres oleh tubuh direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sistem locus ceruleus (LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas & Pavlatou, 2005). Aktifnya hipotalamus–puitutary–adrenal axis (HPA), menimbulkan conditioning stimuli pada alur limbic–hipotalamus–puitutary-adrenal Axis (LHPA axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan disekresinya hormon corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang hipotalamus untuk sekresi ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan meningkatnya sekresi, kortisol (Usui dkk., 2012). Hormon tersebut dikeluarkan untuk menjaga homeostatis dalam menghadapi stres, baik fisik maupun psikologis (Fatouros dkk., 2010). Dalam batas tertentu peningkatan kortisol digunakan sebagai upaya untuk menghadapi

tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan energi yang diakibatkan oleh stresor olahraga (Hackney, 2006), sedangkan menurut Rimmele dkk. (2007) baik stresor fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatkan sistem kardiorespirasi dan neurohormonal, sebagai refleksi dari respon system syaraf otonomi (autonomic nervous system/ANS) salah satunya sistem syaraf simpatik (sympathetic nervous system/SNS). Atas dasar hal tersebut maka diperlukan pemaparan konseptual tentang neurofisiohormonal dalam menjelaskan stresor olahraga. Mekanisme tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan landasan dalam menjelaskan makna latihan olahraga dalam meningkatkan kesehatan dan kesegaran jasmani secara paripurna. Karena olahraga memiliki sifat ambigius, dapat berdampak positif, tetapi juga dapat berdampak negatif. Dalam meningkatkan makna olahraga bagi kesehatan dan kesegaran jasmani diperlukan pemahaman respon dan adaptasi tubuh terhadap olahraga dari konsep fisioneurohormonal.

56 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66 PENGERTIAN STRES DAN STRESOR Stres merupakan kondisi yang didalamnya terdapat permintaan yang melebihi kemampuan untuk memenuhinya (Mastorakos dkk., 2005). Stres menurut Carrasco & Vander de Kar (2003) merupakan respon tubuh yang sangat spesifik dalam memenuhi permintaan. Oleh karena itu stres digambarkan keadaan organisme di bawah pengaruh kekuatan internal dan ekternal yang dapat mengancam untuk mengubah keseimbangan dinamis (homeostatis) (Mastorakos, dkk, 2005). Stres menurut Hackney (2006) adalah respon spesifik oleh tubuh, yang dapat merangsang kerusakan atau menganggu keseimbangan kondisi fisiologis pada organisme ”normal”. Kata kunci dalam definisi ini adalah ”normal” merupakan hal penting untuk dipahami pada konteks ini, bahwa respon stres merupakan tanggapan atau peristiwa hal yang luar biasa dalam kehidupan fisiologis basal sehari – hari, namun bukan merupakan peristiwa yang sangat sulit ”distresful”. Karena itu tubuh senantiasa berusaha untuk mempertahankan hidup dan menjaga dari pengaruh internal dan ekternal yang dapat mempengaruhi keseimbangan fisiologis (Fatouros dkk., 2010). Ketidak mampuan tubuh menghadapi pengaruh tersebut dapat menyebabkan kondisi tubuh kurang harmonis dan homeostatis terganggu, juga disebut dengan stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Stres menurut para ahli kesehatan menyebabkan masalah kesehatan lebih dari sebelumnya, seperti yang ditandai dengan perubahan aktivitas dari HPA axis, guna merangsang system saraf otonom,

yang berpengaruh pada denyut jantung, tekanan darah, suhu, kecepatan respirasi dan tingkat katekolamin, maupun menunda pengaruh dari kortikosteroid (Sharma dkk,2006). Kondisi internal dan ekternal yang dapat mempengaruhi kemampuan tubuh tersebut disebut dan dapat menyebabkan stres disebut stresor (Mastorakos & Pavlatou, 2005). Stresor menurut Hackney (2006) merupakan kegiatan, cara atau rangsangan yang menyebabkan stres, sedangkan menurut Carrasco & Vander de Kar (2003) stresor adalah paparan kondisi yang menyebabkan ketidaknyamanan. menghasilkan serangkaian tanggapan yang terkoordinasi untuk mempertahankan hidup. Karena itu stresor dapat berasal dari lingkungan, fisik, kimia, dan juga psikologis (Uchakin dkk., 2003). Stresor dapat berupa kondisi fisik seperti panas atau dingin, infeksi atau peradangan (inflamasi), olahraga atau stresor psikologi, misalnya stresor psikologi lingkungan seperti kondisi kerja, hubungan kekerabatan yang tidak bagus, stres kerja, dan komunikasi antara teman kurang baik (Sharma dkk., 2006). Stresor merupakan dinamika baru bagi tubuh, tidak hanya berdampak negatif tetapi juga dapat berdampak positif. Hans Selye (dalam Cox, 2002) mengemukakan stresor yang berdampak positif disebut dengan eustres, sedangkan yang berdampak negatif disebut distres.Eustres dan distres pada dasarnya merupakan gambaran respon – adaptasi tubuh terhadap stres yang dialami, untuk menjaga keseimbangan agar homeostatis tidak terganggu (Fatouros dkk.,

