Laporan Praktikum Modul C PDF

Title Laporan Praktikum Modul C
Author Adhi Setyo Nugroho
Pages 26
File Size 1.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 323
Total Views 562

Summary

Laporan Praktikum Laboratorium Teknik Material 2 Modul C Metal Hardening Oleh : Nama : Adhi Setyo Nugroho NIM : 13713025 Kelompok : 2 Anggota (NIM) : Andrian Anggada Widatama (13713005) Antonio Ricardo Salomo Abraham (13713024) Adhi Setyo Nugroho (13713025) Aldi Wendo Kohara (13713042) Surya Eko Sul...


Description

Laporan Praktikum Laboratorium Teknik Material 2 Modul C Metal Hardening

Oleh :

Nama

: Adhi Setyo Nugroho

NIM

: 13713025

Kelompok

: 2

Anggota (NIM)

: Andrian Anggada Widatama (13713005) Antonio Ricardo Salomo Abraham (13713024) Adhi Setyo Nugroho (13713025) Aldi Wendo Kohara (13713042) Surya Eko Sulistiawan (13713054)

Tanggal Praktikum

: 27 Oktober 2015

Tanggal Penyerahan Laporan : 2 November 2015 Nama Asisten (NIM)

: Muhammad Iqbal Yusrian (13711064)

Laboratorium Teknik Metalurgi dan Teknik Material Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung 2015

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Material logam memiliki aplikasi yang sangat luas dalam kehidupan, misalnya sebagai struktur bangunan, komponen alat transportasi, dan lain-lain. Aplikasi tersebut salah satunya ditunjang oleh sifat mekanik material logam. Untuk mendapatkan sifat mekanik sesuai dengan kebutuhan perlu dilakukan proses pengubahan struktur mikronya. Ada berbagai metode untuk mengubah sifat mekanik material melalui pengubahan struktur mikronya. Misalnya, quenching, precipitation hardening, dan annealing.

1.2 Tujuan Percobaan 1. Menentukan pengaruh %w karbon terhadap pertambahan nilai kekerasan baja karbon yang telah diquenching dalam proses hardening. 2. Menentukan pengaruh waktu aging terhadap kekerasan Duralumin yang telah diquenching dalam proses precipitation hardening. 3. Menentukan pengaruh temperatur rekristalisasi dan waktu pemanasan terhadap nilai kekerasan tembaga yang telah diquenching dalam proses annealing.

BAB II TEORI DASAR

2.1 Diagram Fasa Fe-C, Diagram TTT, dan Diagram CCT Diagram fasa suatu paduan menunjukkan informasi mengenai struktur fasa yang terbentuk melalui variabel temperatur dan komposisi paduan. Pada diagram fasa biner, tekanan eksternal dijaga tetap. Contoh diagram fasa biner adalah diagram fasa Fe-C yang ditunjukkan pada gambar 2.1.1.

Gambar 2.1.1 Diagram Fasa Fe-C. Callister (2011). Dari diagram fasa Fe-C diperoleh, a. Lima fasa utama, yaitu fasa cair, fasa 𝛿, fasa 𝛾 (austenit), fasa 𝛼 (ferit), dan fasa 𝐹𝑒3 𝐶 (sementit). b. Tiga jenis reaksi fasa, yaitu i.

Reaksi fasa peritektik, 𝛿 + 𝐿 → 𝛾.

ii.

Reaksi fasa eutektik, 𝐿 → 𝛾 + 𝐹𝑒3 𝐶.

iii.

Reaksi fasa eutektoid, 𝛾 → 𝛼 + 𝐹𝑒3 𝐶.

c. Dua jenis material teknik dengan batas komposisi 1,7% berat C, yaitu baja karbon dengan komposisi kurang dari 1,7% berat C, dan besi cor dengan komposisi lebih dari 1,7% berat C. Namun,

diagram

fasa

tidak

memberikan

informasi

mengenai

kebergantungan transformasi fasa terhadap waktu. Oleh karena itu, dibuatlah suatu diagram yang menunjukkan pengaruh waktu pendinginan terhadap transformasi fasa, disebut diagram transformasi isotermal (Time-Temperature-Transformastions Diagram). Diagram tersebut mengeplot temperatur versus logaritma waktu, dengan kurva pembentukan fasa awal (begin curve), kurva transformasi sebagian (50% completion) dan kurva transformasi 100%, seperti gambar 2.1.2. Dari gambar 2.1.3, diagram TTT hanya dapat digunakan untuk transformasi fasa pada proses perlakuan panas dengan temperatur tetap.

