Sastra Wangi, Feminisme, dan Generasi Baru Sastra Indonesia PDF

Title Sastra Wangi, Feminisme, dan Generasi Baru Sastra Indonesia
Author Anja Pradnyaparamita
Pages 20
File Size 1001.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 556
Total Views 682

Summary

SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA Oleh: Anja Pradnyaparamita (51412109) Universitas Kristen Petra Surabaya I. Fungsi dan Kegunaan Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Sastra Wangi, Feminisme, dan Generasi Baru Sastra Indonesia Anja Pradnyaparamita

Related papers REFLEKSI PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK Sarip Hidayat

Krit ik Sast ra Feminis rizki kuscahyani Perempuan, Sast ra, Religiusit as Jamal Suryanat a

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA Oleh: Anja Pradnyaparamita (51412109) Universitas Kristen Petra Surabaya

I. Fungsi dan Kegunaan Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia, sedangkan hasilnya adalah sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman, dan naskah drama berbahasa Indonesia. Akan tetapi, definisi yang singkat dan sederhana itu dapat didebat dengan pendapat yang mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah kesuluruhan sastra yang berkembang di Indonesia selama ini. Istilah sastra klasik Indonesia dipergunakan oleh Robson (1978) dengan pengertian keseluruhan sastra daerah yang berkembang di Indonesia sebelum zaman modern atau sebelum abad ke-19. Perlu dicatat bahwa sekarang pun berkembang sastra-sastra daerah (sastra Sunda, Jawa, Bali, dan lain-lain) bersamaan dengan sastra (berbahasa) Indonesia. Jadi, istilah sastra klasik Indonesia tidak berhubungan dengan istilah sastra Indonesia modern yang terbatas pada sastra berbahasa Indonesia. Paparan singkat itu memberikan gambaran bahwa istilah sastra Indonesia ternyata tidak bermakna tunggal. Oleh karena itu, diperlukan kesepakatan normatif agar jelas maknanya dalam konteks pengkajian tertentu. Adapun hasilnya berupa ribuan teks puisi, ratusan cerita pendek (cerpen), ratusan novel atau roman, dan puluhan sastra drama yang telah tercetak di koran, majalah, dan buku. Semuanya merupakan khazanah pemikiran budaya bangsa yang telah diaktualisasikan oleh para pengarang dengan semangat zaman dan gaya pengucapan masing-masing. Dalam rentang sejarah sastra Indonesia selama ini tercatat sejumlah teks sastra yang boleh dikatakan “menembus zaman” dengan pengertian tidak hanya dibaca oleh generasi semasa penciptaan, tetapi juga dibaca oleh generasi semasa penciptaan, tetapi juga dibaca oleh generasi kemudian. (K.S., Yudiono. 2007, p. 11-13) Sastra wangi muncul pada awal 2000an, dengan ciri khas penuh dengan ekspresi pengarang, bebas, dan terbuka terutama dalam mengangkat hal yang tabu, yang awalnya

1 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

tidak layak diperbincangkan menjadi layak untuk dipublikasikan. Tentu saja yang paling dominan dalam sastra wangi adalah bidang seksualitas, baik dari segi psikologis maupun sosiologis karena sastra wangi mengandung unsur seksualitas yang frontal dan telanjang. Para penulis sastra wangi didominasi oleh perempuan-perempuan urban, sangat mencolok karena biasanya penulis sastra merupakan para lelaki. Para penulis sastra wangi menyuguhkan kehidupan yang selalu terlihat sebagai sisi gelap atau negatif dengan kemasan yang menarik dengan berbagai sudut pandang. Sastra wangi banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kaum karena membuat norma-norma yang sudah ada terlihat menyimpang. Ibnu Wahyudi (Dosen UI) menulis dalam salah satu jurnal mengatakan sastra wangi adalah istilah sesaat bagi kepopuleran sastra generasi perempuan yang mengandalkan tubuh. Dari definisi tersebut nampak jelas, bahwa penulis perempuan tersebut tidak hanya mengandalkan karyanya, tapi kecantikan dan seksinya penulis. Suatu Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, dinamika kesastraan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini diramaikan oleh para pengarang wanita. Dari situlah kehidupan sastra Indonesia semakin riuh—dengan munculnya beberapa penulis wanita—yang usianya relatif cukup muda, dan dengan kecenderungan berkarya yang kian beragam, bebas , dan berani. Sehingga banyak pemikir dan penikmat sastra, mereka disebut-sebut sebagai sastra wangi. Karena merujuk pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan (Lampung Post, Soroso). Tetapi hal yang lebih dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai tema seks yang bahkan sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. Seperti yang pernah ditulis oleh Saut Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Memang karya sastra adalah sebuah cerminan zaman yang penulis alami, suatu refleksi atas suatu pengalaman dan menulis dijadikan sebagai jalan perenungan. Tapi

