PERBANDINGAN STRUKTUR DAN WEWENANG KEKUASAAN KEHAKIMAN (MENURUT UU NO. 14 TAHUN 1970 DAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN) Program Studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM PDF

Title PERBANDINGAN STRUKTUR DAN WEWENANG KEKUASAAN KEHAKIMAN (MENURUT UU NO. 14 TAHUN 1970 DAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN) Program Studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM
Author Wahyu Nugroho
Pages 15
File Size 246.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 132
Total Views 246

Summary

PERBANDINGAN STRUKTUR DAN WEWENANG KEKUASAAN KEHAKIMAN (MENURUT UU NO. 14 TAHUN 1970 DAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna memperoleh Gelar Sarjana (Strata-1)pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Oleh : DWI...


Description

PERBANDINGAN STRUKTUR DAN WEWENANG KEKUASAAN KEHAKIMAN (MENURUT UU NO. 14 TAHUN 1970 DAN UU NO. 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN)

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna memperoleh Gelar Sarjana (Strata-1)pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Oleh : DWI SARWI ASIH No. Mahasiswa : 04410065 Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasar kekuasaan belaka. Konsekuensi yang timbul, hukum harus berperan secara mendasar sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan orang perorangan, kehidupan bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.1 Pembinanaan terhadap hukum nasional secara terencana dan operasional, harus bertumpu pada tiga komponen pokok. Pertama, norma hukum dan perundangundangan. Kedua, kesadaran hukum masyarakat, dan ketiga, aparat penegak hukum yang dapat berperan sebagai homojuridicus. Ini berarti bahwa dalam negara hukum semua aktivitas baik individu maupun penguasa harus berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain dalam kehidupan bernegara dan berpolitik, hukum harus ditempatkan sebagai sendi utama sesuai dengan supremasi hukum, artinya hukum bukan sekedar seperangkat sarana yang digunakan untuk melegitimasi politik pemerintah. Indonesia sebagai negara hukum harus mempunyai institusi yang bertugas untukmenegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum). Institusi yang dimaksud dinamakan kekuasaan kehakiman (judicative power). Badan-badan peradilan yang ada dalam kekuasaan kehakiman harus betul-betul mandiri, bebas, dan tidak boleh memihak tidak boleh ada campur tangan institusi lain dalam menjalankan tugasnya. Tetapi, pada 1

Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, ELSAM, Jakarta, 1997,

hlm.5

4

kenyataannya banyak terjadi ketidakseimbangan kekuasaan negara, banyak campur tangan eksekutif

sehingga fungsi yudisial tidak dapat berlaku

sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat dilihat dari dua kali kepemimpinan nasional, yaitu kepemimpinan Sukarno pada masa orde lama dan kepemimpinan Suharto pada masa orde baru. Perumusan UUD 1945 tentang penganutan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan organisatoris antara organisasi kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Yang disebut hanya prinsip kekuasaan kehakiman harus bebas dan merdeka dan itu bisa diartikan berlaku hanya bagi fungsi peradilannya. 2 Saat pembentukan kabinet yang pertama kali pada tanggal 2 September 1945 di lingkungan eksekutif telah dibentuk Departemen Kehakiman. Ketika pada masa orde lama (setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan 1966) pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan dan Mahkamah Agung.3 UU No. 19 Tahun 1964 mengandung tiga faktor yang menyebabkan pemupukan kekuasaan eksekutif dan berakibat tidak berlakunya fungsi yudisial. Pertama, dalam Pasal 7 menyatakan bahwa semua peradilan berpuncak kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi, Ketua Mahkamah Agung dijadikan sebagai Menteri Koordinasi, hal ini berarti Ketua Mahkamah Agung merupakan pembantu presiden. Selanjutnya bertumpu pada ketentuan tersebut, berarti pembinaan dan pengawasan hakim dilakukan oleh 2

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm.297. 3 Ibid.

5

pemerintah atau eksekutif. Kedua, Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1964 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pengadilan harus mengadili menurut hukum

yang berfungsi sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju

masyarakat sosialis Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hakim dijadikan sebagai alat pemerintah dalam mewujudkan tujuan politiknya. Ketiga, presiden berhak untuk mencampuri urusan peradilan apabila hal tersebut dianggap perlu. UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung juga membolehkan adanya campur tangan presiden dalam urusan pengadilan. Pasal 23 UU No. 13 Tahun 1965 ini menyatakan bahwa 1. Dalam hal-hal di mana Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam siding terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acasra dan melampirkan keputusan presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan. 2. Dalam hal-hal di mana presiden menyatakan keinginannya untuk melakukan campur tangan menurut Ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, sidang menghentikan untuk sementara pemeriksaan dan mengadakan musyawarah dengan jaksa. 3. Musyawarah termaksud dalam ayat (2) tertuju untuk melaksanakan keinginan presiden. 4. Keinginan Presiden dan hasil musyawarah diumumkan dalam sidang terbuka.

