SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M PDF

Title SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M
Author Nadya Afiqma
Pages 53
File Size 914.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 19
Total Views 242

Summary

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M Ditulis oleh Pendidikan Sejarah Off-D Nadya Afiqma Wahda 140731602960 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH April 2015 BAB I PRANATA POLITIK A. Kondisi Banten Banten merupakan provinsi yang berada di ujung barat pulau Jawa, y...


Description

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M

Ditulis oleh Pendidikan Sejarah Off-D Nadya Afiqma Wahda 140731602960

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH April 2015

BAB I PRANATA POLITIK A. Kondisi Banten Banten merupakan provinsi yang berada di ujung barat pulau Jawa, yang secara administratif berdiri sebagai provinsi pada tahun 2000. Letak geografis Gambar 1.1 Peta Lokasi Banten Banten pada batas astronomis adalah 1050 1’112 – 10607’122 BT dan 507’502 – 701’12 LS. Banten secara umum merupakan dataran rendah yang berada pada 0-200 mdpl (bpkp.go.id). Banten merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran penting di masa silam dengan berdirinya sebuah kerajaan yang bercorak Hindu dan kesultanan yang bercorak Islam. Heukeun (dalam Lubis, 2003:25) menjelaskan asal mula Banten disebut sebagai nama suatu tempat yakni merujuk pada sumber asing, yaitu sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), nama Banten disebut sebagai tempat yang terletak dalam beberapa rute pelayaran; Tanjung Sekong – Gresik – Jaratan; Banten – Timor; Banten – Demak; Banten – Banjarmasin; Kreung (Aceh) – Barus - Pariaman – Banten. Rute pelayaran ini dibuat Mao’K’un pada sekitar tahun 1421. Dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan (1433) Banten disebut Shunt’a (maksudnya Sunda).

Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

2

Banten juga disebut dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513) sebagai salah satu bandar Kerajaan Sunda yang cukup ramai. Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sebatang sungai, yang dikepalai oleh seorang syahbandar. Kesaksian Tome Pires ini dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah berperan sebelum berdiri Kesultanan Banten (Sutjiatiningsih, 1997). Sekalipun berdasarkan penemuan prasasti, disebut pula dalam Prasasti Kebon Kopi di daerah Bogor, yang menandakan keberadaan Kerajaan Banten Girang ada pada tahun 932 M (Boedhihartono dkk, 2009:140). Dalam cerita lokal, nama Banten disebut paling awal dalam naskah Carita Parahiyangan, yang ditulis pada tahun 1580, dalam naskah ini disebutkan adanya sebuah tempat yang disebut “Wahanten Girang” yang dapat dihubungkan dengan nama Banten. Dalam Tambo Tulangbawang dan Primbon Bayah, serta berita Cina, hingga abad ke13, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Selain itu, nama Banten jelas disebut dalam naskah-naskah Sadjarah Banten. Ada sekitar 31 versi dari naskah ini, tetapi yang paling tua ditulis tahun 1662/1663 (Lubis, 2003). Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Kesultanan ini berdiri sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan, kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan (Abimanyu, 2014).

B. Penaklukan Wahanten Girang Sebelum berwujud sebagai suatu kesultanan, wilayah Banten termasuk bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran. Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16 M, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dan anaknya yang bernama Prabu Seda, dengan pusat pemerintahan Kabupaten di Banten Girang (Banten Hulu) di bagian pedalaman. Dan lokasi Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan (Jakarta.go.id, 2010).

Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

3

Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan sebuah kota berdiri dengan nama Wahanten Girang yang dapat dikaitkan dengan nama Banten lama (de Graaf&Pigeaud. 1989:147), yang merupakan tempat kedudukan pengusaha Sunda sebelum didirikannya kerajaan baru oleh Maulana Hasanuddin, sultan Banten Pertama (Untoro, 2007:26). Kala itu, Padjajaran merupakan satu-satunya kerajaan Hindu yang masih eksis di Pulau Jawa. Para wali menggelar perundingan dan memutuskan untuk menguasai Banten terlebih dahulu. Sebab, Banten merupakan pintu gerbang untuk masuk ke Jawa Barat. Pada tahun 1525 M, atas perintah dari Sultan Trenggono dari kerajaan Demak, pasukan gabungan dari Kesultanan Demak dan Cirebon bersama laskar-marinir yang dipimpin oleh Fatahillah (Demak) dan Maulana Hasanuddin menyerbu Kadipaten Banten Girang yang bercorak Hindu. Pasukan gabungan itu tidak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Michrob dan Chudari (dalam Lubis, 2003:28) menyebutkan bahwa Hasanuddin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (Banten Girang) pada tahun 1525. Kemudian atas petunjuk Sunan Gunung Jati. Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan kota Banten, yang tadinya berada di pedalaman Banten Girang (Tiga kilometer dari kota Serang) ke dekat pelabuhan Banten. Hal ini terjadi pada tanggal 1 Muharram tahun 933 Hijriah yang bertepatan 8 Oktober 1526. Secara strategi perang, Padjajaran memang kalah oleh Demak dan Cirebon, sehingga Syarif Hidayatullah berani menempatkan anaknya, Maulana Hasanuddin di Banten. Kerajaan Banten Gambar 1.2 Peta Wilayah Banten Kuno bercorak Islam didirikan Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

4

karena Kesultanan Cirebon mendengar informasi adanya perjanjian antara Portugis dengan Kerajaan Padjajaran yang berencana membangun benteng di Sunda Kelapa (Jakarta). Konon, Portugis dan Padjajaran berniat untuk menghambat penyebaran Islam di bagian barat Pulau Jawa.

C. Pendiri Dinasti Setelah penaklukan tersebut, pada 1526 lahirlah Kadipaten Banten yang bercorak Islam dibawah naungan Kerajaan Demak dan Cirebon. Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai adipatinya. Pada tahun yang sama, Maulana Hasanuddin menikah dengan Nyi Ratu Ayu Kirana, putri mahkota Sultan Trenggana (Demak III). Saat itu usia Hasanuddin masih 26 tahun (Republika, tt). Semenjak Banten Girang berhasil dikalahkan oleh penguasa Islam, terjadilah peralihan kekuasaan. Kekuasaan Islam bertambah jaya ketika pusat Kesultanan Banten dipindah ke Banten Lama yang terletak di kawasan pesisir pantai utara Pulau Jawa bagian barat. Pemindahan ini merupakan suatu pilihan penting untuk mengembangkan perdagangan, sehingga bandar Banten di pesisir yang berfungsi pusat politik maupun ekonomi berkembang dengan pesat. Pemindahan kota pusat kerajaan itu dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir utara pulau Jawa dengan pesisir Sumatera bagian barat melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia. Sejarah perkembangan dan penyebaran Islam di “tanah para jawara” itu tak lepas dari pengaruh Kesultanan Cirebon. Islam telah masuk di Banten sekitar tahun 1524-1525, semasa Banten masih di bawah pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran. Adalah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) seorang ulama yang memimpin Cirebon yang menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa itu. Syarif Hidayatullah bahkan sempat menjadi penguasa Islam pertama di Banten. Namun, ia tak mengangkat dirinya sebagai sultan. Tahta kesultanan itu diamanahkan kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin. Oleh Kesultanan Demak dan Cirebon, Maulana

Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

5

Hasanuddin ditugaskan untuk mengislamkan bagian barat Pulau Jawa, tepatnya Banten. Pada mulanya memang Banten masih merupakan wilayah penaklukan yang berada dalam naungan Kerajaan Demak, namun sejak masa kepemimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570) kerajaan Banten melepaskan diri dari supremasi Demak. Dengan demikian, Banten berdiri menjadi sebuah Kesultanan dengan pemerintahan yang mandiri dengan potensi-potensi yang dimilikinya tanpa diikut campuri oleh kekuasaan dari kerajaan atau kesultanan yang lain.

