Sistem Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus PDF

Title Sistem Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Author Eriska Yunisha
Pages 11
File Size 147.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 44
Total Views 273

Summary

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap berbeda dari kebanyakan anak yang cenderung memiliki kemampuan rata-rata dalam cara tertentu. Pengkategorian ABK dibagi menjadi dua, yaitu kategori high incidence, yaitu kelainan yang memiliki frekuensi tinggi dan jumlahnya paling ...


Description

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus (ABK) dianggap berbeda dari kebanyakan anak yang cenderung memiliki kemampuan rata-rata dalam cara tertentu. Pengkategorian ABK dibagi menjadi dua, yaitu kategori high incidence, yaitu kelainan yang memiliki frekuensi tinggi dan jumlahnya paling banyak, dan kategori low incidence, yaitu kelainan yang lebih jarang terjadi. ABK yang termasuk pada kategori high incidence adalah anak-anak yang menderita kesulitan belajar, kelainan bahasa, gangguan emosi, dan gangguan intelektual ringan, sedangkan ABK pada kategori low incidence adalah anak-anak yang menderita penglihatan rendah atau kebutaan, tuli, kebutaan dan tuli, dan ketidakmampuan intelektual yang parah (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Dalam dinamika dunia pendidikan, perlu disadari bahwa tidak semua anak memiliki kemampuan yang sama, namun terdapat pula anak-anak dengan kebutuhan khusus. Tidak hanya bicara soal kemampuan, ABK juga dapat memiliki gangguan belajar (Kauffman & Hallahan, 2005a; Kauffman & Konold, 2007; Stitcher et al., dalam Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Pendidikan khusus adalah pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan ABK sehingga anak tersebut bisa mendapatkan haknya akan pendidikan. Pendidikan yang relevan bagi anak normal dapat dikatakan berbeda dengan pendidikan yang relevan bagi ABK. Hal ini dikarenakan ABK membutuhkan instruksi yang berbeda dari yang umumnya anak normal perlukan (Kauffman & Hallahan, 2005a; Kauffman & Konold, 2007; Stitcher et al., dalam Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Dalam aspek pendidikan, ABK adalah anakanak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki secara optimal (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Anak-anak seperti ini membutuhkan pendidikan khusus karena mereka dianggap berbeda dari kebanyakan anak dalam beberapa cara, yaitu mereka memiliki kekurangan intelektual, kekurangan dalam belajar atau atensi, kelainan emosional atau perilaku, ketidakmampuan fisik, kelainan dalam berkomunikasi, autisme, cidera otak traumatis, gangguan pendengaran, atau memiliki bakat khusus (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Terkadang kurangnya kemampuan anak tidak pernah teridentifikasi, dan konsekuensi bagi orang-orang terdekatnya atau bahkan orang-orang sekitarnya akan sangat disayangkan. Terkadang ABK dapat teridentifikasi masalahnya, namun pendidikan khusus tidak tersedia sehingga menyebabkan kesempatan untuk perkembangan ABK ini menjadi sia-sia. Walaupun identifikasi awal dan intervensi dapat sangat membantu sebagai pencegahan untuk resiko yang lebih besar kedepannya, aksi pencegahan ini juga kadang tidak dilakukan. (Kauffman, 1999b, 2005b,; Stitcher et al., 2008 dalam Kauffman, Hallahan & Pullen 2009)

