novel AKU INGIN HIDUP PDF

Title novel AKU INGIN HIDUP
Author Bung E P P Y Man
Pages 24
File Size 954.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 348
Total Views 667

Summary

SEKAPUR SIRIH N ovel ini aku persembahkan sebagai bukti jika kita sudah sedikit tidak bersahabat dengan lingkungan ini, semua berawal dari rasa tidak puas dengan apa yang dimiliki dan akan selalu mencari kepuasan terus menerus tanpa berpikir bahwa saudara di samping kita sangat bergantung pada ling...


Description

Accelerat ing t he world's research.

novel AKU INGIN HIDUP Bung E P P Y Man Eppy

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Sepenggal Cerit a di Kot a Terakhir Perjalanan Usia PBSI UNHASY JOMBANG

T wo Search Yoga anjas LINTANG DREAMS Int an Nur Hansah

SEKAPUR SIRIH

N

ovel ini aku persembahkan sebagai bukti jika kita sudah sedikit tidak bersahabat dengan lingkungan ini, semua berawal dari rasa tidak puas dengan apa yang dimiliki dan akan selalu mencari kepuasan terus menerus tanpa berpikir bahwa saudara di samping kita sangat bergantung pada lingkungan itu. Suara suara kesederhanaan diambil dari dinamika bangsa yang real atau nyata di hadapan kita, bukan melalui mimpi. Suara ini benar-benar keluar dari lubuk hati, sebagai makluk yang sosialita. Ketika berhadapan dengan dinamika yang benar-benar terjadi dan mengakibatkan luka yang mendalam. Suatu bangsa yang besar sewajarnya perlu untuk menata kehidupan masyarakatnya agar mampu hidup dalam kesejahteraan. Tanpa menyebabkan ketimpangan disalah satu batang tubuh bangsa itu sendiri. Ditinjau dari beberapa aspek kehidupan bernegara maka penulis ingin mengajak pembacanya untuk lebih melihat ke dalam, bahwasannya masih ada ketimpangan besar yang perlu untuk disikapi. Penulis juga ingin berterimakasih kepada seluruh sahabat-sahabat yang dengan giat membantu penulisan novel ini terselesaikan dengan baik. “ persembahan khusus untuk keluargaku yang selalu mendukung penulis dalam berkarya, dan juga untuk seseorang yang selalu mengispirasiku, dan mencintaiku, serta selalu mendukungku dalam berkarya”. Dalam penulisan ini, penulis ingin berterimakasih untuk sahabat seperjuangan yang telah membesarkan penulis di dunia keorganisasian. Sahabat Ibnu Rusid, Senior Jack, bersama ibunda tersayangnya, Senior Dahrul, Senior Sayidati Hajar, dan masih banyak teman seperjuanganku yang tidak bisa saya sebut satu persatu, salam satu pergerakan yaitu Gaharu Institute NTT, dan Mata Kupang. Bagian dari wadah yang membesarkan penulis hingga mampu beride dalam pergerakan. Tak lupa aku ingin berterimakasih kepada teman sejawatku, abang Yan, yang selalu memberikanku nuansa baru dalam menulis, selalu memberikanku motivasi dan selalu menemaniku dalam menitik karirku di dunia menulis Komunitas Kaki Kareta, sebagai suatu wadah untuk penulis berjuang menggapai impian, suatu wadah yang inpspiratif. Terutama terimakasihku untuk semua anggota badan pengurus komunitas yang memberi semangat dalam menulis hingga terselesainya novel ini dengan baik. Bung Dion yang selalu memberiku nuansa baru dalam menulis, sosok yang selalu memberiku semangat Tak ada gading yang tak retak maka, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam novel ini, sehingga penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun untuk penulisan selanjutnya.

