Japanese Lost Decade PDF

Title Japanese Lost Decade
Course Ekonomi Politik Internasional
Institution Universitas Airlangga
Pages 12
File Size 244 KB
File Type PDF
Total Downloads 502
Total Views 771

Summary

Krisis Ekonomi Jepang, 1990-2000: Dekade yang Hilang Oleh Alam Syamsidar Mutu Manikam 071511233074 Mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga Abstrak Semenjak Perang Dunia II, Jepang telah bertransformasi menjadi salah satu negara dengan perek...


Description

Krisis Ekonomi Jepang, 1990-2000: Dekade yang Hilang Oleh Alam Syamsidar Mutu Manikam 071511233074 Mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga

Abstrak Semenjak Perang Dunia II, Jepang telah bertransformasi menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang terbilang stabil. Hampir setelah tahun 1945 Jepang jarang mengalami krisis ekonomi, terutama pada tahun 1960-an Jepang mengalami perkembangan ekonomi secara pesat. Akan tetapi dengan status sebagai salah satu negara dengan perekonomian yang kuat, ternyata tidak menjamin Jepang terhindar terhadap krisis ekonomi. Pada tepatnya tahun 1990 perekonomian Jepang mengalami stagnansi dan krisis yang berlangsung selama satu dekade. Hal tersebut kemudian dikenal dengan istilah dekade yang hilang. Krisis tersebut diakibatkan adanya penggelembungan harga aset di Jepang sebelum tahun 1990. Ditambah dengan munculnya kondisi yang dikenal sebagai zombie firms yaitu kondisi yang mana perusahaan memiliki tingkat hutang yang tinggi dan tidak mampu melunasinya meskipun telah dinyatakan bangkrut. Krisis yang melanda Jepang tersebut cukup lama karena selain besarnya penggelembungan harga aset juga diiringi dengan besarnya pinjaman terhadap bank yang diluar ekspektasi. Selain itu, peran pemerintah yang kurang efektif juga menjadi faktor tersendiri bagi kelangsungan krisis tersebut. Dengan demikian dapat penulis hadirkan penelitian bahwa lamanya krisis tersebut karena begitu besarnya penggelembungan harga aset yang tidak mampu dikontrol oleh pemerintah. Kata Kunci: krisis ekonomi Jepang, penggelembungan harga aset, zombie firms, infefisiensi pemerintah Abstract Since World War II, Japan has transformed into one of the countries with a fairly stable economy. Almost after 1945 Japan rarely experienced an economic crisis, especially in the 1960s Japan experienced rapid economic development. However, with the status as one of the countries with a strong economy, it does not guarantee Japan to avoid the economic crisis. In precisely the year 1990 the Japanese economy suffered a stagnation and crisis that lasted for a decade. It became known as the missing decade. The crisis was due to asset price bubbles in Japan before 1990. Coupled with the emergence of a condition known as zombie firms is a condition in which the company has a high debt level and can not afford to pay it even though it has been declared bankrupt. The crisis that hit Japan is quite long because in addition to the asset price bubble is also accompanied by the amount of lending to banks that are beyond expectations. In addition, the government's less effective role is also a separate factor for the sustainability of the crisis. Thus the authors present the study that the length of the crisis is due to so great asset price bubbles that can not be controlled by the government. Keyword: economic crisis, lost decade, asset price bubble, zombie firms, government infeficiency

