Task 5 Perjanjian Internasional PDF

Title Task 5 Perjanjian Internasional
Course Pengantar Hubungan Internasional
Institution Universitas Padjadjaran
Pages 9
File Size 222.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 415
Total Views 988

Summary

Download Task 5 Perjanjian Internasional PDF


Description

Hukum Perjanjian Internasional Nama

: Josep Irvan Gilang H

Kelas

:B

NPM

: 110110180116

Dosen

: Dr. Diajeng Wulan Christianti, S.H., LL.M. Rachminawati, S.H., M.A.

Task 5 : Perjanjian Internasional dan Pihak Ketiga (Third Parties) 1. Aturan pacta tertiis nec nocent nec prosunt dan konsekuensi hukum yang timbul dari prinsip ini berdasarkan VCLT 1969. Pasal 34 VCLT 1969 menyatakan “A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent” 1, berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dipahami bahwa suatu Perjanjian Internasional tidak akan menciptakan hak dan kewajiban bagi negara ketiga (negara bukan peserta perjanjian), kecuali jika pihak ketiga itu menyetujuinya. Ketentuan dalam Pasal 34 ini sesuai dengan asas hukum asal Romawi, bahwa suatu perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban bagi pihak ketiga atau dikenal dengan pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pernyataan bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian, tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.2 Hal ini sejalan dengan ketentuan sebelumnya pada Pasal 2 Ayat (l) huruf (h) VCLT 1969 yang berbunyi ”Negara ketiga” adalah negara yang tidak menjadi pihak pada suatu Perjanjian Internasional. 3 Maka dari itu, karena bukan pihak dalam suatu Perjanjian Internasional, negara ketiga tidak bisa dibebankan kewajiban maupun dimintai pertanggungjawaban. Prinsip ini mendapat dukungan dalam praktek yang dilakukan negara-negara, seperti dalam keputusan- keputusan pengadilan. Misalnya saja dalam German Interest in Polish Upper Silesia Case, dimana Permanent Court of International mengamati bahwa perjanjian hanya menciptakan hukum antara Negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, jika terdapat keraguan, tidak ada hak yang dapat disimpulkan dari dalam mendukung Negara ketiga.4 1 Pasal 34 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 2 Ninin Ernawati, Konsekuensi Hukum Penerapan Dua Kebijakan Australia Selaku Anggota Konvensi Pengungsi Tahun 1951 Di Tinjau Dari Konvensi Wina 1969, Kajian Hukum dan Keadilan, Vol.7, No.1, April 2019, Hlm. 26. 3 Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 4 Danel Aditia Situngkir, Terikatnya Negara Dalam Perjanjian Internasional, Refleksi Hukum, Vol.2, No.2, April 2018, Hlm.173.

Contoh lain dari adanya penerapan asas ini tercermin dalam perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Portugal mengenai Masalah Timor Timur (Agreement between the Republic of Indonesia and the Portugese Republic on the Question of East Timor) yang disepakati dan ditandatangani di New York pada 5 Mei 1999 oleh Menteri Ali Alatas, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Jaime Gama, Menteri Luar Negeri Portugal dan disaksikan oleh Kofi A. Annan, dan Sekretaris Jenderal PBB, memuat kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi hanya antara Pemerintah Indonesia serta Portugal, kewajiban tersebut antara lain bagi Pemerintah Indonesia agar dapat melepaskan ikatan hukum dengan Timor Timur, kembali pada masa sebelum 17 Juli 1976. Kewajiban lain menyatakan pula bahwa antara Pemerintah Indonesia, Portugal dan Sekretaris Jenderal PBB sepakat akan mempersiapkan penyerahan kewenangan di Timor Timur, secara damai dan terencana, kepada PBB dan berdasarkan mandat ini, akan dilakukan prosedur yang akan mengantar Timor Timur menjadi negara merdeka. Kemudian setelah ada perjanjian tersebut Timor Timur merdeka pada Mei 2005, artinya bahwa Perjanjian New York 5 Mei 1999 hanya mengikat dan berlaku (pacta sunt servanda) antara Pemerintah Indonesia dan Portugal dan hanya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dan Portugal, serta berdasarkan asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, New York Agreement 1999 tersebut tidak mengikat negara- negara lainnya. Jadi asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt dapat dikatakan sebagai salah satu refleksi bahwa Hukum Internasional merupakan sebuah hukum yang bersifat koordinatif dan bukan sub-ordinatif, dimana Hukum Internasional sifatnya tidak mengatur negaranegara layaknya sebuah hukum legislatif, akan tetapi lebih mengarah kepada sebuah persetujuan bersama diantara para pihak. Maka dari itu konsekuensi yang muncul dari adanya penerapan asas ini adalah negara ketiga tidak dapat mengemban kewajiban yang lahir dari suatu perjanjian dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila negara tersebut bukan merupakan pihak dalam perjanjian. Adapun pengecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika suatu perjanjian memberikan hak kepada pihak ketiga serta terhadap Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral yang merupakan kodifikasi Hukum Kebiasaan. Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral yang berlaku secara universal dapat ditemukan dalam Kovensi tentang Narkotika 1972. 2. Jelaskan dalam kondisi apakah suatu Perjanjian Internasional dapat mengikat third party terutama apabila dihubungkan dengan sumber Hukum Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional! Jika mendasari kepada ketentuan Pasal 34 VCLT 1969 dan penjelasan sebelumnya yang menyatakan Perjanjian Internasional hanya berlaku bagi para pihak dalam perjanjian dan menutup akses keikut sertaan pihak ketiga untuk turut mengemban hak dan kewajiban karena terbentur oleh asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Namun demikian, VCLT 1969 membuka kemungkinan tidak diberlakukannya asas pacta tertiis