D. Perkembangan Kesultanan Banten Sejak Banten berdiri sebagai kesultanan mandiri pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin pun mulai membangun kota Banten sebagai negara kota (city state), sekaligus sebagai kota bandar (harbour city). Tata letak keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan jaringan jalan menunjukkan pola morfologi kota yang hampir sama dengan kota-kota Islam lainnya di Jawa, seperti Cirebon dan Demak. Benteng pertahanan pun mulai dibangun di sekeliling negara kota itu. Penduduk yang terkonsentasi di kota Benteng tersebut pada saat itu berjumlah sekitar 70 ribu jiwa. Maulana Hasanuddin kemudian mengkonsolidasi pasukan dan mendeklarasikan Banten sebagai kesultanan independen dari Demak. Sehingga pada 1552, lahirlah Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Ia memerintah selama 18 tahun (1552-1570). Kota Surosowan (Banten Lor) pun didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten. Sultan Maulana Hasanuddin adalah raja sekaligus pemuka agama. Ia memberikan andil yang sangat besar dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam, seperti pesantren. Ia juga mengirim mubalig ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Sebagai sultan pertama, Maulana Hasanuddin membangun insfrastruktur perkotaan Islam modern, antara lain.  Membangun Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintah.  Membangun Masjid Agung Banten sebagai pusat peribadatan. Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

6

 Membangun Alun-alun sebagai pusat informasi dan berkomunikasi dengan rakyatnya.  Membangun Pelabuhan Karangantu sebagai pelabuhan internasional yang menghantarkan Banten sebagai kesultanan dengan pelabuhan terkuat di Nusantara. Pesatnya aktivitas niaga yang berlangsung di berbagai bandar tersebut, terutama di Sunda Kelapa dan Banten tidak terlepas dari pengaruh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Pedagangpedagang Islam yang semula berdatangan ke Malaka, mulai enggan berhubungan dengan pedagang Portugis yang beragama Kristen. Portugis pun lebih suka berdagang dengan orang yang beragama Hindu. Karena Selat Malaka dan kota Malaka pada masa itu telah dikuasai Portugis, maka tak sedikit para pedagang datang untuk mengadakan transaksi jual beli berbagai komoditas di Banten. Sumber tertulis menyebutkan para pedagang itu berasal dari Arab, Abesinia, Belanda, Cina, Denmark, Gujarat (India), Inggris, Portugis, Prancis, Persia, dan Turki (Boedhihartono dkk, 2009:141). Kebesaran Kesultanan Banten pada masa itu ditunjang oleh beberapa faktor, seperti letak geografis yang stategis, kondisi lingkungan (ekologis) yang menguntungkan, struktur masyarakat, dan pemerintahan yang kuat. Pada waktu kota Banten menjadi pusat pemerintahan, kota ini banyak didatangi oleh para pedagang asing dan Nusantara. Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten telah merupakan pelabuhan besar di Jawa sejajar dengan Malaka. Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi dua bagian itu dapat dilayari oleh perahu jenis Jung dan Galen. Pada satu tepi sungai berjajar benteng-benteng yang dibuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam. Couto (dalam Lubis, 2003:30) melukiskan bandar ini sebagai berikut: “Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Ditepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk kedalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah yang jernih, Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

7

dimana kapan Jung dan Gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Teluk itu di beberapa tempat berlumpur, dan di beberapa tempat lagi berpasir; dalamnya dari enam hingga dua depa”. Di tengah kota terdapat sebuah lapangan luas, disebut Alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Di sampingnya, terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Willem Lodewycks (1596) (dalam Lubis, 2003:30) menggambarkan keramaian perdagangan Banten sebagai berikut. Di Banten ada tiga pasar yang dibuka tiap hari. Yang pertama dan terbesar terletak disebelah timur kota (Karangantu). Disana banyak ditemukan pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilon (India), Pegu (Birma), Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan dari seluruh nusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi. Pasar kedua terletak di Alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah hari bahkan sampai sore. Di pasar ini, diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata keris, tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain putih untuk bahan batik, binatang peliharaan, kambing dan sayuran. Demikian besarnya pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama pelabuhan. Pasar ketiga terletak di daerah Pecinan yang dibuka setiap hari sampai malam”. Maulana Hasanuddin juga menjalin persahabatan yang erat dengan Kerajaan Indrapura di Sumatra, yang diperkuat dengan pernikahan politik antara Hasanuddin dengan putri Raja Indrapura. Penguasa Banten berikutnya adalah Maulana Yusuf yang memimpin dari tahun 1570 - 1580 Masehi. Tahun 1579 M, Banten Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