Kondisi perekonomian Jepang setelah Perang Dunia II Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II seperti menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Karena setelah Perang Dunia II usai, kondisi Jepang kacau balau. Ditambah dengan bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Nagasaki dan Hiroshima memberikan pukulan telak terhadap Jepang yang membuat kondisi seluruh kota besarnya hancur kecuali Kyoto. Dengan hancurnya sebagian kota-kota besar tersebut langsung memberi dampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat Jepang. Salah satu aspek yang paling terdampak adalah ekonomi, dan membuat perekonomian menurun drastis. Kemudian Jepang kembali mengalami krisis ekonomi paling terburuk setelah berakhirnya Perang Dunia II, yaitu pada 1990-2000 atau yang lebih dikenal dengan dekade yang hilang. Tulisan ini berusaha untuk menjabarkan bagaimana krisis tersebut dapat terjadi dan hal apa saja yang membuat krisis tersebut berlangsung selama satu dekade dan bagaimana peran pemerintah dalam menyelesaikan krisis tersebut. Selain itu, kondisi Jepang saat itu juga tidak benarbenar lepas dari pengaruh sekutu. Setelah tragedi pengeboman tersebut, Jepang masih di bawah pendudukan Amerika Serikat yang dipimpin Jenderal Douglas MacArthur (Harari, 2013). Akan tetapi, pendudukan sekutu ini tidak seperti pada umumnya yang membawa kesengsaraan. Keputusan sekutu menduduki Jepang juga sebagai langkah untuk westernisasi. Langkah tersebut diambil Amerika Serikat ditujukan untuk dijadikan kawan dalam menghadapi Perang Dingin, maka dari itu MacArthur lebih memfokuskan terhadap penguatan internal di Jepang. Karena Amerika Serikat sadar bahwa terdapat potensi untuk Jepang bergabung dalam blok Uni Soviet. Jika sampai hal tersebut terjadi, maka akan menjadi kerugian tersendiri bagi Amerika Serikat. Selain itu, Amerika melakukan hal tersebut dengan menganggap Jepang sebagai buffer-state yang ideal dalam hubungan barat dan komunis di Asia, terutama China (Kristjánsdóttir 2010). Selain itu, Amerika Serikat juga mentapkan kebijakan reformasi untuk merekonstruksi dan memulihkan kondisi Jepang yang hancur. Terdapat tiga kebijakan yang diterapkan oleh Amerika Serikat yaitu

perpisahan

dengan

Zaibatsu,

ketenagakerjaan (Takada 1999).

reformasi

tanah,

dan

demokratisasi

Tiga kebijakan tersebut memberi dampak yang

sangat besar bagi demokratisasi di Jepang. Selain itu, tiga kebijakan tersebut menjadi langkah awal dalam penciptaan Jepang sebagai negara dengan ekonomi yang kuat.

Perekonomian Jepang dapat dikatakan melalukan pendekatan secara merkantilisme. Hal tersebut tidak terlepas dari peran negara yang besar dalam perkembangan ekonomi Jepang. Selain itu, Jepang juga mencoba melalui kebijakan makroekonomi yang

bertujuan

untuk

memulihkan

kondisi

perekonomiannya.

Kebijakan

makroekonomi tersebut secara perlahan langsung memberi dampak yang signifikan. Seperti rasio investasi yang tinggi dengan didukung mobilisasi tabungan yang tinggi, kemajuan teknologi, serta penyediaan tenaga kerja yang lebih fleskibel (Takada 1999). Kebijakan makroekonomi yang diterapakan pemerintah Jepang ini didesain untuk jangka waktu yang panjang. Sehingga dapat memberi pengaruh bagi meningkatnya perekonomian Jepang ke tahun-tahun berikutnya. Kemudian kebijakan makroekonomi ini salah satunya yaitu kebijakan moneter. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk menyediakan dana bantuan bagi sektor yang dianggap strategis dalam pengembangan ekonomi. Sektor-sektor yang lebih diprioritaskan seperti industri baja, pertambangan batu bara, listrik, pembuatan dan perancangan kapal, transportasi laut dan darat terutama rel kereta, dan pupuk kimia. Strategi yang dijalankan tersebut terbukti ampuh dengan menguatnya produksi industri menjadi sebesar 80% pada tahun 1949. Hal tersebut sangat kontras terhadap produksi industri dua tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II yang hanya mampu mencapai 31%.

Kebangkitan Jepang era Asian Miracle Secara perlahan, perekonomian Jepang mulai membaik ketika memasuki tahun 1960 hingga 1980. Selama periode tersebut perekonomian Jepang berkembang dengan pesat yang kemudian sering dikenal sebagai Asian Miracle. Pada 1960 Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 10% per tahun. Terdapat beberapa faktor menurut Sen (1998) dalam kesuksesan mencapai Asian Miracle. Faktor yang pertama adalah tingginya tingkat investasi dalam negeri yang tidak terlepas dari tingginya tingkat tabungan dalam negeri. Dengan demikian banyak investor yang menanamkan investasi di Jepang yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian Jepang itu sendiri. Faktor kedua adalah produktivitas yang tinggi dalam bidang agrikultural yang berdampak pada semakin meningkatnya human capital. Peningkatan tersebut kemudian berdampak pada tingginya tingkat

