KEDEWASAAN BERAGAMA PDF

Title KEDEWASAAN BERAGAMA
Author Mudjahirin Thohir
Pages 12
File Size 143.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 408
Total Views 448

Summary

MENAKAR KEDEWASAAN BERAGAMA MASYARAKAT INDONESIA Dalam Perspekktif Budaya1 Oleh Mudjahirin Thohir2 PENDAHULUAN Konsep “kedewasaan beragama” dalam fokus kajian ini, dipakai untuk menggambarkan adanya situasi “ketidakrukunan” atau sebatas “kerukunan semu” di antara para penganut agama atau aliran-alir...


Description

MENAKAR KEDEWASAAN BERAGAMA MASYARAKAT INDONESIA Dalam Perspekktif Budaya1 Oleh Mudjahirin Thohir2

PENDAHULUAN Konsep

“kedewasaan beragama” dalam fokus kajian ini, dipakai untuk

menggambarkan adanya situasi “ketidakrukunan” atau sebatas “kerukunan semu” di antara para penganut agama atau aliran-aliran keagamaan yang ada.

Bagaimana

mengkaji hal itu dari perspektif kebudayaan, saya akan lebih dahulu memulai dengan menyajikan asumsi-asumsi sebagai pijakan.

Asumsi pertama: Ketidakrukunan antarpemeluk agama atau antaraliran keagamaan, bisa terjadi karena di dalam masing-masing agama, terdapat ajaran yang memberi peluang kepada pemeluknya untuk mewaspadai, mencurigai, bahkan menilai secara negatif terhadap agama dan pemeluk agama lain; atau sesungguhnya bukan dari ajaran agamanya itu, melainkan para pemeluknya sendirilah yang berkecenderungan untuk melihat dengan penglihatan negatif seperti kecurigaan kepada agama dan pemeluk agama yang lain. Asumsi kedua: Pada dasarnya, agama (sebagai ajaran) dan para pemeluk agama (sebagai penerima ajaran), tidak ada di dalamnya perasaan, keinginan, dan ide-ide untuk bersikap dan berperilaku negatif yang mengarah kepada situasi ketidakrukunan terhadap agama dan pemeluk agama lain (yang berbeda-beda itu), tetapi ketidakrukunan itu sengaja diciptakan oleh pihak luar, seperti                                                          1

2

 

Untuk bahan sarasehan FKUB PEKALONGAN di Pekalongan, 23 Desember 2014 Ketua FKUB Jateng. Nomer kontak: 08122935474; email: [email protected]



penguasa, atau pemerintah, atau negara. Agama dan pemeluk agama dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan negara memuluskan kebijakankebijakan yang notabene kebijakan itu bersentuhan dengan atau mempengaruhi hajat hidup rakyat. Dengan kata lain, agama dan pemeluk agama dijadikan alat negara dengan cara mempolitisasi ajaran agama itu sendiri untuk kepentingan pemerintah atau negara. Asumsi ketiga: Upaya mempertemukan para ilmuwan dan agamawan untuk berdiskusi (seperti sekarang ini) dan kemudian menghasilkan simpulan dan rekomendasi bagaimana mendisain “kerukunan beragama”, tidaklah atau belum tentu dipakai sebagai titik tolak bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan, melainkan sebagai sebatas sebagai dokumen kegiatan. Hal ini karena simpulan para ilmuwan dan agamawan, adalah satu hal, sedang keputusan politik pemerintah adalah hal lainnya. Dalam hal ini, bisa saja berdalih bahwa tugas dan kewenangan pemerintah lebih luas daripada atau tidak hanya urusan agama dan keagamaan.

ANALISIS TEORITIK Analisis pada asumsi pertama. Ketidakrukunan antarpemeluk agama bisa terjadi sebagai akibat dari

adanya

tumpangtindih kepentingan antara kepentingan agama (baca: Tuhan) dengan kepentingan umat pemeluk agama. Ketika agama mengajarkan hal-hal yang spesifik guna meneguhkan iman pemeluknya secara internal, maka oleh para pemeluknya sendiri, ajaran

yang spesifik itu ditarik keluar, lalu

kepentingan diri dan disahkan sebagai

ditafsirkan sesuai dengan

“kebenaran“ yang bercorak umum. Di

kalangan Kristen misalnya, dikenal adanya paham:”extra ecclesiam nulla salus” (tidak ada keselamatan di luar gereja). Dari paham ini, menjadi penting ditanyakan kepada kaum Kristiani sendiri, apakah pernyataan itu diperlakukan manusia secara umum atau untuk khusus internal pemeluknya? Jika berlaku umum, maka logikanya semua orang yang berada di luar gereja (meskipun karena bukan kaum kristiani) adalah “orang-orang yang perlu diselamatkan” karena itu ada “tugas suci” bagi para kaum Kristiani menarik mereka “masuk ke gereja”. Tetapi jika pernyataan itu, berlaku bagi internal kaum Kristiani sendiri, maka secara semantis bisa berarti “keselamatan orang-orang Kristen, adalah sepanjang mereka masih mau masuk gereja”. Dalam Islam juga terdapat ajaran sebagaimana disebutkan dalam Alquran, surah Ali Imron: 85, yang artinya:

