Jacques Derrida, Teks dan Strategi Dekonstruksi PDF

Title Jacques Derrida, Teks dan Strategi Dekonstruksi
Author Abdul Hakim
Pages 17
File Size 155.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 338
Total Views 864

Summary

Nietzsche, Derrida dan Dekonstruksi Satu bag.dari buku,' Nietzsche' , penerbit Kanisius, Jogjakarta Abdul Hakim, Director of Center for Islam and State Studies Indonesia Dalam tradisi filsafat Barat modern, Nietzsche (1844-1900) menempati posisi yang khas, karena kritiknya terhadap metafisik...


Description

Nietzsche, Derrida dan Dekonstruksi Satu bag.dari buku,' Nietzsche' , penerbit Kanisius, Jogjakarta

Abdul Hakim, Director of Center for Islam and State Studies Indonesia

Dalam tradisi filsafat Barat modern, Nietzsche (1844-1900) menempati posisi yang khas, karena kritiknya terhadap metafisika Barat. Nietzsche dikenal berfilsafat dengan palu; ia menghantam dengan keras segala keyakinan, kepercayaan, dogma dan pengetahuan yang mendasarkan dirinya pada suatu fondasi yang tak tergoyahkan. Ia menggugat metafisika yang membicarakan palungpalung kenyataan, dan hakikat di balik seluruh realitas, dan dengan tanpa ampun ia mempreteli apa yang disebut “kebenaran”. Nietzsche, sekali lagi, mengingatkan bahwa ambisi filsafat untuk menemukan hakikat kebenaran adalah racun yang membunuh dirinya sendiri. Apa yang diusung oleh Nietzsche hampir lebih satu abad yang lalu dirayakan di hari ini dalam tradisi filsafat kontemporer. Panji-panji filsafat kontemporer yang menggemakan ulang apa yang pernah disuarakan Nietzsche di masa lalu mendapatkan bentuknya pada Martin Heidegger dengan “destruksi” atas metafisika, “dialektika negatif” pada Adorno, dan “dekonstruksi” pada Jacques Derrida. Dalam pengantar Being and Time, Heidegger mengemukakan kegelisahannya akan krisis pengetahuan zaman ini, yang ia sebut dengan krisis fondasi, krisis tersebut bersumber dari “kelupaan akan Ada”. Dan dengan dialektika negatif, Adorno menyatakan konsep adalah sumber kekerasan; dalam berfikir selalu terjadi identifikasi, kategorisasi, sistematisasi, dan segala anasir yang partikular, nonidentitas dileburkan dalam sintesis ala Hegel. Melalui dekonstruksi Derrida ingin menarik filsafat ke garis perbatasannya, yaitu meninggalkan nostalgia filsafat akan “Ada sebagai kehadiran”.[1] Jacques Derrida melanjutkan proyek yang dilakukan oleh Heidegger, terutama proyek Heidegger yang tak pernah diselesaikannya dalam Being and Time yang hendak melakukan destruksi atas sejarah metafisika. Dan dalam banyak hal, Derrida dan Adorno menggarap tema yang sama, yaitu melakukan kritik terhadap filsafat Barat yang berpusat pada fondasi. Adorno dapat dianggap sebagai sang proto-dekonstruksionis. Namun berbeda dengan Heidegger yang melakukan perlawanannya terhadap metafisika Barat dengan jalan membangun ontologi fundamental, atau Adorno dengan dialektika warisan Idealisme Jerman, dekonstruksi Derrida justru mendapatkan senjatanya melalui filsafat bahasa Dekonstruksi Atas Metode Kata „metode‟ berasal dari kata Yunani meta, berarti “dari sesuatu”, atau “sesudah sesuatu”, dan hodos, yang berarti „perjalanan‟. Secara etimologis, metode merujuk pada perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain; metode dipahami sebagai jalan menuju pengetahuan.[2] Donald Polkinghorne, di dalam Method for the Human Sciences (1983), mendefinisikan „metode‟ sebagai sejenis aktivitas yang bertujuan untuk mencapai hasil penelitian. Dengan kata lain,