K

upersembahkan untuk kekasihku Lodia Rindu ini untukmu,

Marisa Jermias,

s

MENCINTAI NASIB

uasana pagi ini sangat cerah dengan sinar matahari yang menembus pohon-pohon pinus di lereng bukit itu. Suara burung-burung memanggil lara yang sedang jenuh. Alam begitu riang pagi itu, entah karna apa, dari kejauhan terdengar suara siulan putus-putus yang jika diperhatikan siulan itu keluar dari gubuk bambu kecil yang sedikit miring sehingga harus menambah kayu di sekujur tiang-tiang penyangggah. Pagi ini seorang kakek tua yang akhir-nya diketahui bahwa kakek itulah yang bersiul menyambut pagi dengan suara siulan yang terputus itu, sosok yang begitu lemah menyiapkan alat kebunnya, siap untuk berangkat mengais nafkah di ladang milik tetangga demi menghidupi keluarga kecilnya itu.

Isrtinya seorang kuli cuci yang setiap hari bergerak dari rumah ke rumah menawarkan jasa dengan harga semangkuk nasi putih dibubuhi sayur acar. Mereka memiliki lima orang anak tapi keempat anaknya meninggal semenjak masih kanak-kanak dikarenakan diserang penyakit. Sehingga hanya meninggalkan seorang laki-laki kecil berumur kira-kira dua belas tahun yang katanya hanya menempuh bangku Sekolah Dasar kelas dua, ia terpaksa tidak bersekolah karena harus membantu ayahnya. Dan sesekali harus bermain dengan segudang sampah yang sedikit membawa rejeki, walau harus berpapasan dengan bau yang menyengat hidung, dan kaki tak beralaskan sandal, setiap hari kerjanya menyusuri setiap pinggiran pasar dan pertokoan, yang gedungnya menjulang tinggi berjejeran rapi seperti pasukan tentara yang siap menyerang. Semenjak berdirinya gedung-gedung itu masyarakat di sekitar sudah beralih profesi, yang awalnya adalah petani sawah yang menghasilkan berton-ton beras namun kini harus mengurung kembali kenangan itu dan kini harus berhadapan dengan lalat, sampah, dan bau mesin jalanan. Air yang dulunya jernih sekarang sudah termakan oleh hasil buangan gedung-gedung tinggi itu. Dulu, menurut tutur si kakek tua itu mereka memiliki sebuah rumah di bawah gedung yang paling tinggi itu. Sambil jari keriputnya menunjuk pada gedung itu, gedung sebuah perusahaan besar yang omsetnya bermiliar-miliar, diselingi dengan suara yang putus-putus, entah kakek itu berkata apa. Namun, dilihat dari wajah yang sudah berkeriput itu seperti terdapat sebuah penyesalan yang mendalam. Memang nasib manusia selalu penuh dengan misteri, dunia sekarang dijajah oleh penguasa yang dengan semena-mena menindas yang terpinggirkan. Persaingan demi persaingan dilakukan untuk menyenangkan hati tanpa melihat efek apa yang terjadi pada mereka yang tidak tau tentang apapun itu. Mereka yang sehari-hari menafkahi hidup dengan berjuang dalam kesederhanaa harus mengakhiri perjuangan mereka karna kecongkakan penguasa yang tak pernah pudar. Suara teriakan mereka hanya sebuah lelucon atau permainan drama yang dilakoni oleh manusia berbayang maut. Yang akhirnya pelakon itu harus mengalah dan mencari suaka baru walau harus meninggalkan luka dan kenangan. Pagi ini anak separu baya itu menyiapkan sebuah kantong hitam berdebu, wajah ofal

