Miskonsepsi Matematika Siswa Sekolah Dasar PDF

Title Miskonsepsi Matematika Siswa Sekolah Dasar
Author Desy Andini
Pages 14
File Size 381.2 KB
File Type PDF
Total Downloads 24
Total Views 134

Summary

37 MISKONSEPSI SISWA DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR Oleh: Desy Andini NIM: 1102175 e-mail: [email protected] PENDAHULUAN Sejumlah masalah muncul dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Baik itu siswa, orang tua, guru, dan masyrakat pun membenarkan hal tersebut. Fenome...


Description

37 MISKONSEPSI SISWA DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR Oleh:

Desy Andini NIM: 1102175 e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN Sejumlah masalah muncul dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Baik itu siswa, orang tua, guru, dan masyrakat pun membenarkan hal tersebut. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu sekolah atau satu daerah saja, namun terjadi juga di berbagai belahan dunia (dikutip dari PISA -Programme for International Student Assessment- dalam Ryan dan Williams, 2007). Lebih spesifik lagi dalam data PISA tahun 2012 tentang kemampuan Matematika siswa, rerata Indonesia kurang dari standar minimal yang ditetapkan pada skala internasional. Berbagai metode atau model atau strategi diadaptasi pada pembelajaran matematika guna meningkatkan kualitas dan keterampilan peserta didik untuk menyelesaikan masalah maatematis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Namun penggunaannya harus merujuk pada inti permasalahan yang muncul dari siswa. Miskonsepsi atau kesalahpahaman konsep dalam mentransfer informasi yang diperoleh siswa ke dalam kerangka kerjanya, merupakan hal yang sering dijumpai di sekolah dasar, mulai dari permasalahan di kelas rendah tentang bilangan bulat dan operasi hitungnya, hingga permasalahan di kelas tinggi terkait materi statistika dan peluang. Miskonsepsi yang berkelanjutan jika tidak ditangani secara tepat dan diatasi sedini mungkin, akan menimbulkan masalah pada pembelajaran selanjutnya. Sedangkan belajar matematika perlu sebagai bekal siswa di masa yang akan datang, sehingga pembelajaran matematika tidak hanya tentang bagaimana siswa terampil melakukan operasi hitung, namun lebih dari itu, penanaman konsep pun perlu agar siswa memahami makna dari apa yang ia pelajari. Sayangnya, miskonsepsi ini sering dipandang sebagai ketidakmampuan kognitif siswa untuk menyerap materi

yang ia pelajari. Adapun anggapan lain yaitu kesalahan jawaban siswa karena masalah prosedural pengerjaan soal tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu : (1) Apa pengertian miskonsepsi?; (2) Bagaimana bentuk-

bentuk miskonsepsi di sekolah dasar?; (3) Bagaimana respon guru terhadap miskonsepsi siswa?; dan (4) Bagaimana tekhnik menghilangkan miskonsepsi? DEFINISI MISKONSEPSI Siswa berpikir mengenai apa yang ia lakukan dalam berbagai hal. Misalnya rumus, keterkaitan antar konsep, rasa jenuh dan kesenangan yang merupakan bagian dari sikap dan pemahaman mereka tentang matematika. Satu masalah pokok yang sangat serius mengenai sulitnya belajar matematika yaitu miskonsepsi siswa yang telah diperoleh dari pengalaman siswa sebelumnya mungkin masih tidak cukup, atau siswa tidak mengingatnya dengan baik. Hal ini dapat difenisikan sebagai miskonsepsi. Dikutip dari Oxford Learner‟s Pocket Dictionary edisi keempat: “Misconception (about) belief or idea that is not based on correct information.” Miskonsepsi mencakup pemahaman atau pemikiran yang tidak berlandaskan pada informasi yang tepat. Keabsahan suatu informasi merujuk pada sumber yang tepat serta disertai bukti-bukti yang otentik. Mengubah kerangka kerja siswa merupakan kunci tercapainya tujuan untuk memperbaiki miskonsepsi matematika. Pines (dalam Allen, 2007) menyatakan bahwa “hubungan antar-konsep yang diperoleh, bisa jadi tidak tepat dengan beberapa konteks. Ini yang disebut sebagai miskonsepsi. Sebuah miskonsepsi tidak muncul dengan bebas, tetapi merupakan kesatuan dari kerangka kerja yang telah ada. Miskonsepsi dapat diganti atau dihilangkan dengan mengubah kerangka kerja.” Pemahaman konsep baru yang diperoleh, bisa jadi mendukung, kurang tepat atau bahkan bertentangan dengan pehamanan konsep sebelumnya. Hal ini didukung oleh pendapat Gooding dan Metz (2011): “Ketika informasi datang mencapai lapisan luar celebral untuk dianalisis, otak akan mencoba untuk mencocokkan berbagai komponen dengan melihat kembali memori yang sudah ia ingat sebelumnya dengan ciri yang sama.” BENTUK-BENTUK MISKONSEPSI DI SEKOLAH DASAR Gagasan miskonsepsi didasarkan pada hipotesis logika yang bertentangan: "logika obyektif" merupakan konsep, dan bahwa "psiko-logika" itu adalah miskonsepsi. Konstruktivis memandang bahwa psiko-logika memiliki fungsi yang signifikan dalam pengembangan konseptual. Siswa tidak "lupa" miskonsepsi mereka ketika mereka disajikan dengan konsep formal. Mereka pertama memahami matematika dari kesalahpahaman perspektif, yang diperbaiki dan digeneralisasi ulang pada pengetahuan mereka secara bertahap. Dengan demikian, konstruktivis menganggap miskonsepsi sebagai suatu bagian dan merujuk pada hal yang berkaitan dengan

