KEL 3- Manajemen Belanja Daerah PDF

Title KEL 3- Manajemen Belanja Daerah
Author Rielisa AP Hutagaol
Course Manajemen Strategik
Institution Universitas Jambi
Pages 18
File Size 310.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 105
Total Views 547

Summary

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN STRATEGIK“MANAJEMEN BELANJA DAERAH”Disusun Oleh: Negi Karniego S (P2C218013) Rielisa Apriyanti P ( P2C218044) Sinta Olivia S (P2C218061) Dosen Pengampu: Dr. Hj. Sri Rahayu, SE, MSA, AkPROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMENUNIVERSITAS JAMBI2019BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPen...


Description

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN STRATEGIK “MANAJEMEN BELANJA DAERAH”

Disusun Oleh: 1. Negi Karniego S (P2C218013) 2. Rielisa Apriyanti P.H ( P2C218044) 3. Sinta Olivia S (P2C218061)

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Sri Rahayu, SE, MSA, Ak

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS JAMBI 2019

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolahan keuangan daerah merupakan faktor yang penting untuk melihat kemandirian suatu daerah. Dilihat dari tingkat kemandirian daerah di bidang keuangan belum memperlihatkan kemajuan yang berarti bahkan cenderung menurun selama satu dasawarsa terakhir. Pemerintah daerah masih sangat tergantung kepada pusat dan belum memiliki sumber pendapatan asli daerah yang kuat untuk menopang kegiatan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di tingkat lokal.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah menunjukkan secara tegas kesepakatan politis yang menetapkan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia lebih menitikberatkan desentralisasi pada sisi belanja. Kewenangan yang didelegasikan kepada daerah untuk mendapatkan penerimaan masih relatif terbatas. Sementara di sisi lain, daerah diberikan kewenangan yang cukup besar untuk membelanjakan dana yang dikelolanya. Dengan diskresi belanja daerah yang luas tersebut, maka kualitas belanja daerah akan sangat ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambil oleh daerah itu sendiri. Dengan input dana publik yang selalu bersifat terbatas, maka daerah dituntut untuk mempunyai strategi yang jitu dalam mengelola dan mengalokasikannya secara efisien, sehingga mampu memberikan output layanan publik yang optimal. Selanjutnya diharapkan pilihan atas prioritas output tersebut akan menghasilkan outcome yang signifikan, yang berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belanja pemerintah daerah secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada kualitas pelayanan publik dan mendorong aktivitas sektor swasta di daerah yang bersangkutan. Belanja yang tidak optimal dapat mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan publik dan menurunnya aktivitas sektor swasta. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyediaan barang publik dan regulasi lokal, sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik dan produktivitas ekonomi di daerah semakin meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut

maka peran optimalisasi belanja daerah akan mempengaruhi pembangunan ekonomi di daerah. Oleh karena itu, belanja pemerintah daerah yang efisien merupakan isu penting dalam kebijakan sektor publik, belanja yang efisien diyakini dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Isu efisiensi belanja pemerintah ini menjadi sangat penting, khususnya dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi makroekonomi. Belanja pemerintah yang efisien sangat erat kaitannya dengan proses penganggaran baik proses penyusunan anggaran pemerintah pusat maupun penyusunan anggaran pemerintah daerah.

BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Belanja Daerah Beberapa pendapat mengenai belanja daerah, antar lain : 

Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.



Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal (huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.



Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.



Menurut Halim (2001), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.



Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.



Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah.



Menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.



Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaann bersih

dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan struktur anggarann daerah, elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja tidak tersangka.

Jadi dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam periode anggaran tertentu digunakan untuk melaksanakan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan pemeritah daerah. Dalam Permendagri No.59 Tahun 2007, belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan. Tujuan Belanja Daerah 1. Merupakan rasionalisasi atau gambaran kemampuan dan penggunaan sumbersumber finansial dan material yang tersedia pada suatu negara/daerah. 2. Sebagai upaya untuk penyempurnaan berbagai rencana kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya sehingga hasilnya akan lebih baik. 3. Sebagai alat untuk memperinci penggunaan sumber-sumber yang tersedia menurut objek pembelanjaannya sehingga memudahkan pengawasan atas pengeluarannya. 4. Sebagai landasan yuridis formal dari penggunaan sumber penerimaan yang dapat dilakukan pemerintah serta sebagai alat untuk pembatasan pengeluaran. 5. Sebagai alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan dalam membuat keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program dan proyek yang diusulkan. 6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat pengawasan atas pelaksanaan kegiatan, program dan proyek yang dilakukan pemerintah.

B. Klasifikasi Belanja Daerah Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat pemerintah pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja

yang akan dicapai. Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah direncanakan. Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan. Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan oleh entitas

pelaporan.

Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga. Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga. Pengklasifikasian menurut pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF) dibedakan berdasarkan fungsi dibagi menjadi : 

Pelayanan Umum



Kesehatan



Pertahanan



Perlindungan



Agama



Pendidikan dan Perlindungan



Ekonomi



Lingkungan Hidup



Pariwisata dan Budaya



Perumahan dan Pemukiman

Sosial

Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan klasifikasi belanja sebagai berikut: 1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan serta jenis belanja; 2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah 3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari : a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah; b. Klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu : a. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. b. Klasifikasi belanja menurut fungsi bertujuan untuk keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama” karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan. c. Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan program/kegiatan atau tidak. Belanja

yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung. Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006,

belanja

diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja yaitu Belanja tidak langsung dan Belanja langsung. Kelompok Belanja Tidak Langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya, kelompok Belanja Tidak Langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari : 1. Belanja Pegawai Penganggaran belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta gaji pokok dan tunjangan pegawai negeri sipil, tambahan penghasilan, serta honor atas pelaksanaan kegiatan. 2. Belanja Bunga Penganggaran pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. 3. Belanja Subsidi Penganggaran subsidi kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang telah diaudit, dalam rangka mendukung kemampuan daya beli masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Lembaga penerima belanja subsidi wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana subsidi kepada kepala daerah. 4. Belanja Hibah penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus yang terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian

antara pemerintah daerah dengan penerima hibah, dalam rangka peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, peningkatan layanan dasar umum, peningkatan partisipasi dalam rangka penyelenggaraan pembangunan daerah. 5. Belanja Bantuan Sosial Penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang tidak secara terus menerus/berulang dan selektif untuk memenuhi instrumen keadilan dan pemerataan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk bantuan untuk PARPOL. 6. Belanja Bagi Hasil Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi yang

dibagihasilkan

kepada

kabupaten/kota

atau

pendapatan

kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 7. Bantuan Keuangan penganggaran bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. 8. Belanja Tidak Terduga Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah “Belanja Lain-lain digunakan

oleh pemerintah pusat, sedangkan istilah “Belanja Tak

Terduga” digunakan oleh pemerintahan daerah. Penganggaran belanja atas kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.

Kelompok Belanja Langsung terdiri atas : 1. Belanja Pegawai

Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan

pemerintahan daerah. Belanja Pegawai : Honor : merupaka

sesuatu yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada pegawai , tetapi apabila pegawai tidak melakukan pekerjaan maka upah tidak akan dibayarkan (dia bekerja / produktivitas dan berkaitan dengan tujuan oraganisasi). 2. Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa ini mencakup belanja barang pakai

habis,

bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari- hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan pegawai 3. Belanja Modal Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan dan aset tetap lainnya. C. Arahan Pengelolahan Belanja Daerah Belanja daerah diarahkan pada peningkatan proporsi belanja untuk memihak kepentingan

publik,

disamping

tetap

menjaga

eksistensi

penyelenggaraan

Pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus tetap mengedepankan efisiensi, efektivitas dan penghematan sesuai dengan prioritas, yang diharapkan dapat memberikan dukungan programprogram strategis daerah. Semakin besar belanja daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (terjadi ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka akan mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi perekonomian). Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka pengelolaan belanja daerah dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan, sebagai berikut:

1. Memprioritaskan alokasi anggaran belanja daerah pada sektorsektor peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang berkualitas, serta mengembangkan sistem jaminan sosial, terutama bagi mereka (powerless)

akibat

(devalued),

dan

yang mengalami ketidakberdayaan

termarginalisasi mengalami

(marginalized),

keterampasan

terdevaluasi

(deprivation),

serta

pembungkaman (silencing), sesuai amanat undang-undang, serta visi, misi dan program kepala/wakil kepala daerah. 2. Meningkatkan

anggaran

belanja

daerah

untuk

program-program

penanggulangan kemiskinan. 3. Mengarahkan alokasi anggaran belanja daerah pada pembangunan infrastruktur pedesaan yang mendukung pembangunan sektor pertanian, dan pencegahan terhadap bencana alam, serta sekaligus yang dapat memperluas lapangan kerja di pedesaan melalui pendekatan program padat karya. 4. Memberi alokasi anggaran belanja daerah pada sektor pembangunan pedesaan dalam bentuk pemberian bantuan operasional kepada perangkat desa. 5. Menyediakan bantuan dana bergulir bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam rangka memberdayakan UMKM. 6. Meningkatkan kepedulian terhadap penerapan prinsip-prinsip efisiensi belanja dalam pelayanan publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang meliputi manfaat ekonomi, faktor eksternalitas, kesenjangan potensi ekonomi, dan kapasitas administrasi, kecenderungan masyarakat terhadap pelayanan publik, serta pemeliharaan stabilitas ekonomi makro. 7. Meningkatkan efektivitas kebijakan belanja daerah melalui penciptaan kerja sama yang harmonis antara eksekutif, legislatif, serta partisipasi masyarakat dalam pembahasan dan penetapan anggaran belanja daerah.

BAB III STUDI KASUS (BELANJA DAERAH : BELANJA PEGAWAI KABUPATEN NGAWI) Pengelolahan keuangan daerah merupakan hal yang sangat penting untuk bagi keberlangsungan keadaan suatu daerah tersebut. Pengelolahan keuangan yang baik dapat berdampak positif bagi ekonomi, sosial, kesehatan,lingk...


Similar Free PDFs