6

Pasal 23 UU No. 13 Tahun 1965 di atas dengan jelas memberikan kewenangan kepada presiden untuk dalam “beberapa hal dapat turun untuk campur tangan dalam soal-soal pengadilan“ dengan dalih untuk kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak setelah sidang dibuka kembali. Setelah Orde Baru lahir di bawah kepemimpinan Suharto, kekuasaan kehakiman dibuat sedemikian rupa sehingga belum dapat menjalankan fungsi peradilan sebagaimana mestinya karena berkiblat kepada kepentingan pemerintah. Realitas kekuasaan kehakiman yang terjadi pada masa pemerintahan Sukarno di atas tidak berbeda jauh dengan realitas kekuasaan kehakiman pada masa pemerintahan Suharto. Hal tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU No. 19 Tahun 1964. Ternyata UU No. 14 Tahun 1970 jika diamati substansinya tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang yang digantikannya. Karena UU No. 14 Tahun 1970 masih mengatur tentang kedudukan hakim yang mengandung sifat dualistik. Secara fungsional hakim bertanggungjawab kepada Mahkamah Agung, tetapi secara administratif dan finansial bertanggungjawab kepada departemen masingmasing. Sekalipun secara teoritis eksekutif tidak dapat mempengaruhi hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, akan tetapi dalam praktek merupakan pintu gerbang masuknya campur tangan eksekutif terhadap peradilan. Dengan demikian setiap hakim pada tingkat pertama dan kedua adalah pegawai negeri sipil yang berada di bawah kekuasaan satu unit eksekutif yang

7

disebut departemen. Hal ini tetap dapat menjadi persoalan jika dikaitkan dengan keinginan untuk mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka.4 Setelah jatuhnya Orde Baru, UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dicabut dan diganti dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Terdapat beberapa perubahan dalam UU No.35 Tahun 1999, antara lain yang pertama, tentang pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial berada di bawah Mahkamah Agung. Kedua, tentang pengalihan kewenangan dalam menentukan badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas dari Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Menteri Kehakiman kepada ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian Mahkamah Agung menurut UU No.35 Tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan kepada badan-badan peradilan di bawahnya, baik dalam hal organisasi, administrasi maupun finansial, dan juga memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara koneksitas yang melibatkan warga sipil dan militer untuk diadili oleh peradilan militer atau peradilan umum. Secara singkat UU No. 35 Tahun 1999 ini merupakan undang-undang transisi dari dualisme (sistem dua atap) kekuasaan kehakiman menuju ke monoisme (sistem satu atap) kekuasaan kehakiman Pasca amandemen ke-3 UUD 1945 terdapat beberapa perubahan signifikan dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia, karena di samping Mahkamah

4

Ibid.hlm. 301

8

Agung juga terdapat lembaga kekuasaan kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak berada dalam satu atap dengan Mahkamah Agung sehingga kekuasaan kehakiman di Indonesia mempunyai dua puncak. Pasal 24 ayat (2) menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undangundang.5

UU No.35 Tahun 1999 juga menyebutkan pemberian jangka waktu selama lima tahun kepada pemerintah untuk menata sistem satu atap kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pasal 11 A UU No. 35 Tahun 1999

“(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku. (2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden”.6

5 6

Lihat Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen. Lihat Pasal 11 A UU No.35 Tahun 1999

9

Pemberian jangka waktu tersebut telah digunakan dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999. UU No. 4 Tahun 2004 mengatur adanya pengadilan khusus seperti yang terdapat dalam Pasal 15 :

“(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undangundang.(2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.”7 Pengadilan khusus yang dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di limgkungan peradilan tata usaha negara8

B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, penulis mengambil beberapa permasalahan untuk dijadikan sebagai bahan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur dan wewenang kekuasaan kehakiman menurut UU No 14 Tahun 1970 ?

7 8

Lihat Pasal 15 UU No.4 Tahun 2004 Lihat penjelasan Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004

10

2. Bagaimana struktur dan wewenang kekuasaan kehakiman menurut UU No. 4 Tahun 2004 ? 3. Apa kelebihan dan kekurangan dari kedua undang-undang tersebut ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui struktur dan wewenang kekuasaan kehakiman menurut UU No. 14 tahun 1970. 2. Mengetahui struktur dan wewenang kekuasaan kehakiman menurut UU No. 4 Tahun 2004. 3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari kedua undang-undang tersebut.

D. Tinjauan Pustaka Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Ciri dari negara demokrasi menurut Montesquieu dalam teori trias politica adalah adanya pemisahan kekuasaan negara ( separation of power ) menjadi : a. Kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembuat peraturan perundangundangan yang dipegang oleh parlemen. b. Kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan peraturan perundangundangan yang dipegang oleh raja / kepala negara. c. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dipegang oleh hakim.