37 - 2

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

perkembangan seperti "prakonsepsi," "kerangka alternatif primitif," atau "Ide-ide intuitif naif." Konstruktivis mungkin menganggap bahwa kesalahan ide-ide pada miskonsepsi siswa semakin berkembang karena instruksi ambigu yang tidak diubah dalam pembelajaran berikutnya. Sebagai contoh, perhatikan kasus anak kelas 3 Kevin, yang berpikir bahwa sudut kanan selalu terdiri dari garis horisontal dan garis vertikal. Ketika Kevin belajar tentang sudut kanan, gurunya selalu membuat bentuk di papan sebagai sudut antara garis horisontal dan vertikal baris. Teman sekelasnya, Jamahl, tidak setuju. Dia berpikir bahwa hanya setengah dari gambar Kevin tentang sudut kanan itu benar, dan setengah lainnya dari garis vertikal dan garis horisontal itu merupakan "sudut kiri." 1. Prakonsepsi Konseptualisasi adalah proses pembelajaran yang mengasimilasi pengalaman baru ke dalam struktur yang memperluas skemata kognitif dan skemata konseptual. Kerelatifan dalam pemahaman konseptual ini dapat dilihat dari tingkat fleksibilitas dan dekontekstualisasi. Selama proses pembelajaran, prakonsepsi mewakili baik overgeneralization maupun undergeneralization dari konsep matematika. Contoh dari kedua jenis prakonsepsi yaitu dalam cakupan materi aritmatika, aljabar, geometri, dan peluang dan statistik yang tercantum dalam Tabel 3.1. Dalam tabel tersebut merupakan contoh-contoh dari prakonsepsi yang biasa terjadi di kelas. Meskipun secara umum prakonsepsi siswa tersebut pada akhirnya diganti dengan konsep-konsep matematika yang tepat, instruksi yang timbal balik dan berpengetahuan luas melalui proses pembelajaran yang dapat mempercepatnya. Tabel 1. Prakonsepsi Arithmetic, Aljabar, Geometri, dan Peluang dan Statistik Topik Pembelajaran Matematika Geometri (Pengukuran / pengertian bilangan)

Prakonsepsi Konsep bilangan dibatasi untuk bilangan asli. Berilah penggaris, siswa akan menganggap titik awal untuk pengukuran panjang dimulai dari satu, bukan dari nol pada alat ukur.

Geometri

Orientasi relevan dengan definisi bentuk geometris.

Geometri

Sudut-sudut dipengaruhi oleh orientasi garis dalam ruang dan dengan panjang garis yang mengapitnya.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 3

Aritmatika (bilangan bulat)

Siswa sekolah dasar beranggapan bahwa tidak ada bilangan yang lebih kecil dari nol.

Aritmatika (pecahan)

Perkalian adalah selalu penambahan berulang.

Aritmatika (pecahan)

Pecahan selalu mewakili hubungan bagian-keseluruhan.

Pra-aljabar

Tanda sama dengan (=) merupakan perintah untuk melaksanakan serangkaian operasi aritmatika, bukan sebagai tanda untuk hubungan "kesetaraan."

Pra-aljabar

Sejumlah besar siswa mengabaikan huruf-huruf, menggantinya dengan nilai-nilai numerik yang spesifik, atau menganggap mereka sebagai nama atau label pengukuran.

(Huruf mewakili jumlah yang tidak ditentukan) Aljabar (struktur)

2.