2

Pada tanggal 5 Oktober 2009, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas, sekarang Kementrian Pendidikan dan Budaya, Kemdikbud) mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa (Mudjito dalam Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Rendah 2014). Tahun 2008, jumlah sekolah inklusif secara nasional dari SD hingga SMA hanya 254 sekolah, namun pada tahun 2014 jumlahnya meningkat signifikan menjadi sebanyak 2.430 sekolah formal yang ikut berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan inklusif (Kemdikbud: Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Rendah 2014). Hingga kini, masih banyak kekurangan dalam pelayanan pendidikan ABK. Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK) Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud, Mudjito (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan 2013) mengatakan bahwa 184.000 ABK di Indonesia belum menikmati pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan fisik normal. Mudjito (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan 2013) juga menyatakan bahwa dari total 300.000 ABK, baru 116.000 ABK yang tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif, dan sisanya masih di bawah asuhan orang tua masing-masing. Selain kekurangan dari pemerintah dalam melayani pendidikan ABK, pola pikir orang tua yang yang merasa minder dengan anaknya yang berkebutuhan khusus juga menghambat terpenuhinya hak ABK dalam menikmati pendidikan. Rasa minder yang dialami orang tua ini menyebabkan adanya ABK ini disembunyikan oleh orang tuanya karena mereka merasa malu dengan keadaan anaknya yang tidak sama seperti anak-anak normal (dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan 2013). Pola pikir seperti inilah yang seharusnya dihilangkan agar tercipta kemajuan untuk pendidikan ABK. Kurangnya pendidikan untuk ABK dapat menyebabkan ABK menjadi penyebab bertambahnya angka pengangguran di Indonesia. Menurut data organisasi buruh internasional (ILO) tahun 2013, dari 24 juta penyandang disabilitas di Indonesia, baru sebesar 11 juta penyandang disabilitas yang memiliki pekerjaan (24 Juta Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan 2013). Hal ini dikarenakan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas disesuaikan dengan jenis dan derajat disabilitas, pendidikan, dan kemampuannya. Apabila pendidikan dan kemampuan dari ABK tidak dioptimalkan, maka kesempatan mereka dalam mendapatkan pekerjaan ketika mereka sudah dewasa akan mengecil. Masalah yang juga banyak terjadi pada ABK di Indonesia adalah proses identifikasi ABK masih lemah. Di Indonesia telah tersedia sekolah yang melayani pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut disajikan dalam bentuk sekolah disintegrasi atau biasa disebut sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi. Di Indonesia layanan untuk ABK pada kategori high incidence dengan kesulitan

3

belajar masih kurang perhatian. Padahal kenyataannya anak-anak yang memiliki kesulitan belajar memiliki prevelansi terbesar dari ABK yaitu sebesar 43,6% (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Kurangnya perhatian bagi ABK dengan masalah kesulitan belajar ini menyebabkan tidak terdeteksinya masalah tersebut pada anak sehingga tidak ada penanganan yang tepat bagi anak-anak dengan kesulitan belajar ini. Hingga kini anak-anak yang terdeteksi dengan masalah kesulitan belajar direkomendasikan untuk masuk ke sekolah inklusi, yaitu sebuah sekolah yang mendidik ABK bersamaan dengan anak-anak normal lainnya, tanpa ada perbedaan pelayanan terhadap anak normal dan ABK. Syarat untuk masuk ke sekolah inklusi di Indonesia adalah, ABK yang mau masuk ke sekolah inklusi harus memiliki IQ yang setara dengan anak normal (Kauffman, Hallahan & Pullen 2009). Kekurangan pada sekolah inklusi di Indonesia adalah tenaga pengajar khusus untuk ABK di sekolah inklusi masih minim atau bahkan dapat dikatakan tidak ada. Tidak adanya tenaga kerja yang mengerti mengenai penanganan ABK dengan masalah kesulitan belajar ini menyebabkan masalah belajar pada ABK ini tidak dapat teratasi. Seharusnya sekolah inklusi yang didirikan di Indonesia sudah tersedia dengan tenaga kerja yang memantau pendidikan ABK dengan kesulitan belajar ini. Tidak dapat dipungkiri walaupun anak dengan kesulitan belajar tersebut memiliki IQ yang setara dengan anak normal, namun mereka termasuk pada klasifikasi ABK karena adanya masalah kesulitan belajar ini. Telah dijelaskan pada bagian pendahuluan sebelumnya, bahwa ABK membutuhkan instruksi yang berbeda dari yang umumnya anak normal perlukan, sedangkan sekolah inklusi di Indonesia kini mengajarkan anak normal dan ABK menggunakan instruksi yang sama. Sekolah inklusi di Indonesia nampaknya mengabaikan definisi pendidikan bagi ABK, dilihat dari kesetaraan pelayanan pada ABK dan anak normal di sekolah Inklusi di Indonesia. Seharusnya sekolah inklusi di Indonesia dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh ABK. Sekolah Inklusi tidak bisa serta merta memberikan pendidikan dan instruksi yang sama untuk anak normal pada ABK, karena pendidikan yang relevan bagi anak normal mungkin tidak relevan bagi ABK. Dengan memberikan pendidikan khusus kepada ABK sampai kepada jenjang wajib belajar Indonesia, maka ABK telah terbantu supaya masa depannya dapat lebih baik, yaitu dengan memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih besar ketika mereka dewasa. Tujuan Tujuan dari penulisan gagasan tertulis ini adalah untuk menggagaskan suatu sistem dan lembaga yang dapat membantu ABK agar dapat lebih mudah mendapatkan haknya akan pendidikan. Salah satu tujuan dari pembuatan sistem yang akan penulis ciptakan adalah untuk mengarahkan pemerintah agar