nec nocent nec prosunt secara mutlak, artinya terdapat pengecualian yang tunduk pada ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36, 37 dan Pasal 38 Konvensi Wina 1969. 





Pasal 35 VCLT 1969 “An obligation arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaty intend the provision to be the means of establishing the obligation and the third State expressly accepts that obligation in writing.”5 Pasal 36 VCLT 1969 6 1. A right arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaty intend the provision to accord that right either to the third State, or to a group of States to which it belongs, or to all States, and the third State assents thereto. Its assent shall be presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty otherwise provides. 2. A State exercising a right in accordance with paragraph 1 shall comply with the conditions for its exercise provided for in the treaty or established in conformity with the treaty. Pasal 37 VCLT 19697 1. When an obligation has arisen for a third State in conformity with article 35, the obligation may be revoked or modified only with the consent of the parties to the treaty and of the third State, unless it is established that they had otherwise agreed. 2. When a right has arisen for a third State in conformity with article 36, the right may not be revoked or modified by the parties if it is established that the right was intended not to be revocable or subject to modification without the consent of the third State.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35, 36, dan 37 VCLT 1969, pasal-pasal tersebut secara garis besar mengedepankan bahwa pihak ketiga dapat terikat jika dalam rangka pemenuhan suatu perjanjian, terdapat kewajiban utnuk melibatkan pihak ketiga. Namun pada pasal-pasal tersebut, tetap mengutamakan asas free consent, yaitu adanya bentuk persetujuan baik persetujuan yang sifatnya aktif dengan bentuk persetujuan tertulis, maupun persetujuan pasif yang sifatnya keharusan untuk mengajukan ketidaksetujuan secara tertulis. Kemudian dalam Pasal 38 VCLT 1969 juga menyatakan “Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.” Yang dapat dipahami bahwa tidak ada dalam ketentuan Pasal 34 sampai 37 yang menghalangi aturan yang ditetapkan

5 Pasal 35 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 6 Pasal 36 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 7 Pasal 37 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

dalam perjanjian untuk dapat mengikat negara ketiga sebagai aturan Kebiasaan Hukum Internasional yang telah diakui keberadaanya. Mengacu kepada Pasal 38 VCLT, maka dapat dikatakan bahwa Hukum Kebiasaan Internasional sumber Hukum Internasional yang mengikat bagi semua negara terlepas status kepesertaannya dalam suatu Perjanjian Internasional. Sehingga dalam hal terkait adanya Hukum Kebiasaan Internasional yang terkait, maka terjadi pengecualian terhadap asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Adanya pembatasan terhadap asas ini, dapat diamati dalam contoh kasus mengenai situasi Yugoslavia yang sudah keluar dari keanggotaan PBB sejak tahun 1992, akan tetapi Yugoslavia secara hukum tetap terikat pada keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB terkait perkembangan situasi di Kosovo hingga saat ini.8 Adapun menurut Boer Mauna dalam bukunya menyebutkan bahwa terdapat beberapa pengecualian terhadap asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, pengecualian tersebut nampaknya sejalan dengan beberapa ketentuan yang dibahas sebelumnya pada VCLT diantaranya:9 a) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka. Pengecualian ini mengenai perjanjian-perjanjian yang dapat memberikan hak dan kewajiban kepada negara ketiga atas persetujuan negara-negara tersebut. Praktik yang menggunakan pengecualian ini sangat jarang ditemukan serta pengaturan yang ada dalam Pasal 35 VCLT hanya menyatakan “Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.” b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga. Klausula most-favoured nation merupakan mekanisme yang umum digunakan dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini bermakna bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara x), dalam kaitannya dengan suatu perjanjian dalam bidang tertentu dengan negara lain (negara y), akan dinikmati juga oleh negara ketiga (negara z). jadi setiap perlakuan khusus yang diberikan kepada suatu negara (negara y) harus juga diberikan kepada negara ketiga yakni (negara z). pengecualian terhadap klausula ini dimungkinkan bagi negara-negara yang akan membuat persetujuan perdagangan bagi terciptanya kawasan perdagangan bebas. c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka. 8 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: PT. Tatanusa, 2008, Hlm. 98. 9 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, 2008, Hlm.144.