11

Maksud utama dari teori trias politica Montesquieu tersebut adalah agar tidak terjadi suatu keadaan di mana semua kekuasaan negara berpusat pada satu badan atau lembaga saja, dengan kata lain untuk mencegah agar tidak terjadi di mana satu badan atau lembaga yang telah memegang satu kekuasaan memegang kekuasaan lain. Montesquieu tidak menolak apabila badan yang satu mengawasi badan yang lain dalam rangka melaksanakan tugasnya masing-masing karena tujuan utama dari ajarannya adalah meniadakan sistem absolutisme. 9 Pemisahan kekuasaan ( separation of power ) mempunyai dua arti, yaitu arti materiil dan arti formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.10 Hal ini dikatakan pelaksanaan dari trias politica secara konsekuen, sehingga dapat disebut pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan dalam arti formil berarti pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, sehingga dapat disebut pembagian kekuasaan. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi karena Indonesia menganut teori pemisahan kekuasaan dalam arti formil atau pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan di Indonesia meliputi : a. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 9

Soehino, Hukum Tata Negara Sistem Pemerintahan Negara, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 46. 10 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan, sebagaimana dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Ctk. Kelima, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV “Sinar Bakti”, 1983, hlm. 143.

12

b. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden. c. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung. Negara Indonesia selain menganut sistem demokrasi juga merupakan negara hukum, yaitu dalam menyelesaikan permasalahan lebih mengutamakan aspek hukum. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan negara kekuasaan (machstaat) yang lebih mengutamakan aspek kekuasaan daripada aspek hukum dalam setiap penyelesaian permasalahan. Menurut Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa negara hukum dalam arti formil mengandung unsur :11 a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia b. Pemisahan kekuasaan negara. c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. d. Peradilan administrasi Menurut Paul Scholten, unsur-unsur negara hukum adalah :12 a. Diakuinya hak-hak asasi manusia. b. Adanya pemisahan kekuasaan. c. Adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. Menurut Friedman, negara hukum identik dengan Rule of Law. Istilah rechstaat menurut Friedman mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.13 Menurut A.V. Dicey, unsur-unsur Rule of Law adalah :14

11

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum Indonesia, IDHILL Co, Jakarta, 1989, hlm. 30. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 9. 13 A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung (Redifinisi peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001,hlm. 17. 12

13

a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Seseorang bisa dihukum jika melanggar hukum. b. Kesamaan warga negara di dalam hukum baik dari rakyat biasa maupun bagi pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusankeputusan pengadilan Unsur-unsur negara hukum menurut Sri Soemantri adalah :15 a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan. b. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. d. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Teori negara hukum yang telah dikemukakan di atas menegaskan bahwa keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman (peradilan) merupakan ciri utama dan akarnya negara hukum. Keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia ini sangat penting mengingat : a. Pengadilan merupakan pengawal konstitusi.16 b. Peradilan bebas merupakan unsur negara demokrasi.17 c. Peradilan merupakan akar negara hukum.18 Kekuasaan yudikatif di Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dipegang oleh Mahkamah Agung, badan-badan kehakiman lain, seperti pengadilan umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara. Isi dari Undang-undang Dasar 1945 sudah tidak sesuai dengan kondisi

14

Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 19. Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30. 16 Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH UII, Yogyakarta, 1998, hlm. 66. 17 Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi “Sebuah Telaah Filosofis”, Gramedia, Jakarta, 1995, hlm. 56. 18 S.F. Marbun, Pengadilan Merupakan Akar Negara Hukujm, dalam Jurnal Hukum No. 9 Vol. 9, 1997, hlm. 9. 15

14

saat ini, di samping masih terdapat banyak kekurangan. Hal tersebut dapat dijadikan

alasan

pembenar

bagi

para

pemegang

kekuasaan

untuk

menyalahgunakan kekuasaan yang telah diamanatkan oleh rakyat. Jalan yang tepat untuk mengurangi penyalahgunaan kekuasaan adalah dengan mengadakan perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar 1945 Materi yang diadakan perubahan salah satunya adalah tentang kekuasaan yudikatif. Undang-undang Dasar 1945 pra amandemen menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman hanya dipegang oleh Mahkamah Agung membawahi lingkungan

pengadilan umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer,

Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangakan Undang-undang Dasar 1945 pasca amandemen menyatakan pemegang kekuasaan tidak lagi hanya dipegang oleh Mahkamah Agung saja tetapi juga dipegang oleh Mahkamah Konstitusi.

E. Metode Penelitin 1. Obyek Penelitian Obyek penelitian dari penulisan ini adalah tentang struktur dan wewenang kekuasaan kehakiman menurut UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 4 Tahun 2004. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa data sekunder, yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan, meliputi :

15

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis, seperti peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, dsb. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan perundangundangan, literatur, jurnal, hasil penelitian, buku-buku, teks-teks tentang hukum. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, index kumulatif, dll. 3. Metode Pengumpulan Data Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahanbahan dan keterangan-keterangan yang diperlukan sesuai dengan pokok pembahasan, yaitu dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan

penelitian

ini.

Setelah

bahan-bahan

tersebut

berhasil

dikumpulkan dilanjutkan dengan menentukan wilayah-wilayah yang menjadi pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap bukubuku, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar serta peraturan perundangundangan yang memiliki keterkaitan dengan penulisan ini.

16

4. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normati...


Similar Free PDFs