PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk PDF

Title PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk
Author Abdullah Fikri
Pages 32
File Size 904.2 KB
File Type PDF
Total Downloads 216
Total Views 687

Summary

PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk) Oleh: Abdullah Fikri A. LATAR BELAKANG Perkembangan peradaban manusia senantiasa berkembang sesuai dengan pola pikir manusia itu sendiri. Dalam bidang politik pemerintahan Islam pun demikian. Islam yang semula menjadi peradaban yang m...


Description

Accelerat ing t he world's research.

PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk abdullah fikri

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Negara Dalam Perspekt if Hukum Islam Egi Irham

Paper NAPHI Arlan Wibissono Turki Ant ara Sekularisme dan Aroma Islam; St udi at as Pemikiran Niyazi Berkes Imron Must ofa Imron Must ofa

PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk) Oleh: Abdullah Fikri

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan peradaban manusia senantiasa berkembang sesuai dengan pola pikir manusia itu sendiri. Dalam bidang politik pemerintahan Islam pun demikian. Islam yang semula menjadi peradaban yang mendunia, akhirnya runtuh juga dengan peradaban barat. Hal ini disebabkan karena menjauhnya umat Islam dari pedoman hidup Islam dan adanya kemandegan dalam berijtihad. Hal-hal semacam itulah yang mengakibatkan masyarakat Islam menganggap bahwa Islam merupakan agama yang tidak berkembang. Munculnya permasalahan tersebut bersamaan pula dengan gencarnya barat dalam mengembangkan peradaban sekularisasi dan liberalisasi sehingga masyrakat Islam tertarik dan tergiur oleh perkembangan-perkembangan yang maju, seperti halnya teknologi, industry, dan ilmu pengetahuan. Turki Usmani sebagai lambang eksistensi kekhilafahan Islam, akhirnya runtuh pula dengan masuknya tokoh sekularis. Tokoh inilah yang menghapuskan KESULTANAN Turki yang kemudian ia ubah menjadi Turki modern sekular. Tokoh tersebut ialah Mustafa Kemal At-Taturk. Sekularisme yang ia bawa ternyata menghasilkan perubahan yang revolusioner bagi sejarah Turki. Paradigma atau ideologi akan mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dengan percaya diri. Demikian halnya dengan Kemal, ia memiliki ideologi sekularisme yang kuat dan mendasar sehingga Turki menurut dia harus menjadi Turki yang modern dengan meninggalkan sejarah panjang ke-Islaman. Dengan demikian Turki merupakan

1

negara baru yang terlepas dari sejarah panjangnya, baik sistem pemerintahan, bentuk negara, dasar negara, bahkan kehidupan sosial kemasyarakatan. Perdebatan relasi agama dan negara dalam kajian politik Islam terus mengalami perkembangan. Hal itu kemudian melahirkan tiga paradigma hubungan agama dan negara, yaitu integralistik, simbiotik, dan sekularistik1. 1. Paradikma integralistik (unified paradig Dalam paradigma ini agama dan negara menyatu (integrated) wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan sekaligus keagamaan. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan illahi” (divina sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada ditangan tuhan. Paradigma ini dianut oleh kelompok si’ah. Hanya saja dalam term politik si’ah

untuk

menyebut

negara

(addaulah)

diganti

dengan

imamah

(kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi penyelenggaraan kedaulatan Tuhan, negara perspektif si’ah bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada ditangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan ayat Tuhan (syari’ah).Sebagian kalangan konserfatif suni (vundamentalis) juga memiliki pendapat yang sama mengenai integrasi agama dan negara ini.

1

Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam Di

Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 22-30.

2

Dengan demikian, dalam perspektif paradigma integralistik pemberlakuan dan penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang niscaya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Khomaini bahwa dalam negara Islam berwenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada seorangpun berhak menetapkan hukum. Dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan.2 Pernyataan Khomaini ini diperkuat oleh pernyataan Abul Al-A’la Almaududi, salah seorang tokoh pendukung paradigma ini,bahwa syariah adalah sekema kehidupan yang sempurna yang meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. 3 Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara-agama, dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam agama dan sekaligus negara.) Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum agama. Masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan agama dan mana aturan agama karena keduanya menyatu.Oleh karena itu, dalam paham ini, rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat kepada agama sebaliknya memberontak dan melawan agama yang berarti juga melawan Tuhan. Negara dengan model demikian tentu saja sangat potensial terjadinya otoritarianisme dan kesewenangan

penguasa, karena rakyat tidak dapat

melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama. Karena sifatnya yang demikian, maka para penulis barat, sejauh dengan dikaitkan Islam sering melihat negara agama tidak compatible dengan demokrasi. 2. Paradigma simbiotik (symbiotic paradigm)

2

Imam Khomaini, Islam And Revolution, Writings And Declarations of Imam Khomaini, Terjemah dan anotasi Hamid Algar (Berkeley: 1981, hlm. 44 3 Abu Al-Ala Almawdudi, Islamic Law And Constitution, (Lahore: 1967,) hlm. 243.

