Wasiat dan Hibah PDF

Title Wasiat dan Hibah
Author D. Ratna Wiranti
Pages 37
File Size 1.6 MB
File Type PDF
Total Downloads 37
Total Views 164

Summary

WASIAT DAN HIBAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia Dosen Pengampu : Rozikan, S.E.I., M.S.I Disusun oleh kelompok 1: Dyah Ayu Ratna Wiranti (20130730253) Juliana Rahmawati (20130730264) PRODI EKONOMI DAN PERBANKAN ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYA...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Wasiat dan Hibah Dyah Ayu Ratna Wiranti

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Skripsi Ira Fit riany Munira

Hukum Kewarisan Islam Rafly Nurfaizy wasiat wajibaht erhadap orang t ua dan anak angkat dalam kompilasi hukum islam.rt f Vina .N Mut hmainnah

WASIAT DAN HIBAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia Dosen Pengampu : Rozikan, S.E.I., M.S.I

Disusun oleh kelompok 1:

Dyah Ayu Ratna Wiranti

(20130730253)

Juliana Rahmawati

(20130730264)

PRODI EKONOMI DAN PERBANKAN ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang mana telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidahyahnya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi agung kita, Nabi Muhammad saw yang mana telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu. Pada kesempatan kali ini, penyusun akan membahas mengenai wasiat dan hibah. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang kami miliki serta bantuan dari beberapa sumber. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada Bpk Rozikan, S.E.I., M.S.I yang telah memberikan tugas kepada kami. Penyusun menyadari bahwa dalam mengerjakan tugas makalah ini banyak kekurangan dalam hal isi maupun penulisan. Maka dari itu penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun agar tugas makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Yogyakarta, 29 Desember 2015

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I ....................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................1 B. Rumusan Masalah.......................................................................................2 C. Tujuan ..........................................................................................................3 D. Manfaat ........................................................................................................3 BAB II ..................................................................................................................... 4 PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4 A. Pengertian Wasiat .......................................................................................4 B. Dasar Hukum Wasiat .................................................................................5 C. Rukun dan Syarat Wasiat ..........................................................................7 D. Pembatalan Wasiat ...................................................................................11 E. Wasiat Wajibah .........................................................................................12 F. Pengertian Hibah ......................................................................................17 G. Dasar Hukum Hibah .................................................................................17 H. Rukun dan Syarat Hibah .........................................................................19 I.

Macam-macam Hibah ..............................................................................20

J.

Pembatalan Hibah.....................................................................................21

K. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Wasiat dan Hibah ...............................22 BAB III .................................................................................................................. 28 PEMBAHASAN ................................................................................................... 28

iii

A. Pembagian Harta Peninggalan Kepada Kerabat yang Tidak Mendapatkan Harta Warisan .........................................................................28 B. Pandangan Islam Terhadap Harta yang di Hibahkan Melebihi 1/3 dari Total Harta yang Dimiliki ...............................................................................29 C. Hukum Kepemilikan Harta Hibah Jika Si Pemberi Hibah Meninggal Terlebih Dahulu ................................................................................................30 BAB IV .................................................................................................................. 31 PENUTUP ............................................................................................................. 31 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................32

iv

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Harta adalah anugerah dari Allah SWT yang menjadi sarana mempermudah kehidupan manusia yang dapat berdampak baik dan berdampak tidak baik.1Harta benda atau kekayaan dalam berbagai bentuknya telah diciptakan untuk makhluk hidup di muka bumi ini. Kemudian pengelolaan alam diserahkan kepada manusia sebagai khalifah, sebagaimana difirmankan oleh Allah yang artinya: Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian.(Q.S. Al-Baqarah: 29). Manusia harus menyadari hakikat harta itu sendiri, bahwa harta hanyalah titipan Allah, kepemilikan sepenuhnya hanya ditangan Allah.Allah dapat mengambil sewaktu-waktu harta pada diri manusia. Allah berfirman dalam surat An-Najm ayat 31 yang artinya: Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga.) Manusia sudah dipercayai oleh Allah dalam mengelola harta benda, maka dari itu konsekuensi manusia adalah menjaga agar harta itu digunakan pada jalan kebenaran dan membuat manusia yang ada di muka bumi ini mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Akan tetapi, manusia memiliki batasan umur. Kematian adalah sebuah rahasia Illahi dan manusia akan meninggalkan semua harta yang dimilikinya di dunia. Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki dapat disebut harta peninggalan. 1

Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia. ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press). Hlm.46.

