hadis mengenai hal ghaib dan nyata.docx.pdf PDF

Title hadis mengenai hal ghaib dan nyata.docx.pdf
Author Fajar Bahari
Pages 5
File Size 263.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 203
Total Views 576

Summary

BAB II MEMBEDAKAN ANTARA HAL GHAIB DAN NYATA A. Memahami Antar a Hal Ghaib dan Nyata Memahami suatu hadis secara tepat tidaklah mudah, karna dalam isi kandungan hadis terkadang ada yang mudah dipahami dan ada yang sulit untuk dipahami. Jika melihat isi dari kandungan suatu hadis, ada banyak hadis ya...


Description

BAB II MEMBEDAKAN ANTARA HAL GHAIB DAN NYATA

A.

Memahami Antar a Hal Ghaib dan Nyata

Memahami suatu hadis secara tepat tidaklah mudah, karna dalam isi kandungan hadis terkadang ada yang mudah dipahami dan ada yang sulit untuk dipahami. Jika melihat isi dari kandungan suatu hadis, ada banyak hadis yang berbicara tentang hal­hal ghaib. Diantaranya, mengenai makhluk­makhluk yang tidak dapat diindrakan, alam kubur, kehidupan akhirat termasuk mizan, mahsyar dan hisab. Permasalahan yang mendasar yakni disebabkan karena sebagian orang dalam memahami suatu hadis, mereka cenderung menganalogikan sesuatu hal yang ghaib terhadap suatu hal yang nyata atau menyamakan akhirat terhadap dunia. Analogi atau penyamaan seperti itu tidak tepat karena keduanya berbeda dan memiliki hukum tersendiri. Adapun contohnya yakni hadits tentang pohon di surga:

َ ْ ‫ﺲ‬ ُ‫َﻧ‬ ‫َﺎ ﺃ‬ ‫َﺛﻨ‬ ‫ﱠﺪ‬ ‫ََﺣ‬ ‫َﺩﺓ‬ ‫َﺎ‬ ‫َﺘ‬ ‫َﻦ ﻗ‬ ‫ٌﺪ ﻋ‬ ‫ِﻌﻴ‬ ‫ﺳ‬ ‫َﻨ‬ ‫ﱠﺪﺛ‬ ‫ٍﻊَﺣ‬ ‫ْﻳ‬ ‫َﺭ‬ ‫ُﻦُﺯ‬ ‫ْﺑ‬ ‫ُﺪ‬ ‫ِﺰﻳ‬ ‫َﺎ ﻳ‬ ‫َﻨ‬ ‫ﱠﺪﺛ‬ ‫ِﻦَﺣ‬ ‫ِﻣ‬ ‫ْﺆ‬ ‫ُﻤ‬ ‫ْﻟ‬ ‫ِﺪ ﺍ‬ ‫ْﺒ‬ ‫ُﻦَﻋ‬ ‫ْﺑ‬ ‫ﺡ‬ ُ‫ْﻭ‬ ‫َﺎَﺭ‬ ‫َﻨ‬ ‫ﱠﺪﺛ‬ ‫َﺣ‬ َ‫َﺎ‬ َ ‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬ ً ََ ‫َﺮﺓ‬ ‫َﺠ‬ ‫ﺸ‬ ‫ِﺔ ﻟ‬ ‫َﺠﻨ‬ ‫ْﻟ‬ ‫ِﻰ ﺍ‬ ‫ﱠﻥ ﻓ‬ ‫َﻝ ﺇ‬ ‫َﺎ‬ ‫ﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗ‬ ‫ِﻦ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻚ ﺭﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﻪَﻋ‬ ‫ُﻦَﻣﺎﻟ‬ ‫ْﺑ‬ ٍِ ‫ِﺒﱢ‬ ِ َ ‫َﺎ‬ ‫ُﻌﻬ‬ ‫ْﻘﻄ‬ ‫َﻳ‬ ‫ٍﻡ ﻻ‬ ‫َﺎ‬ ‫َﻋ‬ ‫َﺔ‬ ‫َﺎِﻣﺎﺋ‬ ‫ﱢﻬ‬ ‫ﻅﻠ‬ ‫ﺐﻓ‬ ُ‫ِﻛ‬ ‫ﱠﺍ‬ ‫ُﺮ ﺍﻟﺮ‬ ‫ِﺴﻴ‬ ‫ﻳ‬ َ ِ‫ِﻰ‬ َ Diceritakan Rauh bin‘Abdilmu’mini, diceritakan Yazi>d bin Zuray’in, diceritakan sa’i>d dari Qata>dah, diceritakan Anas bin Malik r.a. dari Nabi SAW bersabda “ sesungguhnya di dalam Surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang pengendara melewati dibawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya .”1