8

berhasil menaklukkan Pakuan, ibukota Pajajaran. Setelah Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580, tahta kerajaan dipegang oleh Maulana Muhammad, putranya yang masih berumur 9 tahun. Karena masih muda pemerintahan dijalankan oleh badan perwakilan yang terdiri dari Jaksa Agung dan empat menteri sampai Muhammad cukup umur. Pada tahun 1596 M, Banten melancarkan serangan terhadap kerajaan Palembang, dipimpin langsung oleh Maulana Muhammad, tujuannya untuk melancarkan jalur perdagangan hasil bumi dan rempahrempah. Penyerangan ini gagal dan Maulana Muhammad gugur. Tahta kerajaan kosong, sementara putra Maulana Muhammad bernama Abu Mufakhir baru berusia 5 bulan. Pemerintahan Banten dijalankan oleh badan perwakilan yang diketuai oleh Jayanegara (wali kerajaan) dan Nyai Emban Rangkung (pengasuh pangeran). Pada masa ini, armada Belanda tiba pertama kali ke Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Sultan Abu Mufakhir baru resmi menjalankan kekuasaan pada tahun 1596. Beliau menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Masa pemerintahan Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul kadir penuh dengan ketegangan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pihak Banten dan Belanda. Abu Mufakhir wafat pada tahun 1651 M. Putranya yang menirukan bergelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad Ramatullah, tetapi tidak lama kemudian wafat. Dan pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai masa keemasannya.

E. Masa Keemasan Kesultanan Banten Michrob dan Chudari menyebutkan (dalam Lubis, 2003:46) bahwa pada pertengahan abad ke 17 Masehi, tanggal 10 Maret 1651 Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir meninggal dunia, jenazahnya dikuburkan di Kenari. Berdekatan dengan makam ibunya dan putra kesayangannya, sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat pada tahun Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

9

1650. Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putri Pangeran Jayakarta), Sultan Abdulkadir mempunyai enam anak yaitu Ratu Kulo, Ratu Pembayun, Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Sementara dari istrinya yang lain, Ratu Aminah (Ratu Wetan) Sultan mempunyai beberapa anak yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten, Ratu Tinumpuk. Masih ada lagi anak dari istri yang lain. Sebagai pengganti Sultan Abdulkadir yang mangkat, maka diangkatlah pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, menjadi Sultan Banten yang kelima pada tanggal 10 Maret 1651. Sultan baru ini dikenal sebagai Pangeran Ratu ing Banten, atau Sultan Abulfath Abdulfattah, gelar lengkapnya Gambar 1.3 Bendera adalah Sultan Abu al-Fath Abdul Kesultanan Banten Fattah Muhammad Syifa Zaina al Arifin. Sultan itu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672), adalah seorang yang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa menaruh perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agma islam. Untuk membina mental prajurit banten, ia mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut ialah ulama besar Makassar, yang bernama Syeikh yusuf, yang dikenal dalam tradisi Makassar sebagai Tuanta Salamaka atau Syeikh Yusuf Taju’l Khalwati. Ia kemudia dijadikan mufti agung, guru, dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

10

direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten. Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu Gambar 1.4 Sultan Ageng pusat niaga yang penting pada masa Tirtayasa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang. Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah pemerintahannya, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten. Meskipun disebutkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat Saluran Air dari Sungai Untung Jawa hingga ke Pontang. Saluran yang mulai digali tahun 1660 ini dimaksudkan untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transportasi dan peperangan. Upaya itu berarti pula Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

11

meningkatkan produksi pertanian yang erat dengannya. Dengan kesejahteraan rakyat dan kepentingan logistic jika menghadapi peperangan. Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian-penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1995:116). Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan hubungan persahabatan antara lain dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Kerajaan Gowa, dengan sumber rempah-rempah di Maluku–meskipun menurut perjanjian dengan VOC tidak diperbolehkan–tetap dilakukan. Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang Politik, Diplomasi, maupun di bidang Pelayaran dan Perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang Asing dari Persi (Iran), Arab, India, Cina, Jepang, Filipina, Melayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki.

F. Kemunduran Politik Kesultanan Banten Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, ...


Similar Free PDFs