metode merujuk pada perencanaan yang terorganisasi secara terperinci dan logis dengan bantuan metode itu dapat meraih pengetahuan. Metode berarti suatu prosedur logis dan sudut pandang yang digunakan untuk mendapatkan serangkaian informasi dari proses penelitian terhadap objek.[3] Sementara dekonstruksi mempersoalkan orientasi meraih hasil dan analisis sistematik dari prinsip-prinsip metode pengetahuan. Derrida mengkritik metode tradisional yang berupaya menggambarkan objeknya dari sudut tertentu dengan menyingkirkan sisi-sisi yang dianggap tidak relevan bagi kepentingan suatu penelitian terhadap objek. Sebaliknya, dekonstruksi bermaksud mendekati objeknya dari posisi objek itu sendiri, dan bukan berdasarkan pada pengandaian tertentu untuk menentukan bagaimana objek itu menyingkapkan dirinya. Melalui seperangkat metode dan pengandaian tertentu atas objek, seakan ada jarak yang memisahkan antara peneliti dengan objek yang diteliti. Derrida hendak meleburkan batas antara peneliti dan objek yang ditelitinya, bahkan pembaca dan teks. Karakter dasar dari dekonstruksi ialah perhatiannya pada teks, sistem konseptual, dan linguistik dengan terus mempertautkan interioritas dan eksterioritas. Teks tidak mungkin sepenuhnya bersifat eksternal terhadap pembaca, dalam proses pemahaman diandaikan terjadi internalisasi diri, untuk menjadikan teks sebagai miliknya. Dengan demikian strategi pembacaan dekonstruksi tidak berikhtiar untuk menemukan makna tertentu atau ide utama sebuah teks, tetapi menelisik bagaimana teks melahirkan beragam makna yang mungkin bertentangan satu sama lain. Dalam konteks pembacaan ini pula, dekonstruksi berseberangan dengan hermeneutika. Hermeneutika berupaya merekonstruksi makna yang dimaksud oleh pengarang, menyempurnakan teks dengan bertumpu pada konteks yang membentuk sebuah teks, bukan untuk memperlihatkan kontradiksi internal yang selalu menandai teks, sebagaimana strategi dekonstruksi. Sebaliknya, dekonstruksi menghindari upaya melengkapi, mengklarifikasi, atau mendamaikan kontradiksi di dalam teks dalam rangka menemukan titik tolak dan ruang bagi munculnya interpretasi baru.[4] Dekonstruksi bukanlah metode yang siap digunakan dan dipakai di mana pun dan kapan pun terhadap semua teks, setiap teks sudah mengandung kemungkinan dekonstruksi. Derrida menggambarkan dekonstruksi seperti, „menulis dengan dua tangan‟, sebagai peristiwa, inskripsi atau percabangan tekstual. Dekonstruksi membuka ruang bagi perbedaan, konflik, ragam makna, diseminasi, dan konteks tanpa batas serta memusatkan diri pada permainan perbedaan tekstual untuk menggoyahkan pemikiran yang diliputi petanda transendental. Strategi dekonstruksi Derrida dapat dilihat dalam dua langkah simultan berikut; pertama, bertujuan untuk memahami teks, dengan bertolak dari teks itu sendiri sebagaimana teks itu menyingkapkan dirinya; kedua, ikhtiar memahami teks secara non-logosentris, suatu pembacaan teks yang hendak melawan dominasi petanda transendental, sentrum makna, bahkan tema yang mengikat keseluruhan teks, serta berkonsentrasi pada permainan perbedaan dan tekstualitas yang terdapat di dalam teks. Strategi pembacaan dekonstruksi hanya memusatkan perhatiannya pada teks itu sendiri, pada ketegangan dan ambiguitas yang dikandung oleh teks, dekonstruksi tidak berminat untuk mengungkapkan maksud pengarang, sebaliknya berupaya mengungkapkan apa yang tidak dimaksudkan, disembunyikan, disingkirkan, atau direpresi oleh sang pengarang. Berbeda dengan