2 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

kedatangannya karya mereka di dunia sastra Indonesia tidak lepas hanya sebuah cerminan fiktif. Akan tetapi, dunia fiktif ini bisa jadi mengandung nilai-nilai yang menjadi alternatif dari nilai-nilai yang selama ini mendominasi di dunia nyata. Nilai-nilai yang disodorkan dalam karya sastra ini bisa jadi baik atau bahkan lebih buruk, tergantung dari masyarakat yang mengkonsumsi karya sastra yang dimaksud. Penulis hanya memainkan parodi, paradok, dan ironi, sehingga tidak bisa memaksa masyarakat untuk menganut nilai-nilai dan norma-norma sosial tertentu. Namun, apa yang ditulisnya bisa menyuguhkan sesuatu yang up to date dan sedikit banyak bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat, walaupun dari segi emosional. Sebenarnya banyak novel yang berbau seksual, tapi tidak sevulgar novel-novel dari sastra wangi. Begitu eksplisitnya penggambaran tentang bagian selakangan, tanpa rasa malu. Sehingga bisa dipastikan karya-karya dari sastra wangi banyak yang menyengat aroma selakangan dan seks dijadikan permasalahan utama dalam penulisan. Kalau dimasukkan dalam jajaran segmen, jelas karya mereka sudah pasti masuk dalam segmen pembaca dewasa. Bukan hanya seks dan kevulgaran dalam pendeskripsian. Ditengok dari sudut pandang lain penulis sastra wangi juga banyak mengangkat ajaran moral yang baik, kritikan terhadap pemerintah, dan pernyataan gender. (Agus Sulton, 2010)

II. Tokoh Penting Berikut beberapa penulis sastra wangi yang mempunyai reputasi nasional dan internasional. a. Ayu Utami Ayu Utami, Saman (DKJ, 1998) adalah awal mula tonggak dominasi genre sastra baru di dunia ketiga, yaitu ”sastra wangi” tahun 2000-an. Namun kedatangan sastra wangi banyak yang memperdebatkan. (Agus Sulton, 2010)

