Title | Tentang Sastra Bandingan |
---|---|
Author | Manneke Budiman |
Pages | 217 |
File Size | 49 MB |
File Type | |
Total Downloads | 13 |
Total Views | 174 |
je. , • - - 5* r 2005 jurnal kebudayaan 22 Redaktur Tamu: Manneke Budiman Manneke Budiman Tentang Sastra Bandingan 3 Nirwan Dewanto Pembacaan Dekat atau Jauh? Melintasi Sastra dan Seni Rupa 11 Lisabona Rahman Tragedi Buah Apel: Seks dalam Karya Ayu Utami dan Erica Jong 33 Ari Jogaiswara Adipurwawid...
je. ,
•
- - 5*
r
22 2005
jurnal kebudayaan
Redaktur Tamu: Manneke Budiman
Manneke Budiman
Tentang Sastra Bandingan
Nirwan Dewanto
Pembacaan Dekat atau Jauh? Melintasi Sastra dan Seni Rupa
3
11
Tragedi Buah Apel: Seks dalam Karya
Lisabona Rahman
Ayu Utami dan Erica Jong
33
Ari Jogaiswara Adipurwawidjana, Lien Amalia, Lestari Manggong
Ambivalensi Naratif dan Transisi Sosial:
Lady Chatterley's Lover dan The Satanic Verses
55
Gender dan "Asia": Shanghai Baby dan
Intan Paramaditha
Andrew andJoey
81
u
Dari Manuskrip ke Cetakan: Sastra Sunda
Mikihiro Moriyama
Paruh Kedua Abad Ke-19
105
Rilke dan Chairil: Etos Kerja.Terjemah,
Michael Rinaldo
Silang Tenia Aquarini Priyatna Prabasmoro
Seks,Berahi, dan Cinta:Tiga Karya Nh. Dini
Melani Budianta
TigaWajah Julius Caesar: Gender dan Politik dalam Terjemahan
Cerita-Cerita yang Mengembara
A. Zaim Rofiqi
121 155
175 197
I •
S.Prinka (1947-2004)
OBITUARI
213
BIODATA
•
kalam 22
209
GAMBAR KULIT MUKA: Muhamad Yusuf, Perjanjian Politik Antara Kaum Brahmana dan Tunequl Ametuns, cat akrilik, 70 x 140 cm, 2003-2005.
KREDIT GAMBAR: Enin Supriyanto (10, 80, 120, 143, 154, 174, 198, 212).
Tulisan Nirwan Dewanto (11-32), Lisabona Rahman (33-54), Intan Paramaditha (81-104), dan Mikihiro Moriyama (105-119) berasal dari Konferensi Intemasional Kesusastraan XV Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), 25-27 Agustus 2004, di Manado.
REDAKSI, NOMOR INI: Alex Supartono, Ayu Utami, Eko Endarmoko (sekretaris), Goenawan
Mohamad, Hasif Amini (ketua), Nirwan Dewanto, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge
DESAIN: Ari Prameswari. MANAJEMEN: Zulkifly Lubis. ALAMAT REDAKSI &TATA USAHA- Jl Utan Kayu 68H, Jakarta 13120, Tel (021) 8573388 pes. 106, 141-147, Fax. (021) 8573387 Surat-e-
[email protected]. PENERBIT: Yayasan Kalam.
Memuat karya sastra dan karya telaah dari pelbagai disiplin, kalam adalah jurnal kebudayaan
yang menjadi bagian dari Komunitas Utan Kayu. kalam sangat menghargai cara pandang bam
dan gagasan segar. Kami tak membatasi diri dengan pokok dan aliran tertentu; kami terbuka
untuk pelbagai eksperimen penciptaan. kalam mengundang anda menulis. Harap anda mengirim dalam bentuk cetakan, dalam disket, atau lewat surat-e. Untuk karya terjemahan, harap menyertakan fotokopi dan sumbernya. Kami mengunoang juga para perupa membuat
kulit depan maupun gambar di halaman dalam. Jangan lupa menyertakan biodata anda yang
cukup lengkap (terutama kegiatan dan karya terbaru).
1
kalam 22
<
»
r
MANNEKE BUDIMAN
TENTANG SASTRA BANDINGAN
TV\HUN 1993, Susan Bassnett, seorang komparatis terkemuka, melontarkan pernyataan yang menantang soal sastra bandingan. la mem'aklunikan "mati"-nya sastra bandingan dengan mengatakan: "Today, compa rative literature in one sense is dead"} Bassnett tidak bermaksud mengimdang perbantahan karena apa yang ia lontarkan itu ada benarnya, terutama jika yang dimaksud adalah praktik tradisional dalam membandingkan sastra yang cenderung Erosentris, khususnya di "pnsat-pusat" disiplin sastra ban dingan, seperti Prancis,Jerman, dan Amerika Serikat.