“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka

sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya dan di akhirat, dia termasuk  



orang yang rugi”. Ajaran ini perlu diperlakukan secara umum manusia atau sebagai peneguh iman bagi kaum muslimin sendiri. Jawaban sementara (secara prediktif), baik dari kalangan kaum kristiani maupun kaum muslimin, lebih berkecenderungan memaknai berlaku umum tanpa kecuali. Jika fenomenanya demikian, maka

“potensi” untuk tabrakan,

atau

berbenturan memang akan mudah terjadi. Benturan yang berakar dari pemahaman “agama” demikian, akan menjadi “silent conflict” , dan ketika ada faktor-faktor lain (di luarnya, seperti

perebutan kekuasaan atau peluang memperebutkan sumber-

sumber alam yang terbatas), agama sering dipakai sebagai alasan pembenar. Cara berfikir “pemutlakan” demikian juga diteruskan ke persoalan-persoalan aliran keagamaan bahkan ke ranah perbedaan golongan dan cara-cara beribadah. Ketegangan dan konflik oleh sebab hal-hal yang berpangkal pada pemahaman dan pemutlakan kebenaran agama, yang kemudian berekses kepada timbulnya kecurigaan dan labelling negatif kepada pihak lain yang berbeda agama atau berbeda aliran keagamaan atau berbeda golongan atau berbeda cara-cara menjalankan ibadah, secara skematik nampak sebagai berikut.

Sumber pertikaian keagamaan

Internal

Pandangan, sikap, dan tindakan

Efek yang mudah muncul

Penekanan ajaran

Cenderung menghakimi kelompok yg berbeda dg istilah negatif: kafir, musyrik, bid’ah (dholalah), sesat, dst. Skriptualistik  menolak tradisi lokal Egoisme keagamaan

Sistem pengajaran

Agama sebagai norma hukum secara hitam Putih Linier

Kelembagaan

Di dalam gedung “tanpa” jendela Sentimen keagamaan Identitas sosial

“Islam phobia”

Negative labelling

Pembiaraan kemaksiatan oleh negara/ masyarakat

Modernisasi/ perubahan sosial yang cepat

Eksternal

 

Ekspresi mayoritas Reaksi minoritas Pandangan berat sebelah Kelompok lain sebagai lawan/ pesaing Reaksi untuk mengalahkan/membenci/ memusuhi Heroisme keagamaan secara berlebihan



Kecenderungan

memutlakan

kebenaran

agama

yang

dianut

untuk

diperlakukan kepada kelompok di luarnya, atau sebaliknya, merelatifkan kebenaran agama sehingga menganggap semua agama adalah benar – menurut saya, adalah sama-sama tidak benarnya. Mengapa? Karena kebenaran agama adalah ke-benar-an akidah bagi pemeluknya sendiri. Dengan kata lain, agama itu benar bagi pemeluknya. Ini artinya, jika saya mengatakan bahwa “agama dan aliran agama yang saya pilih adalah benar”, maka pada saat yang sama saya harus memberi ruang kepada “mereka” untuk mengatakan “kebenaran” terhadap agama atau aliran agama yang dipilihnya. Dengan demikian – sebagaimana juga dalam realitas kehidupan – ada perbedaan, karena itu kata kunci untuk bagaimana antarumat beragama bisa hidup berdampingan secara damai ialah ketika kita dengan tulus sudah bisa menghormati perbedaan (degree in disagreement). Untuk menuju kepada sikap dewasa dalam beragama demikian, tentu tidaklah mudah dijalankan, sebab “selama ini”, proses sosialisasi keagamaan yang dilakukan oleh para penyiar atau tokoh-tokoh agama itu sendiri, banyak yang mengabaikan arti pentingnya hidup berdampingan dengan berbagai pemeluk agama yang berbeda. Akibat dari pengabaian demikian, maka banyak umat beragama yang berpandangan tertutup dan kemudian mempengaruhi pada sikap fanatik sempit karena – dalam bahasa saya – adalah agama diajarkan di dalam rumah tanpa jendela. Di dalam rumah tanpa jendela tadi – kebenaran ada hanya milik dirinya sehingga tak ada share untuk memberi ruang di rumah (ibadah) lain dan pada kelompok lain yang sedang beraktivitas yang kurang lebih sama – meski secara konseptual, berbeda isi dan cara mengekspresikan keagamaannya. Efek dari cara memaknai, mengfungsikan, dan mendesain keberagamaan di antara kelompok-kelompok keagamaan seperti itu, akan memudahkan munculnya labelling negatif pada kelompok lain, yang jika saya tabelkan sebagai beikut.