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 57 2010). Respon-adaptasi tubuh tersebut dapat mempengaruhi perilaku fisik, fisiologis maupun psikologis (Mastorakos dkk., 2005). Eustres dan destres merupakan dinamika baru bagi tubuh tersebut dapat berdampak yang menyebabkan gangguan sel dan sistem yang mengaturnya atau merangsang sistem sel yang berdampak sebaliknya (Ronsendal dkk., 2002). Distres misalnya dapat terjadi apabila tubuh tidak mampu merespon dinamika baru tersebut, homeostatis terganggu. Stresor menghasilkan serangkaian tanggapan yang terkoordinasi untuk mempertahankan hidup atau menjaga homeostatis untuk meningkatkan adaptasi (Carrasco & Van de Kar, 2003). Oleh Hans Selye serangkaian adaptasi tersebut disebut dengan mekanisme “General Adaptation Sindrome (GAS)” (Gambar 1) (Rushall & Pyke, 1992). GAS memiliki 3 tahapan: Alarm Reaction Stage (reaksi peringatan), terdiri dari dua tahap, yaitu shock dan counter shock. Shock secara umum merupakan respon tubuh yang berlebihan dan tidak efisiennya sistem tubuh, walaupun menghadapi beban yang ringan sekalipun. Atlet dapat mengalami tekanan fisiologi maupun psikologis yang berat pada awal terkena paparan stres, misalnya olahraga dilakukan, apalagi beban yang diberikan berat dan bersifat mendadak. Tekanan berat tersebut dapat berlangsung hingga minggu kedua. Oleh sebab itu pada awal-awal olahraga terjadi penurunan kondisi fisik, kelelahan, tidak efisiennya sistem tubuh dalam bekerja, bahkan berpotensi menurunnya kondisi fisik di bawah kondisi

rata-rata. Namun dengan konsistennya pembeban secara bertahap, tubuh berusaha mengembangkan mekanisme “coping”, untuk melawan tekanan tersebut. Stres secara bertahap terus berkurang dengan melawan yang dikenal counter shock. Tubuh secara bertahap melakukan adaptasi terhadap stres, sehingga merasakan “ënak” dalam menghadapi shock, kemudian terjadi adaptasi yang lebih tinggi dari pada proses “perusak”. Pada saat ini kinerja fisik mulai ada peningkatan dan kembali pada kondisi fisik sebelum olahraga. Resistance / Adaptation Stage, merupakan fase kedua dalam meningkatkan adaptasi awal yang terjadi setelah Alarm Reaction Stage. Tahap ini terjadi peningkatan perlawanan terhadap stres, sehingga kinerja fisik berpotensi meningkat. Ketika tubuh mendapat beban stres secara terus menerus maka kemampuan dalam menanggulangi stres juga akan terjadi peningkatan. Jika kemampuannya meningkat maka peningkatan kondisi fisik tidak menjadi hambatan, namun peningkatan dalam menanggulangi stres tersebut juga sangat terbatas, selanjutnya memasuki fase yang ketiga. Exhaustion Stage (tahap kelelahan) adalah reaksi nonspesifik yang dihasilkan dari stres berkepanjangan dan dapat meningkatkan adaptasi.Tetapi kondisi ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama. Hal ini dapat disebabkan oleh stres yang berlebihan, kalau dalam olahraga dapat disebabkan oleh overtraining. Tahap ini terjadi penurunan daya tahan, yang diikuti stres yang meningkat, dengan penyebab yang kronik. Tahap ini ditandai dengan peningktan

58 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66 kelelahan, kapasitas kerja fisik menurun lebih cepat, adanya gangguan fisiologis dan psikologis.

Gambar 1: Pola respons adaptasi tubuh pada pemberian dosis latihan fisik (Rushall & Pyke, 1992:51) Kemampuan tubuh dalam melakukan respon dan adaptasi dapat mengalami kerusakan, yang diakibatkan oleh dinamika baru tersebut secara terus menerus, sehingga menyebabkan tekanan atau stres yang tidak mampu ditanggulangi oleh tubuh. Stres baik fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatan sistem yang melibatkan sistem stres di otak dan komponen saraf tepi, HPA axis dan sistem saraf otonomi (Mastorakos dkk.,2005), serta melibatkan neurohormon, sehingga banyak hormon stres disekresi, untuk mempertahankan keseimbangan (homeostatis) tubuh (Hackney, 2006).

