PERILAKU MENYONTEK DALAM SETTING PENDIDIKAN PDF

Title PERILAKU MENYONTEK DALAM SETTING PENDIDIKAN
Pages 15
File Size 527.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 145
Total Views 405

Summary

PERILAKU MENYONTEK DALAM SETTING PENDIDIKAN Makalah Penugasan Matakuliah Learning and Education Performance Dosen Pengampu: Supra Wimbarti, M.Sc, Ph.D Disusun oleh: Shelvya Fauziah Ardi/403870 Isman Rahmani Yusron/407565 Program Magister Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Mei, 2017...


Description

PERILAKU MENYONTEK DALAM SETTING PENDIDIKAN Makalah Penugasan Matakuliah Learning and Education Performance Dosen Pengampu: Supra Wimbarti, M.Sc, Ph.D

Disusun oleh: Shelvya Fauziah Ardi/403870 Isman Rahmani Yusron/407565

Program Magister Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Mei, 2017

A. Definisi Menyontek dan Bentuk Perilakunya Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata menyontek diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya atau menjiplak. Definisi ini sejalan dengan tindakan yang digambarkan dalam beberapa penjelasan mengenai perilaku menyontek. Menyontek atau ketidakjujuran akademik diartikan sebagai upaya mencurangi dengan tipu daya, menipu, menyesatkan atau mengelabuhi orang lain (Stephen F. Davis, Patrick F. Drinan & Tricia Bertram Gallant, 2009). Bentuk perilakunya dalam setting pendidikan dijelaskan oleh Davis et.al (2009) adalah upaya mengelabuhi atau mencurangi guru dengan hasil kerja yang diakui sebagai hasil kerjanya baik dalam bentuk ujian, tugas sekolah dan lain sebagainya. Secara umum, perilaku menyontek dilakukan oleh siswa ketika ujian tulis sebagai upaya untuk mendapatkan nilai yang baik dalam evaluasi yang dilakukan oleh guru. Di Amerika, menyontek terindikasi cukup tinggi dalam ujian atau tes pada siswa SMA dan mahasiswa. Setidaknya sebanyak 60% dari siswa dan mahasiswa menyontek sekali dalam setahun (Gregory J. Cizek adn James A. Wollack, 2017). Di Indonesia secara umum perilaku menyontek sudah sangat umum dan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Salah satu perilaku menyontek yang massive adalah dilakukan dalam ujian nasional (UN). Secara merata dan hampir di semua daerah terdapat kecurangankecurangan dalam UN. Data menunjukkan bahwa indeks intergritas sebagai tolok ukur tingkat kecurangan siswa pada UN masih tinggi (Pendidikan, 2016), dimana ketika nilai indeks integritas masih di bawah 80% artinya nilai ketidakkejujuran pada sekolah, daerah atau tingkat pendidikan tersebut masih tinggi. Bentuk lain perilaku menyontek dijelaskan oleh Davis et.al (2009) dapat berupa mengerjakan pekerjaan rumah yang dibantu oleh orang lain, misal bantuan orang tua untuk menyelesaikan dan mendapatkan nilai baik dalam tugas sekolah sehingga dinilai guru sebagai hasil kerja sendiri. Bentuk lainnya adalah menyalin atau memparafrasekan kata maupun kalimat yang dianggap sebagai bentuk ide asli dari siswa, dan juga termasuk melibatkan orang lain secara penuh mengerjakan tugas dari guru. Secara lebih lengkap akan dijelaskan dalam bab selanjutnya mengenai model-model perilaku menyontek dan berbagai alas an yang melatarbelakanginya.