Di tempat-tenipat itu sastra bandingan sudah sangat berubah, baik dari segi pemikiran maupun kelembagaan, karena beberapa sebab. Pertama, di tempat-tempat yang pada mulanya tidak mengenal sastra bandingan sebagai sebuah disiplin, kliususnya di Duiiia Ketiga, telah bermunculan banyak "pusat" baru untuk kajian sastra bandingan. Mereka menangkap adanya peluang pemberdayaan diri lewat kajian bandingan atas teks-teks yang di Barat mungkin akan dianggap "Liyan" dan, oleh sebab itu, cenderung terpinggirkan.Jadi, kerja membandingkan sastra tak lagi dilakukan sebatas karya-karya sastra Eropa-Amerika atanpun di kedua benua itu saja. Bagi sebagian pembaca, barangjcali ada satu hal lain yang mengusik di samping pernyataan Susan Bassnett itu. Pendekatan yang saya gunakan un tuk berbicara tentang sastra bandingan berada dalam konteks disiplin ilmiah dan, dengan demikian, tak dapat dilepaskan dari metode dan institusi akademik. Sejarah perkembangan sastra bandingan di berbagai tempat jelas memperlihatkan bahwa sastra bandingan bukan cunia perkara memban1 Susan Bassnett, Comparative Literature: A Critical Introduction (Oxford: Blackwell, 1993), 47.
kalam 22
3
s—;=»-
MANNEKE BUDIMAN
dingkan sebuah teks dengan teks lain sebagai suatu "kerja kesenian". De ngan kata lain, suatu kajian bandingan bam diterima sebagai sebuah kerja intelektual yang absah ketika ada kerangka konseptual-teoritis tertentu yang dioperasikan. Konsekuensinya adalah tidak semua orang yang melakukan kerja bandingan atas dua teks sastra atau lebih dapat disebut sebagai seorang komparatis.
Tentu saja, posisi itu dapat terus-menerus diperdebatkan. Namun, dalam kerangka sinyaleinen Bassnett tentang "mati"-nya sastra bandingan, posisi
yang saya ambil itu semoga cukup masuk akal. Ini lalu membawa saya ke alasan kedua terkait dengan gong "kematian" sastra bandingan tersebut. Persoalan teori tumt berperan besar dalam membawa praktik sastra ban
dingan tradisional menuju ke titik kritis tersebut. Sebabnya adalah di negara-negaia berbahasa Inggris, dan bahkan mungkin juga di banyak tempat lain, melemahnya sastra bandingan sebagai sebuah institusi akademik secara keseluruhan dipicu pula oleh pengambilalihan kekuasaan atas teori oleh jurusan-jurusan sastra Inggris. Karena sejarah panjang imperialisme, jurusan-
jurusan sastra Inggris mengklaim bahwa mereka pun berhak atas wilayahwilayah budaya non-Barat yang, di mata para komparatis, dipandang seba gai area mereka. Kajian bandingan atas sastra-sastra di bekas koloni Inggris diyakini cukup sah dilakukan di jurusan sastra Inggris dan, karena keberterimaan suatu kajian utamanya diukur dari bagaimana suatu teori dioperasi kan dalam pendekatan, otoritas atas teori pun tak lagi terletak di satu tangan. Hal ketiga yang juga masih berkaitan dengan masalah teori dan turut
mempercepat kematian sastra bandingan yang Erosentris adalah munculnya cultural studies. Dalam cultural studies, kebudayaan dikaji melalui berbagai macam teks, dan sastra tidak diperlakukan secara istimewa. Di lain pihak, ba
nyak teori yang selama ini digunakan dalam kajian sastra kemudian juga diRingsikan dalam cultural studies, tetapi dengan tujuan untuk berbicara ten tang fenomena budaya nonsastra. Jadi, meskipun sastra bandingan menyediakan wadah bagi dialog antarteks dan antarbudaya, banyak porsi dari peranan tersebut yang diambil alih baik oleh studi sastra Inggris maupun cul tural studies.
