Task 9 Perjanjian Internasional PDF

Title Task 9 Perjanjian Internasional
Course Pengantar Hubungan Internasional
Institution Universitas Padjadjaran
Pages 10
File Size 262.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 102
Total Views 257

Summary

Download Task 9 Perjanjian Internasional PDF


Description

Hukum Perjanjian Internasional Nama

: Josep Irvan Gilang H

Kelas

:B

NPM

: 110110180116

Dosen

: Dr. Diajeng Wulan Christianti, S.H., LL.M. Rachminawati, S.H., M.A.

Task 9: Perjanjian Internasional dan Praktik Indonesia 1. Bagaimana pembentukan suatu Perjanjian Internasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000? Selain dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional mengatur pula mengenai pembentukan suatu Perjanjian Internasional yang tertuang dalam Bab II mengenai pembuatan Perjanjian Internasional dari mulai Pasal 4 sampai dengan Pasal 8. Dalam Pasal 4 ayat 1 dapat dilihat bahwa “Pemerintah Republik Indonesia membuat Perjanjian Internasional dengan satu negara atau lebih, Organisasi Internasional, atau subjek Hukum Internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik” 1 dengan berpedoman kepada kepentingan nasional Indonesia dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Selanjutnya mengenai tahapan pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam Pasal 6 yang menentukan: (1) Pembuatan Perjanjian Internasional dilakukan melalui tahap penjajagan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan. (2) Penandatangan suatu Perjanjian Internasional merupakan persetujuan atas naskah Perjanjian Internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak.2 Untuk memahami lebih jauh, penjelasan masing-masing tahapan ditemukan dalam bagian penjelasan yang menyatakan sebagai berikut: 

Tahap penjajagan

1 Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 2 Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.









Penjajagan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu Perjnajian Internasional. Tahap perundingan Perundingan merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalahmasalah teknis yang akan disepakati dalam Perjanjian Internasional. Tahap perumusan naskah Perumusan naskah merupakan tahap merumuskan rancangan suatu Perjanjian Internasional. Tahap penerimaan Penerimaan merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah Perjanjian Internasional tersebut oleh ketua delegasi masing-masing. Sedangkan dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan Perjanjian Internasional. Tahap penandatanganan Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk mendelegasi suatu naskah Perjanjian Internasional yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Berbeda halnya dengan perjanjian multilateral, penandatangan Perjanjian Internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak, akan tetapi keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan berupa ratification/accession/acceptance/approval.

Selain itu, perlu diingat bahwa penandatanganan suatu Perjanjian Internasional tidak dapat sekaligus diartikan sebagai pengikatan diri pada perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu Perjanjian Internasional yang memerlukan pengesahan, tidak otomatis mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Selanjutnya pihak mana saja yang berwenang dalam membentuk suatu Perjanjian Internasional adalah Presiden dan Menteri yang tidak memerlukan Full Powers dalam hal menyatakan persetujuan maupun menandatangani suatu perjanjian, namun apabila Presiden atau Menteri menunjuk seseorang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerimaan atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional, memerlukan Surat Kuasa”3 (Full Powers).

3 Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

2. Bagaimana pengesahan dan pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000? Bab III Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 mengatur mengenai Pengesahan Perjanjian Internasional. Pasal 1 angka 2 mendefinisikan bahwa “Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification) aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).”4 Dalam praktiknya, pengesahan Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia dapat dilakukan melalui Undang-Undang atau dengan Keputusan Presiden, hal tersebut sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 9 yang berbunyi: (1) Pengesahan Perjanjian Internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh Perjanjian Internasional tersebut. Artinya Pengesahan suatu Perjanjian Internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian Internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhi prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Pengesahan terhadap Perjanjian Internasional dengan Undang-Undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan untuk pengesahan dengan Keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.5 Terhadap pengesahan Perjanjian Internasional melalui Undang-Undang, terdapat limitasi mengenai substansi apa saja yang memerlukan Undang-Undang untuk mengesahkannya agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan Perjanjian Internasional dengan Undang-Undang, adapun substansi tersebut meliputi:      

Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara. Perubahanwilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia. Kedaulatan atau hak berdaulat negara. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Pembentukan kaidah hukum baru. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.6

Adapun beberapa contoh perjanjian yang disahkan melalui Undang-Undang oleh Indonesia adalah sebagai berikut:7 4 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 5 Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 6 Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 7 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, 2008, Hlm.169.