RESPON FISIOLOGI TUBUH TERHADAP STRES Kehidupan merupakan sesuatu yang dinamis, terdapat tantangan baik intrinsik maupun ekstrinsik yang penyebabkan stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Tantangan tersebut dapat menyebabkan stres fisik ataupun emosional, seseorang dalam menghadapi hal tersebut akan relatif melakukan respon-respon adaftif yang stereotif dan tidak alamiah, oleh Selye sebagai kondisi “Sindrom adaptasi umum” (Rimmele dkk.,2009). Keterlibatan system syaraf dan hormon dalam merespon stres disampikan pada Gambar 2.

Gambar 2: Respon fisiologis stres pada sistem tubuh (Tsigos & Chrousos, 2002:866). Gambar 2 menjelaskan bahwa pusat kontrol stres terdapat di hipotalamus dan batang otak, termasuk parvoselular kortikotropin hormone (CRH) dan Orginine-vasopressin (AVP), paraventricular nuclei (PVN) dalam hipotalamus dan juga locus ceruleus (LS)- norepineprin (Sistem saraf simpatik/SAM). Hipotalamik-pituitari-adrenal axis (HPA axis ) yang merupakan representatidari system limbic, melalui otak mempengaruhi seluruh organ tubuh. Interaksi antara pusat stres dengan system

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 59 kontrol otak memberikan keuntungan bagi system tubuh. Interaksi tersebut berpengaruh terhadap fenomena afeksi dan antisipasi (Sistem Mesokortikal/ Mesolimbik); yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi dari sistem aktifitas stres (Amygdala/Hippocampus kompleks) dan pembentuk sensasi rasa sakit (Arkuate Nukleus). Respon hormonal terhadap stres dianggap sebagai mekanisme pertahanan untuk menjaga kehidupan selama terjadi stres, yang mengancam kehidupan. HPA axis memiliki peran dalam menjaga kehidupan (Carrasco & Van de Kar, 2003). Tsigos & Chrousos, (2002) menjelaskan bahwa secara fisiologi stres mengaktifkan HPA axis dan system saraf simpatis, corticotrophin-releasing hormone – corticotrophin-releasing factor (CRHCRF) dan arginine vasopressin (AVP). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi ACTH dari kelenjar posterior dan mengaktifkan neuron andrenergik dari locus caeruleas/norepinephrine (LC/ NE). Sistem LC/NE bertanggungjawab untuk merespon langsung terhadap stresor dengan “melawan atau lari/fight or flight), yang didorong oleh epinefrin dan norepinefrin, sedangkan ACTH merangsang disekresinya kortisol dari kortek adrenal (lihat Gambar 3). Peningkatan sekresi kortisol memiliki efek metabolik dengan meningkatkan glukoneogensis, meningkatkan memobilisasi lemak dan protein, serta menurunkan sensifitas insulin, hormon pertumbuhan (GH-T3) dan menurunnya respon peradangan (Gulliams & Edwards, 2010) (Gambar 3). Respon stres terhadap tubuh menurut Carrasco & Van de Kar (2003) dapat me-

nyebabkan beberapa perubahan fisiologis antara lain: (a) memobilasi energi untuk mempertahankan fungsi otot dan otak, (b) meningkatkan responsibilitas/ketajaman/kepekaan tubuh terhadap ancaman atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan kerja jantung, respirasi, distribusi aliran darah, meningkatkan subtract dan suplai energi ke otot dan otak, (d) Perubahan sistem modulasi respon imun tubuh, (e) menghambat system fisiologi reproduksi dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu makan.

Gambar 3: HPA Axis dan Respon stres (Guilliams & Edwards, 2010:3) Selain itu respon stres terhadap otak juga melakukan aktivitas yang berbeda pada jaringan saraf simpatik. Dalam menghadapi stres terdapat interaksi yang menguntungkan antara pusat pengendali stres dengan 3 daerah di syaraf pusat tertinggi (high brain centre), yang berpengaruh terhadap fenomena antisipatori (mesocortical/meso limbic system) (Tsigos & Chrousos 2002). Fenomena antisipatori, berkaitan dengan inisiasi, propagasi dan terminasi dari ativitas system stres (Amygdala/ complex Hippocampus) serta pembentuk sensasi

60 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66 rasa sakit (Arkuate Nukleus) (Thornton & Andersen, 2006). Stres menybabkan diaktifkannya HPA axis dan SAM axis, yang menyebabkan terjadinya perubahan imonitas tubuh (lihat Gambar 4).

Gambar 4: HPA axis dan sympatheic adrenal medulare axis (SAM axis) dalam menanggapi stres serta pengaruhnya (Thornton & Andersen, 2006:5 ).

