The Interpersonal Communication Book Chapter 12 PDF

Title The Interpersonal Communication Book Chapter 12
Author V. Sari
Pages 8
File Size 75.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 431
Total Views 667

Summary

INTERPERSONAL CONFLICT AND CONFLICT MANAGEMENT PRELIMINARIES TO INTERPERSONAL CONFLICT Definition of Interpersonal Conflict Interpersonal conflict adalah ketidaksetujuan antara individu yang memiliki hubungan yang melihat hubungan mereka tidak cocok, contohnya antara teman, pacar, teman kerja dan ke...


Description

INTERPERSONAL CONFLICT AND CONFLICT MANAGEMENT PRELIMINARIES TO INTERPERSONAL CONFLICT Definition of Interpersonal Conflict Interpersonal conflict adalah ketidaksetujuan antara individu yang memiliki hubungan yang melihat hubungan mereka tidak cocok, contohnya antara teman, pacar, teman kerja dan keluarga. Konflik terjadi ketika orang: • saling tergantung, apa yang dilakukan satu orang mempengaruhi orang lain • sama-sama menyadari kalau tujuan mereka tidak cocok; bila tujuan satu orang dicapai sementara yang lainnya tidak. Contoh, A ingin nonton sementara pacarnya ingin jalan-jalan. • Melihat satu sama lain sebagai penghalang untuk mencapai tujuan. Misalnya, A ingin belajar, tapi teman kos-nya mengundang teman-temannya untuk pesta. Salah satu implikasi dari konsep ketergantungan adalah semakin besar ketergantungan: 1) semakin banyak isu yang bisa dijadikan konflik 2) semakin besar akibat dari konflik dan interaksi manajemen konflik pada individu dan pada hubungannya. Myths about interpersonal conflict Salah satu cara masalah ketika seseorang menjalani konflik adalah mereka melakukannya dengan asumsi yang salah tentang apa itu konflik dan apa artinya. Mitos-mitos tentang konflik: • Konflik harus dihindari. Waktu akan menyelesaikan masalah: banyak kesulitan akan pergi sejalan dengan waktu • Bila dua orang mengalami konflik hubungan, itu berarti hubungannya berada dalam masalah, konflik adalah tanda dari hubungan bermasalah • Konflik merusak hubungan interpersonal • Konflik destruktif karena itu mengungkapkan sisi negatif kita, misalnya keinginan kita untuk mengontrol, dan ekspektasi diri yang berlebihan • Dalam konflik harus ada yang menang dan yang kalah. Karena tujuan tidak cocok, salah satu harus mengalah. Semua mitos di atas tidak benar. Penjelasannya bisa dibaca di bagian berikutnya. Interpersonal Conflict Issues Interpersonal conflicts bisa meliputi isu yang luas, misalnya tujuan yang hendak dicapai (contoh: orang tua dan anak tidak sepakat tentang memilih tempat kuliah, atau tentang tipe orang seperti apa yang baik dipacari), tentang alokasi sumber daya seperti keuangan (contoh, pasangan berdebat tentang bagaimana menghabiskan uang: beli mobil baru atau uang muka rumah), keputusan yang harus dibuat (contoh: berdebat mengenai apakah pasangan tinggal bersama mertua atau tinggal terpisah), dan tingkah laku yang oleh satu pihak dinilai wajar sementara oleh pihak lain dinilai tidak wajar (contoh: apakah pacar pergi nonton sama teman lawan jenis wajar atau tidak)

