Legal Opinion Hukum Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo PDF

Title Legal Opinion Hukum Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo
Pages 7
File Size 137.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 289
Total Views 828

Summary

DELLA LUYSKY SELIAN 8111416211 HUKUM LINGKUNGAN ROMBEL 2 [email protected] LEGAL OPINION TENTANG KASUS LUMPUR LAPINDO 1. Pendahuluan Banjir lumpur panas Sidoarjo, dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran...


Description

DELLA LUYSKY SELIAN 8111416211 HUKUM LINGKUNGAN ROMBEL 2 [email protected] LEGAL OPINION TENTANG KASUS LUMPUR LAPINDO 1. Pendahuluan Banjir lumpur panas Sidoarjo, dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan permukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya – Gempol, jalan raya Surabaya – Malang dan Surabaya – Pasuruan – Banyuwangi, serta jalur KA lintas timur Surabaya – Malang dan Surabaya – Banyuwangi. Lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT. Lapindo di dekat lokasi itu. Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006. Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 m) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut kedalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pengeboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pengeboran mereka di zona Rembang dengan target pengeborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujungnya. Selama mengebor mereka tidak mengcasing lubang karena kegiatan pengeboran masih berlangsung. Selama pengeboran lumpur bertekanan tinggi dan formasi Pucangan sudah berusaha menerobos tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpur Lapindo. Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai Madura.

Berikut kronologi terjadinya semburan panas Lumpur Lapindo: 5 Juni 2006: Semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong. 7 Juni 2006: Semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat. 10 Juli 2006: Lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik. 12 Juli 2006: Lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar. Agustus 2006: Luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong,

serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit. September 2006: Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol. 22 November 2006: Pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur. 6 Desember 2006: Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong. Januari 2007: Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya. April 2007: Lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang. 10 Januari 2008: Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.

November 2008: Terdapat 18 desa yang terendam lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah. 2. Analisis Aturan Hukum Akibat Hukum: bahwa apabila dilihat dari permasalahan tersebut pelaku telah melanggar UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria. Ini juga karena perusahaan itu telah menggeser wilayah konservasi pertanian menjadi lautan lumpur serta tidak menjaga mutu tanah. Syarat: jika ditinjau dari Undang – Undang No.32 Tahun 2009 banyak pelanggaran yang terjadi terhadap ketentuan dalam lingkungan hidup seperti pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan lingkungan, mengingat Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 pasal 12 ayat 1 pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Dan dalam pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat 1 belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuursrecht).1 Dalam pasal 53 UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan dalam pasal 54 UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

1

Mohammad Taufik Makarao, Aspek – Aspek Hukum Lingkungan, (Jakarta: PT INDEKS kelompok GRAMEDIA, 2004) hlm.3

Dalam kasus Lumpur Lapindo yang disebabkan kelalaian dari pihak Lapindo Brantas Inc. kelalaian tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat merugikan. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 terdapat beberapa asas seperti asas tanggung jawab negara yaitu bahwa negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan, negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dan asas pencemar membayar bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Berdasarkan Perpres Nomor 68 Tahun 2011, pembayaran ganti rugi sudah selesai pada 2011. 3. Uji Syarat Aturan hukum yang mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dalam pasal 47 UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi pengkajian risiko, pengelolaan risiko, dan/atau komunikasi risiko. Lapindo Brantas Inc. telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagai kontraktor dalam Kontrak Kerja Sama dengan tidak memasang casing yang menjadi standar keselamatan pengeboran. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 39 ayat 2 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kelalaian tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat merugikan. Bencana Lumpur Lapindo ini tidak hanya merugikan warga masyarakat saja, namun juga merugikan pemerintah yang mengalokasikan anggaran APBN untuk menanggulangi bencana serta membayar ganti rugi kepada masyarakat. Pelanggaran korporasi yang dilakukan Lapindo masuk dalam rana hukum pidana dan perdata yang mana merujuk pada kelalaian yang dilakukan Perusahaan yang menyebakan kerusakan pada lingkungan.

4. Kesimpulan Kasus Lumpur Lapindo yang diduga sebagai sebuah pelanggaran korporasi yang membawa akibat kerusakan terhadap lingkungan yang tentunya berimbas pada masyarakat di sekitar semburan lumpur lapindo menarik empati aktivis lingkungan WALHI dan YLBHI. WALHI mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan namun ditolak hakim pada 27 Desember 2006. Majelis menyatakan lumpur yang muncrat disebabkan oleh fenomena alam. Di tingkat banding, hakim juga menyatakan para tergugat itu tidak bersalah. Gugatan perdata juga dilakukan oleh YLBHI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang ditolak pada 27 November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pemerintah dan Lapindo sudah optimal menangani semburan lumpur. Putusan ini kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 13 Juni 2008. Proses pidana dilakukan oleh penyidik kepolisisan dari Polda Jawa Timur dalam kasus ini telah menetapkan 13 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 2 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. Para tersangka dijerat pasal 187 dan 188 KUHP dan UU No. 23/1997 pasal 41 ayat 1 dan pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman 12 tahun penjara. Namun penyidikan tersebut diberhentikan pada Agustus 2009. Sampai sekarang tidak ada satupun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang terkena jeratan hukum. MA menyatakan kasus ini sebagai dampak bencana alam. Jika sebuah kasus sudah ditetapkan sebagai bencana alam, maka tugas institusinya ada pada sektor pembinaan. Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan, baik disengaja atau tidak. Aturan itu sudah ada dalam pasal 116 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Daftar Pustaka Makarao, Mohammad Taufik, “Aspek-Aspek Hukum Lingkungan”, (Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 2004), hlm.3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup...


Similar Free PDFs