dengan rambut sedikit berombak tak terurus, memakai baju yang sudah kusam, dan disamping lengan bajunya terdapat lubang mungkin termakan binatang kecil, ataukah……. Anak itu memakai celana pendek hitam yang jika diperhatikan sudah disulam bagian pantatnya, yaaah…..mungkin itu dilakukan ibunya untuk menutup aurat anaknya. Wajah lugunya mengingatkanku pada seorang sahabatku semasa kecil yang sekarang sudah tiada. Dengan langkah yang sedikit malu, ketika dilihat oleh teman-teman sebayanya yang pagi itu sedang bergegas ke sekolah. Tak jauh dari gubuk tempat kediamannya itu, sebuah sekolah yang dibangun di area terlarang yang suatu waktu bisa digusur oleh pemilik kedua, yang katanya akan dibangun sebuah gedung bertingkat, yang jika didengar dari bisikan-bisikan orang-orang disekitar kampung itu, katanya akan dibangun gedung penginapan. Hotel…. Mungkin seperti itu... Dari kejauhan, anak kecil itu memperhatikan langkah teman-temannya yang dulu sebangku waktu sekolah. Wajah lugu itu mungkin sedang memikirkan dirinya yang akhirnya harus berakhir di bangku kelas dua SD. Terlihat kekosongan dalam benaknya, wajah yang awalnya ceria harus di kurung dalam-dalam ketika berpapasan dengan pemandangan itu…Ia mengayunkan kakinya dengan perlahan sembari memalingkan matanya pada mereka yang berjalan rapi, ada yang diantar menggunakan mobil mewah, motor, dan ada yang berjalan kaki. Kadang pandangannya tertuju pada kaki mereka yang bersih dan dibalut dengan kaos kaki putih setengah lutut, tas mungil kecil yang menempel erat di pundak…. Perbedaanperbedaan itu membuat ia hanya berjalan perlahan sambil sesaat menundukan kepala berpikir entah apa yang ia pikirkan… Negara kita sudah berusaha dengan berbagai cara menstabilkan system pendidikan yang ada, agar seluruh komponen mendapatkan pendidikan yang setara. Hal itu yang sekarang telah digeluti oleh pemerintah. Namun, jika kita memandang di sekitar kita masih banyak ketimpangan pendidikan, ketimpangan itu dapat kita tinjau dari beberapa aspek, ada lingkungan, ekonomi, dan persaingan penguasa yang ingin membuka lahan usaha baru yang akhirnya merenggut masa depan warga. Entah siapa yang salah, namun haruslah diterima bahwa masih ada ketimpangan-ketimpangan tersebut. Ketika langkah kakinya berhenti pada persimpangan jalan, disebuah bak besar, tempat pembuangan sampah dari rumah-rumah bertingkat itu… Kaki yang tak beralas itu kadang harus melangkah dengan hati hati sambil melihat apa yang pantas untuk dilemparkan ke dalam kantong hitam kecil itu, yang bergantung dipundaknya, tangan kirinya memegang ujung kantong itu, sedangkan tangan kanan dengan mahirnya bermain di atas sampah yang berserakan itu… Kadang-kadang harus mengusir hewan-hewan pemakan sampah yang berkeliaran di tempat itu. Lalat berkeriapan menghinggapi tubuh anak itu. Mungkin karna bau yang begitu tajam seolah sudah bersahabat dengan dia. Atau? ....Entahlah ……! Ketika siang mulai memanggil, panas terik sudah mulai terasa di atas ubun-ubun, jam menunjukan pukul dua belas lewat beberapa menit. Anak kecil itu, sudah berkeliling hampir seluruh tempat sampah di pusat keramaian kota itu. Wajah penuh dengan keringat bercampur debu dan sampah, pakaian yang awalnya masih sedikit bersih sekarang sudah tidak bisa dikenali lagi. Kaki yang tak beralaskan sandal itu dipenuhi dengan lumpur sampah, karna