hermeneutika yang masih berupaya mengungkapkan makna yang dimaksudkan oleh teks. Hermeneutika dan dekonstruksi dibedakan oleh konsepsi keduanya atas bahasa; yang pertama berupaya merengkuh makna transendental yang berada di seberang bahasa, hermeneutika masih meyakini ada sentrum makna yang mengikat keseluruhan teks, makna yang mengikat dan menjadi sentrum teks. Sebaliknya dekonstruksi mempersoalkan eksistensi petanda transendental, dan berkonsentrasi pada ketegangan, ambiguitas, dan antinomi teks. Apa yang dilakukan oleh Derrida sesungguhnya bertolak dari pengertian tertentu atas bahasa dan makna, bukan tanpa pengandaian dan kepentingan diri.[5] Dekonstruksi Sebagai Tulisan-Ganda Dekonstruksi meneruskan proyek filsafat Nietzsche dan Heidegger dalam rangka mengkritik metafisika Barat, dan dengan dekonstruksi Derrida tidak hanya melakukan kritik terhadap tradisi filosofis an sich, tetapi juga pemikiran dan bahasa sehari-hari. Pemikiran Barat, demikian Derrida, selalu telah distrukturkan dalam kerangka dikotomi atau polaritas; baik dan buruk, ada dan ketiadaan, kehadiran dan ketidakhadiran, benar dan salah, identitas dan perbedaan, pikiran dan tindakan, lelaki dan wanita, jiwa dan tubuh, kehidupan dan kematian, natur dan kultur, wicara dan tulisan. Dua kutub yang berlawanan ini, sayangnya tidak terdiri secara bebas satu sama lain, dan bukan dua entitas yang setara. Kutub yang kedua selalu merupakan suplemen, kurang bermakna, dan sekunder berhadapan dengan kutub pertama. Dengan kata lain, dikotomi ini tidak mencerminkan makna yang saling berlawanan satu sama lain, tetapi telah ditentukan secara hierarkis, di mana yang pertama selalu mendapatkan prioritas baik secara temporal maupun makna kualitatif kata tersebut. Menurut Derrida, hierarki oposisi biner ini mengukuhkan privelese kesatuan, identitas, imediasi, dan kehadiran spasio-temporal terhadap perbedaan, penundaan, jarak, dan keragaman. Sebagai pencarian jawaban dari pertanyaan mengenai Ada, filsafat Barat sesunggguhnya selalu menganggap Ada sebagai kehadiran.[6] Derrida juga melakukan kritik terhadap metafisika Barat yang memberi privelese bahasa lisan ketimbang bahasa tulisan. Bahasa lisan selalu diberi nilai lebih tinggi daripada bahasa tulisan, karena dalam bahasa lisan atau wicara diandaikan sang pembicara dan pendengar hadir dalam pembicaraan secara simultan, tidak ada jarak spasio-temporal antara pembicara, pembicaraan, dan pendengar, karena pembicara dan pendengar diandaikan berjumpa dalam satu momen pembicaraan di mana pembicara dan pendengar mendengarkan satu sama lain. Ini sekaligus meneguhkan anggapan bahwa dalam bahasa lisan kita tahu apa yang kita maksudkan, memahami apa yang kita katakan dan mengatakan apa yang kita inginkan, serta mengetahui apa yang telah kita katakan. Citra mengenai makna yang hadir secara penuh ini, menurut Derrida, merupakan ideal yang mendasari kebudayaan Barat. Derrida memberi istilah “logosentrisme” terhadap keyakinan akan kepenuhan-diri makna ini, berasal dari bahasa Yunani Kuno, kata Logos berarti wicara, logika, rasio, sabda Tuhan.[7] Tulisan, di sisi lain, dalam sistem logosentris dianggap hanya sebagai representasi dari wicara, sebagai pengganti wicara yang bersifat sekunder jika wicara tak memungkinkan. Tulisan diletakkan dalam posisi yang sekunder berhadapan dengan wicara, tulisan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka mengatasi jarak; pemikir menuangkan pikiran-pikirannya dalam tulisan di atas kertas, berjarak dengan dirinya sendiri, bertransformasi menjadi sesuatu yang