Gambar 2.1.2 Diagram TTT yang menunjukkan kebergantungan transformasi austenit menjadi perlit terhadap waktu pada temperatur tetap. Callister (2011)

Gambar 2.1.3 Transformasi fasa austenit menjadi ferit dan sementit melalui difusi. Callister (2011). Pada diagram TTT tersebut, austenit didinginkan cepat melalui garis AB, dan transformasi fasa austenit menjadi perlit ditunjukkan oleh garis BCD pada temperatur tetap. Transformasi austenit menjadi perlit diawali pada perpotongan kurva awal (begin curve) di titik C dan berakhir di titik D dalam waktu sekitar 15 detik. Mekanisme transformasi fasa tersebut melibatkan difusi atom-atom karbon sesuai dengan reaksi fasa eutektik. Atom-atom karbon larut dengan besi membentuk sementit. Ferit dan sementit tersusun berlapis dan tumbuh hingga butir austenit berubah menjadi perlit (ferit dan sementit) seluruhnya. Diagram TTT yang utuh untuk baja hypoeutectoid, eutectoid, dan hypereutectoid ditunjukkan oleh gambar 2.1.4.

Gambar 2.1.4 Diagram TTT untuk baja (a) hypoeutectoid, (b) eutectoid, (c) hypereutectoid. Amy (2014).

Baja eutectoid adalah baja dengan komposisi 0,8% berat karbon dan menjadi pembatas antara baja hypoeutectoid dan baja hypereutectoid. Baja hypoeutectoid memiliki komposisi 0,025%-0,8% berat karbon dan baja hypereutectoid memiliki komposisi 0,8%-1,7% berat karbon. Perbedaan utama diagram TTT antara baja hypoeutectoid, eutectoid, dan hypereutectoid adalah fasa yang terbentuk di atas temperatur eutectoid. Temperatur eutectoid (727℃) digambarkan sebagai garis asimtot datar. Pada baja eutectoid, kurva transformasi austenit menjadi perlit memanjang di bawah garis asimtot tersebut, dan dengan melihat diagram fasa, austenit akan langsung mengalami transformasi menjadi perlit ketika didinginkan. Pada baja hypoeutectoid, terdapat kurva yang memotong garis asimtot, artinya ketika pendinginan, austenit dapat bertransformasi menjadi fasa 𝛼 + 𝛾. Sedangkan pada baja hypereutectoid, terdapat kurva yang memotong garis asimtot, artinya ketika pendinginan, austenit dapat bertransformasi menjadi fasa 𝛾 + 𝐹𝑒3 𝐶. Bentuk “hidung” lebih bergeser ke kiri karena %wt karbon semakin meningkat menyebabkan kelarutan karbon dalam paduan lebih tinggi. Sehingga, waktu yang dibutuhkan untuk transformasi austenit menjadi perlit lebih cepat.

Gambar 2.1.5 Pendinginan cepat untuk transformasi austenit menjadi martensit. www.google.com.

Pada bagian bawah diagram TTT tersebut juga terdapat garis horizontal yang tidak bergantung terhadap waktu pendinginan. Garis tersebut menyatakan transformasi austenit menjadi martensit, diawali dari garis M(start). Karena transformasi austenit menjadi martensit tidak melibatkan difusi, maka transformasi tersebut berlangsung dengan laju pendinginan yang sangat cepat, ditunjukkan oleh gambar 2.1.5. Oleh karena adanya pengaruh laju pendinginan terhadap transformasi austenit, maka diagram TTT dimodifikasi menjadi diagram CCT (Continuous Cooling Transformation). Diagram CCT dapat memprediksi struktur mikro yang terbentuk untuk berbagai laju pendinginan. Contoh diagram CCT ditunjukkan oleh gambar 2.1.6. Misal austenit didinginkan dari temperatur 727℃ hingga 60℃. Ketika laju pendingian sangat cepat (8,3℃/𝑠), akan terbentuk struktur mikro martensit saja.

Gambar 2.1.6 Pengaruh laju pendinginan terhadap perubahan struktur mikro baja karbon. Callister (2011).