B. Alasan Siswa Menyontek Diungkap dalam buku Psychology of Academic Cheating (Eric M. Anderman & Tamera B. Murdock, 2017) alasan siswa menyontek dalam kegiatan belajar mereka. Diantara alasannya adalah karena tugas maupun ujian yang dihadapinya terlalu sulit bagi mereka, guru yang menyampaikan materi tidak dapat menyampaikannya dengan baik, dan juga kompetisi untuk mendapatkan nilai terbaik agar mendapat reward. Dalam sebuah jurnal yang membahas perilaku curang dalam dunia kerja juga mendapati hasil penelitian bahwa kompetisi dalam kelompok pun memerikan pengaruh terhadap perilaku curang (Edward Cartwright & Matheus L.C Menezes, 2013). Dikatakan oleh (Niels, 1996) bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa menyontek adalah adanya kompetisi untuk tidak menjadi pecundang atau siswa dalam level lowest grade. Hal tersebut memicu siswa untuk bagaimana mendapatkan nilai terbaik sehingga minimal menempatkan mereka pada posisi aman untuk tidak dikatakan kelompok siswa yang tidak pintar. Perasaan untuk takut gagal dan masuk dalam kelompok siswa yang tidak pintar, dan juga tuntutan orang tua untuk menjadi yang terbaik menurut (Niels, 1996) merupakan alasan yang sering muncul mengapa siswa menyontek. Dikatakan pula oleh (Niels, 1996) bahwa kurikulum dan kebijakan pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku menyontek siswa dikarenakan kompetisi yang diciptakan, seperti pemberian rangking pada siswa, nilai rata-rata pencapaian siswa maupun pembandingan rangking parallel sekolah maupun daerah.

C. Dinamika Psikologis Perilaku Menyontek 1. Perspektif Neuropsikologi Tidak jujur, terutama dalam dunia akademik, merupakan suatu sikap negatif individu yang secara umum tidak dapat diterima. Melakukan plagiarisme, menyontek dan berbagai bentuk kecurangan lainnya, adalah suatu tindakan yang dipersepsikan sebagai suatu pelanggaran dari pakem yang seharusnya dilakukan. Perilaku curang atau tidak jujur, merupakan suatu keputusan yang didalamnya mengandung intensi untuk tidak melakukan yang seharusnya. Dengan kata lain, seseorang yang melakukan kecurangan bukan tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya merupakan suatu kesalahan, akan tetapi sengaja mengambil keputusan untuk tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Anderman & Murdock (2011) menyimpulkan dari berbagai analisis penelitian, ketika seseorang melakukan berbagai perilaku kecurangan, mereka memang membuat keputusan untuk terlibat dalam perilaku curang tersebut. Artinya,

kecurangan, secara umum merupakan salah satu bentuk dari self deception, atau sikap menipu diri sendiri. Aspek moral dan emosional berperan dalam kaitan perilaku tersebut. Menurut Anderman & Murdock (2011), dalam perspektif belajar, curang merupakan suatu strategi yang dilakukan sebagai jalan pintas kognitif (cognitive shortcut). Menurutnya, siswa yang memilih untuk curang bukan karena mereka tidak tahu bagaimana strategi yang efektif atau simpelnya karena mereka tidak mau untuk menginvestasikan waktu untuk menggunakan berbagai strategi belajar. Artinya, bahwa kecurangan terjadi, ketika individu memilih jalan pintas dan tidak mau berupaya lebih untuk melakukan tindakan yang seharusnya. Jelas disini berarti bahwa melakukan kecurangan mengandung sebuah kompleksitas proses kognitif, tidak semata-mata perilaku spontan namun mengandung sebuah intensi dan proses pengambilan keputusan. Bahkan sebagai implikasi, terdapat dimensi perilaku yang disengaja dan diupayakan pada tindakan kecurangan. Atas dasar hal tersebut, dimensi kognitif berperan penting dalam perilaku kecurangan. Berdasarkan uraian singkat tersebut, memicu satu pertanyaan penting terkait perilaku kecurangan, terutama bagian otak mana yang memproses intensi kecurangan. Kompleksitas sudut pandang dalam melihat perilaku kecurangan pada tingkat personal, ada yang memandang terkait dengan afeksi, emosi, kognisi, konstruk sosial dan berbagai dimensi lainnya mengundang keingintahuan tentang fakta ilmiah mengenai bagian mana yang memproses suatu intensi dan tindakan kecurangan. Sebuah penelitian dari Abe et al., (2014) melakukan studi mengenai neural basis dari kecurangan dimana, dalam penelitian tersebut melalui alat functional magnetic resonance imaging (fMRI) mencoba melihat mekanisme neurokognitif seseorang ketika berintensi curang atau tidak jujur. Dalam penelitian yang dilakukan Abe et al. (2014), menganalisa subjek yang berjumlah 25 partisipan diantaranya 14 perempuan dan 11 laki-laki, dengan melihat dinamika aktivitas otak ketika partisipan diberi perlakuan yang memungkinkan menentukan keputusan untuk tidak jujur. Partisipan dengan umur rata-rata 22 tahun, diberikan 90 cerita yang memungkinkan untuk melakukan memilih tidak jujur yang negatif (Harmful story) dan 90 cerita yang memungkinkan memilih tidak jujur positif (helpful story). Sebagai contoh dari Harmful story misalnya “kamu sedang berbelanja di mall, kamu membutuhkan untuk ke kamar mandi. Kemudian kamu tidak sengaja merusak pintu kamar mandi mall tersebut. Ketika sedang di kamar mandi, petugas