1

Harta peninggalan, haruslah dibagi kepada orang-orang yang berhak menerimanya,di dalam fiqih terdapat pembahasan mengenai ilmu mawaris. Menurut para fuqaha, ilmu mawaris adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagiannya. Kedudukan ilmu ini dipandang separoh ilmu syariah, karena bidang-bidang yang lain dari ilmu syariah berpautan dengan keadaan manusia sebelum meninggal, maka ilmu ini berpautan dengan keadaan mereka sesudah wafat.2 Sistem pembagian harta peninggalan menggunakan sistem kewarisan Islam, adakalanya ahli waris tidak dapat menikmati bagian harta warisan, sehingga perlu ditingkatkan efektifitasnya dan optimalisasi pelaksanaan sistem kewarisan Islam agar harta peninggalan itu beredar pada lingkungan kekerabatan yang lebih luas.Untuk melengkapi dan mengisi celah-celah peristiwa yang terjadi pada hukum waris, maka Allah telah memerintahkan manusia untuk melakukan wasiat dan hibah.Posisi wasiat dan hibah sebagai upaya untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan. Maka dari itu, Penyusun akan membahas mengenai wasiat dan hibah dalam pandangan Islam dan pelaksanaanya di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pembagian harta peninggalan apabila kepada kerabatkerabat yang tidak mendapat harta warisan? 2. Apakah harta yang dihibahkan melebihi 1/3 dari total harta yang dimiliki itu sah menurut Islam? 3. Bagaimana kepemilikan harta hibah, apabila si penerima hibah meninggal terlebih dahulu?

2

Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy. Fiqh Mawaris. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra). Hlm. 8.

2

C. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Untuk mengetahui bagaimana pembagian harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapat harta warisan. 2. Untuk mengetahui apakah harta yang dihibahkan melebihi 1/3 dari total harta yang dimiliki itu sah menurut Islam. 3. Untuk mengetahui bagaimana kepemilikan harta hibah, apabila si penerima hibah meninggal terlebih dahulu.

3

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wasiat Istilah wasiat berasal dari bahasa Arab yang berarti tausiyah, kata kerjanya berasal dari ausa, dan secara etimologi wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan menyari’atkan.3 Wasiat dalam pengertian ilmu fiqh (hukum Islam) adalah sebagai berikut:4 a. Menurut al Ibyani, wasiat adalah sistem kepemilikan yang disandarkan kepada keadaan sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela, dapat berupa benda atau manfaatnya. b. Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang menerima wasiat itu memiliki kemampuan menerima hibbah setelah matinya orang yang berwasiat. c. Menurut Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain mengenai hartanya atau kepada beberapa oang yang kepemilikannya terjadi setelah matinya orang yang berwasiat. d. Menurut Muhammad Sarbini al Khatib, wasiat adalah memberikan sesuatu dengan kemauan sendiri yang dijalankan sesudah orangnya meninggal dunia. e. Undang0undang wasiat Mesir No. 71 tahun 1946 pasal 1 menyebutkan bahwa wasiat itu merupakan tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan sudah mati. Pada Kompilasi Hukum Islam bab 1 Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada

3

Sidik Tono. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan. (Jakarta: Kementerian agama Republik Indonesia). Hlm. 43. 4 Ibid., Hlm. 45-46.

4

orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.5 Jadi dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian harta benda kepada orang lain yang diberikan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dimana si penerima wasiat harus sesuai dengan syarat-syarat penerima wasiat.