No 1

Kategori konflik Internal aliran

2

Lintas aliran dalam satu agama

3 4

Lintas agama agama dan kepercayaan lokal

5

agama dan negara

 

Kasus (Pelaku) satu aliran keagamaan tetapi beda interest politik pengikut sunni dll dengan ahmadiyah/LDII moslem dengan kristiani penganut Islam puritan dengan penganut agama lokal Kelompok keras

Issue yang berkembang perbedaan kepentingan politik klaim kebenaran sepihak pendirian rumah ibadah; kepentingan kekuasaan dsb. kemusyrikan; penyimpangan keagamaan dll fundamentalisme; 4 

ekstremisme dll.

ANALISIS ATAS ASUMSI KEDUA. Sebenarnya, tidak ada di dalam agama maupun di dalam pikiran-pikiran dan minatminat orang-orang yang taat kepada agamanya untuk bersikap dan bertindak tidak rukun dengan sesama manusia apalagi sesama warga Indonesia. Hal ini bisa dilacak misalnya dari diperkenalkannya konsep-konsep persaudaraan (ukhuwah) sebagaimana pernah dianjurkan oleh Rais Am NU (waktu itu), Kyai Ahmad Siddiq, yaitu (1) persaudaraan satu iman (ukhuwah islamiyah); (2) persaudaraan satu warga bangsa (ukhuwah wathoniyah); dan (3) persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Tetapi dewasa ini, gaung terhadap konsep level-level persaudaraan yang sedemikian indah itu, mulai redup. Dalam kondisi demikian, kita boleh mempertanyakan, janganjangan di antara penguasa atau malahan pemerintah sendiri – memiliki agenda untuk tetap adanya situasi umat yang berbeda agama itu – dalam batas-batas tertentu – bergesekan, atau setidaknya melakukan pembiaran terhadap adanya gejala gesekan antarumat beragama, lalu pemerintah terkesan sebagai penyelesai dan penganyom umat beragama. Asumsi ini saya analogikan dengan kasus yang dilakukan oleh bupati Lebak Banten, abad 19, pernah membuat perintah kepada pegawai tahanan agar melepaskan para narapidana guna mengacaukan keadaan rakyatnya sendiri ketika mereka mulai kritis dan membangkang tidak mau lagi membayar pajak karena banyak pajak yang diselewengkan. Dari perintah bupati itu maka muncul di sana sini pencurian, perampokan, penggarongan, dan pemerkosaan di tempat yang berbedabeda dalam waktu yang sama atau bersamaan.

Karena rakyat tidak mampu

menyelesaikan kekacauan sosial demikian maka rakyat menghadap sang penguasa agar bisa memulihkan keadaan sosial menjadi aman. Tentu sang penguasa dengan mudah bisa mengembalikan ke suasana yang aman kembali dengan misalnya menangkap kembali para pelaku perampokan, dan pemerkosaan – sepanjang rakyat berbaiat untuk patuh membayar pajak lagi. Dalam

perjalanan

waktu,

kepentingan

negara

untuk

memuluskan

kebijakannya dengan memanfaatkan agama maupun kelompok keagamaan yang bisa berefek kepada situasi tidak rukun atau konflik antarpemeluk agama, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal, dalam skala kasusual, regional, maupun nasional sampai hari ini masih terjadi. Ada setidaknya tiga penjelasan bagaimana kekerasan  



dibawa ke ranah agama. Pertama, agama dibawa-bawa oleh negara dan penguasa untuk menjustifikasi dan melegitimasi keputusan-keputusan politik kekuasaan. Kedua, pihak-pihak yang memanfaatkan dan mengatasnamakan lembaga-lembaga agama yang mengembangkan sayap kekuatan untuk merespons keputusan politik dan praktik-praktik pemerintahan, atau memanfaatkan ideologi keagamaan untuk kepentingan-kepentingan