Peneliti melihat ada 6 isu yang biasanya jadi topik konflik antara individu yang berpasangan: 1. Intimacy, seperti kasih sayang 2. Power issues, seperti sikap posesif dalam hubungan dan ketidakseimbangan dalam hubungan 3. Personal flaws issues (kekurangan pribadi), seperti merokok, minum-minuman keras, cara mengemudi 4. Personal distance issues, seperti frekuensi pertemuan 5. Social issues, seperti kebijakan politik dan sosial, orang tua dan nilai individu 6. Distrust issues, seperti mantan pacar dan berbohong Penelitian lain menunjukkan bahwa salah satu dari empat konfisi ini biasanya membuat pasangan mengalami “first big fight” (pertengkaran besar pertama): uncertainty over commitment, jealousy, violation of expectations, and/or personality difference Sementara itu, di dunia kerja, penyebab konflik utama di antara manajer biasanya terkait tanggung jawab dan koordinasi. Konflik lain terkait dengan perbedaan tujuan organisasi, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan gaya manajemen yang cocok. Dalam pertemanan lawan jenis dan sejenis, empat isu yang biasanya jadi konflik adalah tentang berbagi tempat tinggal dan milik, pelanggaran aturan pertemanan, aktivitas bersama dan ketidaksepakatan tentang hal tertentu. Kalau komunikasi elektronik, masalah biasanya timbul kalau orang melakukan pelanggaran aturan komunikasi online, seperti mengirimkan spam, mengirimkan email berulang kali, posting pesan yang tidak relevan di grup.

PRINCIPLES OF INTERPERSONAL CONFLICT 1. Conflict is inevitable Konflik adalah bagian dari hubungan interpersonal, baik antara orangtua dengan anak, saudara, teman, pacar dan rekan kerja.. Fakta bahwa tiap orang berbeda, memiliki sejarah yang berbeda, tujuan yang berbeda, pasti menghasilkan perbedaan. Bila individu saling bergantung, sebagaimana disebutkan di atas, maka perbedaan bisa berakhir dengan konflik. Konflik bisa fokus di berbagai isu dan sangat personal. 2. Conflict can have negative and positive effects Meskipun konflik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, bagaimana kita menangani konflik penting karena konflik bisa berdampak negatif atau positif, tergantung dari cara kita menanganinya. Efek negatif konflik adalah sering membuat perasaan jadi negatif. Banyak konflik menggunakan metode pertengkaran yang tidak adil dan berfokus hanya pada bagaimana menyakiti orang lain. Konflik juga menghabiskan energi yang bisa digunakan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih berguna, khususnya kalau strategi konflik yang digunakan tidak produktif. Konflik juga bisa membuat kita menutup diri dari pasangan kita. Ketika kita menyembunyikan perasaan dari pasangan, kita mencegah komunikasi dan interaksi yang berarti, yang pada akhirnya menciptakan hambatan terhadap keintiman hubungan. Karena kebutuhan keintiman hubungan tetap ada, akhirnya dicari dari orang lain. Ini memperburuk konflik, sehingga akhirnya cost bertambah dan reward berkurang.