Jawaban tidak dapat menyertakan tanda-tanda operasi hitung. Siswa tidak mengerti bagaimana -dalam aljabar- dua persepsi yang berbeda bisa sama.

Undergeneralization

Undergeneralization dinyatakan dalam pemahaman yang terbatas dan kemampuan terbatas untuk menerapkan konsep-konsep. Pemahaman yang terbatas ini, menjelaskan berbagai keadaan mengenai pengetahuan siswa pada saat seluruh ideide matematika berkembang. Beberapa ujian/tes dapat menggambarkan bagaimana pemahaman yang terbatas tersebut merusak konsepsi kunci-kunci gagasan matematika. Kasus pada bilangan rasional mungkin salah satu hal yang paling bermasalah untuk siswa sekolah menengah. Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah memahami bilangan rasional hanya sebagai hubungan bagiankeseluruhan. Bahkan, penafsiran pecahan sebagai hubungan bagian-keseluruhan hanya merupakan subconcept atau salah satu cara memahami bilangan rasional.

37 - 4

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

Subkonsep bilangan rasional lainnya termasuk pecahan yang menampilkan rasio, perbandingan, pengukuran, dan pengerjaan/operasi hitung. Sebagai contoh, seorang siswa dengan pemahaman terbatas mengenai bilangan rasional mungkin tidak beranggapan 6:7 sama dengan 6/7 karena bentuk yang dikembangkan dalam konteks belajar tentang rasio sedangkan pembelajaran yang terakhir ia pahami yaitu tentang konteks pembagian (operasi hitung). Seorang siswa mungkin tidak memahami 3/4 sebagai hubungan keseluruhan-keseluruhan atau sebagian-sebagian, karena siswa memahami rasio hanya sebagai hubungan bagian-keseluruhan. Konseptualisasi bilangan rasional mencakup baik mengenai diferensiasi maupun integrasi subkonsep. Sebelum konsep bilangan rasional berkembang dengan matang, siswa hanya memahami secara terbatas. Maka instruksi pada sistem bilangan harus mampu menjawab permasalah dari undergeneralization karena ada anggapan jika ciri-ciri tertentu dalam sistem bilangan menghambat pemahaman umum (Gelman dalam Ben-Hur: 2006). Pada bidang lain pula ditemukan kesulitan besar pada siswa yang tidak memahami struktur matematika formal ketika siswa belajar aritmatika yang melibatkan transisi dari aritmatika ke pemikiran aljabar. Intuisi kuantitatif yang membantu siswa memahami aritmatika ini menjadi sia-sia karena mereka mengalihkan pemahaman dari aritmatika ke aljabar. Siswa tidak dapat melakukan operasi hitung pada bilangan yang tidak diketahui/dirahasiakan, siswa tidak dapat mengenali bagian-bagian tertentu dalam bentuk umum dan tidak dapat menerapkan bentuk umum untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, siswa tersebut tidak dapat memahami persamaan seperti "2x + 3 = 8 - x" karena "2x + 3" tidak membentuk "8 - x." Mereka tidak memahami hal tersebut sebagai bentuk persamaan. Sama seperti (a - b) (a + b) dan (a + b) (a - b), ab dan ba, atau a (b + c) dan ab + ac karena mereka tidak bisa "memeriksa untuk mengetahui apakah itu benar." Pemahaman konsep-konsep matematika merupakan tantangan utama, sedangkan memperkuat pemahaman atau membuat siswa memahami bahasa formal atau bentuk aljabar, adalah hal lain. 3.

Overgeneralization

Kesalahan interpretasi menyebabkan pemahaman yang keliru namun berbeda-beda cara, seperti pada kasus overgeneralization dan penerapan konsep yang kurang dipahami dan aturan yang mereka anggap tidak relevan. Guru sekolah menengah sangat jelas melihat masalah ini bahwa siswa menghadapi perluasan sistem bilangan, mulai dari bilangan asli menjadi bilangan bulat, dan dari bilangan bulat ke bilangan rasional, kebingungan operasi dengan angka dan notasi ilmiah, dan transisi dari aritmatika ke aljabar. Siswa dengan tipe overgeneralize menganggap bahwa "Anda tidak bisa memiliki lebih sedikit daripada tidak sama sekali" hingga mereka memahami bilangan bulat dan pemahaman yang sebelumnya tidak berlaku lagi. Siswa secara khusus memahami secara berlebihan bahwa hasil operasi hitung selalu lebih besar dari faktornya.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 5