memang semalam kota itu diguyur hujan yang begitu deras. Anak itu mulai berjalan sempoyongan, karna hasil pikulan yang sudah melebihi berat yang sewajarnya mampu untuk dipikul oleh anak seusianya. Tak pernah berpikir untuk lelah, mungkin dalam pikirannya akan mendapatkan imbalan yang besar, sehingga dapat membantu orang tuanya untuk bertahan hidup dalam beberapa hari kedepan. Lorong kecil sudah berada di depan mata, panjang lorong itu kira-kira 100 meter, jalannya dipenuhi dengan kubangan air bekas hujan semalam, disamping kiri dan kanan, gedung bertingkat menjulang tinggi seakan menatap sianak kecil itu yang berjalan sempoyongan memilikul hasil keringatnya sehari. Di ujung gedung itu masih ada bekas fondasi rumah yang dulunya dibangun untuk sebuah klinik kesehatan bagi warga yang disponsori oleh sebuah yayasan kesehatan. Sedangkan rumah anak itu berada bersebelahan dengan klinik kesehatan tersebut yang kini berubah menjadi sebuah apartemen megah milik seorang pengusaha Atau karena berpikir harus membayar cicilan perbulan di Bank tempat pinjaman sehingga untuk mengurus keromolan tempat berjualannya harus menambah biaya pengeluaran yang begitu banyak…. Anak itu mengetuk beberapa kali sambil kepalanya melihat lewat sebuah lubang kecil, dan sesekali agak gelisah, mungkin pembeli barang rongsokan tersebut sedang tidak ada dirumah atau sedang keluar. Anak itu terus saja mengetuk hingga terdengar langkah kaki dari dalam yang keluar dengan cepat membuka pintu pagar tua itu, terlihat wajah yang sedikit berumur, yahhh mungkin sekitar empat puluh-an, wajah yang ofal dengan tato di lengannya dan berambut panjang membuat suasananya seperti berada di kandang harimau. … Ooohh iya, kamu. Mari masuk……. Anak itu melangkahkan kakinya dengan terkopohkopoh menuju ruangan barang timbangan. Ade silahkan mana barangnya….. Suara yang sedikit bergetar, mungkin karena selalu mengkonsumsi rokok kretek. Anak itu dengan perlahan memindahkan barangnya pada bak timbangan.. Dua kilo setengah…. Suara yang sedikit rendah sambil melihat pada angka-angka yang selisih setengah ons itu Dibulatkan dua kilo anak…… owwhh iya pak, terimakasih, segera orang itu menuju lemari kasir sambil melihat-lihat anak kecil itu, mari anak…… anak itu sedikit mendekat dengan wajah yang diam seakan berpikir berapa hasil yang bisa didapat. Lalu kakek itu menyodorkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah sambil tersenyum, serentak anak itu menyodorkan tangannya menerima uang itu penuh dengan bahagia… Tidak menunggu lama lagi, anak itu bergegas pamit, pak terimakasih, saya pamitan dulu…ia adek terimakasih suara yang sedikit berserak membalas, disambung dengan senyuman tipis yang Nampak dari wajah tua itu. Anak itu segera menuju pagar besi tua itu, lalu menarik pagar dengan sedikit mengeluarkan tenaga wajahnya diangkat sedikit, sambil melihat gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi sambil melepas angan……. ahhh entah apa yang ada dalam benaknya.

Mungkin ia berpikir dengan uang ini ia bisa membeli sekilo beras atau mungkin sedikit untuk membeli jajanan kecil di pinggiran sekolahnya dulu, ataukah mungkin apa yang sedang ia pikirkan Langkah kaki kecil itu sesekali disentakkan pada genangan air dilorong itu sehingga menimbulkan sedikit percikan ke tembok tembok gedung bertingkat disamping kiri dan kanannya, sambil tersenyum melepaskan tawa kecil. Ahli psikologi sering mengatakan Hal itu identik dilakukan oleh anak-anak seumuran dia, sebagai luapan kegembiraan akan kebebasannya dalam mengekspresikan sesuatu. Si ibu hari itu berkeliling di sekitar lorong panjang perumahan indah milik para kandidat bermodal tinggi, tempat itu dulunya adalah sebuah lapangan kecil tempat anak-anak kecil bermain layangan, dan sepak bola serta tempat berkumpulnya orang-orang jika ada kegiatan dari Kabupaten. Sosok ibu yang sekarang sudah sedikit membungkuk, dengan wajah yang sudah sedikit keriput, berambut uban dengan tahi lalat besar di bagian kanan pipinya. Hari ini dia memakai sebuah baju berwarna kuning kecoklatan, namun jika diperhatikan baju itu berwarna kecoklatan bukan karena buatan pabrik. Namun, karena termakan waktu. Sebuah kain usang dipinggangya diikat rapi, menggambarkan nuansa muda yang dulunya adalah seorang gadis cantik dengan penampilan yang menarik sehingga menggoda hati para pria. Mungkin karna kerapiannya dan kecantikan dulunya itu yang membuat si kakek tua mengambil dia menjadi seorang istri. Hari ini ia melangkah perlahann sambil menunduk, kadang wajahnya diangkat dan memandang di samping kiri dan kanan perumahan mahal tempat para kandidat bermodal tinggi bercengkrama dengan hari dan waktu bersama keluarga. Dari kejauhan ada sebuah rumah mewah tempat yang biasanya selalu menawarkan jasa ibu itu untuk mencuci pakaianpakaian kotor bekas seminggu bekerja. Langkah kakinya berhenti di depan pintu pagar setinggi dua meter, dengan wajah yang sudah berkeringan mengangkat tangannya dan menekan bell, untuk memanggil seorang petugas membuka pintu itu, jelang beberapa menit, seorang petugas membuka pintu pagar itu dan menyuruh ibu itu untuk masuk.

