Buku HANDBOOK PEMERINTAHAN DAERAH PDF

Title Buku HANDBOOK PEMERINTAHAN DAERAH
Author Irfan Setiawan
Pages 161
File Size 1.3 MB
File Type PDF
Total Downloads 134
Total Views 279

Summary

BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil. Pulau Besar terdiri atas 5 pulau yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara pulau kecil jumlahnya ribuan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki 17.504 pula...


Description

BAB I PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil. Pulau Besar terdiri atas 5 pulau yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara pulau kecil jumlahnya ribuan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki 17.504 pulau1. Tiap wilayah di Indonesia dibagi dalam wilayah daratan dan perairan untuk dikelola oleh pemerintah daerah di dalam batas-batas wilayahnya masingmasing. Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18, Ayat 1, dinyatakan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang". Jelaslah bahwa provinsi adalah tingkat pertama pembagian wilayah di Indonesia, kemudian kabupaten atau kota. Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan Pengaturan pengelolaan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut melahirkan berbagai peraturan

1

Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, 2015, katalog BPS 1101001.

1

perundangn-undangan yang mengatur berbagai sendi-sendi pelaksanaan pemerintahan daerah. Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah merupakan hubungan kekuasaan sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi dalam pemerintahan negara. Pada dasarnya, guna mencapai tujuan Negara yaitu kemakmuran rakyat, perlu adanya hubungan harmonis dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya hubungan yang harmonis, diharapkan terjalin kinerja yang sinergis sehingga pelayanan negara terhadap rakyat dapat diwujudkan. Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat pada hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam bidang kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut menjadi tanggung jawab negara. Peran pemerintah pusat dalam kerangka otonomi Daerah banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standar dan prosedur yang ditentukan Pusat.

2

A. Otonomi Daerah Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hoessein3 bahwa Otonomi mengandung konsep kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Pemerintahan daerah (local government) dan otonomi daerah (local autonomy) tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah merupakan suatu pilihan politik suatu bangsa, hal ini merupakan dampak penerapan dari bentuk sebuah negara. Masing-masing negara menerapkan otonomi daerah sesuai dengan kondisi politik kekuasaan negara tersebut. Penerapannya di Indonesia pun seperti “Bandul jam” yang bergerak ke kiri dan ke kanan. Hal ini terlihat dari perjalan penerapan desentralisasi di Indonesia yang bergerak antara sentralisasi dan desentralisasi, sebagaimana yang digambarkan berikut di bawah ini:

2 3

Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Hoessein, Bhenyamin, 2000, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah, Jurnal Bisnis & Birokrasi No.1/Vol.1/Juli. Departemen Ilmu Administrasi Fisip-UI, hlm 16.

3

Sentralisasi

Desentralisasi

Pusat UU 5/74

Daerah UU 23/14

UU 32/04

UU 22/99

Ket: UU No 23/14 lebih mengarah ke sentralisasi di banding dengan ke dua UU sebelumnya

Gambar 1.1 “Bandul” Otonomi Daerah Penerapan otonomi daerah juga dimaksud sebagai upaya mewujudkan terciptanya pusat-pusat kota baru yang bersifat metropolitan, kosmopolitan, sebagai sentra-sentra perdagangan, bisnis dan industri. Inti pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya kekuasaan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas, peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan pemerintahan tersebut bertujuan untuk menyelenggarakan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan alenia ke IV yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18A, dibentuklah hubungan pemerintahan pusat dan daerah yang meliputi: 1. Wewenang 2. Keuangan 3. Pelayanan umum

4

4. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras antara Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah untuk mencapai tujuan negara. Dalam mencapai tujuan negara tersebut pemerintah pusat membentuk hubungan dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Bila kita mengadopsi teori Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard tentang konsep dasar kepemimpinan situasional4 ke dalam hubungan pemerintah pusat sebagai pemerintah level atas (pemimpin) dan pemerintah daerah sebagai pemerintah level bawah (dipimpin) maka dapat dimodelkan hubungan sesuai teori tersebut yaitu: telling, selling, partisipatif, dan delegatif. Berdasarkan hubungan tersebut maka dapat digambarkan hubungan pemerintah pusat dan daerah berdasarkan wewenang adalah sebagai berikut: a. Telling; provide specific instruction and closely supervise performance yaitu memberikan arahan tugas yang spesifik dan mengawasi pekerjaan secara ketat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang spesifik dan mengawasi secara ketat implementasi kebijakan tersebut. Model hubungan ini disebut model hubungan direktif. b. Selling; explain decion and provide opportunity for clarification yaitu menjelaskan arah tugas dan membuka kesempatan klarifikasi. Hal ini terlihat bahwa pemerintah pusat mengurangi campur tangan dan membuka ruang konsultasi kepada pemerintah daerah sehingga penyelenggaraan pemerintahan lebih terarah sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Model hubungan ini disebut model hubungan konsultatif. c. Participating; share ideas and facilitate in decision making yaitu membagi gagasan bersama dan memfasilitasi dalam pengambilan keputusan. Pada model ini pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan kepada pemerintah daerah dengan memfasilitasi kebutuhan dan masukan pemerintah daerah dalam suatu kebijakan. 4