3

Agama dan negara, menurut paradigma ini berhubungan secara simbiotik yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara juga memrlukan agama dalam bimbingan etika dan moral spritual Almawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka, bisa disebut sebagai tokoh pendukung paradigma ini. Sebab dalam karyanya yang masyhur ia mengatakan kepemimpinin negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama danmengattur dunia. Pemeliharaaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.Dalam kerangka hubungan simbiotik ini Ibnu Taimiah dalam As-siasah As-Syar’iah juga mengatakan sesunguhnya ada kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yangterbesar, sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak bisa berdiri tegak.4 Ia pun menganggap bahwa penegakkan negara merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Di dalam konsep ini, syariah (hukum Islam) mendudukki posisi yang sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Demikian juga negara memiliki peranan yang besar untuk menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar. Dengan demikian, dalam

paradigma

simbiotik

ini

masih

tampak

adanya

kehendak

“mengistimewakan” penganut agama mayoritas untuk memberlakukan hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara atau paling tidak karena sifatnya yang simbiotik tersebut, hukum-hukum agama masih memiliki peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara. Bahkan dalam masalah 4

Ibnu Taimiah Asiasah Assyariah

4

tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. 3. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm) Paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Konsep ad-dunya al-alakhirah, ad-din addawla atau umur ad-dunya umur ad-din dikhotomikan secara diamentral. Dalam konteks islam, atau paling tidak, menolak determinasi islam pada bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma sekularistik, salah satunya, adalah “Aliy “Abd ar-Raziq (1887-1966 M), Seorang cendekiawan muslim dari mesir. Dalam bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Abd-Al Raziq mengatakan bahwa islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan; kekhalifahan termasuk kekhalifahan al-Khulaafa ar-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tapi sebuah sistem yang duniawi. Ali-Abd Ar-Raziq sendiri menjelaskan pokok pandangan bahwa : Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual,

sosial,

dan

ekonomi

yang

kita

miliki

dan

dengan

mempertimbangkan sosial dan tuntutan zaman.

5

Dari ketiga corak pemikiran tersebut, maka pada makalah ini akan membahas corak pemikiran politik sekular. Adapun tokoh yang akan dibahas adalah Mustafa Kemal At-Taturk, pendiri Turki modern. Dengan konsep sekularnya kesultanan Turki Usmani dapat dihancurkan. Dalam konteks ini, penulis memfokuskan pada salah satu kajian fiqh siyasah yaitu dusturiah. Dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya dapat dinilai apakah sesuai dengan pandangan nomokrasi Islam dan paradigma prophetik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan sebuah pokok masalah, yaitu: Bagaimana pandangan nomokrasi Islam dan paradigma prophetic terhadap politik pemerintahan Mustafa Kemal Attaturq?

6

C. Tujuan Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui pandangan nomokrasi Islam dan paradigma prophetic terhadap pemikiran politik At-Taturq. D. Studi Pustaka Berdasarkan

penelusuran

penulis,

pembahasan

mengenai

politik

pemerintahan Mustafa Kemal At-Taturk dengan konsep nomokrasi Islam dan paradigma prophetik belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa melakukan kajian seorang tokoh sekular yang sangat fenomenal sangatlah menarik, terlebih dikaitkan dengan konsep-konsep prophetik dan nomokrasi Islam yang merupakan ajaran nilai-nilai moral politik dan norma universal dalam membangun sebuah negara dan peradaban. E. Kerangka Teori Untuk melakukan analisis, penulis menggunakan teori nomokrasi Islam dan ilmu sosial prophetik atau paradigma prophetik. Mengenai nomokrasi Islam tidak lepas dari konsep negara hukum. Sebagai negara tentunya memiliki ideologi politik

dalam

penyelenggaraan kenegaraan. Idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan

yang mampu meberikan penjelasan dan sekaligus justifikasi terhadap tertib politik yang ada ataupun yang didambakan oleh suatu masyarakat, termasuk di dalamnya strategi untuk merealisasikannya. Dalam arti yang luas strategi pencapaian ini mencakup pula segenap proses, pengaturan kelembagaan, atau bahkan segala