Overgeneralization muncul ketika siswa mengerjakan operasi pengurangan bilangan yang memiliki dua digit dengan cara mengurangi bilangan yang lebih kecil dari bilangan yang lebih besar (contoh: 32 – 17 = 25). Bisa jadi karena siswa berpikir melakukan pengurangan dua digit tanpa membawa atau menggabungkan pada langkah awal, mereka mengembangkan metode tentang penyelesaian soal tersebut tetapi mereka tidak memahami seluruh permasalahan pada operasi pengurangan bilangan dua digit. Contoh overgeneralization yang lainnya yaitu pemahaman siswa bahwa perkalian selalu memunculkan hasil yang lebih besar (atau pembagian selalu memunculkan hasil yang lebih kecil), misalnya 0,52 pasti lebih besar dari 0,5 dan sebagainya. Adapun pada level sederhana, siswa mengabaikan lambang yang mengindikasi bahwa bilangan tersebut merupakan bilangan desimal, pecahan, persen, atau bilangan negatif. Dengan demikian, 30% dianggap sebagai 30, bilangan bulat -5 dibaca sebagai 5, atau menghilangkan simbol koma (,) seperti contoh: 1,2 +3 = 1,5. Hal yang serupa terjadi pada operasi hitung 5 – 9 = 4 dan 1 ÷ 7 = 7 yang merupakan jenis kesalahan pembatasan perspektif bilangan bulat. 4.

Modelling Error (Kesalahan Pemodelan)

Terkadang siswa menemukan permasalahan dalam konteks tugas yang sulit dipahami yang dinyatakan dengan cara lain daripada apa yang diharapkan, oleh guru matematika. Ketika guru mennggunakan tehnik pemodelan sebagai cara untuk menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, hal ini mewakili penggunaan matematika yang kontekstual. Ada pendapat yang menyatakan mungkin ketika siswa mengalami kesalahan pemodelan, siswa tersebut memiliki pemodelan versi dirinya sendiri pada situasi tersebut, pada permasalahan dengan pemodelan matematika, kecuali dalam konteks pembelajaran di sekolah. Transisi dari bentuk informal dan kontekstual menjadi bahasa matematis yang formal merupakan hal yang sulit namun sangatlah penting. Pendapat pegagogik menyatakan masalah ini muncul ketika siswa menerima pengetahuan informal dan ketika dikenalkan dengan bahasa matematis formal. Contoh pada kehidupan seharihari yaitu saat mendengarkan komentator olahraga mengucapkan „0,32‟ detik ketika mengumumkan hasil finish dalam acara olahraga. Bahasa informal yang digunakan mungkin memaknai „0,32‟ sebagai 32 dalam ratusan. Namun hal ini lebih parah lagi ketika siswa berhadapan dengan desimal yang panjangnya berbeda, misal „0,5‟ dan „0,32‟, siswa akan mengalami miskonsepsi bahwa 0,5 pasti lebih kecil dari 0,32. Umumnya, konteks kehidupan sehari-hari sangat perlu disajikan untuk dijadikan sumber pembentukan mental matematis. Dalam mengajarkan pecahan, guru menggunakan contoh dengan cara membagi kue menjadi beberapa bagian karena kita tahu bahwa siswa telah memiliki pengetahuan cara membagi kue sehingga kita dapat memanfaatkan hal tersebut untuk pembelajaran di kelas. Siswa telah mengetahui bagaimana kue tersebut harus dipotong untuk dibagikan pada dua orang, empat orang, atau lebih. Kemudian, ketika siswa menganggap bahwa salah satu gambar yang disajikan pada gambar 2 menunjukkan bagian ¼, kita dapat

37 - 6

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

mengungkapkan kembali bagaimana cara pembagian kue dan menanyakan apakah hasil potongan ke dua kue ini sama atau tidak

Gambar 1 5.

Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)

Ketika siswa mempelajari suatu hal, siswa cenderung tidak mempelajarinya tidak secara matematis. Hal ini tampak dari perkembangan pengerjaan dari konsep yang lebih bersifat baku. Dengan menggunakan contoh baku untuk sebuah konsep yang kita anggap sebagai tipe contoh satu-satunya. Dari sebuah eksperimen, siswa mengikuti segala hal yang dipaparkan atau dikemukakan oleh guru. Mintalah siswa anda membayangkan sebuah segi empat. Tanynakan seperti apa bentunya? Apakah segi empat itu diletakkan mendatar dengan sisi panjang yang sejajar horizontal? Apakah tingginya setengah dari sisi panjang atau justru tingginya tiga kali lebih panjang dari sisi panjangnya? Pada kelas tinggi, ditemukan bahwa hanya satu atau dua dari Gambar 3 yang dianggap sebagai persegi. Berpikir secara baku ini tidak mencakup bujur sangkar sebagai contoh dari persegi.