kebersihan datang dan bertanya padamu apakah kamu tau kenapa pintu kamar mandi sampai rusak?. Apakah kamu akan jujur memberitahukan petugas bahwa kamu yang merusaknya atau kamu akan berbohong?”. Contoh Helpful story, sebagai berikut “Kamu lulus dari universitas dan kemudian diterima kerja, hal tersebut membuat bahagia orangtuamu yang telah didiagnosa kanker di rumahsakit. Karena krisis ekonomi, tak lama kamu dipecat oleh perusahaan. Hari berikutnya, saat kamu menjenguk ibumu, ibumu bertanya mengenai bagaimana pekerjaan kamu di perusahaan. Apakah kamu akan jujur bahwa kamu telah dipecat, atau akan memilih berbohong?”. Juga ditambah control story yang tidak berhubungan dengan pemilihan keputusan berbohong atau tidak. Hasil dari penelitian Abe et al., (2014) data fMRI menunjukkan bahwa ketika seseorang memutuskan untuk jujur atau berbohong baik ketika diberikan Harmful maupun Helpful story, berasosiasi dengan aktivitas beberapa bagian otak yakni dorsolateral prefrontal korteks kiri. Kontras dengan ketika partisipan mengambil keputusan yang tidak ada hubungannya dengan ketidakjujuran. Hal ini menunjukkan pada saat seseorang memproses dan menghadapi keputusan yang berhubungan dengan memilih jujur atau tidak jujur, bagian otak dorsolateral prefrontal kiri menunjukkan aktivitas yang signifikan dibanding dengan tidak memproses keputusan tentang ketidakjujuran. Seperti kita tau, dorsolateral prefrontal korteks merupakan bagian otak yang berhubungan dengan fungsi kognitif terutama bagian ini berhubungan dengan kemampuan kognitif tingkat tinggi seperti pemrosesan working memory, atensi, peralihan perilaku (memperbaharui perilaku saat aturan berubah), evaluasi reward dan perencanan motorik. Dalam penelitian lain, bagian otak ini aktif ketika merespon pada saat situasi seseorang mempertimbangkan keadilan dan ketidakadilan (Rilling & Sanfey, 2009). Pada penelitian lain, bagian ini juga aktif dalam memproses hal yang berhubungan dengan preferensi sosial dan ketika mematuhi norma sosial atau mengimplementasikan tindakan adil (Fehr & Krajbich, 2014). Kelancaran verbal juga ditemukan akan terganggu ketika area dorsolateral prefrontal kiri ini mengalami atropi (Chen et al., 2013). Kembali pada penelitian Abe et al., (2014), studinya menemukan bahwa ketika partisipan mengambil keputusan tidak jujur, berasosiasi dengan aktivitas bagian otak pertemuan tempoparietal (tempoparietal junction) kanan dan medial frontal korteks kanan. Hasil ini kontras dengan ketika seseorang mengambil keputusan untuk jujur dalam harmful story, yang tidak signifikan aktivitasnya. Analisa lebih jauh dari