Teori Basic concept of situasional leadership dapat dilihat pada Paul Hersey and Kenneth H. 1988, Blanchard, Management and Organizational Behavior (5th Ed.) utilizing human resources, Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall. h 171

5

Dalam hal ini tingkat kemandirian daerah sudah lebih mampu, sehingga pemerintah pusat membuka peluang besar untuk komunikasi dengan pemerintah daerah sehingga tercipta kebijakan pemerintah yang didukung penuh oleh pemerintah daerah sehingga model hubungan ini disebut model hubungan partisipatif. d. Delegating; turn over responsibility for decisions and implementation yaitu menyerahkan tanggung jawab atas keputusan dan implementasi. Pada model ini pemerintah pusat hanya mengeluarkan kebijakan secara garis besar dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah diberikan. Pemerintah daerah diperkenankan untuk melaksanakan dan memutuskan bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan yang perlu ditangani. Pada model ini tidak lagi diperlukan komunikasi dua arah, pemerintah daerah diberikan peluang untuk berkembang saja Model hubungan ini disebut model hubungan konsultatif. Hubungan Pusat-Daerah dapat diartikan sebagai hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi dalam pemerintahan negara. Model hubungan antara pemerintah pusat dan daerah secara teoritis menurut Clarke dan Stewart dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: Pertama, The Relative Autonomy Model yaitu pola hubungan yang memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintahdaerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh peraturan perundangan. Kedua, The Agency Model, model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangundangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol. Pada model ini pendapatan asli daerah bukanlah hal penting dan sistem keuangan daerahnya didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat. Ketiga, The Interaction Model, merupakan suatu bentuk model di mana keberadaan dan peran

6

pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. 5 Pendapat lainnya dikemukakan Asep Nurjaman ada beberapa alternatif bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibangun6, yaitu: 1. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly centralized) 2. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan cara, memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly decentralized) atau dikenal dengan nama confederal system. 3. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara pusat dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal System) yang banyak diadopsi oleh negara-negara besar dengan fluralisme etnik, seperti Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia. Nimrod Raphaeli, mengemukakan pendapatnya mengenai Sistem Hubungan Pusat dan Daerah berdasarkan penyerahan urusan7 adalah sebagai berikut: 1. Comprehensive Local Government System: pemerintah pusat banyak sekali menyerahkan urusan dan wewenangnya kepada pemerintah daerah. Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan yang besar. 2. Partnership System: beberapa urusan yang jumlahnya cukup memadai diserahkan oleh pusat kepada daerah, wewenang lain tetap di pusat. 3. Dual System: imbangan kekuasaan pusat dan daerah. 4. Integrated Administrative System: Pusat mengatur secara langsung daerah bersangkutan mengenai segala pelayanan teknis melalui koordinatornya yang berada di daerah/wilayah.

5 6

7

Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusamedia, 2009, hlm. 12. Guruh LS, Syahda, 2000, Menimbang Otonomi vs Federal Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Rodakarya, Bandung, hlm 85. Natal kristiono, Buku Ajar Otonomi Daerah, Universitas Negeri Semarang, 2015, hlm, 127.

7

Pola hubungan pusat dan daerah yang lain dikemukakan oleh John Haligan dan Chris Aulich (1998) yang membangun 2 model pemerintahan daerah8 yang terdiri dari: 1. The Local Democracy model, dimana model ini lebih menekankankan pada nilai-nilai demokrasi dan pengembangan nilai-nilai lokal untuk pengembangan efesensi pelayanan. Model ini menurut Danny Burn. Dkk 1994 dibangun berdasarkan pada teori politik. 2. The Struktural efficiency model, yakni model yang lebih menekankan pada efesensi pendistribusian pelayanan kepada masyarakat lokal yang dibangun berdasarkan pada teori manajemen. Pilihan terhadap model hubungan antara pusat dan daerah tersebut membawa konsekwensi-konsekwensi yang berbeda pada hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Model Demokrasi yang menekankan pada pengembangan nilai-nilai lokal membawa kecenderungan pada penghargaan pada perbedaan nilai-nilai lokal dan perbedaan sistem pemerintahan kekuasaan yang dimiliki daerah berasal dari masyarakat daerah itu sendiri. Sedangkan pilihan pada model struktural dapat membawa kecenderungan sebaliknya yaitu intervensi dan campur tangan pemerintah pusat pada pemerintah lokal untuk mengontrol pemerintah daerah dengan maksud agar tercapai efeseinsi pembangunan. Pemilihan model efeseinsi ini menurut A.F. Leemans mempunyai kecenderungan-kecenderungan9 sebagai berikut: 1. kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom 2. kecenderungan untuk mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga penentu kebijakan dan lembaga kontrol di daerah 3. kecenderungan pusat untuk tidak menyerahkan kewenangan atau diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom

8 9

Benyamin Hoessein, Landasan Filosofis tentang Pembentukan Daerah Otonom di Indonesia, IULA-ASPAC, 1999, hlm. 9. Koswara, E, 1999. Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat. Jakarta: Widya Praja HP, hlm 5.