7

programnya.5 Ideologi politik itulah yang kemudian dituangkan dalam sebuah hukum dasar atau konstitusi sebuah negara, dalam hal ini adalah Turki modern. Adapun negara hukum dapat dimaknai bahwa segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan ketatanegaraan harus didasarkan atas norma-norma hukum yang berlaku. Hukum dijadikan dasar sebagai landasan untuk melaksanakan

ketatanegaraan guna mencapai keadilan baik keadilan prosedural maupun keadilan substantif. Sumber hukum yang dijadikan dasar penyelenggaraan ketatanegaraan adalah hukum dasar dalam suatu negara atau sering disebut dengan konstitusi. Konstitusi sebagai norma yang universal dan abstrak serta norma yang tertinggi perlu mendapatkan penjelasan-penjelasan lebih rinci agar dapat diimplementasikan. Begitu juga dengan konstitusi dalam Islam. Al-Qur an sebagai norma dasar Agama Islam memerlukan penjelasan-penjelasan terhadapnya melalui As-Sunnah.

Ide negara hukum tidak lepas dari konsep nomokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Berangkat dari pengertian secara etimologis tersebut, maka dalam konteks Fiqh Siyasah, nomokrasi Islam dapat diartikan sebagai aturanaturan Hukum Islam untuk melaksanakan kekuasaan dalam penyelenggaraan

ketatanegaraan. Hukum Islam yang dimaksud adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi yang paling khas dari pandangan hidup Islam, inti sari dari Islam itu sendiri.6 Dengan demikian aspek kehidupan terutama aspek bermasyarakat dan bernegara, secara nilai-nilai syari at telah di ajarkan oleh Allah Swt melalui firmanfirman-Nya dan melalui tradisi para Rasul-Nya. Oleh karena itu, Nomokrasi Islam

5

Cheppy Hari Cahyono, Idiologi Politik, Cet. 2, (Yogyakarta: PT. Hanindita Grahawidya, 1988), hlm. 7. 6 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Alih Bahasa: Joko Supomo, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 1.

8

tidak dapat tercapai apabila tidak dengan menggunakan strategi-strategi politik. Strategi tersebut akan berujung pada terwujudnya tujuan Fiqh Siyasah. Mengenai konsep negara hukum, Muhammad Tahir Azhari7 mengemukakan konsepnya mengenai negara hukum berdasarkan Al-Qur an dan As-Sunnah. Prinsipprinsip tersebut adalah:

a. Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah b. Prinsip Musyawarah c. Prinsip Keadilan d. Prinsip Persamaan e. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Asasi Manusia f.

Prinsip Peradilan Bebas

g. Prinsip Perdamaian h. Prinsip Kesehteraan i.

Prinsip Ketaatan Rakyat

Di samping teori nomokrasi Islam, penulis pun menggunakan teori ilmu sosial prophetik. Ilmu sosial prophetic yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk kea rah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa?. Oleh karena itulah, ilmu sosial prophetic tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasar cita-cita etik dan prophetic tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial prophetic secara sengaja memuat kandungan nilai dari citacita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita prophetic yang diderifasikan dari misi historis Islam. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial prophetic.

Dengan

kandungan

nilai-nilai

humanisasi,

liberasi

dan

7

“Negara Hukum; Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, implementasinya pada periode Negara Madina dan masa kini”,

9

transendensi, ilmu sosial prophetic diarahkan untuk rekayasa masyrakat menuju cita-cita sosioetiknya pada masa depan.8 Dengan demikian, berdasar pada konsep ilmu sosial prophetic, dapat dikatakan bahwa paradigma prophetic berangkat dari konsep ilmu sosial prophetik yang diharapkan dapat menjadi perubahan sosial dalam system kemasyarakatan di sebuah negara. Dalam konteks ini, paradigma prophetik digunakan untuk menilai pemikiran politik dan kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal At-Taturq sebagai pemimpin atau refolusioner negara Turki modern. Dengan konsep nomokrasi Islam yang berarti negara diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga melahirkan paradigma prophetik, maka sebuah negara dapat mewujudkan kemaslahatan bagi

rakyatnya.