3 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

Ayu Utami adalah penulis Indonesia yang memenangkan penghargaan nobel Pangeran Claus 2000. Karyanya dianggap telah memperluas cakrawala sastra Indonesia. Saman, novel debutnya, memenangkan juara pertama dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998, menjadi best seller dan telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa. Selama rezim militer Indonesia ia adalah seorang jurnalis dan aktivis kebebasan. Dia adalah salah satu pendiri dari Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi yang kemudian dilarang oleh Soeharto. Setelah perubahan politik, ia fokus menulis novel. Cerita-cerita yang ia buat mencerminkan masyarakat Indonesia dan situasi politik di negara pada saat itu. Di antara karya-karyanya ada trilogi 'True Stories' (Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks-Parasit Lajang) yang berbicara secara terbuka mengenai seks dan hubungan gender, dan serial 'Bilangan Fu', novel misteri yang berhubungan dengan budaya dan warisan Indonesia. Ayu Utami juga bekerja di Komunitas Salihara, sebuah pusat seni independen di Jakarta. (Ubud Writers Festival, 2013) Saman, yang diluncurkan pada 1998 sempat membuat heboh dunia sastra Indonesia. Di novel itu, Ayu dianggap terlalu berani. Dia mendobrak norma dan bicara hal yang masih tabu bagi sebagian besar orang Indonesia. Di novel itu, Ayu Utami bicara amat terbuka soal seks. Tak hanya berhenti di situ. Ayu masih terus menggebrak kemapanan di novel berikutnya, Larung dan Bilangan Fu. “Orang bilang saya pendobrak. Tapi, saya bukan anti kemapanan,” kata Ayu. “Kalau ada yang tidak adil, maka perlu dibicarakan. Dan, pemberontakan bukan tujuan utama saya.” Ketidakadilan dan moralitas berlebihan sangat mengganggu Ayu. Ketika bisa bikin novel, lulusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1994 ini ingin membebaskan bahasa Indonesia dari moralitas berlebihan itu. Sekalian, tentunya menggugat banyaknya ketidakadilan pada perempuan. Pada Bilangan Fu, pendobrakan itu makin luas. Ayu juga menggugat fundamentalisme yang selama sepuluh tahun belakangan ini makin berlebihan. (Tanjung, 2009) Pada sebuah percakapan online, saya memberanikan diri bertanya kepada Mbak Ayu Utami pendapat beliau mengenai sastra wangi. “Sastra wangi bukan istilah kritik sastra, tapi istilah media untuk penulis perempuan urban yang tampak berbeda

dari

penulis-penulis pria agraris sebelumnya,” balas perempuan Katolik kelahiran 21 November

4 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

1968 ini. “Jadi yang memakai istilah sastra wangi biasanya tidak bicara soal isi sastra melainkan tentang tampilan penulisnya.” Karya-karya Ayu Utami: a. Novel Saman, KPG, Jakarta, 1998 b. Novel Larung, KPG, Jakarta, 2001 c. Kumpulan Esai "Si Parasit Lajang", GagasMedia, Jakarta, 2003 d. Novel Bilangan Fu, KPG, Jakarta, 2008 e. Novel Manjali dan Cakrabirawa (Seri Bilangan Fu), KPG, Jakarta, 2010 f. Novel Cerita Cinta Enrico, KPG, Jakarta, 2012 g. Novel Soegija: 100% Indonesia, KPG, Jakarta, 2012 h. Novel Lalita (Seri Bilangan Fu), KPG, Jakarta, 2012 i. Novel Si Parasit Lajang, KPG, Jakarta, 2013 j. Novel Pengakuan: Eks Parasit Lajang, KPG, Jakarta, 2013

Penghargaan: a. Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 b. Prince Claus Award 2000

b. Djenar Maesa Ayu Djenar Maesa Ayu adalah seorang wanita kelahiran Jakarta, 10 Januari 1970, anak dari Sjumandjaya dan Toety Kirana. Janda dari Edi Wijaya, dan mempunyai

5 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

dua orang anak, Banyu Bening dan Batari Maharani. Djenar Maesa Ayu adalah salah satu penulis perempuan Indonesia yang cukup menonjol. Cerpen-cerpennya yang bernuansa feminine membuat namanya dikenal dan diperhitungkan. Namanya semakin melambung saat dia terjun ke dunia film. Djenar mengawali kariernya sebagai penulis cerita pendek (cerpen) dan kemudian menulis novel. Dia lahir dari keluarga yang dekat dengan seni. Ayahnya Sjumandjaya adalah seorang penulis dan sutradara terkemuka, sedangkan ibunya Toety Kirana adalah aktris era '70an. Dari kecil Djenar telah terbiasa dengan aktivitas seperti baca buku sastra, dan nonton film. Dalam menulis Djenar mengaku berguru pada nama-nama besar seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Coulzum Bachri. Mereka, menurut Djenar, memperkenalkannya pada keberanian dalam menulis. Keberaniannya menulis bertema feminisme dianggap sebagai kelanjutan dari kebangkitan perempuan pengarang era 2000-an. Sejumlah cerpennya dianggap banyak kritikus sastra sebagai karya yang mengelaborasi tema seksualitas dan dunia perempuan. Tak jarang, setiap karyanya terbit, selalu disertai kontroversi. Dia tak segan memasukan sejumlah tematema krusial seksualitas berikut idiom dan frasanya, seperti hubungan tak lazim dalam dunia seks, dan sejumlah tema pemberontakan perempuan yang selama ini masih jarang dijamah penulis lain. Karya-karya Djenar banyak mendobrak tabu dan tak jarang dinilai vulgar. Namun di sisi lain banyak yang menilai karyanya mencerahkan. Djenar termasuk perempuan penulis yang produktif. Dalam kurun waktu tujuh tahun, empat judul buku sudah tergarap, dan tiga di antaranya itu masuk sebagai shortlist anugerah sastra tahunan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, 2004 dan 2006. Dan setiap buku karyanya selalu termasuk deretan daftar buku best seller. Buku pertama Djenar yang berjudul „Mereka Bilang, Saya Monyet!‟ telah cetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, selain itu, buku ini juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Cerpen „Waktu Nayla‟ menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen „Asmoro‟ dalam antologi cerpen pilihan Kompas itu. Sementara cerpen „Menyusu Ayah‟ menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul „Suckling Father‟ untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan

6 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan. Buku keduanya, „Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)‟ juga meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya dua hari setelah buku itu diluncurkan pada bulan Februari 2005. Kumpulan cerpen berhasil ini meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004. „Nayla‟ adalah novel pertama Djenar yang juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Bukunya yang terbaru berjudul „Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek‟, yang merupakan kumpulan cerpen. Djenar akhirnya mengikuti jejak orang tuanya dengan terjun ke dunia film. Filmya yang paling terkenal adalah Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Yang digubah dari cerpennya sendiri dan disutradarainya sendiri. Menurut Djenar dia membuat film itu karena selalu saja ada niat untuk menuangkan sisi-sisi keberanian feminis yang berbeda. Berbeda dengan buku dalam film ini, dia bisa menuangkan kekayaan sastra dalam bentuk visual. Memang sebagaimana bukunya, film Djenar masih kental dengan feminisme. Karena itu orang menilai karya kakak musisi Aksan Sjuman itu tak jauh dari tema tentang seks dan kekerasan seks. Bahkan sisi kehidupan pribadinya juga dihadirkan dalam filmnya. Sebelum filmnya yang terkenal, Djenar mengaku telah membuat sebuah film, sayangnya tak bisa diterima penonton Indonesia. Menurut dia hal itu mungkin memang bukan pasarnya di Indonesia. (Viva Life)

Karya Djenar 2002

Mereka Bilang, Saya Monyet!, kumpulan cerpen

2003

Jangan Main-main Dengan Kelaminmu, kumpulan cerpen

2005

Naila, novel

2006

Cerita Pendek tentang Cerita yang Pendek, kumpulan cerpen

2008

Ranjang, novel

7 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

FILMOGRAFI 1990

Boneka dari Indiana

2006

Koper

2007

Mereka Bilang, Saya Monyet!

2008

Cinta Setaman

2009

Dikejar Setan

2010

Melodi

2011

Purple Love

ACARA TELEVISI 2006

Fenomena

2007

Silat Lidah

PENGHARGAAN 2003

Buku Mereka Bilang Saya Monyet masuk dalam nominasi 10 besar buku

terbaik Khatulistiwa Literary Award Cerpen “Waktu Nayla” menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik versi Jurnal Perempuan 2004

Buku Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) berhasil ini meraih

penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award

8 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

c. Fira Basuki Seorang wanita kelahiran Surabaya, 7 Juni 1972, sastrawan berkebangsaan Indonesia, dan menjabat sebagai pemimpin redaksi di majalah Cosmopolitan, Fira Basuki.

“Bagi dia, menulis adalah kebutuhan. Sama seperti makan, minum bahkan bernafas, jika tidak menulis, ia akan merasa blingsatan.”