Pengecualian mengenai hal ini dapat ditemukan dalam pasal 2 (6) Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa Organisasi ini harus memastikan negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu dalam rangka menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Jadi, negara bukan anggota PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional harus bertindak sesuai dengan asas dari Piagam. Pendapat lain juga menyatakan yakni dikemukakan oleh Starke, menurutnya terdapat dua cara yang dapat mengakibatkan negara ketiga menjadi terikat pada suatu perjanjian internasional. Pertama, terdapat asas yang mengecualikan asas “pacta tertiis nec nocent nec prosunt” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian. Serta Kedua, adanya hubungan antara Perjanjian Internasional dengan Hukum Kebiasaan Internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga.10 3. Perhatikan contoh pasal berikut: Pasal 2 (6) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945: The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security. Pasal 13 (b) Rome Statute of the International Criminal Court 2002: The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to in article 5 in accordance with the provisions of this Statute if: (a) ... (b) a situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations; or (c) ... Dengan melihat kedua pasal tersebut, lakukan analisa apakah kedua pasal tersebut sesuai atau bertentangan dengan prinsip pacta tetiis nec nocunt nec prosunt dalam VCLT 1969! Perlu diketahui bahwa dalam Hukum Internasional terdapat penyimpangan terhadap Pasal 34 VCLT 1969 yang menganut asas pacta tetiis nec nocunt nec prosunt. Sebagai contoh ditentukan dalam Pasal 2 ayat (6) Piagam PBB yang tegas menyatakan: “Negara bukan anggota PBB agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional.” Jadi walaupun terdapat negara yang bukan anggota PBB yang tidak ikut serta meratifikasi Piagam PBB, negara tersebut harus tetap bertindak sesuai dengan asas-asas yang ada dalam piagam PBB dalam rangka mencapai tujuan kolektif yakni perdamaian dan keamanan 10 I wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional bagian 2, Cetakan I, Bandung: Mandar Maju, 2005, Hlm. 284.

internasional.11 Kewajiban bagi negara non-anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan asas-asas yang ada dalam piagam PBB berdasarkan Pasal 2 (6) Piagam PPB tersebut sebetulnya dapat dianggap sebagai bagian dari Hukum Kebiasaan Internasional, hal ini sebagaimana telah dikemukakan oleh Malcom N Shaw dalam bukunya.12 Adanya penyimpangan ini erat kaitannya dengan keberadaan kekuatan mengikat dari resolusi Dewan Keamanan PBB tercantum dalam Piagam PBB yaitu pada pasal 25 yang menyatakan “ The Members of the United Nations agree to accept carry out the decisions of the Security Council in accordance with present Charter.“ Dimana disebutkan bahwa semua negara anggota PBB telah sepakat untuk menerima dan melaksanakan keputusan-keputusan Dewan Keamanan serta pada pasal itu pula, Dewan Keamanan mempunyai kekuasaan untuk memutuskan keputusan yang mempunyai kekuatan mengikat termasuk juga keputusan tersebut adalah resolusi Dewan Keamanan. Hal ini membawa konsekuensi lebih lanjut bahwa sadar atau tidak, apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan sehubungan dengan fungsinya dalam menyelesaikan sengketa, para pihak yang terkait berkewajiban untuk melaksanakannya.13 Pihak disini bukan hanya negara-negara yang menjadi anggota PBB, namun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya termasuk pula negara pihak ketiga atau yang bukan anggota dari PBB. Adanya kewajiban bagi pihak ketiga ini berkaitan dengan prinsip universalitas bahwa perdamaian dan keamanan merupakan cita-cita yang ingin diwujud nyatakan oleh semua negara di dunia. Berbeda halnya dengan keberadaan Pasal 13 (b) Statuta Roma yang menyatakan “Pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksinya sehubungan dengan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 sesuai dengan ketentuan Statuta ini jika: (b) situasi di mana satu atau lebih dari kejahatan semacam itu diduga telah dilakukan, diajukan ke Jaksa Penuntut oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perlu dipahami, sejatinya Pasal 13 (b) Statuta Roma ini hanya mempertegas bahwa Dewan Keamanan PBB memiliki kewenangan untuk mengajukan suatu situasi yang diduga keras telah terjadi kejahatan yang termasuk dalam kewenangan mengadili oleh ICC seperti kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, serta agresi tanpa melihat apakah negara tersebut merupakan pihak yang tergabung atau bukan dari ICC. Kewenangan Dewan Keamanan yang terlihat besar dan luas ini untuk mengajukan kejahatan-kejahatan yang diduga telah terjadi kepada ICC dalam rangka penegakan hukum, tidak terlepas dari peranannya yang telah tercantum dalam Pasal 25 dan Pasal 103 Piagam PBB.