Efek positif konflik salah satunya adalah memaksa kita untuk menelaah masalah dan mencari jalan untuk solusi yang potensial. Bila kita menggunakan strategi konflik yang produktif, hubungan kita menjadi lebih kuat, lebih sehat dan lebih memuaskan dibandingkan sebelumnya. Konflik juga mencegah rasa sebal makin bertumpuk. Contoh: kita kesal karena pasangan terus menerus chatting ketika makan malam bersama. Bila kita takut berkonflik, kita diam, akibatnya, pasangan berpikir bahwa hal itu boleh dilakukan, dan terus melakukannya, dan kita makin kesal. Sebaliknya, bila kita membicarakan dengan pasangan, maka konflik yang ada membuat pasangan paham akan kebutuhan kita, maka mencari solusi bersama, misalkan hanya telepon yang benar-benar penting yang boleh diterima, selebihnya tidak. Dengan menyatakan masalah secara terbuka dalam konflik, kita menunjukkan bahwa hubungan tersebut layak dipertahankan, yang menunjukan kepedulian, komitmen dan keinginan untuk mempertahankan hubungan. 3. Conflict can focus on content and/or relationship issues Content conflict berfokus pada objek, peristiwa dan orang, biasanya orang luar, yang terlibat dalam konflik. Ini terkait isu yang kita berdebat sehari-hari seperti nonton saluran tv apa, bagaimana menggunakan uang tabungan, siapa yang layak dipromosikan di tempat kerja dll. Fokusnya pada materi konflik. Relationship conflict adalah konflik yang terkait dengan status hubungan, misalnya siapa yang bertanggung jawab mencuci mobil, keseimbangan dalam hubungan, kepatuhan anak pada orangtua. Relationship conflict biasanya tersembunyi dan seringkali tersamar dalam bentuk content conflict. 4. Conflic syles have consequences Sebagaimana disebutkan di awal, cara kita terlibat dalam konflik memiliki konsekuensi bagi resolusi konflik dan terhadap hubungan di antara mereka yang berkonflik. Ada lima gaya orang berkonflik: a. Competing — I win, you lose. Gaya kompetisi ini mementingkan terpenuhinya kebutuhan dan keinginan kita, dan hanya sedikit memperhatikan kebutuhan dan keinginan orang lain. Selama kebutuhan kita terpenuhi, buat kita konflik sudah tertangani dengan baik. Dalam konflik yang kompetitif seperti ini, kita biasanya agresif secara verbal dan menyalahkan pihak lain. Konsep I win, you lose ini mungkin cocok bila di pengadilan atau ketika sedang menawar barang. Tapi dalam situasi interpersonal, cara menyelesaikan konflik ini bisa membuat orang lain “yang kalah” marah. b. Avoiding — I lose, You lose. Gaya menghindar seperti ini menunjukkan kita tidak terlalu peduli pada kebutuhan atau keinginan kita maupun orang lain. Biasanya dilakukan dengan mengganti topik, ketika masalah dibicarakan, atau menghindar. Ini tidak menyelesaikan masalah, dan malah memungkinkan masalah bertambah. c. Accommodating — I lose, you win. Gaya akomodasi seperti ini, kita mengorbankan kebutuhan kita untuk keperluan orang lain. Tujuan kita hanya untuk mempertahankan hubungan tetap damai dan harmonis. Ini mungkin bisa memuaskan keinginan orang lain, tapi kebutuhan kita sendiri mungkin tidak terpenuhi. Gaya ini tida menyelesaikan konflik. Pada akhirnya kita akan merasa ketidakadilan.

d. Collaborating — I win, you win. Dengan menggunakan gaya kolaborasi, kita mempedulikan pada kebutuhan dan keinginan kita dan orang lain. Kolaborasi memerlukan waktu dan kesediaan untuk berkomunikasi, khususnya untuk mendengarkan sudut pandang dan kebutuhan orang lain. Model yang ideal ini memungkin keinginan dua pihak terpenuhi. e. Compromising — I win and lose, you win and lose. Ini adalah strategi yang biasanya kita sebut jalan tengah, kedamaian tercapai, tapi biasanya tetap ada ketidakpuasan. Contoh, pasangan dua-duanya ingin membeli mobil baru. Tapi dananya cuma cukup untuk beli satu mobil baru. Jalan tengahnya adalah dua-duanya membeli mobil second yang lebih baik dari mobil mereka saat ini.