Lebih parah lagi, lahirnya studi terjemahan Sebagai sebuah disiplin baru yang mengklaim kemandirian dari studi bahasa ataupun studi sastra kian membuat sastra bandingan kehilangan pamornya. Apakah sesungguhnya hubungan antara penerjemahan dan sastra bandingan? Kita tentu ingat 4
kalam 22
TENTANG SASTRA BANDINGAN
bahwa kolonialisme juga membawa sejenis aktivitas baru dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam filologi atau kajian naskah lama. Banyak naskah klasik dari berbagai kebudayaan non-Eropa yang diterjemahkan ke da
lam bahasa-bahasa Barat selama berlangsungnya kolonialisme. Meskipun ada bermacam-macam kepentingan dan motivasi dalam proyek besar pe nerjemahan naskah-naskah klasik itu, pemikiran dominan yang melatarbe-
lakanginya kurang-lebih adalah pengukuhan superioritas Eropa atas Liyan di luar dirinya.
Cara berpikir seperti ini sesungguhnya telah ada sejak masa Romawi
klasik dan tampaknya menjadi cikal bakal praktik sastra bandingan tradisional. Hugo Friedrich, dalam sebuah pidato di Heidelberg, memperlihatkan bagaimana kecendemngan ini secara konsisten muncul dalam tradisi pener jemahan di Eropa, paling tidak, hingga paruh pertama abad ke-18. la mengutip Saint Jerome, penerjemah kitab Septuagint dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, yang menyatakan bahwa seorang penerjemah memiliki hak prerogatif seorang penakluk (iure victoris) untuk mengalihkan gagasan dari
bahasa asing ke bahasanya sendiri. Para intelektual Romawi kala itu juga menempatkan teks terjemahan dalam kontestasi dengan teks asli, dan tujuan penerjemahan adalah untuk melampaui teb asli itu. Dalam hal ini, teks asli pun menjadi sumber pengayaan bagi bahasa sendiri. Edward Said2 menunjukkan bahwa pola pikir semacam itu tidaklah
berhenti pada abad ke-18, melainkan berlanjut hingga ke abad-abad berikutnya. Terjemahan dilakukan bukan hanya untuk membandingkan baha
sa-bahasa Timur dengan bahasa-bahasa Barat, tetapi juga untuk mengenal adat-istiadat, cara berpikir, tradisi, sejarah, dan agama orang Timur demi mempertahankan superioritas Barat atas mereka. Gagasan ini disampaikan oleh Lord Curzon dalam pidatonya di depanThe House ofLords di Parle-
men« Inggris, pada 1909. Lebih lanjut, Edward Fitzgerald, penerjemah se-
jumlah syair Parsi, dalam sebuah suratnya pada 1851 malah terang-terangan mengatakan bahwa kerja penerjemahan atas sastra Parsi yang dilakukannya adalah perkara sepele karena para penyair Parsi tidak cukup berkualitas dibandingkan dengan rekan sejawatnya di Barat. Upayanya menerjemahkan teks-teks Parsi, katanya, justru akan memberi bobot seni yang lebih tinggi kepada kesusastraan Parsi, yang dinilai masih "mentah" itu. Edward W. Said, Orientalism (NewYork: Random House, 1978). kalam 22
"•*•
MANNEKE BUDIMAN
Praktik sastra bandingan di Barat lahir dalam suasana intelektual seperti itu dan, ketika sastra bandingan mulai mengalami pemapanan sebagai sebu ah institusi akademik, ia pun menjadi bagian dari sebuah body of knowledge mahabesar yang disebut orientalisme, bersama-sama dengan filologi, antropologi, dan studi-studi sastra nasional yang telah ada sebelumnya. Kelahiran kembali penerjemahan sebagai sebuah studi mandiri menjadi sebuah institusi akademik, sudah barang tentu, membuat nasib sastra bandingan menjadi kian tak menentu.(
Selanjutnya, ketika kesadaran akan pentingnya dialog antarbudaya makin mengental bersama dengan datangnya masa pascakolonial dan kajian-kajian sastra non-Barat mulai diperhitungkan dalam kerja sastra bandingan, posisi teori pun menjadi semakin penting. Ini terjadi tidak hanya dalam sastra bandingan, tetapi juga dalam kajian sastra di jurusan-jurusan sastra Inggris, dalam cultural studies, dan juga dalam studi terjemahan. Mungkin ini sebabnya Steven Totosy de Zepetnek3 sangat berkepentingan untuk menegaskan posisi sentral metode dalam penelitian sastra bandingan. Sastra bandingan, menurutnya, perlu lebih terfokus pada upaya menjawab pertanyaan "bagaimana" ketimbang sekadar berkutat dengan pertanyaan "apa". Persaingan dengan disiplin-disiplin sejenislah, antara lain, yang mendorong timbulnya keterikatan dengan teori dan metode ini. Baginya, ketidakpedulian pada metodologi telah mengakibatkan kegagalan sastra bandingan tradisional da lam merangkul dan memahami sastra secara inter-, intra-, dan multi-disipliner. Akibatnya, studi sastra bandingan, atau bahkan studi sastra secara umum, terancam kehilangan relevansinya.