B. Dasar Hukum Wasiat Dasar hukum wasiat berbunyi : Al Baqarah: 180

                 

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” Dalam ayat tersebut, dianjurkan setiap orang yang sebentar lagi dijemput oleh malaikat pencabut nyawa haruslah memberikan wasiat kepada keluarga yang akan ditinggalkan. Wasiat itu mengandung perbuatan sosiologis karena menyangkut beberapa orang yang terkait seperti orang yang berwasiat, penerima wasiat dan harta benda

yang diwasiatkan.6 Dalam hal ini Allah

berfirman: Al Mai’dah: 106

         

           

5

Ibid., Hlm. 47-48. Ibid., Hlm. 49.

6

5

         

                     

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orangorang yang berdosa.” Ayat diatas menjelaskan bahwa saksi sangatlah penting dalam wasiat, agar tidak ada kecurangan atau penyelewengan harta wasiat. Wasiat berlaku setelah orang berwasiat itu meninggal dunia, dan menurut

hukum

pelaksanaan

Islam

kewarisan

pelaksanaan dengan

wasiat

didahulukan

memperhatikan

dari

batasan-

batasannya.7Ketentuan batas wasiat itu berdasarkan hadits riwayat an Nasai dan Ahmad:8 Artinya: “Rasulullah SAW menjenguk aku ketika dalam keadaan sakit, seraya bertanya: “apakah engkau telah berwasiat?”, aku menjawab: “sudah”, Beliau bertanya lagi: “Berapa?”, aku menjawab: “semua hartaku sabilillah”, lalu Beliau bertanya lagi:“lalu apa yang ditinggalkan untuk anakmu?”, aku menjawab:“mereka adalah orang-orang kaya”. Lalu Beliau bersabda: “Wasiatkanlah yang sepersepuluhnya”. Kalimat itu diulang-ulang dan aku juga mengatakan berulang-ulang (“semua”), sehingga Beliau bersabda: “Wasiatkanlah sepertiganya, karena sepertiga itu sudah cukup banyak atau besar”.

7 8

Ibid., Hlm. 50. Ibid., Hlm. 59.

6

Ketika ingin memberikan wasiat maka janganlah berlebihan dan tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan. Terdapat hadist yang senada dengan hadist di atas, yaitu hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqas yang menceritakan bahwa:9 Artinya: “Rasulullah SAW mengunjungi aku pada tahun haji wada‟, karena aku menderita sakit keras, kemudian aku berkata: “Aku telah menderita sakit keras dan aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisinya kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku boleh bersedekah duapertiga dan anakku cukup sepertiga?”. Nabi menjawab: “Jangan”, lalu aku bertanya: “Bagaimana kalau seperdua?”, Nabi menjawab: “Jangan”. Kemudian Beliau bersabda: “Wasiatkanlah sepertiga saja, sepertiga itu cukup banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kueadaan miskin yang menjadi beban orang lain”. Prinsip dalam membuat wasiat adalah tidak boleh merugikan ahli waris,

maka

harta

sepertiga.Sehingga

yang ahli

dibagikan

waris

dapat

tidak

boleh

menikmati

lebih lebih

dari harta

peninggalan.10Wasiat lebih baik dan aman jika ditulis, jika sudah ada niat, maka tulislah wasiat tersebut dalam akta otentik.Hal tersebut dilakukan untuk berjaga-jaga dan berhati-hati dengan wasiat palsu. C. Rukun dan Syarat Wasiat Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi.Rukun wasiat adalah orang yang berwasiat (musi), orang yang menerima wasiat (muso lagu), sesuatu (benda) yang diwasiatkan (muso bihi), dan sighat (akad). Rukun dan syarat wasiat akan dijabarkan sebagai berikut:11 1. Orang yang berwasiat Setiap orang pada dasarnya boleh melakukan wasiat, dan wasiat itu merupakan perbuatan hukum, dan setiap perbuatan hukum itu ada syarat-syarat

yang

harus

dipenuhi,

sehingga

orang

yang

berwasiatpun harus memenuhi syarat sebagi berikut:

9

Ibid., Hlm. 60. Ibid., Hlm. 62. 11 Ibid., Hlm. 75.