lembaga-lembaga,

organisasi-organisasi,

kelompok-

kelompok keagamaan, atau partai-partai yang mendasarkan diri pada azas keagamaan itu sendiri. Ketiga, individu-individu yang merasa terpanggil untuk menghentikan kekerasan, kemaksiatan, dan berbagai keburukan lainnya menurut tafsiran-tafsiran sesuai selera yang merasa terabsahkan bagaimana menyelesaikan persoalan dimaksud dengan menggunakan kekerasan. Penggunaan agama sebagai alat justifikasi bagi negara, seringkali memiliki dua sayap. Sayap pertama berupa pemanfaatan agama untuk memudahkan program dan proyek-proyek pemerintah itu bisa diterima rakyatnya. Pada sayap ini, terjadi pengerahan secara besar-besaran para tokoh agama untuk menjelaskan ”kemauan yang baik” pemerintah, seperti program Keluarga Berencana. Wacana keagamaan dalam konteks ”keluarga baik,” diukur lewat entitas atau kuantitas jumlah anak dalam keluarga. Ketika agama dipakai sebagai alat sosialisasi, maka dalam aplikasi di lapangan hampir selalu terjadi distorsi-distorsi karena hampir semua program pemerintah itu dievalusi keberhasilannya berdasarkan target pencapaian. Dalam konteks seperti ini, aparat-aparat pemerintah, tidak lagi bicara soal proses dan kondisi-kondisi yang menjadi persyaratan yang menjadikan ”pencegahan kehamilan dan kelahiran” itu diperbolehkan menurut syariat agama. Para aparat pemerintah, tidak hanya tidak tahu mengenai bagaimana landasan syar’i dalam konteks seperti ini, tetapi juga karena kemauan pragmatis negara yang harus dijalankan, dalam hal mana mereka menjalankan tugas atas nama negara dan evaluasi kinerja aparat itu sendiri. Di sinilah pemaksaan kehendak bahkan kekerasan sepertinya ”disahkan” kehadirannya dengan mengatasnamakan agama. Pada sayap kedua, adalah memperlakukan hak negara untuk menentukan mana agama yang disahkan dan karena itu ada agama yang tidak sah. Negara mensahkan suatu agama tertentu sama artinya kekuasaan negara melampaui kekuasaan Tuhan itu sendiri, sehingga memunculkan kondisi seperti berlangsungnya kekerasan agama. Kekerasan dilakukan oleh suatu kelompok agama kepada kelompok  



agama lainnya. Tuhan dibayangkan sebagai ”pecandu perang” sehingga kekerasan dan perang dimaknai sebagai ”persembahan” kepada Sang Tuhan. Dalam bahasa Komarudin Hidayat, ”atas nama Negara, sebuah rezim bisa memberangus agama karena beranggapan, berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim”. Dalam konteks ini, agama lebih dilihat sebagai institusi, dan tidak dalam apresiasi. Di sinilah perilaku ambevalensi negara dalam kaitannya dengan agama. Agama hanya dipanggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggung jawab moral. Penggunaan

agama

oleh

lembaga-lembaga

atau

kelompok-kelompok

keagamaan dalam bentuk-bentuk kekerasan, bisa dan mudah timbul ketika ia dibawa ke dalam ranah politik kekuasaan. Di sinilah “ada” bahayanya jika agama dibawa ke dalam ranah politik. Bahaya itu muncul ketika penggunaan agama, tidak dalam konteks landasaan etik, melainkan sebagai identitas. Ketika agama sebagai identitas, maka muncul kencenderungan bagi “pemilik” lembaga ataupun partai politik, melakukan dua hal sekaligus yaitu (1) kepentingan disakralisasi dengan mengatasnamakan Tuhan, dan (2) menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan sebagai pandangan yang menyesatkan, sehingga dengan mudah menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan tadi dengan tindak kekerasan atas nama menjaga kebesaran Tuhan. Dengan proposisi “atas nama Tuhan”, maka logika yang dimainkan oleh penganut yang sekaligus merasa sebagai “pemilik” agama itu adalah “pembenaran”, sehingga kecenderungan umum manusia adalah menyuguhkan gejala-gejala atau fakta-fakta yang diikuti dengan interpretasi secara ethnocentric. Di sinilah lalu “permusuhan” dan “kekerasan” adalah disahkan atas nama (agama) Tuhan.