temuan ini, memunculkan fakta dimana aktivitas bagian otak tersebut tidak terjadi ketika partisipan memilih tidak jujur dalam helpful story, atau kebohongan agar orang lain mendapat benefit positif. Temuan ini memberi gambaran dinamika kognitif seseorang saat memilih untuk berbohong ialah terkait dengan bagian otak tempoparietal dan medial frontal korteks kanan. Pada penelitian FeldmanHall & Mobbs, (2015), ditemukan bahwa area tempoparietal junction ini bersama lobus temporal anterior berperan signifikan dalam proses pemanduan kognisi moral (guding moral cognition), dalam temuan penelitiannya ini tempoparietal junction meningkat aktif ketika seseorang mengambil keputusan moral yang mudah (easy moral decision) pada saat secara cepat mempertimbangkan keputusan moral yang membutuhkan upaya kognitif. Sedangkan Medial Frontal Cortex, dalam penelitian Mesulam, Damasio & Van Hoesen, serta Gemba, Sasaki & Brooks (Ridderinkhof, Nieuwenhuis, & Braver, 2007), bersama Anterior Cingulate Korteks berkaitan dengan fungsi evaluasi dimensi motivasi dari atensi dan perilaku serta yang berhubungan dengan proses mendeteksi eror/kesalahan. Dalam aspek dimensi perilaku, penelitian dari Abe et al. (2014), melalui pengukuran waktu reaksi pada saat memilih berbohong dibandingkan dengan tidak berbohong, memilih untuk berbohong pada Harmful story akan membutuhkan tambahan tuntutan kognitif, dan tambahan tersebut kuat didukung oleh medial superior frontal gyrus. Temuan ini menunjukkan bahwa melakukan ketidakjujuran berkaitan dengan proses tuntutan kognitif yang lebih tinggi dibanding dengan jujur. Hal ini didukung dengan tidak adanya aktivitas area spesifik otak yang signifikan seperti ketika seseorang memilih untuk tidak jujur dalam harmful story, ketika seseorang memilih untuk jujur dan tidak jujur dalam helpful story. Artinya, bahwa aktivitas otak yang meningkat saat memproses ketidakjujuran, akan berkaitan dengan persoalan pelanggaran moralitas atau perilaku yang tidak dapat diterima, namun tidak berlaku pada ketidakjujuran yang berkaitan dengan hal positif atau demi orang lain mendapat benefit dari berbohong tersebut. Implikasi dari tinjauan penelitian tadi menghasilkan sebuah dugaan sementara bahwa ketidakjujuran akademik yang sangat berkaitan dengan pelanggaran moral, terkait dengan aktifitas-aktifitas otak yang telah disebutkan sebelumnya sebangun dengan ketika seseorang memilih berbohong pada harmful story. Sehingga, hal ini memunculkan sebuah kesimpulan sementara dimana kecurangan akademik ini bukan perkara sepele dan tidak bisa dianggap wajar. Karena jika dilihat dari kesesuaian

aktivitas otak yang berlangsung, dapat diduga kuat ketika seseorang melakukan kecurangan

atau

ketidakjujuran

akademik,

ia

berintensi

merencanakan,

mempertimbangkan secara sadar, dan mengambil keputusan bertolak belakang dengan pengetahuannya akan nilai-nilai moralitas.