OLAHRAGA SEBAGAI STRESOR TUBUH Olahraga merupakan stresor bagi tubuh yang memiliki potensi terhadap gangguan homeostatis (Ronsendal dkk., 2001) dan dapat menyebabkan stres fisik, kimia, fisiologis serta psikologis (Uchakin dkk., 2003. Stresor dapat menyebabkan stress sistemik dan menimbulkan beberapa penyakit (Helbert dkk., 2004). Karena itu memperlukan usaha dari tubuh untuk melakukan adaptasi terhadap stres (Debruille, dkk,1999), salah satunya dengan mengaktifkan fungsi neuroendocrine (Minetto dkk., 2006). Stresor olahraga juga memiliki keterkaitan dengan sekresi neuroendocrine. Hal ini telah dibuktikan dengan olahraga yang sangat dinamik, yang melibatkan banyak otot, seperti pada lari selama 30-40 menit dengan intensitas 70% dari kapasitas oksigen maksimal atau setara dengan 80% dari denyut jantung maksimal, menunjukan peningkatan sekresi hormon (Hackney, 2006). Sekresi hormon tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik (sympathetic nervous system (SNS), sebagai sistem antisipasi terhadap stres. Peningkatan aktivitas SNS merangsang peningkatan sekresi katekolamin secara langsung pada target sel dan juga peningkatan sirkulasi katekolamin yang disebut dengan simpatik “Spill-over” (Gambar 5).

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 61

Gambar 5: Fase 1 pengaturan sekresi hormon oleh SNS (Hankey, 2006:794 ) Kemudian beberapa detik setelah olahraga dimulai, terjadi peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik. Aktifnya syaraf simpatik meningkatkan sekresi dan sirkulasi katekolamin ke target sel, yang dapat meningkatkan efek simpatik “spill –over” . Efek memiliki ini lebih diperkuat dengan hubungan dengan syaraf simpatik dengan kelenjar medula adrenal, sehingga menyebabkan peningkatan sirkulasi katekolamin. Bersamaan dengan itu, sekresi insulin dari kelenjar pankreas dihambat, sedangkan sekresi glucagon mulai dirangsang. Kemudian dilanjutkan dengan fase kedua (Gambar 6).

Gambar 6: Fase 2 pengaturan sekresi hormon oleh SNS (Hankey, 2006: 794) Fase 2, memerlukan waktu lebih lama, namun dari isi tipikel juga lebih cepat kurang dari satu menit. Pada fase 2 hipotalamus mulai merespon sekresi hormon CRH,GHRH dan TRH. Sekresi hormon tersebut untuk merangsang perubahan hipofisis dan juga kelenjar hormon yang telah mulai terangsang untuk mengeluarkan hormon. Antara lain kelenjar pituitari mulai merespon rangsangan dihipotalamus, misal trophic hormone, mulai ditambahkan dalam sirkulasi. Pada fase 2 yang paling cepat adalah adanya interaksi pada` hypothalamic-pituitary-adrenocortical, merangsangn CRH, sehingga sekresi ACTH dan sirkulasi kortisol meningkat.

62 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

Gambar 7: Fase 3 Pengaturan sekresi sistem hormon oleh SNS selama melakukan olahraga (Hankey, 2006: 794) Fase 3 menunjukan bukti bahwa respon olahraga terhadap tubuh memiliki efek ganda. Respon olahraga bagi tubuh selain dapat menjadi stresor, juga dapat menjadi stimulator. Kedua respon tersebut ditandai dengan disekresinya neurohormonal, baik sebagai hormon penanda stresor (kortisol dan adanya inflamasi) maupun stimulator disekresinya hormone endorphin. Gambar 7 juga menunjukan adanya beberapa keterlibatan sistem kardiorespirasi, sistem hormon, sistem metabolisme, system syaraf dan system otot dan system imonologi selama melakukan olahraga. Karena itu olahraga secara fisioneurohormonal merangsang peningkatan denyut jantung, tekanan darah, volume tidal, dan frekuensi pernapasan, pengaturan suhu tubuh dan penyediaan energy (Usui dkk.,2008). Sistem hormon sangat responsif terhadap stres fisik maupun mental, termasuk di antaranya olahraga yang intensif dan terus menerus. Dalam melakukan upaya adaptasi terhadap stres maka system HPA axis dan hormon yang bertanggungjawab terhadap stres diaktifkan (Kanaley & Hartman, 2002). Aizawa

dkk. (2006) mengatakan bahwa aktifnya hypothalamo-pituitary-gonadal(HPG) dan HPA axis, pada saat olahraga, untuk adaptasi terhadap stresor olahraga yang dilakukan. Namun demikian aktifnya HP axis dipengaruhi oleh intensitas, durasi, metode dan tingkat keterlatihan individu (Usui dkk., 2008) serta juga sifat dari olahraga (Ronsendal dkk., 2002). Pada olahraga yang bersifat kompetitif HPA axis lebih aktif, dibanding dengan olahraga yang nonkompetitif. Hal ini karena olahraga...


Similar Free PDFs