Hari itu sekitar pukul sepuluh. “Silahkan ibu, tuan menunggu ibu di dalam”.Kata si penjaga itu. Dengan wajah yang menunduk ibu itu bergegas pergi menemui tuan itu, dari kejauhan tuan itu sedang duduk di teras rumahnya sambil memegang sebuah koran sedang disampingnya secangkit minuman hangat sebagai sarapan pagi, memang itu selalu dilakukan setiap pagi. Ibu itu mendekat dan berkata, “permisi tuan, apa hari ini ada cucian yang ingin dicuci?” tuan itu masih tidak menjawab, mungkin karna berita di dalam koran hari itu sangat bagus ataukah pura-pura tidak mendengan, jika beritanya sangat bagus, paling-paling berita itu berisi tentang seorang penjabat tinggi ditangkap KPK karna mengelabui uang negara sehingga menyebabkan kerugian Negara hingga triliunan. Atau mungkin berita perampokan, kebakaran, atau pemerkosaan. “Pergi ke dalam”... Suara yang sedikit keras, membuat ibu itu langsung dengan cepat

pergi ke dalam rumah itu tanpa menegurnya. Mungkin karena ibu itu menggangu waktunya. Hari itu si ibu mendapatkan cucian yang sedikit menguras tenaganya, dengan tenang ibu itu melakukan tugasnya, sambil berharap semoga hari ini bisa menjadi hari yang baik. Setelah selesai melakukan tugasnya ibu itu segera menuju sebuah taman di samping rumah, disana seorang perempuan cantik yang jika dilihat perempuan itu adalah istri si tuan yang sedang membaca koran. Rambut panjang menghiasi bahunya dengan wajah cantik yang jika dilihat sepertinya seorang perempuan berdarah asing, yang pastinya bukan dari Negara kita. “Permisi tuan, cucian sudah dijemur” ibu itu dengan tunduk dan sedikit malu mengucapkan kalimat itu… beberapa saau perempuan itu memalingkan wajahnya dan melihat ibu itu sambil berkata “oohh iya Tunggu sebentar. Perempuan itu bergegas masuk dan mengambil selembar kertas kecil dan menyodorkannya pada ibu itu sambil berkata”terimakasih, minggu depan datang lebih awal karna saya akan keluar bersama keluarga untuk berlibur.. Dengan menunduk ibu itu berkata,”baik tuan” sambil meminta pamit. Waktu menunjukan pukul dua belas, ibu itu bergegas meninggalkan rumah mewah itu. Wajah yang sedikit bergembira karna hasil yang didapat sedikit memuaskan hati. Dua puluh ribu, ibu itu berbisik dalam hati sambil melangkah meninggalkan rumah mewah itu. Langkah kakinya berhenti pada sebuah kios kecil di pinggiran kota itu, kira kira berjarak dua kilo dari rumah mewah itu, dan tiga kilo dari gubuk tempat tinggalnya. Cuaca hari itu sedikit mendung, hujan semalam masih meninggalkan bekas genangan air di setiap pinggiran jalan. Ia melangkahkan kaki memasuki sebuah kios, ia keluar dengan membawa sekantong beras dan sedikit perlengkapan rumahan, Ditangannya masih meninggalkan beberapa rupiah untuk disimpan. mungkin beberapa hari kedepan jika ada keperluan maka masih bisa untuk digunakan. Hari mulai sore ia melangkahkan kaki lebih cepat karena sang suami, si kakek tua itu pasti sudah menunggu, seperti