pendidikan masyarakat Jepang. Hal tersebut secara otomatis meningkatkan efektifitas dalam sistem administrasi publik. Melalui grafik dibawah dapat dilihat bahwa pertumbuhan PDB Jepang ketika era Asian Miracle mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut jelas sangat terlihat kontras jika dibandingkan dengan era sebelum tahun 1960 yang terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Kemudian meskipun sempat mengalami penurunan yang drastis pada tahun 1965, akan tetapi semakin tahun PDB Jepang langsung meningkat dan terus mengalami progres yang positif. Meskipun demikian, memasuki periode 1955-1970 perekonomian Jepang mulai mengalami perubahan. Tingkat PDB Jepang menurun dari 19,2% menjadi 5,9%. Selain itu, memasuki periode tersebut juga terlihat kecenderungan penurunan ekonomi di Jepang. Dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen per tahun pada 1970 an, lalu 10 tahun berselang hanya sebesar 4 persen per tahun. Semakin menurunnya PDB Jepang tersebut tidak terlepas dari menurunnya produktivitas tenaga kerja di Jepang (Ahearne dan Shinada 2005).

Gambar I.1: Pertumbuhan PDB Jepang periode 1955-1970

Sumber: Bolt and van Zanden (2014) Menanggapi perekonomian Jepang yang semakin menurun, akhirnya kemudian mendorong adanya pertemuan pertemuan lima negara anggota G5 yaitu Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman pada 22 September 1985. Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Plaza Accord. Kesepakatan tersebut membuat nilai tukar yen terhadap dollar menguat sebesar 46% (IMF 2011). Akan tetapi, pertemuan tersebut justru menjadi bumerang tersendiri

bagi Jepang. Salah satunya yaitu membuat barang buatan Jepang lebih mahal ketika berada di pasar internasional sehingga eksport Jepang lebih mahal jika dibandingkan dengan import (Siddiqui 2009). Hal ini berdampak pada eksportir Jepang yang akhirnya menurunkan tingkat PDB sebesar 2,8% pada 1986. Pada akhirnya pemerintah melalui Bank Jepang memutuskan untuk mengurangi tingkat suku bunga sebesar 5% menjadi 4,5% pada 1986 dan akhirnya terus menurun menjadi 2,5% pada tahun 1989 (Harari 2013). Akan tetapi keputusan tersebut justru menimbulkan

hal

di

luar

dugaan,

yaitu

terjadi

bubble

economy

yaitu

menggelembungnya harga aset di pasar saham dan real estate. Tidak hanya itu, jumlah uang yang beredar ikut bertambah. Hal ini menjadi kontradiksi karena real estat menjadi salah satu sektor yang berkembang dengan cepat pada tahun 1980 an (Ahearne dan Shinada 2005). Indeks pasar saham Nikkei juga ikut melonjak sebesar tiga kali lipat menjadi 39.000 pada akhir 1989 dari sebelumnya yang hanya 13.000 pada 1986. Kejadian tersebut dengan cepat membuat investasi asing dan domestik meningkat yang

diiringi dengan jumlah pinjaman

modal dalam jumlah besar. Dampak terhadap perekonomian Jepang langsung mengalami stagnansi dan depresi ekonomi yang paling terburuk sejak akhir Perang Dunia II. Krisis ini terus berlanjut selama satu dekade atau sering dikenal dengan istilah dekade yang hilang. Dalam krisis ini juga membuat kekuatan dan daya intervensi pemerintah dalam sektor ekonomi menjadi berkurang. Lemahnya intervensi oleh pemerintah ini dikarenakan masih adanya masalah internal yang dialami oleh partai Liberal Democratic Parties (LDP). Sehingga dengan demikian konsentrasi pemerintah menjadi terpecah belah dan tidak dapat dengan maksimal mengatasi permasalahan krisis tersebut. Ketika memasuki awal tahun 1990 an, krisis ini terus berlanjut. Pertumbuhan ekonomi Jepang memasuki fase-fase negatif dengan terus menurun dimulai dari 3,1% pada tahun 1991 lalu menurun drastis menjadi 0,4% tahun 1992 serta pada tahun 1993 menyentuh angka 0,2% (Tsutsui dan Mazzotta 2014). Dari tabel dibawah dapat dilihat terus mengalami penurunan ketika memasuki era dekade yang hilang. Pertumbuhan PDB Jepang mengalami perlambatan tidak pernah lebih dari 5%. Kemudian ketika masuk era bubble economy, Jepang mengalami mengalami investasi yang berlebihan dan pinjaman oleh salah satunya melalui sektor perusahaan juga meningkat. Dengan demikian, kelebihan tersebut seperti menunda