5. Conflict is influenced by culture Topics. Budaya mempengaruhi topik perdebatan dan cara menangani konfliknya. Contohnya, ketidaksetiaan mengakibatkan konflik yang lebih serius bagi pasangan Amerika dibandingkan bagi pasangan dari Eropa bagian selatan. Dalam high-contect culture, konflik biasanya terjadi kalau ada yang menyalahi aturan kelompok, sementara dalam low-contect culture, konflik umumnya terjadi kalau ada norma individu yang dilanggar. Nature of conflicts. Budaya juga berbeda terkait bagaimana mereka melihat penyebab konflik. Sebagai contoh, di beberapa budaya, seperti di Jepang, adalah normal bila perempuan dinilai tidak setara dengan laki-laki, sementara di Amerika, ketidaksetaraan bisa menjadi penyebab konflik. Orang Jepang biasanya menggunakan gaya kompromi, sementara orang Amerika cenderung menggunakan gaya “winning.” Conflict strategies. Tiap budaya mengajarkan sudut pandang yang berbeda terhadap strategi konflik. Perempuan Afro-Amerika cenderung menggunakan direct controlling strategies, sebagai contoh berasumsi memegang kontrol dalam konflik dan berdebat berkepanjangan untuk memenangkan sudut pandang mereka, dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Perempuan kulit putih, sebaliknya, menggunakan konflik yang berorientasi pada solusi dibandingkan perempuan Afro-Amerika. Orang dari budaya kolektivis cenderung menghindari konflik dibandingkan mereka dari budaya individualis. CONFLICT MANAGEMENT STAGES Berikut ini tahapan-tahapan manajemen konflik yang mempersiapan kita menyelesaikan konflik 1. Set the stage Yang pertama, usahakan bertengkar secara pribadi, jangan di depan orang lain. Kalau kita melakukannya di depan orang lain, bisa menciptakan masalah baru. Kita juga mungkin tidak akan jujur bila ada pihak ketiga, karena kita ingin menjaga citra dan harus memenangkan pertengkaran dengan cara apa pun alih-alih menyelesaikan masalah. Berikutnya, pastikan bahwa kita siap untuk “berdebat”. Meski konflik kadang-kadang hadir di waktu yang tidak tepat, upaya untuk menyelesaikan bisa dilakukan belakangan. Misalnya tidak ketika salah satu sedang lelah. Ketahui apa yang kita pertengkarkan. Kadang-kadang orang sakit hati atau marah terkait hal lain, tapi kemudian marah-marah pada orang lain hanya untuk mengeluarkan rasa frustasinya.

2. Define the conflict Langkah pertama dan esensial adalah membuat konflik tersebut jelas dengan beberapa teknik ini: a. Define both content and relationship issues. Contoh apakah pasangan kita tetap akan pergi main futsal dengan teman-temannya malam minggu nanti (content) dan prioritas aktivitas pasangan (relationship) b. Define the problem in specific term. Lebih sulit menyelesaikan konflik kalau masalahnya abstrak. Alih-alih mengkritik teman mengatakan “kamu bukan teman yang baik” kita bisa mengatakan “Saya kecewa, kamu menghilang di saat saya benar-benar memerlukanmu minggu lalu. Apakah ada masalah?” c. Focus on the present. Bahas masalah yang ada sekarang, bukan membahas masalahmasalah lama yang sudah kita tumpuk tinggi. d. Empathize. Berusaha untuk melihat masalah dari sudut pandang pasangan. Contoh mengatakan pada pasangan “Saya mengerti kamu keberatan saya pergi dengan A, tapi saya sudah lama bersahabat dengan dia.” e. Avoid mind reading. Jangan berusaha untuk membaca pikiran orang lain, tanyakan masalah untuk memahami persoalan dari sudut pandang mereka. “Saya tidak mengerti kenapa kamu marah. Memangnya salah kalau saya tidak pergi sekali saja malam minggu ini bersama kamu, sehingga saya bisa menemani orang tua nonton konser?” 3. Examine possible solutions Masalah banyak yang memiliki berbagai jalan keluar, cari jalan keluar yang win-win, bukan yang win lose. Contoh A hobi main futsal bersama teman malam minggu, B ingin menghabiskan malam minggu bersama A, pacarnya. Solusi yang win-win bisa jadi: A menemani B main futsal. 4. Test the solution Pertama tes solusi tersebut terkait dengan pikiran dan perasaan kita. Setelah kita memutuskan solusi, apakah solusi tersebut membuat kita merasa nyaman? Kedua, setelah solusi dilakukan, apakah bisa dilakukan? Kalau tidak, cari solusi lain. Contoh: apakah menemani pacar main futsal malam minggu sebagai solusi membuat kita merasa lebih baik? Kedua, setelah dilakukan, tanya lagi diri, apakah benar bahwa kita mau menemani pacar main futsal di malam minggu2 berikutnya? 5. Evaluate the solution Apakah solusinya bisa menyelesaikan masalah?Apakah situasinya sekarang lebih baik dibandingkan sebelum solusi tersebut dijalankan? Edward deBono mengusulkan “six thinking hats” untuk melihat masalah dari berbagai perspektif: a. The fact hat. Contoh: alasan kenapa A tidak suka B jalan sama teman-temannya, misalnya karena temannya suka mengajak B berbuat yang tidak baik, seperti minum-minum b. The feeling hat berfokus pada emosi yang dirasakan, misalnya, apa yang A rasakan ketika B jalan sama teman-temannya: marah; dan apa yang dirasakan B ketika A melarang dia bertemu teman-temannya: kecewa. c. The negative argument hat, lihat bagaimana masalah mempengaruhi hubungan dengan negatif, misalnya, seberapa jauh hubungan akan memburuk kalau A tetap jalan sama teman-temannya, atau kalau B terus melarang A jalan sama teman-temannya? Apakah akan berakhir putus? d. The positive benefit hat. Kalau solusinya adalah B tetap jalan sama teman2nya tapi tidak sesering dulu, apakah keduanya sama-sama merasa puas?