4

memberikan dukungan dalam memantau perkembangan seluruh anak di Indonesia sejak lahir agar kelainan-kelainan yang dialami anak-anak Indonesia dapat terdeteksi sejak dini, sehingga pendidikan khusus yang sesuai dapat segera diberikan. Dengan begitu pendidikan yang didapatkan oleh ABK akan lebih terjamin. Dengan adanya sistem yang membantu ABK dalam pendidikannya, diharapkan agar ABK dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam aspek pendidikan, sehingga ABK dapat bersaing dengan anak normal. Selain mengarahkan pemerintah agar memberikan dukungan dalam pemantauan perkembangan seluruh anak di Indonesia, tujuan dari sistem yang penulis buat ini adalah sebagai penuntun ABK dalam mendapatkan haknya akan pendidikan hingga mereka dapat mandiri secara finansial. Dengan memantau dan memberikan pendidikan khusus kepada ABK sampai kepada jenjang wajib belajar di Indonesia, maka mereka telah terbantu agar masa depannya dapat lebih baik, yaitu mereka dapat memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih besar ketika mereka dewasa. Manfaat Manfaat dari gagasan ini yaitu dapat memberikan informasi mengenai sistem yang dapat digunakan untuk menangani ABK yang berada dalam lingkungan anak normal. Seperti yang telah diketahui, sekolah inklusi adalah sekolah umum yang menerima ABK untuk bersekolah di sekolahnya. Adanya sistem dalam gagasan tertulis ini akan memudahkan ABK untuk belajar, karena tenaga kerja yang disalurkan oleh lembaga dalam sistem ini telah terlatih untuk mengajar ABK, tidak seperti guru di sekolah inklusi tersebut yang walaupun mengajar di sekolah inklusi tetapi tidak dibekali ilmu untuk mengajar ABK. Guruguru yang hanya mengetahui cara mengajar anak normal tidak dapat mengajar ABK secara optimal. Oleh karena itu, sistem dalam gagasan tertulis ini dapat membantu ABK yang bersekolah di sekolah inklusi untuk dapat belajar dengan instruksi khusus yang dipandu oleh tenaga pengajar yang terlatih untuk mengajar ABK dari lembaga ini. Selain itu, manfaat juga dapat dirasakan oleh orang tua dari ABK. Lembaga dalam gagasan tertulis ini mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk dapat membantu mendeteksi kelainan anak sejak dini, sehingga apabila anak mengalami kelainan, anak tersebut dapat langsung ditangani. Hal ini akan memudahkan orang tua dari ABK tersebut untuk memberikan anaknya pendidikan yang terbaik sejak dini. Terakhir, lembaga ini dapat mengarahkan agar ABK dapat memiliki masa depan yang lebih baik bagi, karena lembaga ini memantau perkembangan ABK sejak ia lahir hingga ia dapat mandiri secara finansial. Lembaga akan memantau dan menuntun perkembangan ABK sejak lahir hingga dapat menyelesaikan jenjang pendidikan wajib di Indonesia, kemudian lembaga akan mencarikan pekerjaan yang cocok dan sesuai dengan keterbatasan dan kemampuan yang

