Penjelasan Tentang Ijma Dan Qiyas PDF

Title Penjelasan Tentang Ijma Dan Qiyas
Pages 4
File Size 557.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 178
Total Views 406

Summary

Nama : Marga Area Refangga NIM : 130810201200 Mata Kuliah : Ekonomi Syariah B Ijma Secara etimologi, ijma’ (‫ )اإلج ماع‬berarti “kesepakatan” atau consensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15, yaitu: ‫َاَبأ َ َِ ِبه اَ ََُهَا اَمَ َما‬ ‫َُِاََ ِبي اِف َُجو ََمهَبجه أ َ وب‬ َ ‫ن جو َم...


Description

Nama : Marga Area Refangga NIM

: 130810201200

Mata Kuliah : Ekonomi Syariah B

Ijma Secara etimologi, ijma’ (‫ )اإلج ماع‬berarti “kesepakatan” atau consensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15, yaitu: ‫َاَبأ َ َِ ِبه اَ ََُهَا اَمَ َما‬ ‫َُِاََ ِبي اِف َُجو ََمهَبجه أ َ وب‬ َ ‫ج‬ ‫ا و هج ِلب‬ َ ‫ن جو َمَه‬ Artinya: Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukannya kedasar sumur. Pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah ‫( شفء ع مى ا َزم‬ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian ini ditemukan dalam surat Yunus ayat 71, yaitu: ْ‫ج ِمعُوا َأمْ َر ُكمْ وَشُ َركَا َءكُم‬ ْ َ‫َفأ‬ Artinya: … maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-kutumu… Kata ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. kata ijma’ merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata ‫أجمع‬yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Pada sumber lain ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat dan kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap suatu hukum syar’i. Jadi Ijma itu adalah niat yang kuat dan tekat dalam pemecahan masalah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid dan telah disetujui setelah wafatnya Nabi Muhamad Sallahu’allahi wa salam.Dalam definisi itu hanyalah disebutkan sesudah wafat Rasulullah saw., karena pada masa hidup Rasulullah, beliau merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-satunya, sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syar’i, dan tidak pula terbanyangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang.

Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur. 1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan. 2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka. 3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat. 4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.([2]) Syarat-Syarat Ijma 1. Yang bersepakat adalah para mujtahid. 2.

Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.

3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. 4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi. 5.

Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.

Macam-Macam Ijma Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua: 1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya. 2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.([4]) Contoh-Contoh Ijma’ 1.

Saudara-saudara seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat)

terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’. 2.

Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.

Q iyas 1. A. Pengertian Qiyas Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah : mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya. Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat hukum ada. Untuk mendatangkan atau menjalankan "qiyas" orang harus mengerti dan memegangi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya, yang jika tidak, tentu tidak akan mungkin ia menjalankannya. Demikianlah menurut keterangan para ulama ahli ushul.

Rukun qiyas, ada empat : 1. Ashal (Pokok) 2. Fara' (Cabang) 3. Illah (Sebab-Karena), dan 4. Hukum. Ashal, ialah tempat mengqiyaskan, seperti minuman arak. Fara', ialah yang diqiyaskan, seperti segala macam minuman yang memabukkan. Illah, ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan fara' yang diqiyaskan, seperti memabukkan. Hukum, ialah hukum haram, misalnya.

Adapun syarat-syarat qiyas, sepanjang keterangan para ahli ushul, antara lain sebagai berikut : 1. Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara', yaitu yang telah tersebut dalam AlQur'an dan Sunnah. 2. Hendaklah ashal itu satu perkara yang termasuk perkara-perkara yang dapat difikirkan oleh akal akan sebab-sebabnya. 3. Hendaklah sebab-sebab yang ada pada ashal itu ada pula pada fara' (cabang) 4. Janganlah cabang itu sudah mempunyai hukum sendiri, sebelum diberi hukum dengan qiyas. 5. Sesudah diberi hukum dengan qiyas, janganlah cabang itu bertentangan dengan hukum yang lain.

Contoh Qiyas Allah telah mengharamkan khamar dengan nash dalam al-Qur’anul Karim, sedang ‘illat dari pengharamannya ialah karena khamar itu memabukkan dan menghilangkan akal. Dengan demikian, bila kita menemukan minuman apa pun yang lain, seaklipun namanya bukan khamar, namun ternyata minuman itu memaukkan, maka kita hukumi minuman itu haram, karena diqiyaskan kepada khamar. Sebab ‘illat pengharaman – yaitu memabukkan – terdapat dalam minuman tersebut. Dengan demikian, ia pun dihukumi haram seperti halnya khamar

Kesimpulan

Jadi baik ijma atau qiyas merupakan hal yan penting dalam penentuan keputusan suatu masalah yang tidak ada baik di dalam alquran dan al hadist, karena dengan kita menggunakan ijma dan qiyas ini sebagai alat untuk pemecahan masalah,diharapkan akan mendapat suatu keputusan yang barokah dan penuh dengan kebaikan baik di dunia atau pun di akhirat....


Similar Free PDFs