Hadis diatas tersebut telah disepakati kasahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang diriwayatkan melalui Sahih Ibnu Sa’id, Abu Sa’id dan Abu Hurairah. Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Anas pula. Oleh karena Muh}ammad bin Isma’i>l, S}ah}i>h Bukhari, vol.9, cet.1 (ttp: Darr T}auqi an-Najah. 1422), 119. 1

3

4

‫ُﻭ‬ ‫ْﻤﺪ‬ ‫ﱟﻞَﻣ‬ ‫ﻅ‬ itu, ketika menafsirkan firman Allah yang berbunyi: ‫ٍﺩ‬ ِ‫“َﻭ‬dalam naungan yang terbentang luas” (QS al­waqi’ah: 30), Ibn Katsir menyebutkan bahwa hadis itu benar­benar berasal dari Rasulullah SAW dan bahkan termasuk hadis mutawatir yang dipastikan keshahihannya menurut penilaian para pakar hadis atau Ulama Hadis.2 Secara lahiriyah, makna hadis tersebut menunjukkan masa atau waktu seratus tahun seperti ukuran masa atau waktu yang ada di dunia. Oleh karena itu di dalam riwayat Abu Sa’id disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan pengerndara yakni pengendara kuda balap yang laarinya cepat. Namun mengenai zaman kita dengan zaman yang dimaksud disisi Allah SWT, tidak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya, kecuali Allah SWT itu sendiri. Dalam Al­Quran juga disebutkan dalam Firman­Nya:

َ َ َ ‫ﱡﺪﻭﻥ‬ ‫ُﻌ‬ ‫ﱠﻤﺎ ﺗ‬ ‫ٍﺔِﻣ‬ ‫ﺳﻨ‬ ‫ﻚَﻛﺄ‬ ‫َﺪَﺭﺑ‬ ‫ْﻨ‬ ‫ًﻣﺎِﻋ‬ ‫ْﻮ‬ ‫ﱠﻥ ﻳ‬ ‫َﻭﺇ‬ َ‫ﱢ‬ َ‫ﻒ‬ ِ‫ْﻟ‬ َ ِ

3

dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitungan. (Surah. Al­Hajj: 47).

Apabila hadis tersebut shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia dan membenarkannya dengan hati yang tenang dan tentram. Hal itu merupakan suatu cara dalam menanggapi hal­hal ghaib yang memang sudah dinyatakan dalam agama atau sudah dinashkan dalam Al­Quran, hal itu juga sama seperti halnya dalam menerima perintah agama yang bersifat ta’abbud (ibadah). Sehinnga Abu Abbas pernah berkata bahwasanya “tidak ada sesuatu pun dari dunia yang ada didalam Surga, melainkan hanya nama­nama belaka.”4 Hal lain yang serupa yakni tentang suatu perkara atau peristiwa mengenai azab

Yusuf Qardhawi, Studi Kritis As­Sunnah Kaifa Nata’amalu Ma’as Sunnatin Nabawiyah, terj, Bahrun Abubar. (Bandung: Trigenda Karya, tth), 215. 3 Al­Quran Al­Quddus, vol. 17 (Kudus: CV.Mubarokatan Thoyyibah, tth), 337. 4 Yusuf Qardhawi, Studi Kritis As­Sunnah Kaifa Nata’amalu Ma’as Sunnatin Nabawiyah, terj, Bahrun Abubar. Op.,Cit, 216. 2

5

orang­orang kafir di Neraka, misalnya berkenaan dengan gigi orang kafir itu sangat besar, kedua sisi bahunya sangat lebar dan kulitnya sngat tebal.5 Dengan adanya hal atau cerita tersebut kita dapat mempercayainya, karna dengan mempercayai hal tersebut merupakan suatu cara yang paling selamat, adapun jika kita berusaha untuk membuktikan tentang kebenarannya, maka hal tersebut tidaklah akan membawa manfaat atau faedah apapun. Tindakan terpenting bagi seorang Muslim adalah menyibukkan dirinya dengan memohon ampunan dan Surga kepada Allah SWT serta mengerjakan segala amal perbuatan yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, baik itu berupa ucapan maupun perbuatan. Hendaknya sebagai seorang muslim untuk memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan perlindungan dari siksa api Neraka dan kelak diakhirat mendapatkan naunganNya. Sbagai seorang muslim kita memang beriman kepada semua yang disampaikan oleh Nas Al­Quran tanpa harus menanyakannya kembali. Hal itu dikarenakan Allah SWT menciptakan manusia tanpa dibekali sarana untuk dapat mengetahui hal­hal yang ghaib, mengingat bahwa sarana tersebut tidak diperlukan dalam menunaikan tugsanya sebagai khalifah di muka bumi ini. Seandainya aliran rasional seperti Mu’tazilah menyadari keberadaan hakikat ini dan mengakuinya, tentu mereka tidak perlu mengingkari hadis­hadis sahih yang menetapkan orang­orang mu’min dapat melihat Allah SWT kelak diakhirat, sebagaimana mereka melihat rembulan dibulan purnama. Ungkapan tasybih atau penyerupaan ini berkaitan dengan kejelasannya, bukan subjek yang dilihatnya. Terlebih lagi takwil mereka yang jauh menyimpang dari makna lahiriyah atau aslinya,6 seperti dalam firman Allah SWT:

‫َﺮﺓ‬ ‫ﻅ‬ ‫َﺎ ﻧ‬ ‫ﱢﻬ‬ ‫َﻰَﺭﺑ‬ ‫ِﻟ‬ ‫( ﺍ‬۲۲) ٌ ‫َﺮﺓ‬ ‫ﺿ‬ ‫ٍﺬ ﻧ‬ ‫َﻣﺌ‬ ‫ْﻮ‬ ‫ٌﻳ‬ ‫ْﻮﻩ‬ ‫ُﺟ‬ ‫ُﻭ‬ (۲۳) ٌ ِ‫َﺎ‬ ِ‫ﱠﺎ‬ ِ َ

7

Wajah­wajah (orang­orang mukmin) pada hari itu berseri­seri. Menghadap TuhanNya. (Surah., Al­Qiyamah : 22­23).

Ibid., 216. Ibid., 217. 7 Al­Quran Al­Quddus, vol. 29 (Kudus: CV.Mubarokatan Thoyyibah, tth), 577. 5 6

6

Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwasanya, kekeliruan utama yang menjerumuskan mereka yaitu diakibatkan karena mereka menganalogikan hal­hal yang ghaib (eskatologis) terhadap hal yang nyata (empiris), yang mana hal yang seperti itu tidak dapat diterima, karena mengingat adanya perbedaan yang jauh diatara keduanya, karena masing­masing mempunyai tatanan atau aturannya sendiri. Seperti halnya pada masalah penglihatan, bahwasanya pengliahtan di dunia dan diakhirat itu berbeda. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh berkenaan dengan penglihatan yang ada diakhirat “Penglihatan tidak dapat digambarkan dan tidak dapat dibatasi”, Adapun muridnya Rasyid Ridha juga memberikan ulasan dari tanggapan gurunya tersebut bahwasanya “Insting, pada hakikatnya milik roh dan indera­indera hanya sebagai sarananya”. Setalah dilakukan suatu penelitian, terbukti bahwasanya ada orang yang dapat membaca dan melihat meskipun kedua matanya dalam kedaan tertutup (telepati).8 Namun hal tersebut tidaklah menjadi kemungkinan bahwasanya akal manusia dapat menilai hal­hal ghaib yang jauh lebih aneh dan sulit (akhirat) dari pada apa yang ada atau terjadi didunia ini. Kembali lagi, hal ini dikarenakan dimensi antara alam dunia dan akhirat itu jauh berbeda. Jikalau ada anggapan mustahil dari orang­ orang yang mengingkari melihat Tuhannya di akhirat, itu hanya karna mereka menganalogikan alam ghaib (eskatologis) dengan alam dunia (empiris) dalam masalah penglihatan dan subjek yang dilihatnya. Analogi yang seperti itu dikatakan batil dan tidak dapat dibenarkan, apalagi jika dikaitkan dengan subjek yang dilihatnya. B.

Pentingnya Mempelajar i Metode Membedakan Hal Ghaib dan

Empir is dalam Hadis Metode­metode memahami hadis sangat penting bagi umat islam, karena metode ini dapat membantu umat islam tidak salah dalam memahami hadis. Pada zaman sekarang sangat banyak pemikiran­pemikiran seseorang yang berbeda dalam memahami hadits. Perbedaan inilah yang menyebabkan kesalahpahaman dalam

8

Ibid., 218.

7

memaknai suatu hadis. Terutama tentang metode memahami hadis dengan cara membedakan antara hal yang ghaib (eskatologis) dengan yang nyata (empiris) yang telah dijelaskan dalam makalah ini. Metode dengan cara membedakan antara hal yang ghaib dengan yang nyata ini menjadi penting, karena dengan mengetahui metode­metode tersebut, seseorang tidak akan mendapati kesalah pahaman dalam mengartikan atau menganalogikan isi dari kandungan hadis dan dapat mengembangkan pemahaman hadis baik secara kontekstual maupun secara progresif.9

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis “ Paradigma Interkoneksi” , (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), 13. 9...


Similar Free PDFs