Ketika laju pendinginan diperlambat (0,3℃/𝑠), akan terbentuk struktur mikro martensit dan bainit. Ketika laju pendinginan diperlambat lagi, akan terbentuk martensit, bainit, dan ferit, dan seterusnya. Sehingga, terdapat range struktur mikro yang terbentuk di akhir pendinginan untuk tiap laju pendinginan. Fasa-fasa yang sering dijumpai antara lain, a. Ferit (fasa 𝛼), merupakan paduan antara unsur besi-𝛼 (𝛼-Fe) dan karbon (C), dengan komposisi 0-0,025% berat karbon pada temperatur di bawah 912℃. Ferit memiliki struktur kristal BCC, bersifat ulet karena kandungan karbon sangat rendah, dan bersifat magnetik. b. Austenit (fasa 𝛾), merupakan paduan antara unsur besi-𝛾 (𝛾-Fe) dan karbon (C), dengan komposisi 0-1,7% berat karbon pada temperatur 727℃ hingga 1493℃. Austenit memiliki struktur kristal FCC, lebih keras daripada ferit, dan bersifat nonmagnetik. c. Perlit (fasa 𝛼 + 𝐹𝑒3 𝐶 berlapis), merupakan transformasi fasa austenit melalui reaksi fasa eutektoid. Terdapat dua jenis struktur mikro perlit: perlit kasar dan perlit halus. Ketebalan lapisan perlit bergantung pada temperatur terjadinya transformasi.

Gambar 2.1.7 Struktur mikro (a) perlit kasar, (b) perlit halus. Callister (2011).

Dari diagram TTT gambar 2.1.3, perlit kasar (coarse pearlite) dihasilkan dekat di bawah temperatur eutectoid. Pada temperatur tersebut, laju difusi sangat tinggi, atom-atom karbon berdifusi dalam lintasan yang panjang membentuk lapisan tebal hitam. Seiring dengan menurunnya temperatur, laju difusi atom-atom karbon lebih lambat dan lintasan difusi terbatas. Sehingga, terbentuk struktur mikro dengan lapisan tipis, yaitu perlit halus. Kandungan karbon pada perlit halus lebih banyak karena laju difusinya lambat, sehingga bersifat lebih keras dan kuat daripada perlit kasar. d. Bainit, dihasilkan ketika laju pendinginan berada dalam range “bainite nose” (dari gambar 2.1.6). Fasa yang muncul adalah fasa sementit yang halus dan panjang dalam matriks ferit. Karena struktur mikro bainit sangat halus, maka hanya dapat diamati menggunakan mikroskop elektron. Bainit bersifat lebih keras dan kuat daripada perlit halus. e. Martensit, dihasilkan melalui transformasi austenit dengan pendinginan sangat cepat (quenching) tanpa mengalami difusi. Martensit memiliki struktur kristal BCT (body-centered tetragonal), struktur mikro mirip jarumjarum, dan bersifat paling kuat dan paling getas dibandingkan struktur mikro lainnya. Martensit sangat keras karena seluruh atom karbon berperan sebagai pengotor interstisi atau menyisip di sel satuan BCT (simbol X) pada

(a)

(b)

Gambar 2.1.8 Struktur mikro (a) bainit, (b) martensit. Callister (2011).

Gambar 2.1.8 Sel satuan body-centered tetragonal (BCT) pada martensit. Callister (2011). gambar 2.1.9. Untuk memperoleh struktur BCT dilakukan quenching agar tidak terjadi difusi karbon, karena sedikit saja karbon berdifusi maka akan terbentuk fasa ferit dan austenit.

2.2 Proses Perlakuan Panas pada Logam Annealing adalah perlakuan panas pada baja dengan cara dipanaskan pada temperatur austenit dan waktu tertentu, lalu didinginkan perlahan. Annealing berfungsi untuk mengurangi tegangan (relieve stresses), menambah keuletan dan ketangguhan, dan/atau menghasilkan struktur mikro tertentu. Pada annealing terjadi recovery, recrystallization, dan grain growth. Recovery adalah proses pelepasan energi regangan dalam yang tersimpan dengan memanfaatkan pergerakan dislokasi dari difusi atom-atom pada temperatur tinggi. Selanjutnya akan terbentuk batas subbutir melalui proses poligonisasi atau penyusunan diri. Fenomena berikutnya adalah rekristalisasi, yaitu pembentukan butir-butir ekuiaksial dari proses poligonisasi. Temperatur rekristalisasi adalah

Gambar 2.2.1 Proses recovery, recrystallization dan grain growth. Callister (2011).