e. The creative new idea hat berfokus pada cara baru untuk melihat masalah. Apakah ada solusi yang lain yang bisa ditempuh. f. The control of thinking hat membantu menganalisis apa yang sedang kita kerjakan, merefleksikan apa yang kita pikirkan, apakah kita berfokus pada isu-isu tidak penting? 6. Accept or reject the solution Kalau kedua pihak merasa senang dengan solusi, maka solusi tersebut bisa diterima sebagai solusi permanen. Kalau ada yang merasa tidak puas, maka cari solusi lain. 7. Wrap it up Simpulkan konflik, penting untuk menyelesaikan konflik sampai tuntas, sehingga tidak memancing konflik yang lain. Belajar dari konflik dan dari proses yang kita lalui untuk menyelesaikannya. Misalnya, belajar dari strategi konflik yang membuat konflik memburuk, atau apakah kita dan partner membutuhkan waktu untuk mendinginkan hati, apakah menghindar malah membuat situasi memburuk. Jaga konflik tetap dalam perspektif, berhati-hati sehingga tidak memperluas konflik pada pengaruhnya pada hubungan. Attack your negative feeling. Jangan kemudian merasa negatif, seperti masih merasa bersalah. Increase the exchange of reward and cherishing behaviors.

CONFLICT MANAGEMENT STRATEGIES Ketika kita memilih strategi untuk menyelesaikan konflik, ada lima hal yang biasanya mempengaruhi kita: 1. Goals. Tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang kita harapkan akan tercapai akan mempengaruhi strategi yang kita gunakan. 2. Emotional state. Perasaan kita mempengaruhi strategi yang akan kita gunakan. Kita tidak akan menggunakan strategi penyelesaian konflik yang sama, bila kita sedang marah atau sedih. 3. Cognitive assessment. Sikap dan apa yang kita yakini adil dan seimbang akan mempengaruhi kita untuk mengakui keadilan dari posisi orang lain. Penilaian kita sendiri terhadap siapa yang menyebabkan masalah akan mempengaruhi gaya berkonflik kita. 4. Personality and communication competence. Bila kita malu dan tidak asertif, kita mungkin akan mencoba menghindari konflik dibandingkan berkonflik secara aktif. Bila kita ekstrovert dan berkeinginan untuk menyatakan posisi kita, kita mungkin akan berkonflik dan berdebat dengan lebih aktif. 5. Family history. Topik yang kita pertengkarkan dan bagaimana kita terobsesi atau melupakan konflik interpersonal dipengaruhi oleh sejarah keluarga dan bagaimana konflik diselesaikan ketika kita bertumbuh.