2. Perspektif Kepribadian Dalam sebuah studi meta-analysis (Tamara L. Giluk & Bennett E. Postlethwaite, 2014) dikatakan bahwa menyontek atau ketidakjujuran akademik merupakan perilaku yang tidak etis. Hal tersebut dinyatakan dalam bentuk perilaku menyontek, plagiat atau pemberian bantuan yang tidak baik. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku tidak jujur ini, telah banyak penelitian yang dilakukan, namun dalam perspektif kepribadian dikatakan bahqa kepribadian neurotism dan extravession memiliki predictor terbesar dalam perilaku menyontek. Meskipun dalam penelitian ini mengatakan bahwa kepribadian conscientiousness dan agreeableness adalah predictor terbesar dalam teori Big Five, namun keduanya memiliki hubungan yang negatif. Secara lengkap dijelaskan satu persatu bahwa hubungan antar keperibadian dengan perilaku tidak jujur dalam akaemik sebagai berikut. Pertama, neuriotism dimana kepribadian yang lebih mengarah pada kekhawatiran berlebih, merasa bersalah, merasa tidak aman dan kasihan terhadap diri sendiri. Dimana hal tersebut lah yang dapat memberikan penjelasakan mengapa orang memiliki keputusasaan terhadap usaha dari dirinya. Dalam beberapa penelitian dilaporkan bahwa neurotism memiliki hubungan positif dengan perilaku tidak jujur, namun dalam skala yang kecil. Neurotism lebih banyak mempengaruhi orientasi tujuan belajar siswa. Kedua, exstraversion adalah individu yang memiliki rasa santai dan menikmati suasana sosial. Orang yang memiliki kepribadian ekstravvesi ini cenderung orang yang hangat, memiliki afek yang postif, memiliki energi yang baik, asertif and mengalir mengikuti alur. Ciri kepribadian ini sebanarnya dikatakan dalam jurnal sebagai ciri kepribadian yang erat hubungannya dengan perilaku menyontek. Hal ini dikarenakan orang yang menyukai kehebohan dan kegembiraan memiliki ambisi dan pengambil resiko tinggi, sehingga untuk perilaku menyontek cukup dibutuhkan ciri kepribadian ini. Dikatakan bahwa ektraversi memiliki hubungan positif terhadap perilaku menyontek namun dalam skala yang kecil. Tetapi pada dua penelitian yang lain juga dikatakan bahwa ekstraversi memiliki hubungan negatif terhadap perilaku menyontek.

Ketiga, Openess to Experience adalah individu yang aktif untuk mencari pengalaman baru. Secara intelektual mereka adalah yang selalu penasaran dan memiliki imajinasi sehingga menikmati eksplorasi terhadap hal-hal baru. Orang yang terbuka terhadap pengalaman ini cenderung dinilai sebagai priadi yang memiliki intelektualitas yang baik. Sehingga ciri kepribadian ini kurang sesuai dengan perilaku menyontek. Ciri kepribadian ini lebih tinggi berkorelasi dengan oreintasi tujuan masa depan. Sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang kurang konsisten mengatakan bahwa ada korelasi negatif dan juga positif yang mungkin terjadi antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan perilaku menyontek. Keempat, Conscientiousness adalah individu dengan keberaturan, tujuan yang terarah, hidup sesuai norma dan nilai. Secara konsisten ciri kepribadian ini memiliki prediksi yang akurat untu perfromansi kerja dan akademik. Orang dengan ciri kepribadian ini tentu akan mempersiapkan semua hal dengan baik, termasuk dalam hal akademik, sehingga perilaku menyontek sekiranya memang berkorelasi negatif dengan ciri kepribadian ini. Dalam jurnal dikatakan bahwa siswa dengan kepribadian ini akan benar-benar mempersiapkan untuk menghadapi ujian maupun tugas-tugas yang diberikan guru dan tidak akan melanggar kisi-kisi maupun peraturan yang berlaku. Meskipun demikian, terdapat dua studi yang mengatakan bahwa conscientiousness memiliki hubungan positif. Namun secara keseluruhan jurnal tersbeut memberikan kesimpulan bahwa conscientiousness memiliki hubungan negative dengan perilaku menyontek. Kelima, Agreeableness adalah individu yang hangat, mudah disukai orang, terpercaya dan memiliki hubungan baik dengan orang lain. Orang yang memiliki ciri kepribadian ini akan cenderung menghindari konflik sebaikmungkin. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan penjelasan bahwa siswa yang memiliki ciri kepribadian agreeableness ajan menghindari kecurangan akademik yang akan menimpulkan konflik. Hasil review meta-analysis memberikan kesimpulan bahwa agreeableness memiliki korelasi negatif dengan perilaku menyontek.