temperatur yang ditunjukkan setelah proses rekristalisasi berlangsung sempurna selama satu jam. Setelah rekristalisasi berlangsung sempurna, terbentuk butir-butir ekuiaksial. Butir-butir akan tumbuh karena adanya migrasi batas butir. Tidak semua butir tumbuh, tetapi hanya butir besar yang tumbuh “memakan” butir kecil. Normalizing digunakan untuk memperhalus butir, menghasilkan distribusi butir yang homogen, serta mengurangi tegangan dalam (relieve internal stresses) setelah dilakukan cold work. Pertama, spesimen dipanaskan pada temperatur austenitnya (di atas A3 atau Acm sesuai gambar 2.2.2), dibiarkan beberapa waktu pada temperatur tersebut, lalu didinginkan lebih cepat daripada pendinginan annealing. Annealing dan normalizing merupakan metode yang digunakan untuk membuat material logam menjadi lebih lunak. Logam misalnya baja dipanaskan terlebih dahulu hingga temperatur austenitnya dan dipertahankan selama beberapa waktu pada temperatur tersebut agar temperatur tersebar secara merata. Setelah itu,

Gambar 2.2.2 Range temperatur proses annealing dan normalizing. Callister (2011). logam didinginkan dengan laju pendinginan yang lambat. Kurva pendinginan baja untuk proses annealing ditunjukkan oleh nomor 2 pada gambar 2.2.3 dan terbentuk struktur mikro perlit kasar yang bersifat lunak. Sedangkan kurva pendinginan baja

untuk proses normalizing ditunjukkan oleh nomor 3 pada gambar 2.2.3 dan terbentuk struktur mikro perlit halus yang bersifat lebih keras. Baja juga dapat dikeraskan dengan cara memanaskannya pada temperatur austenit selama beberapa waktu, lalu didinginkan sangat cepat, ditunjukkan oleh kurva 1 pada gambar 2.2.3. Struktur mikro yang terbentuk adalah martensit yang bersifat sangat keras.

Gambar 2.2.3 Kurva berbagai laju pendinginan untuk memperoleh struktur mikro tertentu. www.apc.totalmateria.com.

2.3 Precipitation Hardening Kekuatan dan kekerasan beberapa paduan logam, misalnya paduan Al-Cu, dapat ditingkatkan dengan pembentukan partikel-partikel kecil sekunder berfasa padat yang tersebar merata di matriks fasa padat yang terbentuk sebelumnya, dengan proses precipitation hardening. Partikel-partikel presipitat tersebut bertindak sebagai penghambat gerak dislokasi. Agar sistem paduan dapat dilakukan proses precipitation hardening, maka harus terbentuk larutan padat akhir dengan pengurangan kelarutan fasa padat seiring dengan menurunnya temperatur. Misalnya paduan Al-Cu dengan komposisi 96wt% Al - 4wt% Cu.

Proses precipitation hardening seperti ditunjukkan gambar 2.3.1 adalah sebagai berikut. 1. Solution treatment atau solutionizing, yaitu paduan dipanaskan di atas temperatur solvus dan dibiarkan selama selang waktu tertentu hingga terbentuk fasa homogen 𝛼. Presipitat 𝜃 saat itu masih larut dalam fasa tersebut.

Gambar 2.3.1 Precipitation hardening, (1) solution treatment, (2) quenching, (3) aging. www.apac.totalmateria.com. 2. Quenching, yaitu mendinginkan cepat fasa homogen 𝛼 membentuk larutan pada super jenuh (supersaturated solid solution) 𝛼𝑠𝑠 yang mengandung Cu berlebih. Karena pendinginan tersebut berlangsung cepat, atom-atom tidak dapat mengalami difusi untuk melakukan pengintian, maka struktur mikro yang telah terbentuk bersifat tidak stabil. Presipitat 𝜃 tidak terbentuk. 3. Aging, yaitu memanaskan 𝛼𝑠𝑠 di bawah temperatur solvus untuk menghasilkan presipitat yang tersebar halus. Pada temperatur tersebut, atom-atom berdifusi secara terbatas. Karena 𝛼 super jenuh bersifat tidak stabil, atom-atom Cu berdifusi dan mulai menginti dan presipitat pun tumbuh. Ada dua jenis aging: artificial aging, dilakukan pada temperatur tertentu, dan natural aging, dilakukan pada temperatur kamar.

Ada tiga mekanisme penguatan pada precipitation hardening, 1. Coherency strain hardening, dihasilkan dari interaksi antara dislokasi dengan medan regangan di sekitar GP zones. 2. Chemical hardening, dihasilkan dari peningkatan tegangan yang dibutuhkan dislokasi untuk memotong/melewati presipitat yang koheren atau semikoheren. 3. Dispersion hardening, terjadi pada paduan yang mengandung presipitat yang tidak koheren.

GP1

GP2

Gambar 2.3.2 Pengaruh waktu aging terhadap kekuatan material yang dilakukan proses strain hardening. Callister (2011).