Kemaslahatan

dapat

dilihat

dari

praktik-praktik

penyelenggaraan negara baik yang berupa pengambilan kebijakan di parlemen, fonis hakim dalam mengambil putusan, dan juga peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh kepala negara baik itu presiden maupun raja. Apabila sebuah negara telah terlepas dari konsep nomokrasi Islam dan paradigma prophetik, maka penyelenggaraan negara akan jauh dari kemaslahatan. Dalam maqasid syari’ah, ada lima hal yang perlu menjadi perhatian bagi para pemimpin, yaitu menjaga agama, menjaga akal, menjaga harta, menjaga keturunan, menjaga jiwa. Kelima tujuan dari pada syari’ah inilah yang menjadi tujuan dalam fiqh siyasah. Oleh sebab itu, berdasarkan dua teori di atas penulis mencoba menilai pemikiran politik At-Taturq pada masa Turki modern, sehingga dapat diketahui perbedaan pemikiran sekular dengan pemikiran integral dalam konsep hubungan negara dan agama.

F. Metodologi 1. Jenis Penelitian: 8

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 482-

485.

10

Adapun jenis penelitian pada makalah ini berupa studi pustaka (library research), yaitu penelitian yang berdasarkan kajian-kajian kepustakaan. 2. Pendekatan: Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini ialah pendekatan normative, yaitu sebuah pendekatan yang didasarkan atas normanorma yang ada di dalam teks-teks al-Qur’an maupun As-Sunnah. 3. Sumber Data: Sumber data yang penulis peroleh ialah melalui buku-buku sebagai data primer dan artikel-artikel sebagai data sekunder yang berkaitan dengan pemikiran Kemal At-Taturq dan teori nomokrasi Islam maupun paradigma prophetik. G. Sistematika Pembahasan. Adapun sistematika pembahasan pada tulisan ini ialah: Bab pertama pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, pokok masalah, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, sistematika pembahasan. Bab kedua teori, terdiri dari teori nomokrasi Islam dan paradigma prophetik. Bab ketiga mengenai data penelitian, yang terdiri dari biografi tokoh (Mustafa Kemal At-Taturk), konsep politiknya dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Bab keempat penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran. H.

Pembahasan

A. Sekilas Tentang Turki Usmani

11

Sebelum membahas pemikiran politik Mustafa Kemal sebagai tokoh refolusi Turki modern, maka penulis akan membicarakan sekilas mengenai Turki Usmani. Hal ini disebabkan karena perjalanan Turki sangatlah panjang hingga menjadi Turki modern. Sejarah panjang Turki Usmani inilah yang kemudian melahirkan Turki modern melalui seorang tokoh pembaharu Turki. Istilah Usmaniah diambil dari pemimpin yang kedua, yaitu Usman. Ketika masih berupa komunmitas ini dipimpin oleh Usman yagn bernama Arthgrol bin Sulaiman. Dia meninggal pada tahun 687H atau 1290 M ketika wilayagh kekuasaannya berada dibawah kekuasaan Alaudin. Penunjukan Usman untuk melangsungkan kepemimpinan ayahnya itu dilakukan oleh Alaudin. Kedekatan dan kerjasama yang telah dibangun oleh Arthogrol dilanjutkan oleh Usman. DI antaranya dia berjasa telah menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa dengan kesetiaan yang ditunjukkan oleh Usman kepada Alaudin, maka Sultan Alaudin memberikan gelar kehormatan “Bey” dan memberikan hadiah berupa daerah kekuasaan dan diizinkan memakai mata uang sendiri. Meninggalnya Alaudin mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah dinasti Seljuk sehingga Usman mendapatkan kekuasaan yang luas dan menyatakan kemerdekaan serta berkuasa dan berdaulat penuh atas wilayah yang ditempati. Selanjutnya dinasti Usmani eksis selama 642 tahun )680-1342 H/1282-1924. Secara garis besar, kepemimpinan kerajaan Usmani dapat dikelompokkan menjadi lima periode. Periode pertama, yaitu masa pendirian dan pembentukan kekuasaan setelah melepaskan diri dari dinasti seljuk. periode kedua, yaitu masa pembenahan pertumbuhan dan ekspansi besar-besaran. masa inilah puncak kejayaan dan kemenangan bagi kerajaan Usmaniah dengan ditandai takluknya kota Konstantinopel yang kemudian dijadikan ibu kota dengan perubahan nama menjadi Istambul. periode ketiga, merupakan periode dimana eksistensi kerajaan sudah mulai 12

terkoyak akibat serangan dari luar bahkan pada periode ini banyak wilayah dari k...


Similar Free PDFs