 





Perjanjian persahabatan RI-Saudi Arabia 1971 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 9 tahun 1971, LN Nomor 70/197. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan korban perang, yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958, LN Nomor 109/1958 tanggal 31 Juli 1958. Perjanjian RI-Singapura mengenai penetapan garis batas laut wilayah yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1973, LN Nomor 59/1973 tanggal 8 Desember 1973. Persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994, LN Nomor 57/1994 tanngal 2 November 1994.

Sedangkan selain substansi diatas, maka pengesahan suatu Perjanjian Internasional dilakukan dengan Keputusan Presiden dengan tetap menyampaikan salinan setiap Keputusan Presiden yang mengesahkan suatu Perjanjian Internaisonal oleh sekretariat kabinet kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dievaluasi. Pengesahan perjanjian melalui Keputusan Presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan Perundang-Undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta pengesahan yang bersifat teknis. Adapun beberapa contoh perjanjian yang disahkan melalui Keputusan Presiden oleh Indonesia adalah sebagai berikut:8 

 



8 Ibid. Hlm. 171

Perjanjian dasar kerjasama ekonomi dan teknik RI-Malaysia yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1974, LN Nomor 36/1974 tanggal 6 Juli 1974. Persetujuan bantuan keuangan RI federasi Jerman, disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 1977. Persetujuan RI-Thailand tentang penentuan batas landas kontinen yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 1972, LN Nomor 16/1972 tanggal 11 Maret 1972. Convention on the previleges and immunities of the United Nations 1946 dan Convention on the previleges and immunities of the specialized agencies, yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 51 tahun 1969, LN Nomor 33/1969 tanggal 24 Juni 1969.

Setelah disahkan, maka suatu Perjanjian Internasional akan diberlakukan menurut ketentuan pada Bab IV mengenai Pemberlakuan Perjanjian Internasional. Pemberlakuan tersebut diatur dalam Pasal 15 yang menyatakan: (1) Selain Perjanjian Internasional yang perlu disahkan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden, Pemerintah Indonesia dapat membuat Perjanjian Internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut. (2) Suatu Perjanjian Internasional mulai berlaku dan mengikat pada pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian tersebut.9 Menurut penjelasan pasal tersebut bahwa Perjanjian Internasional yang tidak mensyaratkan adanya pengesahan dalam pemberlakuan perjanjian tersebut dan memuat materi yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, dapat langsung berlaku setelah penandatanganan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik atau setelah melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak pada Perjanjian Internasional. Kemudian perjanjian yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah perjanjian yang secara teknis mengatur kerja sama di bidang pendidikan, sosial budaya, pariwisata, penerangan, kesehatan, keluarga berencana, pertanian, kehutanan, serta kerja sama antar provinsi dan antar kota. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia dimungkinkan untuk melakukan perubahan atas ketentuan suatu Perjanjian Internasional namun berdasarkan kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian tersebut. Perubahan Perjanjian Internasional mengikat para pihak melalui tata cara sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Perubahan atas suatu Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat. Dan dalam hal perubahan Perjanjian Internasional yang hanya bersifat teknis-administratif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur sederhana.10 3. Dalam bentuk matriks perbandingan, apa saja perbedaan dari pengaturan terkait pembentukan dan pengesahan Perjanjian Internasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 dengan VCLT 1969? Pengesahan Perjanjian Internasional dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 berbeda dengan istilah consent to be bound by a treaty pada VCLT 1969 sebagaimana diatur dalam Pasal 11-17. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam uraian tabel berikut ini: Perbedaan pengaturan terkait pembentukan dan pengesahan Perjanjian Internasional 9 Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 10 Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional

Ruang lingkup pembentukan perjanjian

Berdasarkan bunyi Pasal 1 VCLT 1969, “Lingkup konvensi ini hanya diterapkan untuk Perjanjian Internasional antar negara.”11 Artinya segala ketentuan dalam konvensi ini hanya berlaku bagi perjanjian yang dibuat antar subjek Hukum Internasional Negara saja.

Pasal 4 ayat (1) UUPI menyatakan bahwasanya Pemerintah Indonesia dapat membuat Perjanjian Internasional dengan satu negara atau lebih, Organisasi Internasional, atau subjek Hukum Internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik. Artinya seluruh ketentuan UUPI tidak hanya berlaku bagi perjanjian yang dibuat antar negara, namun berlaku pula bagi perjanjian yang dibuat Indonesia dengan subjek Hukum Internasional lainnya.