biasa setiap sore suaminya itu selalu menyuruh untuk membuatnya teh hangat. Kakek itu bercerita bahwa semasa muda istrinya itu sangat pandai membuat teh hangat, “istriku itu semasa muda sangat pandai membuat teh hangat, dan sangat pandai memasak, itulah salah satu yang membuat saya mencintai dia” Suara yang sedikit parau sehingga ejaan kalimatnya harus didengar dengan teliti. Sore ini cuaca sedikit cerah walau masih ada awan-awan gelap bergelantungan di angkasa menghiasasi sore itu. Sehingga suasana jalan sempit berbatu menuju rumahnya seakan dihiasi dengan warna warna orange bekas pantulan cahaya matahari sore. Dari kejauhan suaminya sudah menunggu, suaminya adalah seorang kuli kebun, dikarenakan lahan mereka sudah diambil oleh mereka yang memiliki banyak kemampuan untuk membuat segala sesuatu bisa jadi milik mereka. Setiap subuh ia sudah menyiapkan alat cangkul dan beberapa peralatan kebun untuk berkebun, gajinya dihitung setiap bulan dengan harga lima kilo beras. Dan jika di musim panen selalu majikan pemilik lahan tersebut selalu menambahkan sedikit pendapatannya sehingga kakek tua itu bisa bertahan kerja walau umurnya sudah tidak wajar lagi untuk bekerja.

. Senyuman yang selalu menemaninya ketika sore hari disaat melepas lelah di sotoh depan gubuk itu, mungkin itulah cara yang paling tepat dan indah untuk membakar keresahannya ketika bermain dengan waktu. Istrinya langsung menyapa dan meneruskan langkahnya ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Anaknya sedang berada di dalam kamar sambil menghitung pendapatannya hari itu. Pandangan kakek tua itu kadang menatap jauh ke kota, memang lokasi gubuknya sangat strategis, karena berada di bawah lereng bukit sehingga suasana sore sangat indah untuk dinikmati. Sesekali mulut kakek itu bergerak, mungkin sedang membaca apa atau mungkin sedang menghitung hari kapan upah dari kerjanya diberi. Malam ini menu makan mereka adalah nasi putih dengan lauk kangkung ditumis dan tempe goreng, hasil belanja istrinya siang itu. Berapa saat kemudian suara dari dalam rumah memanggil. ”bapak mari makan”. Kakek itu bergegas masuk menemui suara yang memanggil. Sebuah tempat nasi, dengan sayur yang telah diramu begitu lesat sudah disimpan di selembar tikar kusam yang biasa disiapkan untuk menyimpan makanan. Anaknya duduk di ujung tikar itu, sedang kakek tua itu duduk bersilang di samping tikat itu mendampingi sang istri. Suara kembali hening ketika ayat ayat doa dipanjatkan kepada Yang Kuasa meminta agar makanan hari ini bisa menjadi berkat dan kesehatan untuk bertahan di dunia yang penuh dengan kekacauan ini. Malam semakin larut, suara binatang malam semakin jelas mengeluarkan lantunan yang begitu merdu menemani makan malam mereka, kadang mereka bercakap-cakap sambil melepas senyum. Kadang terdiam sambil menikmati makanan yang sudah tersaji di dalam piring kecil berwarna putih itu. Har...


Similar Free PDFs