5

dimiliki oleh ABK ini. Dengan begitu ABK tidak akan tumbuh menjadi pengangguran dan akan dapat hidup mandiri secara finansial walaupun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. GAGASAN Kondisi Pendidikan Bagi ABK di Indonesia Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus masih memiliki masalah yang cukup rumit, mulai dari tingkat keluarga, lingkungan hingga sekolah (Mudjito dalam 184 Ribu Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan 2013). Angka partisipasi pendidikan khusus di Indonesia masih rendah. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad, hanya 164 ribu dari 1,6 juta ABK di Indonesia yang mendapat layanan pendidikan. (Kemendikbud Jamin Layanan Pendidikan Khusus 2015). Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelanggaran pendidikan, pasal 129 ayat 3 menyebutkan bahwa peserta didik berkelainan terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain, dan memiliki kelainan lain. Namun pada pendidikan untuk ABK di Indonesia tidak semua kriteria yang telah disebutkan masuk ke dalam kategori sekolah luar biasa (SLB). Ini membuktikan bahwa tidak semua kriteria ABK mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kelainan yang dideritanya. Lalu pada kriteria kesulitan belajar, tidak dijelaskan secara spesifik kategori apa yang termasuk ke dalam kesulitan belajar apakah disleksia, diskalkulia, dan lain sebagainya masuk ke dalam kriteria kesulitan belajar ataukah kriteria yang lain. Selain itu korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan masuk kedalam kriteria ABK sedangkan menurut penulis itu tidak termasuk kedalam kriteria ABK karena penyalahgunaan narkotika adalah tindakan kriminal untuk anak-anak. Pada pasal 131 ayat 4 disebutkan bahwa dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yaitu, dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang memberikan pendidikan khusus. Pemerintah kabupaten atau kota menyediakan sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan. Pada ayat ke 5 juga disebutkan bahwa perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa berkelainan. Untuk pendidikan ABK di Indonesia yang sudah dijelaskan pada pasal 131 ayat 4 dan 5, belum ada yang berjalan atau terjadi. Tujuan pendidikan di Indonesiapun dinilai oleh penulis masih belum jelas. Dengan jumlah angka yang menyatakan bahwa masih banyak ABK yang belum dapat menikmati pendidikan seperti anak-anak dengan kondisi normal dan pendidikan yang di peroleh oleh ABK masih relatif rendah, serta peraturan

6

pendidikan di Indonesia untuk ABK yang masih belum jelas atau tidak semua terlaksana dengan baik membuktikan bahwa pelayanan pendidikan di Indonesia khususnya untuk ABK masih belum sesuai, maka dari itu penulis membuat gagasan untuk sebaiknya pemerintah membuat lembaga khusus yang bertanggung jawab pada pendidikan ABK dari anak tersebut lahir hingga dapat mandiri secara finansial. ISI GAGASAN Peneliti memiliki gagasan bahwa pemerintah sebaiknya membuat lembaga khusus yang bertanggung jawab mengenai pendidikan ABK sejak anak tersebut lahir hingga dapat mandiri secara finansial. Lembaga ini memiliki tugas antara lain: mengidentifikasi dan evaluasi ABK, memberikan pembimbing untuk setiap ABK, membuat program khusus yang disesuaikan dengan individu, mengevaluasi goal dan keadaan anak, menjelaskan hak-hak orang tua, memastikan setiap ABK mendapat pendidikan yang layak, serta membantu mengarahkan mereka untuk mendapat pekerjaan ketika lulus sekolah. Pembuatan sistem pendidikan untuk ABK dalam gagasan tertulis ini terinspirasi oleh hukum IDEA atau IDEIA yang telah berjalan di Amerika Serikat. IDENTIFIKASI - Dalam proses identifikasi dini ABK, lembaga akan bekerja sama dengan seluruh rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta. Kerja sama antar lembaga dan rumah sakit dilakukan dengan menempatkan 2-3 orang di setiap rumah sakit tersebut sebagai tim yang bertanggung jawab kegiatan identifikasi ABK. Lembaga mewajibkan dokter untuk melapor kepada tim yang berada di rumah sakit saat terdapat hal yang janggal pada proses kehamilan, lahirnya bayi secara prematur, hasil tes Apgar dibawah rata-rata, dan saat bayi tidak berkembang sesuai dengan perkembangan yang semestinya. Selanjutnya rumah sakit juga diwajibkan untuk memberi tahu orang tua dari anak tersebut bahwa bayinya memiliki kemungkinan untuk memerlukan perawatan khusus terkait dengan kondisi anak tersebut dengan mewajibkan orang tua untuk membawa bayinya ke dokter atau psikolog tumbuh kembang. Perkembangan anak akan terus dipantau oleh dokter dan psikolog, dan jika anak telah dinyatakan berkebutuhan khusus maka rumah sakit akan mengatur janji antara orang tua anak, anak, dokter dan psikolog tumbuh kembang dan tim lembaga di rumah sakit. Segala aktivitas terkait anak yang sudah memiliki tandatanda akan terlahir berkebutuhan khusus sampai didiagnosa berkebutuhan khusus akan sepenuhnya dipantau, dikoordinasi dan dievaluasi oleh tim dari lembaga yang berada di rumah sakit. PEMBERIAN PEMBIMBING - Setelah pertemuan tersebut tim akan memperkenalkan pembimbing dari lembaga untuk anak tersebut. Setiap ABK memiliki hak untuk mendapatkan 1 orang pembimbing dari lembaga. Pembimbing adalah seseorang yang kompeten dalam menangani ABK dalam ranah pendidikan