3. Perspektif Kognitif Sebuah jurnal (Xiao Pan Ding, et.al, 2014) melaporkan hasil penelitiannya mengenai bagaimana anak umur 8-12 tahun dapat berperilaku tidak jujur. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan sebuah game tebak-tebakan. Subjek peneliti sejumlah 95 anak diminta untuk mengingat peraturan sebuah permainan dan

disuruh melaporkan atau menceritakan kembali peraturan-peraturan dalam permainan tersebut. Mereka diukur tingkat kesalahan dari penyampaian peraturan permainan tersebut, dan juga diukur pemahaman teori dan fungsi luhur mereka. Dan hasilnya sebagian besar mereka melakukan ketidakjujuran, namun anak yang memiliki umur yang lebih tua memiliki tingkat kejujuran yang relative baik. Anak dengan memori kerja dan control inhibisinya jelek akan cenderung berbohong. Kontrol inhibisi memiliki peranan penting dalam memberikan keputusan apakah mereka akan curang atau tidak. Fungsi luhur pada anak 8-12 tahun ini juga memberikan peran terhadap proses belajar taktik untuk menyelsaikan permainannya, namun kontrol inhibisi masih tetap memberikan peranan untuk memberikan keputusan yang baik untuk dilakukan atau tidak.

D. Prevensi Perilaku Kecurangan Akademik Berbicara mengenai pencegahan perilaku kecurangan akademik siswa, tidak dapat hanya dilihat dari persoalan fenomena yang terlihat. Kecurangan akademik lebih pada persoalan akibat daripada sebagai sebab. Karena, berbagai akumulasi dari faktor yang mempengaruhi psikologis seseorang yang mengakibatkan perilaku curang seperti menyontek, plagiarisme dan berbagai kecurangan lainnya marak terjadi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dinamika psikologis dan neurologis yang terjadi pada saat seseorang mengambil keputusan untuk menyontek adalah suatu intensi kesengajaan melanggar sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Intensi inilah yang menjadi kunci, dimana pada dasarnya seseorang akan jauh lebih mudah memilih untuk jujur dibanding dengan melakukan kecurangan. Sehingga, kecurangan akademik ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan sadar dari berbagai faktor yang melatarbelakangi. Jika mengambil dari referensi temuan neurologis setidaknya ada beberapa fungsi yang terkait dengan seseorang mengambil keputusan melakukan kecurangan: 1. Fungsi pertimbangan nilai dan preferensi sosial (dorsolateral prefrontal korteks) 2. Evaluasi reward (dorsolateral prefrontal korteks) 3. Kognisi moral (tempoparietal junction) 4. Motivasi dan deteksi eror (Medial Frontal) 5. Self-awareness (Superior Frontal Gyrus) Melalui pemahaman dinamika neurologis tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat ditaksir sebagai penyebab seseorang melakukan kecurangan, pertama bahwa nilai

yang dimiliki seseorang mengenai perilaku curang sebagai sebuah kesalahan tidak cukup mampu untuk menjadi penghalang ...


Similar Free PDFs