Strategi untuk menyelesaikan konflik: 1. Win-Lose vs Win-Win Strategies Tentu saja, win-win solutions adalah solusi yang paling diinginkan, karena sama-sama memuaskan kedua pihak dan menghindari salah satu pihak kesal bila seperti bila menggunakan win-lose strategy. Menggunakan strategi win-win, akan membuat konflik berikutnya tidak “tidak terlalu mengenakkan”, konflik akan dilihat sebagai menyelesaikan masalah dan bukan sebagai pertengkaran. Solusi win-win juga menjaga harga diri kedua pihak. Contoh: A ingin membeli mobil baru, B ingin jalan-jalan ke Eropa. Solusi win-win adalah dengan membeli mobil bekas yang masih bagus, dan jalan-jalan ke luar negeri tapi yang tidak terlalu jauh dan mahal. 2. Avoidance vs Active Fighting Strategies. Menghindari konflik bisa dilakukan dengan menhindar secara fisik, misalnya keluar dari rumah atau pergi ke ruangan lain di kantor, tidur, menghidupkan musik keras-keras untuk menghentikan pembicaraan. Bisa juga dilakukan dengan menghindar secara emosional atau intelektual dengan tidak mau membahas masalah. Pola ini jelas tidak produktif, dan sejalan dengan upaya menghindari konflik, kepuasan dalam hubungan berkurang. Meskipun menghindar adalah pendekatan yang tidak produktif, ini tidak berarti bahwa mengambil waktu sejenak untuk mendinginkan kepala dan emosi tidak berguna. Dengan menunda respon, kita bisa punya waktu untuk berpikir lebih logis dan lebih tenang. Nonnegotiation adalah salah satu bentuk penghindaran. Kita menolak mendengarkan argumen dari pihak lain. Nonnegotiation kadang-kadang berbentuk memaksakan keinginan dan sudut pandang kita terus menerus sampai yang lain menyerah. Silencer adalah teknik konlik yang berarti mendiamkan pihak lain, seperti menangis, berteriak, menjerit dan berpura-pura kehilangan kontrol. Yang lainnya adalah reaksi fisik seperti sakit kepala dan sesak nafas. Masalah dengan silencer adalah kita tidak pernah yakin apakah itu dilakukan hanya untuk memenangkan argumen atau benar-benar reaksi fisik yang harus diperhatikan. Apapun itu, konflik tidak terselesaikan. Active fighting sebaliknya dilakukan dengan menghadapi konflik secara aktif dengan berkomunikasi, baik aktif sebagai pendengar maupun pembicara, menyuarakan apa yang kita inginkan dan mendengar apa yang diinginkan partner. Kita juga bertanggungjawab terhadap apa yang kita rasakan dan pikirkan. 3. Force vs Talk Strategies Ketika dihadapkan pada konflik, banyak orang tidak mau berfokus pada isu, malah menekankan posisi mereka dibandingkan orang lain, baik secara emosional maupun fisik. Ini bisa berbentuk kekerasan fisik. Alternatif lain terhadap ini adalah talk, dengan terbuka, bersikap positif dan empati. Ini cara untuk mendengar dan berbicara dengan lebih efektif dalam konflik: • Act the role of the listener. Berpikir sebagai pendengar, matikan tv, stereo, komputer dan hadapi orang tersebut dan fokus total pada apa yang diaktakannya. Pastikan kita mengerti apa yang dikatakan dan dirasakan orang lain. Caranya dengan bertanya, atau paraphrase. • Express your support or empathy • State your thoughts and feelings

4. Face-Attacking vs Face-Enhancing Strategies Face attacking strategies dilakukan dengan menyerang “positive face” orang lain (seperti mengkritiknya) atau “negative face” (seperti menuntut waktu atau sumber daya orang lain, sehingga kita mengabaikan otonominya). Bentuk face attacking strategies misalnya adalah beltlining, yang dalam tinju berarti kita tidak boleh meninju di bawah perut karena bisa mengakibatka...


Similar Free PDFs