dapat dibaca oleh orang lain yang jauh dari sang penulis, bahkan setelah wafatnya. Inklusi kematian, jarak, dan perbedaan pikiran telah merusak kehadiran penuh makna . Logosentrisme mengandaikan bahwa bahasa merupakan medium yang cukup-diri dalam rangka ekspresi bahasa atau komunikasi makna dapat dijelaskan dalam kerangka tindak pemberian makna dari subjek yang sadar. Dengan kata lain, esensi atau makna murni, yang dalam bahasa Saussure disebut dengan “petanda” adalah primer. Sementara tanda, baik itu sebagai bunyi maupun inskripsi, adalah sekunder, derivatif, dan semata kendaraan bagi pikiran.[8] Dengan melakukan kritik terhadap hierarki oposisi biner yang mendasari pemikiran filsafat Barat ini, Derrida sesungguhnya tidak sesederhana hendak membalikkan oposisi tersebut seperti sediakala, dengan mengatakan bahwa tulisan lebih utama ketimbang wicara. Lebih jauh, Derrida hendak mengatakan bahwa seluruh oposisi yang bertumpu pada sistem biner yang berbasiskan kehadiran dan ketidakhadiran, atau imediasi dan representasi merupakan ilusi. Karena wicara selalu sudah distrukturkan oleh perbedaan dan jarak sebagaimana juga tulisan. Dengan menilik ulang hierarki oposisi biner yang mendasari pemikiran Barat sebenarnya Derrida hendak melikuidasi logosentrisme yang menjadi ciri penting pemikiran Barat sejak Plato. Dengan mengambil ilham dari Nietszche, Derrida berusaha “meradikalkan konsep interpretasi, perspektif, evaluasi, perbedaan. Dan Nietzsche telah melakukan liberasi atas petanda dari derivasinya dan ketergantungan terhadap logos dan hubungannya dengan konsep kebenaran atau makna primer”.[9] Dengan pernyataan ini, menjadi jelas bahwa Nietzsche mencurigai apa kita sebut dengan nilai dan rezim kebenaran, makna, atau Ada, bahkan makna Ada itu sendiri. Nietzsche telah menegaskan suatu rangkaian tanda yang terus menerus tanpa henti, tanpa “dasar” dan “kebenaran”. Dari sini kita mendapatkan kaitan erat antara proyek Of Grammatology Derrida dan interpretasi Nietzsche mengenai sistem nilai sebagai tekstualitas tak terbatas dan melihat kesinambungan antara uraian Derrida mengenai valuasi negatif dalam hierarki tulisanlisan dengan genealogi Nietzsche. Di sinilah letak perbedaan Heidegger dan Derrida melihat posisi Nietzsche dalam sejarah metafisika Barat. Heidegger menempatkan Nietzsche sebagai metafisikus terakhir dalam sejarah pemikiran Barat. Karena bagi Heidegger, metafisikus adalah seseorang yang masih mempersoalkan “Apa itu hakikat kenyataan?”. Dan bagi Heidegger, Nietzsche menjawab bahwa hakikat kenyataan itu adalah kehendak untuk berkuasa. Tampaknya Heidegger menganggap Nietzsche sebagai filsuf yang lupa akan Ada. Derrida, justru menegaskan sebaliknya, Nietzsche adalah filsuf yang telah beringsut dari nostalgia akan asal-usul, dan kelupaan Nietzsche adalah kelupaan yang aktif. Menempatkan Nietzsche sebagai filsuf yang masih bergulat dengan pertanyaan mengenai hakikat kenyataan sesungguhnya sangat problematis, karena Nietzsche menganggap tak ada totalitas kenyataan, tak ada evaluasi eksistensi manusia yang dapat dibuat berkenaan dengan sesuatu yang tidak ada. Selain itu, menurut Derrida, Heidegger mengabaikan kenyataan pluralitas gaya tulisan Nietzsche. Bagi Heidegger, Nietzsche tetap sang metafisikus yang mempertanyakan Ada, dan tidak mempertanyakan pertanyaan itu sendiri. Alih-alih mendestruksi metafisika, Heidegger justru meneguhkan kembali logos dan kebenaran sebagai “primum signatum”: petanda transendental, transendental dalam pengertian filsafat abad pertengahan sebagai; ens, unum, verum, bonum,