dan mempersulit untuk menjaga pekerjaan masyarakat Jepang. Sehingga krisis tersebut langsung memiliki dampak yang signifikan bagi kelangsungan hidup masyarakat Jepang. Salah satunya ditandai dengan tingginya jumlah pengangguran. Hal tersebut tidak terlepas dari oleh perusahaan-perusahaan yang ikut mengalami krisis. Beban yang ditanggung oleh perusahaan begitu besar, yang mana perusahaan mau tidak mau akhirnya harus memangkas biaya produksinya. Salah satu langkah yang diambil yaitu dengan memberhentikan karyawannya. Langkah lain yang diambil perusahaan adalah dengan memindahkan produksi ke luar negeri terutama China dan beberapa negara Asia Tenggara dengan konsekuensi biaya yang lebih tinggi (Tsutsui dan Mazzotta 2014). Ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan, industri, sektor penyedia jasa, dan juga produsen tingkat kecil yang tidak mampu bersaing dengan standar internasional yang telah ditetapkan. Hal ini tentu akan semakin memberatkan para eksportir Jepang karena rendahnya minat publik internasional terhadap barang produksi dari Jepang. Karena minimnya aktivitas ekspor Jepang, akhirnya berdampak besar dengan menurunnya tingkat pendapatan dari sektor ekspor. Gambar I.2: Pertumbuhan PDB Jepang periode 1990-2002

Sumber: IMF, Database Jika merujuk pada (Siam-Heng 2009) terdapat beberapa penyebab terjadinya krisis ekonomi Jepang selama satu dekade ini. Pertama adalah meningkatnya populasi masyarakat Jepang yang memasuki masa tua. Hal ini tidak diiringi dengan regenerasi, justru yang terjadi adalah penurunan populasi sebesar 0,02% per tahun dan mulai terjadi paling drastis pada 2005. Dengan penurunan populasi ini jelas sangat memengaruhi jumlah angkatan kerja dan produktivitas masyarakat Jepang.

Sebelum memasuki tahun 1990, Jepang mengalami krisis angkatan kerja, yang mana jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Faktor yang kedua adalah nilai tukar yen yang terlalu tinggi. Pada tahun 1971, nilai tukar yen terhadap dollar AS sebesar ¥ 360 per $ 1, lalu menjadi ¥ 240 per $ 1 pada 1985 dan semakin menguat pada tahun 1993 menjadi sebesar ¥ 129 per $ 1 (Yoshikawa 2001). Menguatnya yen ini salah satunya dikarenakan tingginya tingkat produktivitas tenaga kerja industri ekspor. Terutama dari sektor elektronik, transportasi, mesin, dan produk logam. Akan tetapi jika menurut Volcker dan Gyohten (1992) menguatnya yen ini dikarenakan adanya perbedaan antara tingkat produktivitas Jepang dan Amerika Serikat. Disini dapat dilihat bahwa terjadi ketimpangan dalam produktivitas dan salah satu solusi yang paling mendasar adalah harus adanya koordinasi antara otoritas kedua negara tersebut untuk mencapai kestabilan. Selain itu, inefisiensi pemerintah Jepang juga menjadi salah satu faktor dalam lamanya krisis tersebut berlangsung. Beberapa perdana menteri yang pernah menjabat tidak benar-benar menjalankan persepsi Keynesianisme dengan baik. Tidak efektifnya kebijakan yang dibuat juga dapat dipengaruhi oleh besarnya pengaruh dan tekanan dari kelompok kepentingan. Sehingga hal tersebut semakin lama semakin membuat birokrasi kurang mandiri dalam memutuskan suatu kebijakan. Kelompok kepentingan tersebut terdiri dari media massa, kaum intelektual yang sebagian besar terdiri dari akademisi universitas dan persatuan kaum pekerja. Bentuk lain kesalahan pemerintahan Jepang dalam gagalnya menanggulangi krisis tersebut adalah terpecah belahnya Liberal Democratic Parties (LDP) karena banyaknya skandal internal (Tsutsui dan Mazzotta 2014). Sehingga hal tersebut mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan. Kemudian dengan menggelembungnya harga aset di pasar saham dan real estate membuat pinjaman pada bank meningkat. Lebih parahnya, pinjaman tersebut terikat pada gadai terhadap real estat yang membuat nilai dari real estat tersebut merosot tajam. Tindakan tersebut justru hanya membuat total nilai dari penjualan dari real estat hanya akan menjadi sebagian dari hutang. Hal ini kemudian membuat sistem perbankan menemui problematika tersendiri. Dengan bank yang terus memberikan dukungan finansial, sementara di sisi lain perusahaan berjalan tidak secara normal dan efektif. Sehingga dengan demikian menyebabkan perusahaan