Implikasi pernyataan tersebut jelas serius. Mengamati sastra dari luar teks dianggap lebih penting daripada menghayatinya sebagai sebuah penga-
laman. Pendekatan yang bersifat "intuitif", bernada eseistik, dan penuh dengan* ungkapan metaforik dalam inemperbincangkan sastra tak punya tempat yang layak dalam skema ini. Pertanyaannya kemudian: di mana tem-
pat pembacaan dekat dan pembacaan jauh? Pembacaan dekat kerap diletakkan pada tataran pengalaman membaca dari dalam teks yang banyak mengandalkan intuisi dan, akibatnya, derajat keilmiahannya kurang. Di lain pihak, pembacaan jauh tak jarang dinilai terlalu teoritis, kurang memberiSteven Totosy de Zepetnek, Comparative Literature: Theory, Method, Application (Amster dam dan Atlanta: Rodopi, 1998), 13. 6
kalam 22
•
r
TENTANG SASTRA BANDINGAN
kan kenikmatan penghayatan, dan terlalu asyik bermain-main di luar teks.
Dapatkah sastra bandingan, sebagai sebuah metode membaca sastra, berbicara tentang pengalaman membaca secara rinci dan mendalam, sambil pada saat
yang sama secara metodologis dapat diterima keilmiahannya? Persoalan ini membawa kita kembali ke "bagaimana" sastra bandingan semestinya dila-
kukan.Jika hal ini dapat dijawab dengan memuaskan, barangkali kita akan lebih siap untuk kembali berhadapan dengan pertanyaan yang lebih hakiki: apakah sastra bandingan itu?
Para komparatis—baik yang bergelut dengan teori maupun yang bergerak pada tataran praktik—percaya bahwa upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah akan berujung pada kesia-siaan. Secara sederhana dan minimalis, Bassnett mengemukakan bahwa sastra bandingan adalah
kajian interdisipliner atas teks-teks secara lintas budaya yang terfckus pada pola-pola hubungan dalam sastra-sastra yang berbeda baik yang bersifat lintas ruang maupun lintas waktu. Dikatakan minimalis karena ada banyak praktik kajian sastra yang melibatkan lebih dari satu teks, tetapi tidak dilakukan secara lintas budaya, lintas ruang, ataupun lintas waktu. Tidak sulit
bagi kita untuk menerima kajian seperti ini sebagai sebuah kerja banding an. Bahkan, kedua teks yang dibandingkan pun tidak hams teks sastra, di
jurusan-jurusan sastra bandingan di berbagai universitas sudah berlangsung banyak kajian bandingan atas teks sastra dengan teks nonsastra. Satu hal yang pasti berkaitan dengan pengertian yang ditawarkan Bass nett itu adalah bahwa apa pun persoalannya, sastra bandingan adalah ten
tang relasi, dan bukan tentang esensi. Dan apabila aspek ini yang menjadi lokus sentral sastra bandingan, maka dikotomi antara pembacaan dekat dan
pembacaan jauh mestinya tak lagi menjadi masalah besar sejauh keduanya difiingsikan khususnya sebagai metode untuk mengungkapkan relasi-relasi alih-alih esensi-esensi. Akar pemikiran ini sudah terlihat sejak tahun 1920an dalam Formalisme Rusia, terutama dalam gagasan-gagasan Yuri Tynya-
nov, dan masih terasa gaungnya pada masa kini dalam karya sejumlah sar-
jana, seperti dalam konsep polisistem Itamar Even-Zohar, seorang teoritikus studi terjemahan dan Israel. Bila Tynyanov menyarankan bahwa kajian atas bentuk sebuah teks dilakukan untuk melihat hubunganhubungan dalam sastra, maka Even-Zohar melihat sastra sebagai sebuah sistem yang bersifat terbuka, historis, dan interpretif. Gagasan Even-Zohar ini tetap berlaku bahkan jika kita percaya pada paradigma Saussurean yang kalam 22
1 MANNEKE BUDIMAN
mengunci bahasa—komponen primer yang menjadi prasyarat bagi adanya sastra—sebagai sebuah sistem tertutup. Dalam kerangka inilah peranan
sastra bandingan sebagai sarana pengaktian atas Liyan dan sarana dialog dengan Liyan itu memperoleh ruang geraknya. Mestinya tak berlebihan untuk dikatakan bahwa Tynyanov dan Even-Zohar telah meletakkan
fondasi penting bagi disiplin sastra bandingan yang lebih modern.
