Keadilan Substansial dan Penegakan Hukum Prosedural PDF

Title Keadilan Substansial dan Penegakan Hukum Prosedural
Author N. Bakarbessy
Pages 4
File Size 124.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 387
Total Views 506

Summary

Keadilan Substansial dan Penegakan Hukum Prosedural Oleh: Nyong Andri Bakarbessy Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Penegakan hukum oleh Aparat Penegak Hukum diharapkan mampu mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun, dalam prakteknya tidak mud...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Keadilan Substansial dan Penegakan Hukum Prosedural Nyong Andri Bakarbessy

Related papers Jurnal yudisial-agust us-2011 Budhi Schedule

FAHIK Fat ubesi Leobele NKP Fungsi RESKRIM subdit t ipidt er

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Keadilan Substansial dan Penegakan Hukum Prosedural Oleh: Nyong Andri Bakarbessy Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Penegakan hukum oleh Aparat Penegak Hukum diharapkan mampu mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun, dalam prakteknya tidak mudah untuk menerapkan ketiga tujuan hukum tersebut. Masalah yang sering timbul, ialah apabila kepastian hukum yang ditegakkan maka terjadi pertentangan dengan keadilan atau pertentangan kepastian hukum dengan kemanfaatan. Contoh, apabila seorang hakim membuat putusan “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si pelanggar atau terdakwa atau tergugat, belum tentu putusan tersebut adil dan memberikan manfaat bagi para pihak serta masyarakat luas. Sebaliknya, apabila salah satu pihak ataupun masyarakat luas dipuaskan, menyebabkan perasaan keadilan dari orang tertentu terpaksa “dikorbankan”. Lantas, bagaimana cara yang tepat? Menurut ajaran Gustav Radburch (filsuf hukum Jerman yang mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum/tujuan hukum), penerapan tujuan hukum dalam penegakan hukum harus menggunakan asas prioritas, yakni prioritas pertama selalu “keadilan (justice)”, barulah “kemanfaatan (exppediency)”, dan yang terakhir “kepastian hukum (legal certainty)”. Jadi, “batu loncatan” utama untuk mewujudkan tujuan hukum yang lainnya ialah keadilan. Oleh karena itu, perwujudan keadilan dalam penegakan hukum sangat berperan penting untuk mewujudkan kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan substantif dan penegakan hukum prosedural tentu merupakan 2 (dua) hal yang bertolak belakang. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita harus memahami apa itu keadilan (keadilan substantif) dan apa itu penegakan hukum prosedural. (1) Menurut Ulpianus (±200 AD), keadilan adalah kehendak yang ajek (tetap/tidak berubah) dan menetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Dalam bahasa inggris terjemahannya berbunyi “to give everybody his own”, atau memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya. Inti dari pengertian tersebut bahwa memberikan masing-masing hak dan tidak lebih, tetapi tidak kurang daripada haknya. Pengertian yang mirip dirumuskan oleh Aristoteles pada zaman Yunani kuno, keadilan adalah kehendak yang ajek dan menetap untuk memberikan masing-masing bagiannya. Dengan demikian, keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan, karena keadilan bukan berarti tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Sedangkan, (2) penegakan

hukum prosedural adalah penegakan hukum yang dilakukan sesuai dengan kata/kalimat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, apabila penegakan hukum sudah sesuai dengan prosedur dalam peraturan perundang-undangan itulah yang disebut “keadilan prosedural”. Lantas apa itu keadilan substansial? Keadilan substansial/keadilan substansif adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif yang berperkara. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dimaknai bahwa keadilan substantif adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif tanpa melihat kesalahankesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif para pihak. Dinamika penegakan hukum di Indonesia dalam berbagai kasus khususnya “rakyat kecil” yang berhadapan dengan hukum sering tidak mendapatkan rasa keadilan yang sesungguhnya. Tujuan daripada penegakan hukum tentu ingin menciptakan keadilan. Namun, perlu ditelaah apakah penegakan hukum tersebut mengarah pada keadilan substantif atau keadilan prosedural semata (formalitas). Menurut Suteki, seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari aspek filosofi dan sosiologinya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah fragmen (cuplikan/petikan) peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya anggapan bahwa apabila hukum telah diselenggarakan sebagaimana tertulis yang berupa hurufhuruf mati (black letter law) seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai. Akibatnya muncul berbagai kasus yang mencerminkan kondisi bahwa substansi suatu keadilan telah terealisasi dari hukum. Selain itu, Muhammad Taufiq berpendapat bahwa pembangunan hukum di indonesia saat ini secara umum belum sesuai dengan yang diharapkan. Sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif semata yang mempengaruhi pemikiran para Aparat Penegak Hukum menjadi salah satu penyebab belum berhasilnya penegakan hukum. Begitu banyak dampak yang dirasakan bila semua Aparat Penegak Hukum berpikir positifis, yaitu suatu masalah selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukum terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Belum lagi prosedur yang diatur dalam hukum positif. Suatu kasus yang seharusnya dapat diselesaikan secara cepat melalui cara di luar pengadilan akhirnya menjadi lama dengan hukum positif.

Penegakan hukum yang prosedural (formalistik) akan menciptakan keadilan prosedural yang direaliasasikan dengan cara penegakan hukum positif untuk mencapai suatu kepastian hukum. Penegakan hukum tersebut, seringkali menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Pasalnya, penegakan hukum prosedural tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan seringkali tidak mempedulikannya. Berikut gambaran penegakan hukum prosedural/keadilan prosedural dalam kasus-kasus yang pernah ada yakni, (1) kasus guru cubit murid, (2) kasus pencurian satu buah semangka (di Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan 1 bulan, (3) Kasus pencurian kapuk randu seharga Rp. 12.000 (4 anggota keluarga ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Rowobelang), (4) Pak Klijo Sumarto (76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp. 2.000 di Sleman, 7 Desember 2009 (mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Sleman), (5) kasus mboh Minah (dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp. 2.100, 2 Agustus 2009, dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari), (6) Kasus Lanjar Sriyanto (karanganyar) yang didakwa menyebabkan kematian istrinya karena kecelakaan motor di Karanganyar, tragis kasus ini karena istrinya meninggal dunia dan dia sendiri ditahan, (7) Kasus Aspuri tentang pencurian sehelai baju tetangganya seharga Rp. 100.000, ditahan pada November 2009, (8) Kasus pencurian sandal jepit milik anggota Polisi yang dilakukan oleh AAL (15 tahun) yang tetap dinyatakan bersalah meskipun sandal yang dimaksud terbukti bukan milik anggota polisi yang dimaksud, (9) Kasus Rasminah, seorang nenek yang didakwa mencuri enam biji piring majikannya. Kasus seperti tersebut di atas tidak seharusnya diteruskan sampai ke meja hijau. Dalam ilmu hukum dikenal kebijakan tidak menegakan hukum (non enforcement of law). Menurut suteki, kebijakan tidak menegakan hukum (non enforcement of law) adalah cara bagaimana memulihkan suatu keadilan substansial. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian suatu perkara antara para pihak (korban dan pelaku) tidak harus melalui jalur peradilan. Jadi, apabila para pihak sudah menemukan cara untuk memulihkan suatu keadaan yang “merugikan” maka perkara tersebut tidak perlu dibawah sampai ke meja hijau....


Similar Free PDFs