yang berimplikasi terhadap semua kategori dan signifikansi. Dengan melepaskan tanda dari makna, dan kaitan antara petanda dengan penanda yang bersifat arbitrer secara absolut berarti Derrida menyingkap sejarah logos, tidak ada lagi makna di luar teks.[10] Di dalam beberapa konteks yang berbeda, Derrida menggambarkan dekonstruksi sebagai „tulisan ganda‟ (double-writing), „gerakan ganda‟, dan „pengertian-ganda‟ (double-science).[11]Tulisanganda digunakan oleh Derrida untuk menunjukkan strategi dekonstruksi terhadap apa yang ia sebut hierarki oposisi biner yang menjadi ciri dari pemikiran metafisika Barat. Melalui hierarki oposisi biner ini hendak ditunjukkan bahwa pasangan-pasangan konseptual tidak pernah berdiri sejajar satu sama lain, melainkan menegaskan yang pertama sebagai bernilai dan fundamental dibanding yang kedua atau lawannya. Di sisi lain, dekonstruksi sebagai gerakan ganda merujuk pada upaya untuk memutarbalikkan dan melampaui hierarki oposisi biner yang mendasari setiap pemikiran Barat dengan membongkar pasangan-pasangan konseptual yang berlawanan dengan mengintroduksi konsep baru, sebuah konsep yang tidak lagi dapat dimasukkan ke dalam konsep sebelumnya.[12] Konsep baru ini, disebut Derrida dengan “ketidakmungkinan untuk diputuskan” (undécidables). Konsep baru ini tidak lagi dapat dimasukkan dalam skema hierarki oposisi biner meskipun konsep tersebut mendiami, meresistensi, dan mendisorganisasikan oposisi filsafat.[13] Menurut Gasché, dua pergerakan dekonstruksi dapat dilukiskan sebagai berikut: pertama, pembalikan hierarki tradisional oposisi konseptual; kedua, reinskripsi istilah dan konsep baru yang tidak lagi identik dengan konsep sebelumnya.[14] Dekonstruksi atas hierarki oposisi biner atas konsep filsafat tradisional ini niscaya, tegas Derrida. Filsafat tradisional telah melakukan pensejajaran konseptual, misalnya, tubuh/kesadaran, alam/budaya, petanda/penanda, tulisan/ujaran. Pensejajaran ini bukanlah suatu koeksistensi damai oposisi konseptual tetapi hierarki kekerasan, ketika salah satunya mendominasi dan mensubordinasikan yang lain.[15] Dekonstruksi berupaya membalikkan oposisi biner untuk menemukan perspektif baru dalam mengkaji relasi konseptual yang saling dilawankan itu. Perspektif baru tidak mungkin diraih bila oposisi biner dipertahankan, bahkan hanya akan terjebak di dalam pensejajaran dualistik tersebut. Dekonstruksi mengintroduksi cara baru dalam memahami perlawanan konseptual dalam filsafat, yaitu dengan mengubah pengertian hierarki pasangan yang saling berlawanan. Dekonstruksi melampaui fondasi dan asal-usul. Apa struktur yang menyokong fondasi, asal-usul, dan definisi mengenai yang aktual sebagai fondasi dasar? Dan apa yang menentukan lawannya sebagai nonaktual? Apa itu fondasi atau asal-usul suatu fondasi? Suatu fondasi dasar dianggap sebagai fondasi karena relasinya dan ditentukan oleh pengandaian adanya yang asali dan bukan asali. Dasar dan bukan dasar, fondasi dan non-fondasi. Dengan istilah „ketidakmungkinan untuk diputuskan‟ (undecidable), Derrida menegaskan kemungkinan untuk tidak terjebak dalam oposisi dan sistem yang disokong oleh hierarki oposisi biner, bahkan ketika membongkar pasangan konseptual yang berlawanan pun, konsep baru ini akan melengkapi yang sebelumnya.[16] Derrida menelisik teks-teks Rousseau di dalam Of Grammatology sebagai eksemplar dari dekonstruksi atas hierarki oposisi biner dalam tradisi pemikiran Barat. Rousseau, menurut Derrida, di dalam teks-teksnya telah menyajikan perangkat nilai yang menempatkan ujaran lebih nyata dan asali dalam relasinya dengan tulisan, termasuk alam dianggap lebih primer ketimbang kultur. Derrida memperlihatkan melalui teks-teks Rousseau bagaimana konstruksi hierarki oposisi biner telah melahirkan kekerasan atas yang lain, dengan mendedahkan kembali istilah