Gambar 2.3.3 Skema pembentukan fasa presipitat 𝜃 yang stabil, (a) Supersaturated 𝛼 solid solution, (b) Fasa presipitat transisi 𝜃′′, (c) Fasa stabil 𝜃, dalam matriks 𝛼. Callister (2011).

Dari gambar 2.3.2, material yang di-aging akan menempuh zona GP. GP adalah nama dari Guinier-Preston yang telah menemukan berbagai fenomena age hardening. Material sebelum aging ditunjukkan oleh gambar 2.3.3a, dan material yang sudah melalui GP2 ditunjukkan oleh gambar 2.3.3b. Dari gambar 2.3.2, akhir aging fasa 𝜃′′ akan memiliki kekuatan dan kekerasan paling tinggi. Selanjutnya, overaging akan menyebabkan kekuatan dan kekerasannya menurun. Paduan logam lainnya yang dapat dilakukan proses precipitation hardening adalah paduan tembaga-berillium, tembaga-timah, dan magnesium-aluminium.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Mulai

Diberikan spesimen baja karbon rendah dan baja karbon tinggi

Kekerasan awal spesimen diukur

Diberikan spesimen paduan Al-Cu yang sudah dipanaskan pada temperatur 550℃ selama 12 jam dan diquenching

Spesimen dipotong menjadi 4 bagian dan diberi tanda

Kekerasan awal spesimen diukur

Spesimen dipanaskan pada temperatur 900℃ selama 30 menit

Spesimen dipanaskan pada temperatur 200℃ selama 10 menit untuk spesimen 1, 30 menit untuk spesimen 2, 60 menit untuk spesimen 3, dan 120 menit untuk spesimen 4

Setelah waktu pemanasan habis, spesimen dicelupkan ke dalam air

Kekerasan akhir spesimen diukur

Selesai

Diberikan spesimen Cu yang sudah dipanaskan pada temperatur 800℃, diquenching, dan diroll dengan reduksi 50% Spesimen dipotong menjadi 6 bagian dan diberi tanda

Kekerasan awal spesimen diukur Spesimen dipanaskan pada temperatur 400℃ selama 15 menit untuk spesimen 2, 30 menit untuk spesimen 3, 45 menit untuk spesimen 4, 60 menit untuk spesimen 5. Spesimen 1 dipanaskan pada temperatur 800℃ selama 120 menit. Spesimen 6 dipanaskan pada temperatur 100℃ selama 90 menit

BAB IV DATA PENGAMATAN

1. Tabel kekerasan baja karbon sebelum dan sesudah pemanasan. Temperatur

Waktu

C

menit

HRA1

HRA2

HRA3

HRA

HRA1

HRA2

HRA3

HRA

Rendah (Kotak)

900

30

45

44,5

41

43,5

57

69

70

65,3333

Tinggi (Bulat)

900

30

64

65

64

64,333

76

70

75

73,6667

Baja Karbon

Kekerasann Awal (MPa)

Kekerasan Akhir (MPa)

2. Tabel kekerasan paduan Al-Cu sebelum dan sesudah pemanasan dengan variasi waktu. Temperatur

Waktu

C

menit

1

200

10

2

200

30

3

200

60

4

200

120

Al-Cu

Kekerasann Awal (MPa) HRE1

HRE2

85

80

HRE3

Kekerasan Akhir (MPa)

HRE

82,5

HRE1

HRE2

HRE3

HRE

68

89

71

76

91

89

99

93

97

104

103

101,333

94

96

96

95,3333

82,5

3. Tabel kekerasan tembaga sebelum dan sesudah pemanasan dengan variasi temperatur dan waktu. Temperatur

Waktu

C

Menit

1

800

2 3

Cu

Kekerasann Awal (MPa) HRE1

HRE1

HRE2

HRE3

HRE

120

71

86

100

85,6667

400

15

49

99

98

82

400

30

41

94

75

70

4

400

45

59

91

102

84

5

400

60

62

89

76

75,6667

6

100

90

84

88

91

87,6667

78

HRE2

81

HRE3

81

HRE

Kekerasan Akhir (MPa)

80

BAB V ANALISIS DATA

Baja karbon rendah maupun baja karbon tinggi memiliki peningkatan kekerasan setelah spesimen dipanaskan. Ketika kedua spesimen dipanaskan pada temperatur 900℃ tanpa pemanasan awal (pre-heat) dan dibiarkan pada temperatur tersebut selama 30 menit, maka berdasar teori terbentuk struktur mikro austenit. Pemanasan dilakukan...


Similar Free PDFs