10

7

a) Baligh b) Berakal c) Atas kehendak sendiri d) Harta yang diwasitkan itu milik sendiri Syarat orang yang berwasiat ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 194 yaitu: a) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapaat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. b) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. c) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah wasiat meninggal dunia. 2. Penerima wasiat Terdapat beberapa kelompok penerima wasiat, yaitu: a) Ibu-bapak seperti ibu-bapak angkat, ibu bapak yang dalam pemeliharaan panti asuhan, ibu-bapak yang sakit keras sangat membutuhkan biaya perawatan, dan lain sebagainya. b) Para keluarga yang tidak berhak mendapat warisan. c) Lembaga seperti lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan (KHI Pasal 194 ayat 1). d) Para keluarga dalam hubungan keagamaan seperti para fakir dan miskin. e) Ahli waris yang memperoleh persetujuan para ahli waris (KHI pasal 195 ayat 3). Secara umum Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa agar sasaran wasiat sesuai dengan ketentuan syari’at, maka penerima wasiat itu harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) Penerima wasiat dapat diketahui dengan jelas. b) Penerima wasiat telah ada ketika wasiat dinyatakan.

8

c) Bukan tujuan kemaksiatan. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian bagi para penerima wasiat ini antara lain: a) Wasiat yang ditujukan kepada ahli waris Jumhur ulama (imam empat mazha) membolehkan, bahwa berwasiat kepada ahli waris itu hukumnya boleh apabila para ahli waris mengizinkan. Persetujuan para ahli waris harus sudah diperoleh sebelum orang yang berwasiat itu mati, sebab persetujuan itu adalah kerelaan para ahli waris untuk dikurangi haknya untuk diberikan kepada ahli waris yang mendapatkan wasiat.. b) Wasiat kepada pembunuh pewasiat Seseorang yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja membunuh pemberi wasiat maka ia tidak akan menerima wasiat itu. c) Wasiat kepada orang yang tidak ada pada saat pewasiatmati, maka wasiat tersebut batal apabila dilihat dari unsur ketidakhadiran penerima wasiat pada waktu wasiat itu dibuat, sebab kehadiran itu merupakan syarat sahnya wasiat. d) Wasiat kepada seorang bayi yang masih dalam kandungan, maka wasiat tersebut adalah sah hukumnya, dengan catatan anak tersebut lahir dalam keadaan hidup. e) Wasiat wajibah Wasiat wajibah artinya tindakan wasiat itu atas kehendak undang-undang, hal ini berbeda dengan wasiat ikhiyariyah dimana wasiat ini adalah sukarela dari si pemilik harta.Wasiat wajibah ini diutamakan kepada cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki yang telah mati mendahului kakek atau neneknya, sehingga posisi cucu tersebut dalam keadaan seperti diatas adalah sebagai zaw al

9

arham, dan juga kasus yang berkaitan dengan ahli waris yang tidak berhak mewarisi karena berlainan agama. Menetapkan cucu laki-laki dan cucu perempuan dalam wasiat wajibah mempunyai akibat sebagai waris pengganti ayahnya yang telah mendahului kakek dan neneknya, secara umum dapat dilihat kelemahannya, yaitu seandainya ada kasus bahwa: 1)

Ahli waris yang terdiri dari anak perempuan dan

cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka cucu laki-laki itu akan menduduki posisi sebagai waris pengganti yang menggantikan ayahnya yang telah meninggal mendahului kakek atau neneknya, yang menyebabkan cucu laki-laki akan mendapatkan bagian dua kali bagian anak perempuan. 2)

Ahli waris terdiri dari anak perempuan dan cucu

perempuan dari anak laki-laki, maka cuc...


Similar Free PDFs