11 Sri Setianingsih dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, Hlm.3. 12 Malcom N Shaw, International Law, New York: Cambridge University Press, 2008, Hlm.929. 13 Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006, Hlm.137





Pasal 25 Piagam PBB “Anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk menerima keputusan-keputusan Dewan Keamanan sesuai dengan Piagam ini.”14 Pasal 103 Piagam PBB“Apabila terdapat pertentangan antara kewajibankewajiban dari par anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut Piagam ini dan kewajiban-kewajiban mereka menurut sesuatu persetujuan internasional lainnya, maka yang berlaku ialah kewajiban-kewajiban mereka menurut piagam ini ”15

Berdasarkan kedua ketentuan diatas, maka semua negara anggota PBB terikat dalam kewajiban internasional untuk dapat menerima dan melaksanakan keputusan dari Dewan Keamanan PBB, dan apabila terdapat konflik antara kewajiban dari piagam dengan kewajiban internasional yang lahir dari Perjanjian Internasional yang lain maka kewajiban PBB inilah yang harus diutamakan. Lebih lanjut mengenai tugas Dewan Keamanan PBB dalam Pasal 34 dinyatakan bahwasanya Dewan Keamanan dapat menyelidiki setiap pertikaian, atau setiap keadaan yang dapat menimbulkan pertentangan internasional atau menimbulkan suatu pertikaian, untuk menentukan apakah berkelanjutannya pertikaian atau keadaan itu dapat membahayakan pemeliharaan perdamaian serta keamanan internasional.16 Jadi berdasarkan uraian penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya keberadaan Pasal 12 (b) Statuta Roma ini bukan merupakan pasal yang melahirkan kewajiban terhadap pihak ketiga (negara bukan peserta Statuta Roma) seperti yang dimaksud dalam Pasal 35 VCLT yang memungkinkan adanya kewajiban yang muncul terhadap negara ketiga berdasarkan perjanjian jika telah disetujui oleh negara ketiga tersebut untuk menerima kewajiban tersebut secara tertulis. Maka dari itu, sebetulnya Pasal 12 (b) Statuta Roma ini tidak bertentangan dengan asas pacta tetiis nec nocunt nec prosunt yang terkandung dalam Pasal 34 VCLT, karena memang Pasal tersebut tidak mengikat dan tidak melahirkan kewajiban kepada pihak ketiga seperti Pasal 2 (6) Piagam PBB. Adapun mengenai kewajiban yang sejalan seperti dalam maksud Pasal 35 VCLT 1969 dalam Statuta Roma ini tercemin melalui Pasal 115 dan 117 serta Pasal 12, 89, dan 90 yang menyatakan bahwa kewajiban berdasarkan Statua Roma antara lain ialah: kewajiban untuk memberikan iuran, kewajiban menangkap dan menyerahkan pelaku kejahatan untuk diadili di hadapan ICC, dan kewajiban untuk melakukan sejumlah kerjasama dengan ICC. Kewajiban-kewajian tersebut hanya berlaku bagi kepada negara yang termasuk dalam pihak ICC, DAN tidak diperuntukkan kepada negara non-pihak. Oleh karena itu sejatinya pasal ini harus dimaknai sebagai penegasan kewenangan Dewan

14 Pasal 25 Piagam Perserrikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. 15 Pasal 103 Piagam Perserrikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. 16 Pasal 34 Piagam Perserrikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.

Keamanan berdasarkan beberapa ketentuan seperti Pasal 25, 34, dan 103 Piagam PBB yakni dalam rangka memelihara perdamaian dan kemanan dunia.17

Daftar Pustaka 17 Diajeng Wulan Christianti, Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) Terhadap Warga Negara Non-Pihak Statuta Roma dan Dampaknya Terhadap Indonesia, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No.1, 2015, Hlm.35.

Sumber Buku: Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. I wayan Parthiana. 2005. Hukum Perjanjian Internasional bagian 2, Cetakan I. Bandung: Mandar Maju. Malcom N Shaw. 2008. International Law. New York: Cambridge University Press. Sri Setianingsih dan Ida Kurnia. 2019. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Sri Setianingsih Suwardi. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Sumaryo Suryokusumo. 2008. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: PT. Tatanusa.

Sumber Artikel/Jurnal: Danel Aditia Situngkir. 2018. Terikatnya Negara Dalam Perjanjian Internasional, Refleksi Hukum. Vol.2. No.2. H...


Similar Free PDFs