Sejak masih kanak-kanak, Fira Basuki sudah yakin kalau dirinya terlahir untuk menjadi penulis. Bakat menulisnya mulai terasah saat ia masih berseragam sekolah. Saat duduk di bangku SMU, Fira terbilang rajin mengikuti berbagai lomba menulis yang diselenggarakan oleh majalah-majalah seperti Tempo dan Gadis. Beberapa lomba yang diikuti berhasil dijuarainya. Ketika keinginannya untuk menjadi seorang penulis mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, Fira pun semakin memantapkan pilihannya. Untuk mengasah bakat yang dimiliki, maka setamat dari SMA, ia melanjutkan pendidikan ke jurusan jurnalistik di Pittsburgh State University, Amerika Serikat. Waktu itu Fira merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mengambil kuliah jurnalistik di Negeri Paman Sam itu. Menginjak usia 29 tahun, wanita yang pernah menetap di Amerika Serikat selama 6 tahun itu mulai aktif menulis novel. Jendela-jendela, merupakan judul novel pertamanya yang berkisah tentang kehidupan pasangan suami istri dengan segala problematika rumah tangga. Karya pertamanya itu disambut hangat para penikmat novel ketika itu. Mendapat respon positif dari masyarakat, Fira kemudian menulis lanjutan kisah novel Jendela-Jendela. Sekuel novel itu kemudian diberi judul Pintu yang diterbitkan pada tahun 2002. Setahun kemudian, menyusul novel Atap yang juga masih merupakan lanjutan dari novel trilogi karya ibu satu anak itu. Koleksi karya sastra lulusan Wichita State University itu kian bertambah dengan diluncurkannya novel Biru dan Rojak.

9 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

Dari sekian banyak karyanya, hampir semua mengambil latar tempat di negaranegara dimana ia pernah menetap, seperti Amerika, Singapura, dan Indonesia. Alasannya sederhana saja, supaya ia dapat mendalami dan mendeskripsikan budaya setempat dengan begitu jelas.

Fira juga tak memungkiri novelnya sedikit terinspirasi dari kejadian yang pernah dialaminya, juga teman-temannya. Tapi, ada juga yang ia tangkap dari sekeliling, imajinasi, dan mimpi. Semua itu tercampur dalam proses kreatif. Tentunya hanya ia yang tahu mana pengalaman pribadinya dan temannya. Fira yang sejak kecil dididik dengan disiplin oleh kedua orangtuanya ini juga tidak menemui banyak hambatan saat harus menjalani profesi gandanya sebagai wartawan dan penulis. Sehingga tidak heran jika ia tak merasa kesulitan saat harus mengatur waktu di tengah jadwalnya yang padat. Ia juga tidak pernah bekerja berdasarkan mood melainkan didasari rasa tanggung jawab dan kecintaannya terhadap profesi. Sebagai seorang penulis perempuan, Fira Basuki juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan kaum hawa. Dengan pengalaman dan sudut pandangnya, ia mampu merangkai kata-kata dalam memaparkan penderitaan serta ketidakadilan yang kerap kali harus diterima seorang perempuan. (Copyright © tokohindonesia.com)

d. Dewi Lestari Novel “Supernova Satu”: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, itu diluncurkan 16 Februari 2001 di Taman Komponis Ismail Marzuki, Jakarta. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Dee lahir di Bandung, 20 Januari 1976 sebagai anak ke-4 dari 5 bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm). Ayahnya adalah seorang

10 | SASTRA WANGI, FEMINISME, DAN GENERASI BARU SASTRA INDONESIA (2013)

anggota TNI yang belajar piano secara otodidak sedangkan saudara-saudaranya pemain biola, guru piano, yang profesional. Keluarga Dee sama seperti keluarga kebanyakan yang hidup sederhana dan harus pandai-pandai mengatur keuangan. Tak banyak yang tahu bahwa sebelum ia banyak dibicarakan orang karena novelnya Supernova, ternyata cerpen Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpennya berjudul Sikat Gigi pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter. Sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993, ia mengirim tulisan berjudul Ekspresi ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis dimana ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul Rico the Coro yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. “Sarjana Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini mengakui bahwa novel Supernova berawal dari pergumul...


Similar Free PDFs