Gambar 2 Siswa menganggap bahwa persegi atau bujur sangkar selalu dalam posisi mendatar sejajar dengan horizontal, dan pada level yang lebih tinggi mereka menolak untuk mengakui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, atau persegi panjang juga merupakan jajargenjang.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 7

Kesalahan lazim lainnya yaitu dalam membaca skala (lihat gambar 4), siswa membacanya 2,2 bukan 2,4. Umumnya siswa akan menganggap satu skala sebagai 1, sehingga sangat jarang siswa yang menganggap satu skala mewakili 2 atau 4 satuan. Oleh karena itu siswa cenderung menyalahartikan. Pada kasus seperti ini, siswa harus mencoba mengukur dengan skala berbeda, sehingga mereka mengetahui kesalahan mereka dan menghitung ulang dengan cara mencoba dan mengubah basisnya.

Gambar 3 Kesalahan contoh baku juga ditemukan dalam konsep bangun datar dan bangun ruang pada permasalahan pencerminan atau transformasi, yang terjadi ketika siswa menggunakan contoh baku pencerminan (atau titik pusat pada sumbu putar). Pada contoh baku biasanya menggunakan cermin sejajar sumbu vertikal atau horizontal, dan jika disajikan cermin dalam posisi diagonal maka bayangan dalam cermin bukan merupakan hasil pencerminannya.

Gambar 5

37 - 8

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

6.

Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)

Masalah siswa yang paling awal dijumpai ketika mengenal bilangan, yaitu saat siswa menjawab pertanyaan misalnya „ada berapa banyak kancing?‟ yang diajukan oleh guru, jawabannya yaitu bilangan terakhir yang diucapkan saat siswa membilang banyaknya kancing yang disediakan oleh guru, seperti 1, 2, 3, 4,….8. Ketika ditanya kembali „ada berapa banyak kancing?‟ siswa mungkin berpikir untuk menjumlahkan kancing yang disediakan oleh guru. Dengan demikian, kata kunci „ada berapa banyak…..‟ merupakan petunjuk untuk menjumlahkan. Namun proses menjumlahkan ini belum disadari sebagai bentuk objek yang terdiri dari 8 kancing. Kebanyakan hasilnya diperoleh dengan cara membilang sejumlah kancing tersebut. Belajar matematika melibatkan banyak pengolahan antar objek dan kesalahan pada pembelajaran seringkali dianggap sebagai kesalahan siswa saat menyelesaikan pengolahan objek „pemisalan‟. Siswa menganggap bahwa 548 menupakan jawaban dari penjumlahan μ – 1452 = 2000. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap soal tidak memadai, terutama pada simbol sama dengan (=). Siswa pertama-tama memahami tanda sama dengan, sebagai instruksi untuk menghasilkan bilangan melalui proses aritmatik, contoh: 3 + 5 = ? Proses yang terjadi saat siswa melihat tanda sama dengan, yaitu memproses 3 ditambahkan dengan 5 menghasilkan 8. Lambang sama dengan seharusnya dimaknai sebagai „setara dengan‟ atau „adalah sama dengan‟. Sehingga 8 setara dengan 3 ditambah 5. Pada konteks pengukuran panjang, siswa mungkin kesulitan mengidentifikasi hubungan antara label bilangan dengan cara mengukur yang digunakan. Dengan demikian, label 5 pada penggaris menunjukkan adanya 5 unit panjang (misal, sentimeter) yang diukur mencapai label 5, jika diukur dari label nol pada penggaris. Jelaskan pada siswa bahwa 5 unit tersebut adalah interval diantara angka-angka pada penggaris yang sebenarnya terdapat enam angka yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5. Penjelasan tentang hubungan interval ini mungkin dapat menjelaskan banyaknya kesalahan dalam operasi hitung meskipun masih menggunakan proses penjumlahan pada garis bilangan. Siswa mungkin menjawab 18 – 14 = 15 dengan cara menghitung mundur angka 18, 17, 16, 15, atau menghitung pada garis bilangan tanpa melihat interval diantara bilangan tersebut. RESPON GURU TERHADAP MISKONSEPSI SISWA Pemahaman tentang miskonsepsi siswa dan strategi efektif untuk membantu menghilangkan miskonsepsi tersebut, merupakan aspek penting dalam kemampuan pedagogikal konten matematika (Mathematic‟s Pedagogical Content Knowledge). Dalam penjumlahan, guru telah berusaha menggunakan serangkaian cara untuk menghilangkan miskonsepsi, guru juga harus melakukan pendekatan untuk menghadapi miskonsepsi yang ti...


Similar Free PDFs