Seorang rahib yang hidup pada abad ke-12 berkata, "Orang yang masih terikat pada tanah airnya adalah seorang pemula; orang yang merasa kerasan di mana pun ia berada adalah seorang yang mahir; tetapi orang yang memandang seluruh dunia sebagai sebuah negeri asing adalah seorang ahli." Dalam kaitan dengan konsep-konsep fundamental di atas, kata-kata
sang rahib menjadi penting. Sebabnya adalah bahwa, hingga saat ini, masih kuat tertanam asumsi akan adanya suatu wacana yang utuh ten tang sastra, yang dapat direkonstruksi melalui suatu kajian yang meto-
dologis dan ilmiah, meskipun ada keragaman dan kemajemukan fenomena dalam sastra. Sastra bandingan pun tak luput dari jerat pemikiran semacam ini.
Memang betul bahwa pada Zaman Pertengahan dahulu sastra-sastra di
Eropa dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah kesusastraan yang utuh dan
besar, terutama karena bahasa Latin di kala itu merupakan bahasa yang umum digunakan dalam penciptaan sastra. Namun, mulai abad ke-19,
dengan berkembangnya studi-studi bandingan atas agama dan mitologi, pa ra sarjana di Eropa mulai mengembangkan berbagai teori dan metode un
tuk melakukan hal yang sama di bidang sastra dari berbagai latar belakang bahasa dan kebangsaan. Mungkin juga bukan suatu kebetulan bahwa, pada kurun waktu yang kurang lebih sama, di Eropa lahir gagasan tentang nasionalisme.yang mendorong penegasan atas perbedaan satu bangsa dengan bangsa lainnya di benua itu. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh cara ber pikir dengan orientasi keutuhan ini datang dari bermunculannya sastra-sastra di luar Eropa yang kajiannya lebih terfokus pada penggalian atas perbedaan daripada upaya pencarian kesamaan atau saling pengaruh. Ada atau tidaknya para-
digma atau orientasi ini sebagai semangat dan sasaran kerja bandingan dalam sastra bisa saja dijadikan salah satu indikator untuk menentukan apa yang dapat disebut kerja bandingan dan apa yang bukan pada masa kini.
Perjalanan sastra bandingan untuk menemukan dirinya dan menjelaskan 8
kalam 22
.
TENTANG SASTRA BANDINGAN
i
dirinya sendiri tampaknya masih panjang, meskipun kematiannya telah te-
lanjur diumumkan. Dikotomi antara kerja bandingan yang ilmiah dan kerja bandingan yang populer, misalnya, adalah persoalan yang masih akan terns membayangi para komparatis. Terlepas dari kehadiran teori dan metode yang cenderung dominan dalam perkenibangan disiplin sastra bandingan kini, jenis "akademisme" yang dipromosikan De Zepetnek tidak boleh dibiarkan menjadi perangkap. Dalam cakupannya yang paling luas, sastra ban dingan mestinya juga mampu menjangkau "teks-teks" nonsastra, seperti film, musik, fotografi, seni lukis, dan Iain-lain di samping berdialog dengan bidang-bidang kehidupan kultural, seperti agama, teknologi, politik, dan lain-lain. Meskipun suatu metode membaca kedua jenis teks yang berbeda spesies itu diperlukan, kelihatannya perlu ada batas yang jelas sejauh mana seorang komparatis hams menguasai teori yang terkait dengan masing-masing jenis teks.
Persoalannya sama dengan yang menghantui dunia penerjemahan. Seca ra ideal, seorang penerjemah hams menguasai dua bahasa dengan sama sempurnanya bila hendak menerjemahkan sebuah teks dari satu bahasa ke
bahasa lain. Seorang komparatis pun menghadapi tuntutan yang sama. Mampukah kondisi ideal ini dicapai tanpa mengakibatkan munculnya komparatis yang spesialis, seperti halnya dengan penerjemah bilingual yang spesialis? Padahal, semangat dasar sastra bandingan adalah keluasan dan ke-
terbukaan, bukan spesialisasi. Dan yang hendak diciptakan adalah komparatis-komparatis, bukan spesialis. Yang jelas, kerja bandingan tidak dapat dihentikan atau dikekang oleh pertimbangan-pertimbangan teoritis dan metodologis. Jika institusi-institusi akademik tempat disiplin sastra bandingan selama ini berada membiarkan dirinya tems-menerus terpukau oleh dimensi teoritis, bisa-bisa mereka akan kehilangan sastra bandingan sama sekali untuk selama-lamanya karena para komparatis di luar dinding universi tas lebih mampu menyikapi persoalan teori dan metode dengan lebih ringan hati dan kurang pe...