„suplemen‟ (supplément) dan substitusi yang digunakan oleh Rousseau. Dalam rangka menggambarkan pengalaman asali, Rousseau melawankannya dengan istilah suplemen untuk melukiskan pengalaman yang tidak otentik dan tambahan atas yang asali. Bagi Derrida istilah suplemen adalah différance, tidak dapat diputuskan pengertiannya. Derrida hendak menunjukkan tugas dekonstruksi mengungkapkan hubungan antara yang asali dan sekunder, fondasi dan bukan fondasi, otentik dan artifisial, alamiah dan suplemen dikonstruksi secara arbitrer di dalam filsafat. Hubungan antara yang alamiah dan suplemen (misalnya, tulisan, representasi atau imaji) atas yang alamiah inilah yang diperlihatkan Derrida di dalam teks Rousseau sebagai hubungan yang problematik. Intensi dekonstruksi ialah memperlihatkan ketidakmungkinan untuk diputuskannya suatu pengertian konseptual karena dilawankan dengan yang lain. Hugh J. Silverman menyatakan bahwa dekonstruksi telah memberi ruang bagi perbedaan di dalam teks, mengangkat apa yang terlupakan di dalam teks, sesuatu yang diangkat itu memang sudah mendiami teks dan bukan di luar teks.[17] Feminisme Prancis menggunakan dekonstruksi sebagai tulisan ganda dalam rangka membongkar hierarki oposisi biner relasi pria dan wanita. Sesungguhnya, feminis Prancis seperti Simone de Beauvoir telah lama sebelum Derrida menggugat logika hierarki biner dalam rangka pembelaannya atas perempuan melalui karya The Second Sex (1949). Menurutnya, wanita telah didefinisikan sebagai yang lain dari pria. Pria dianggap subjek yang aktif dan wanita subjek yang pasif. Dengan kata lain, wanita secara historis ditentukan oleh hierarki oposisi biner, di mana wanita ditempatkan secara rendah dibanding pria. De Beauvoir mempertanyakan genealogi historis hierarki ini serta bagaimana hierarki ini dimantapkan di dalam sejarah dan adakah latarbelakang biologis atas hierarki ini? Membongkar hubungan hierarkis antara pria dan wanita menghajatkan pengakuan resiprositas antara jenis kelamin yang berbeda. Ia menampilkan sederet eksemplar yang menegaskan bahwa pria sebagai subjek yang aktif turut menentukan definisi wanita sebagai subjek yang pasif. Ia menunjukkan salah satu akar dari hierarki antara pria dan wanita ini ialah pembagian tradisional peran pria dan wanita dalam sejarah. Pria dianggap lebih mampu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah terutama di wilayah-wilayah sosial sementara wanita hanya ditempatkan di rumah dan bekerja di rumah semata.[18] Konsekuensi lebih mengerikan dari hierarki antara pria dan wanita ini, pria dianggap lebih manusia ketimbang wanita, meski wanita otonom, tetapi tetap bergantung dan terikat dengan pria. Ia menampilkan pandangan dekonstruktif atas hubungan pria dan wanita ini dengan menegaskan perbedaan kelamin sesuatu yang tidak dapat diubah, tetapi pembagian peran berdasarkan kelamin dapat digugat dan dipersoalkan sebagai biang keladi subordinasi atas perempuan di dalam sejarah. Dengan kata lain, ia sedang membongkar hierarki pria dan wanita yang sudah mapan dalam sejarah dengan menyatakan bahwa pembagian peran da...


Similar Free PDFs