Tahapan pembentukan

VCLT 1969 tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai tahapan pembentukan Perjanjian Internasional, namun dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa berdasarkan pasal 6 dimana “Negara sebagai subjek Hukum Internasional mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian.” Yang tahapannya terdiri dari:

UUPI berdasarkan Pasal 6 menjelaskan secara rinci, tahapan apa saja yang harus ditempuh Indonesia apabila akan mengadakan Perjanjian Internasional dengan negara lain. Pembuatan Perjanjian Internasional ini dilakukan melalui tahap sebagai berikut:

- Perundingan (negotiation)

- Perundingan

- Penandatanganan (signature)

- Perumusan naskah

Indikator pembeda

- Penjajagan

- Bila diperlukan ada tahap - Penerimaan ratifikasi.12 11 Pasal 1 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

- Penandatanganan. Wewenang dalam menandatang i dalam pembentukan perjanjian

VCLT 1969 hanya mengenai istilah Full powers bagi wakil negara yang akan menyatakan keterikatannya dalam suatu Perjanjian Internasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) C “Full Powers" berarti sebuah dokumen yang berasal dari pejabat yang berwenang dari suatu Negara menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk mewakili Negara untuk bernegosiasi, mengadopsi atau otentikasi teks perjanjian, untuk mengungkapkan persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian, atau menyelesaikan tindakan lain berkenaan dengan perjanjian”13

Berbeda halnya dalam UUPI yang membedakan antara Full powers dan credential. Full powers merupakan surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberkan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerntah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau penyelesaikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan Perjanjian 14 Internasional. Sedangkan credential surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia hanya untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu Perjanjian Internasional, tanpa dapat melakukan tindakan pengikatan diri ke dalam perjanjian tersebut.15

Pengesahan

Dalam Pasal 11, pernyataan negara untuk terikat pada suatu Perjanjian Internasional itu dapat dengan penandatanganan pertukaran instrumen yang melahirkan perjanjian, ratifikasi, penerimaan (acceptance), persetujuan (approval), atau

Dalam UUPI, istilah pengesahan ini tidak konsisten. Terlihat dari ketentuan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwasanya “Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi

12 Sri Setianingsih dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, Hlm. 24. 13 Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 14 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 15 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

Pernyataan sepihak pada saat pengesahan perjanjian

aksesi (acession) atau dengan cara lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.16 Istilah pengesahan dibedakan antara pengesahan eksternal dan pengesahan internal. VCLT 1969 lebih menekankan kepada pengesahan dalam bentuk “konfirmasi” dari suatu negara untuk terikat dalam suatu perjanjian yang bersifat eksternal. Karena tidak menyinggung apakah tindak lanjut pengesahan tersebut harus disetujui oleh parlemen negara tersebut atau tidak.

(ratification) aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval), sedangkan dalam Pasal 9 ayat (2) UUPI justru menegaskan kembali bahwa “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden.” Hukum Tata Negara Indonesia secara tidak sengaja, malah mengartikan proses pengesahan sebagai “Persetujuan DPR” bukan “Konfirmasi” sebagaimana dalam VCLT 1969. Namun pada praktik ketatanegaraan Indonesia yang ditafsirkan oleh UUPI, pengertian persetujuan tersebut bergeser menjadi “Konfirmasi DPR” bukan lagi “Persetujuan DPR” hal tersebutlah yang menjadikan UUPI tidak konsisten dalam memakai peristilahan dalam pengesahan.17

Dalam VCLT 1969, pernyataan sepihak ini dikenal dengan istilah “Reservation” (pensyaratan) yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) D yang menyatakan “Reservasi merupakan suatu pernyataan sepihak, namun diungkapkan atau bernama, yang dibuat oleh Negara, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau melakukan aksesi untuk sebuah perjanjian,

UUPI tidak hanya mengenal istilah pensyaratan sebagaimana dalam VCLT 1969, akan tetapi mengenal pula istilah “Declaration” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 6 “Pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam Perjanjian Internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan Perjanjian Internasional yang

16 Pasal 11 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 17 Setyo Widagdo, Pengesahan Perjanjian Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional Indonesia, Arena Hukum, Vol. 12, No.1, April 2018, Hlm. 206.

dimana memiliki tujuan untuk mengecualikan atau untuk memodifikasi efek hukum dari ketentuan tertentu perjanjian dalam aplikasi mereka kepada Negara”18

Daftar Pustaka Sumber Buku:

18 Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam Perjanjian Internasional.”

Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. Sri Setianingsih dan Ida Kurnia. 2019. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Sumber Artikel/Jurnal: Setyo Widagdo. Pengesahan Perjanjian Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional Indonesia. Arena Hukum. Vol. 12. No.1. April 2018. Hlm. 206. Sumber Lainnya: Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional....


Similar Free PDFs