7

(sarjana psikologi yang telah dilatih oleh lembaga, psikolog pendidikan, psikolog anak). Pembimbing adalah orang yang bertanggung jawab atas pendidikan ABK tersebut, sehingga ia akan terus memantau dan mengevaluasi seluruh hal yang berkaitan dengan pendidikan ABK yang berada dibawah bimbingannya. Tugas pembimbing antara lain sebagai berikut: memberitahu hak-hak orang tua ABK, menentukan goal ABK bersama anak dan orang tua, mengkomunikasikan segala hal terkait dengan pendidikan ABK pada orang tua, membimbing, memantau dan mengevaluasi perkembangan ABK dalam hal pendidikan, memantau perkembangan ABK di sekolah dengan menelaah laporan dari tim lembaga di sekolah, membuat kurikulum untuk ABK sesuai kemampuannya bersama tim lembaga di sekolah / tim yang terkait pembuatan kurikulum untuk ABK. Pembimbing wajib menemui ABK jika melihat ABK kesulitan dalam hal pendidikan, dan ABK bersama orang tua juga wajib menemui pembimbing minimal 6 bulan sekali. PROSES SEBELUM MASUK SEKOLAH - Sebelum masuk ke sekolah inklusi tentunya ABK memerlukan bantuan agar tidak terlalu kesulitan dan agar dapat belajar dengan optimal di sekolah inklusi, sehingga ABK memerlukan pembelajaran dasar. Namun sebelum proses pembelajaran dasar tersebut berlangsung, tingkat intelegensi ABK akan dievaluasi terlebih dahulu dengan melaksanakan tes IQ. Bagi ABK yang dengan IQ dibawah rata-rata nantinya akan dimasukan ke sekolah luar biasa (SLB) sedangkan ABK yang IQ nya rata-rata atau diatas rata-rata akan dimasukan ke sekolah inklusi. Setelah tes IQ, ABK akan menjalani proses pembelajaran dasar. Proses pembelajaran dasar bagi ABK akan dilakukan di gedung milik lembaga, dan ABK akan dikelompokkan dan dimasukkan ke kelas-kelas berdasarkan kebutuhan khususnya. Dalam kelas tersebut tiap tiga orang ABK minimal akan dibimbing oleh 1 orang guru yang telah terlatih. Guru akan membimbing ABK sesuai dengan kemampuan ABK, selanjutnya guru tersebut akan mengkomunikasikan kepada pembimbing ABK mengenai kesulitan dan kemampuan anak tersebut dalam proses pembelajaran. Setelah proses pembelajaran dasar sudah dirasa cukup, maka pembimbing akan mengkomunikasikan kepada anak dan orang tua mengenai sekolah inklusi atau SLB mana yang akan dipilih. SEKOLAH INKLUSI - Sekolah inklusi yang dapat dipilih terdapat 2 macam, yakni sekolah swasta yang sudah ikut berpartisipasi dalam kegiatan inklusi dan sekolah negeri diseluruh Indonesia. Pemerintah yakni kementrian pendidikan bersama lembaga akan mewajibkan seluruh sekolah negeri di Indonesia untuk menjalankan program inklusi dengan menerima ABK sesuai kuota yang telah ditentukan yakni minimal 1% dari total jumlah murid. Dalam sekolah inklusi swasta maupun negeri, ABK akan dimasukan kelas yang sama dengan anak normal lainnya dan mereka akan mengikuti pembelajaran seperti biasa. Pada sekolah inklusi, lembaga akan menempatkan timnya seperti di rumah

8

sakit. Tim lembaga yang berada di sekolah inklusi terdiri dari satu orang penanggung jawab dan guru-guru khusus yang bertugas untuk mengajar atau membimbing ABK di sekolah. STANDAR NILAI UNTUK ABK - ABK yang masuk sekolah inklusi akan mengikuti kurikulum nasional yakni kurikulum yang sama dengan anak normal lainnya. ABK akan mengikuti kurikulum nasional karena mereka dianggap mampu untuk mengikuti kurikulum tersebut karena IQ berada di ratarata atau diatas rata-rata. Namun walaupun ABK mengikuti kurikulum nasional, tetapi ada stand...


Similar Free PDFs