memiliki hutang terhadap bank yang semakin hari semakin besar. Maka dari itu bank hanya memperoleh sedikit keuntungan, hal tersebut tidak terlepas dari para peminjam dana tersebut tidak mampu membayar cicilan pinjaman mereka (Kristjánsdóttir 2010). Kondisi ini terus menerus terjadi dan menimbulkan situasi yang rumit. Bank disini pada akhirnya ikut terjerat dalam krisis tersebut. Krisis yang dialami bank tersebut, juga memakan waktu yang lama. Menurut Nakaso (2001) terdapat beberapa hal yang menjadi faktor dalam lamanya krisis tersebut berlangsung khususnya bagi sebagian besar bank di Jepang. Pertama adalah adanya perubahan paradigma dalam deregulasi keuangan yang memiliki konsep convoy system. Dalam sistem tersebut, sebenarnya telah membawa keyakinan bahwa bankbank dalam skala kecil akan tetap beroperasi dalam menghadapi krisis. Dari sini muncul keyakinan lain bahwa bank dengan skala besar tidak akan menemui kegagalan. Akan tetapi hal tersebut tidak terbukti karena ketika awal tahun 1990 an bank besar mulai mengalami kegagalan dalam mengatasi stagnansi di Jepang. Faktor kedua adalah situasi dilema yang dialami bank sentral. Situasi dilema ini juga dialami oleh lembaga keuangan di Jepang. Pada 1993 Bank of Japan sebenarnya telah mendeteksi adanya resiko dalam sistem keuangan Jepang. Bank sentral sebenarnya telah menerapkan beberapa kebijakan, akan tetapi resiko yang harus diambil adalah dengan tidak stabilnya sistem keuangan. Bagi perusahaan, hutang mereka yang semakin besar menghadapkan pada kondisi kebangkrutan. Meskipun telah dinyatakan bangkrut, akan tetapi tidak langsung menghapus hutang yang dimiliki perusahaan tersebut. Bahkan lebih parahnya lagi, hutang perusahaan tersebut akan sulit terlunasi karena situasi yang rumit tersebut. Hal ini kemudian oleh Cooley (2009) disebut sebagai Zombie Firms yang menjadi salah satu faktor dalam kacaunya perekonomian Jepang. Usaha pemulihan ekonomi pada akhirnya agak sedikit terhambat dengan adanya zombie firms tersebut. Dalam kondisi ini, di dalamnya pada dasarnya masih memiliki beberapa perusahaan dalam portofolio mereka. Akan tetapi, portofolio tersebut tidak dapat memberikan keuntungan besar karena hanya hanya diinvestasikan di lingkup perusahaan itu sendiri. Tingkat produktivitas perusahaan pun ikut menurun dengan tajam dan cenderung negatif dalam pertumbuhannya. Kondisi tersebut berlangsung selama bertahun-tahun selama rentang 1990-2000. Dengan menurunnya tingkat produktivitas perusahaan tersebut maka, aktivitas

perusahaan juga ikut lesu karena terhambatnya segala aktivitas perusahaan. Selain terjerat hutang ke bank, jumlah karyawan yang minim juga menjadi salah satu faktor pergerakan perusahaan. Perusahaan juga sulit untuk melakukan ekspansi pasar karena berada dalam kondisi zombie firms tersebut sehingga menutup segala kemungkinan untuk memperoleh keuntungan secara keseluruhan (Ahearne dan Shinada 2005). Dengan semakin parahnya krisis yang terjadi, pemerintah Jepang sebenarnya telah melakukan berbagai kebijakan untuk menanggulangi hal tersebut. Kebijakan seperti moneter dan fiskal diberlakukan, akan tetapi tidak mampu membawa Jepang keluar dari krisis berkepanjangan tersebut. Mulai dari rentang tahun 1990 an pemerintah Jepang mencoba menerapkan Keynesianisme dengan menyuntikkan gelombang dana ke dalam perekonomian Jepang. Akan tetapi, kebijakan tersebut bagi sebagian pihak dinilai merupakan solusi jangka pendek.

Terlebih lagi,

penerapan

Keynesianisme ini tidak terlalu efektif dalam menyelesaikan krisis selama hampir satu dekade tersebut (Tsutsui dan Mazzotta 2014). Kebijakan tersebut berjalan sangat lamban dan hanya memberi dampak signifikan bagi beberapa sektor saja. Tindakan pemerintah dalam menganggulangi krisis Melihat kebijakan fiskal yang ekspansif gagal memperbaiki perekonomian Jepang, pemerintah Jepang berusaha untuk menerapkan kebijakan moneter. Akan tetapi sama halnya dengan kebijak...


Similar Free PDFs