ANALISIS PADA ASUMSI KETIGA Ketidakrukunan bahkan konflik yang berakar atau ditarik-tarik ke dalam ranah perbedaan agama, dalam satu sisi sudah ada dan “menyejarah” dalam kehidupan kita, sedang dalam segi yang lain, kegiatan menstudi dalam bentuk diskusi, dan riset, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga riset nonpemerintah yang mempelajari hal ihkwal kerukunan dan ketidakrukunan dalam beragama antarumat beda agama atau beda  



aliran, sebetulnya sudah “terlalu” banyak, tetapi nampaknya hasil-hasil kajian itu sendiri belum maksimal dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dalam konteks seperti ini, adalah wajar kalau kita kali ini juga mempertanyakan ulang, apakah kegiatan-kegiatan seperti sarasehan di banyak tempat – di mana para intelektual dan agamawan disuruh berembug untuk menyelesaikan persoalan “ketidakrukunan” di antara para penganut agama atau aliran yang berbeda-beda, untuk kepentingan apa? Apakah untuk nantinya, simpulan dan rekomendasi yang diberikan akan dijadikan blueprint bagi pemerintah (cq. Kementerian agama) atau sekedar sebagai alat “menghibur” mereka yang pekerjaannya memang berdiskusi. Soal apakah hasil kesimpulan dan rekomendasinya nanti dijadikan blueprint oleh pemerintah untuk bagaimana mengatur kehidupan beragama di bumi Indonesia, atau sekedar ditumpuk dilaci para pengambil kebijakan, itu kita tidak tahu pasti. Mengapa? Karena simpulan dan rekomendasi ilmuwan dan agamawan adalah satu hal, sedang keputusan politik pemerintah adalah hal yang lain lagi. Simpulan ilmuwan bertolak pada realitas dan mengacu kepada kebenaran berlandaskan dalil-dalil keilmuwan, sementara simpulan dan keputusan pemerintah mengarah kepada situasi dan kebutuhan politik.

ANALISIS FILOSOFIS Makan bagi manusia misalnya, bukanlah sekedar aktivitas fisikal yakni memasukkan sejumlah nutrimen ke dalam bagian fisik (melalui mulut) karena dorongan instingtif berupa lapar. Tetapi makan bagi manusia adalah tindakan budaya, karena di dalamnya mengandung sejumlah pengetahuan dan keyakinan bagi diri si pelaku untuk memastikan apakah nutrimen tersebut secara ideologi (agama), masuk kategori halal atau haram, secara medik tidak mengganggu kesehatan ketubuhan; dari segi prosesnya, apakah makanan (nutrimen) itu “boleh” dimakan harus dalam kondisi masak atau tidak; dan cara memakannya, perlu dilakukan secara sopan menurut ukuran budaya, atau yang penting asal bisa masuk ke dalam mulut. Bertitiktolak

pada

cara

berfikir

kebudayaan

demikian

ini,

maka

perbendaharaan kata-kata yang seringkali menghiasi ranah keagamaan, seperti: gereja (baca: masuk gereja, islam, ahlus sunnah, nabi, dsb), perlu dilihat ke dalam level-level makna – jikalau kita sendiri tidak ingin terperangkap ke dalam makna fisikal. Istilah masuk gereja sebagaimana ungkapan:”tidak ada keselamatan bagi yang berada di luar  



gereja”, apakah gereja sekedar istilah untuk menunjuk bangunan fisik tempat ibadah kaum Kristiani, sebagaimana masjid untuk umat Islam, wihara untuk umat Budhha, dsb, atau sebagai “tata ruang” tempat di mana umat (pemeluk) yang bersangkutan menemui dan bertemu Tuhan guna dapat menjalankan berbagai “kebaikan” yang diajarkannya? Jika tempat-tempat ibadah ditempatkan sebagai sarana manusia berikrar untuk menjalankan berbagai kebaikan sebagaimana ajaran-ajaran agama itu sendiri, maka semakin banyak tempat ibadah akan semakin baik bukan? Sayangnya, gereja, masjid, wihara dsb itu masih banyak dilihat baik oleh umatnya sendiri maupun oleh

umat

di

luarnya

sebagai

simbolisasi

kekuasaan

(keagamaan)

yang

“membolehkan” (secara hukum) tokoh-tokoh agama menyebarkan ajarannya kepada lingkungannya, sehingga pendirian gereja, masjid, atau wihara bisa dan sering menimbulkan keresahan bagi umat diluarnya. Demikian pula istilah “ahlus sunnah wal jama’ah” (yang biasanya dimuarakan pada statemen nabi tentang umatnya yang akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang terselamatkan yaitu ahlus sunnah), apakah

istilah ini

ditempatkan secara...


Similar Free PDFs