SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASINYA PDF

Title SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASINYA
Author Fajar Fitrianto
Pages 66
File Size 763 KB
File Type PDF
Total Downloads 27
Total Views 94

Summary

SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASINYA oleh FAJAR FITRIANTO – DRF BLOG 1. SEJARAH SASTRA INDONESIA 1.1 Pengertian Sejarah Menurut Kuntowijoyo (dalam Yudiono, 2010:21), mengatakan bahwa sejarah masih merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya. Sedangkan moedjanto mengatakan bahwa di dunia in...


Description

SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASINYA oleh FAJAR FITRIANTO – DRF BLOG 1. SEJARAH SASTRA INDONESIA 1.1 Pengertian Sejarah Menurut Kuntowijoyo (dalam Yudiono, 2010:21), mengatakan bahwa sejarah masih merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya. Sedangkan moedjanto mengatakan bahwa di dunia ini masih ada ilmuwan social dan humaniora, bahkan ilmuwan eksakta, yang mempunyai keyakinan bahwa dunia tidak hanya memerlukan insinyur, 8industriawan dan banker. Mereka berkeyakinan bahwa tertib dunia masa sekarang dan masa depan manusia memerlukan berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan demi pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia. Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’. Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata latin scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis mengenai gejala alam, sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal-ihwal manusioa) dalam urutan kronologis.Kini history berarti masa lampau umat manusia. Dalam bahasa jerman terdapat geschichte, dari kat geschehen (=terjadi) yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat manusia untuk direkonstruksi. Sebab, pengalaman manusia di masa lampau sangat banyak untuk diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi direkonstruksi. Dengan kata lain, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Dalam kehidupan semua orang, pastilah ada peristiwa, orang, katakata, pikiran-pikiran, tempat-tempat, dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama sekali tidak menimbulkan kesan atau yang kini telah dilupakan.

1.2 Sejarah Sastra Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak

bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lainlain.Dalam Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg, 1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan pada zaman Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman yang melingkunginya.Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite Taine (1828-181893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi sosio-pulitik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya.Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli fisiologi, psikologi, linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.

1.3 Sejarah Sastra Indonesia Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia. Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat keindonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektulnya

agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia. Namun, pendapat yang teoretis itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada. Menurut Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani, karena kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan mempertemukan semangat intelektualitas Barat dengan semangat Kerohanian Timur. Poerbatjaraka berpendapat bahwa sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penyelidikan tentang jalannya sejarah sehingga orang dapat menengok ke belakang sebagai landasan melihat keadaan zaman yang bersangkutan dan selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang. Hingga sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi, pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masihrelatif sangat sedikit dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra. Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercata secara kronologis sebagai berikut: 1. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952), 2. Sejarah sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964), 3. Kesusastraan Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964), 4. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969), 5. Modern Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979), 6. Sastra Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980), 7. Sari Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981), 8. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988), 9. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan 10. Sejarah Sastar Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004). Di balik semua itu, barangkali sudah ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam skripsi, tesis dan disertasi. Akan tetapi, datanya masih sulit diandalkan sebagai rujukan untuk kepentingan pelajaran ini apabila belum terbit sebagai buku umum. Yang jelas, berbagai hasil penelitian itu merupakan bahan yang penting untuk penyusunan sejarah sastra Indonesia secara menyeluruh. Adapun sejumlah buku yang telah memperlihatkan persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah sastra Indonesia antara lain sebagai berikut: 1. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati (1971),

2. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layun Rampan (1973), 3. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Oleh Ajip Rosidi (1985), 4. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973), 5. Pengadilan Puisi oleh Pamusik Eneste (1986), 6. Perkembangan Novel-Novel Indonesia oleh Umar junus (1974), 7. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984), 8. Perkembangan Teater Modern dan Sastara Drama Indonesia oleh Jakob Sumardjo (1997), 9. Prahara Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995), 10. Puisi Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie layun Rampan (1980), 11. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Jawa Baratm oleh Diana N.Muis,dkk. (200), 12. Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia di Maluku oleh T.Tomasoa dkk. (2000), 13. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatra Utara oleh Aiyub dkk. (2000), dan 14. Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo (1995). 15. Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995). Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut: 1.

Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu

2. Period awal hingga 1933 3. Period 1933-1942 4. Period 1942-1945 5.

Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period, yaitu

6. Period 1945-1953 7. Period 1953-1961 8. Period 1061-1968 Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis. Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan

perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10 – 15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut: 1. Sastra Awal (1900 – an ), 2. Sastra Balai Pustaka (1920 – 1942) 3. Sastra Pujangga Baru (1930 – 1942) 4. Sastra Angkatan 45 (1942 – 1955) 5. Sastra Generasi Kisah (1955 – 1965) 6. Sastra Generasi Horison (1966) Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada nama badan penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B.Jassin dengan merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966. Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu (1) menerapkan teori estetika resepsi atau estetika tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. Di samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Yang sinkronis berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau periodenya, sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir. Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi. Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Periode Balai Pustaka

: 1920-1940

2. Periode Pujangga Baru

: 1930-1945

3. Periode Angkatan 45

: 1940-1955

4. Periode Angkatan 50

: 1950-1970

5. Periode Angkatan 70

: 1965-1984

Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai berikut: 1. Angkatan balai pustaka, 2. Angkatan pujangga baru, 3. Angkatan ’45,

4. Angkatan 50-an. 5. Angkatan 60-an, 6. Angkatan kontemporer (70-an–sekarang).

2. PERIODISASI SASTRA INDONESIA 2.1 PUJANGGA LAMA Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karyakaya penting berbahasa melayu terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Pansuri adalah yang pertama diantara penulis angkatan pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf Singkir serta Nuruddin Arraniri. Karya sastra pujangga lama 1. Hikayat Hikayat Abdullah Hikayat Aceh

Hikayat Kalia dan Damina Hikayat masyidullah

Hikayat Amir Hamzah

Hikayat Pandawa jaya

Hikayat Andaken Panurat

Hikayat Panda Tonderan

Hikayat Bayan Budiman

Hikayat Putri Djohar Munikam

Hikayat Hang Tuah Hikayat Iskandar Zulkarnaen Hikayat Kadirun 1. Syair Syair Bidasari Syair Ken Tambuhan Syair Raja Mambang Jauhari

Hikayat Sri Rama Hikayat Jendera Hasan Tasibul Hikayat

Syair Raja Siam 1. Kitab Agama Syarab Al Asyidiqin (minuman para pecinta) oleh Hamzah Panzuri Asrar Al-arifin (rahasia-rahasia gnostik) oleh Hamzah Panzuri Nur ad-duqa’iq (cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsudin Pasai. Bustan as-salatin (taman raja-raja) oleh Nuruddin Ar-Raniri.

2.2 SASTRA MELAYU LAMA Karya satra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatra seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatra lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat. Karya Sastra Melayu Lama Robinson Crousoe (terjemahan) Lawan-lawan Merah Grauf de Monte Cristo (terjemahan) Rocambole (terjemahan) Nyui Dasima oleh G. Prancis (indo) Bung Rampai oleh A.F. Bewali Kisah Perjanan Nahkoda Bontekoe kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R. Komer (indo) Cerita Nyonya Kong Hong Nio Nona Leonie Warna Sari Melayu oleh Kat. S.J Cerita Si Conat oleh F.D.J

2.3 ANGKATAN BALAI PUSTAKA 2.3.1 Angkatan Balai Pustaka Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciriciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi sastra

daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar romantisme. Angkatan Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya. Siti Nurbaya adalah roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahI Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara. Samsul Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka dimakamkan di Gunung Padang. Melalui cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat. Berikut ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).

2.3.2 Pembentukan Balai Pustaka

Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya sastra yang berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap novel penting pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern[19]

, tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin dan si Johan, pada 1919. Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial memegang tugas penting dalam penerbitan buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu kemudian dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai pencetus atau pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari segi sosial politik, badan itu sesungguhnya merupakan akibat dari suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu terhadap perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur[20]kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang perubahan sosial tersebut. Mula-mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan belajar sudah merasa puas apabila mereka sudah bisa membaca dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai keinginan untuk melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem pendidikan modern yang ada pada wa...


Similar Free PDFs