8

Pengembangan Model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya dapat diadopsi juga dari pendapat B.C. Smith yang membagi berbagai model desentralisasi atas 3 model10, yaitu: 1. Model Development Desentralisasi dengan model pembangunan ini melahirkan sejumlah otonomi daerah pada negara-negara yang sedang berkembang dimana pengaruh kolonial masih sangat mewarnai sistem penyelenggaraan pemerintahannya seperti institusi lokal yang diberi nama pemerintahan kotapraja. Dengan model ini hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang terjalin bersifat hubungan yang bercorak sentralistis mengingat model pembangunan membutuhkan mobilisasi sumberdaya alam dan modal yang maksimal. 2. Model liberal Model liberal adalah model desentralisasi yang lebih berorientasii pada pada dua fungsi utama, yaitu pelayanan dan partisipasi, sehingga format hubungan antara pusat dan daerah yang terbentuk lebih cenderung pada bentuk desentralisasi mengingat pelayanan damn partisipasi lebih prima dan efesein apabila diserahkan pada daerah yang paling dekat dengan masyarakat yang dilayani. 3. Model Komunis Desentralisasi dengan corak komunis ini adalah corak desentralisasi yang menekankan pada ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa berbagai sistem, bentuk ataupun model yang diterapkan dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentunya memiliki tujuan yang disesuaikan dengan kondisi sumber daya dan politik yang terjadi pada suatu masa rezim pemerintahan. Bentuk, sistem, atau model hubungan tersebut menimbulkan hubungan administrasi, kelembagaan, anggaran dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia yang berbentuk kebijakan otonomi daerah diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014. Dalam 10

Ali, Faried, 1999, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press hlm 11.

9

proses hubungan pemerintahan itu diperlukan pembagian urusan pemerintahan sesuai skala kewenangan yang berdasarkan aturan perundangundangan. Kebijakan pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 dijelaskan secara rinci pada lampirannya. Hal ini berbeda dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang dijelaskan pada Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. B. Urusan Pemerintahan Perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan pada era orde baru menuju era reformasi berkorelasi terhadap penyebutan kewenangan pemerintahan menjadi urusan pemerintahan. UUD 1945 Pasal 17 (amandemen pertama) dan Pasal 18 (amandemen kedua), menggunakan istilah baku “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”. Sadu Wasistiono dkk11 menjelaskan bahwa kewenangan adalah “kekuasaan yang sah (legitimate power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power)”. Kekuasaan pada dasarnya adalah merupakan kemampuan yang membuat seseorang atau orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Dalam pengertian administrasi, hal ini diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (organisasi). Dengan demikian disimpulkan bahwa dalam kewenangan terdapat kekuasaan, dan sebaliknya. Jadi kewenangan dan kekuasaan pada dasarnya merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.12 Sementara itu Ndraha menyatakan bahwa dalam masyarakat demokratik, urusan pemerintahan adalah, satu, urusan yang disepakati oleh kedua belah pihak menjadi wewenang pemerintah (public service, dapat diprivatisasi), dan kedua,

11 12

Sadu Wasistiono, dkk. 2009. Perkembangan Organisasi Kecamatan Dari Masa Ke. Masa. Fokusmedia. Bandung hlm 32. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 5.

10

Kewajiban Negara terhadap warganegara, yang penyelenggaraannya oleh konstitusi atau konvensi dibebankan kepada pemerintah (civil service). 13 Dari pengetian di atas di ketahui bahwa tujuan pemerintahan untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterahkan masyarakat, sehingga untuk mewujudkan hal tersebut urusan pemerintahan di bagi dalam public service dan civil service. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber: Ndraha14 Gambar 1.2 Interaktif Antara Negara dengan Manusia Dari gambar tersebut, terlihat bahwa Ndraha membagi 2 kategori urusan pemerintahan, bahwa diantara interaksi antara negara dan masyarakat terdapat ruang bersama yang disebut ruang publik. Dalam ruang publik tersebut, urusan disepakati oleh pihak 13 14

Ndraha, 2005, Keybernology, Sebuah carta pembaharuan, Sirao Credentia Center, Banten hlm 221. Ibid.

11

negara dan masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat kemudian menjadi kewenangan negara yang diselenggarakan melalui pelayanan publik (publik service). Pelayanan publik yang menjadi kewenangan negara yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah terdapat pada pasal 12 Undang-undang nomor 23 tahun 2014, kemudian yang menjadi pelayanan civil (civil service) terdapat pada Deklarasi umum tentang Hak Asasi Manusia dan pada pasal 1 (2), 26, 27, 28, 29, 31 (1), dan 34 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Made Suwandi mengemuka...


Similar Free PDFs