Desain Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran PDF

Title Desain Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran
Author Rahmathias Jusuf
Pages 29
File Size 181.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 150
Total Views 394

Summary

1 Rahmathias Jusuf Email: [email protected] BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia,1 ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya ker...


Description

1

Rahmathias Jusuf Email: [email protected]

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan

pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia,1 ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat. Argumen inti multikulturalisme adalah, setiap bentuk kehidupan memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri, maka setiap bentuk kehidupan layak untuk berkembang sesuai dengan pandangan dunianya, namun tetap dalam koridor hukum legal yang berlaku (bukan hukum moral).2 1

Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 80-91, nilai-nilai beberapa pandangan yang menyokong tegaknya masyarakat kosmopolit meliputi: pertama, inklusivisme, yaitu keterbukaan diri terhadap “unsur luar” melalui kemampuan melakukan apresiasi dan seleksi secara konstruktif. Kedua, humanisme, dalam artian cara pandang yang memperlakukan manusia semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab lain di luar itu, semisal ras, kasta, kekayaan, dan agama. Termasuk kedalam humanisme di sini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya. Ketiga, toleransi, yaitu adanya kelapangdadaan dan kebesaran jiwa dalam menyikapi perbedaan.Keempat, demokrasi yang memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan penyampaian kritik. 2

Barbara Taylor, A woman Substance/ Wanita Aditama, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 13. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 177-196. Menurut Cak Nur, perbedaan merupakan sikap dasar, dipandang sejalan dengan basis teologis bahwa (1) Kemajemukan merupakan sunah Tuhan, (2) Pengakuan hak eksistensi agama-agama lain, (3) Titik temu/kontinuitas agama-agama, dan (4) Tidak ada paksaan dalam agama. Istilah multikultural mengandung dua pengertian, yaitu”multi” yang berarti plural (berjenis-jenis) sedangkan”kultural” berarti kultur atau budaya. Pendidikan multikultural berarti pendidikan yang menghargai adanya pluralitas keberagaman budaya. Menurut H.A.R Tilaar, dalam pendidikan multikultural tidak mengenal fanatisme/fundamentalisme sosial-budaya termasuk agama. Setiap komunitas mengenal dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Demikian pula, pendidikan multikultural tidak mengenal adanya xenophobia (kebencian terhadap barang/orang asing). Lihat H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), h. 185-190 penjelasan lain menekankan bahwa Mulikutural adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati,

2

Sulawesi Utara adalah daerah multi etnis, agama, budaya, bahasa dan bahkan kalau dilihat dari keragaman agama boleh diangap sebagai miniatur negara Indonesia.3 Kondisi yang seperti ini tentu tidak sama dengan daerah yang hanya dihuni oleh satu komunitas tertentu saja, karena dinamika dan kepentingan masyarakat yang ada di dalamnya sangat dinamis dan beragam, hal demkian bila tidak ditangani secara serius akan mudah menimbulkan gesekan kepentingan yang dapat mengakibatkan perpecahan dan kerusuhan, seperti yang sudah terjadi di beberapa daerah lain.4 Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu cara untuk menjaga kondisi harmonis5 yang selama ini berjalan, tentunya dengan memaksimalkan seluruh elemen masyarakat, termasuk lembaga-lembaga pendidikan.

baik dalam kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, karena muncul kedasaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak, diingkari apalagi di musnahkan. Cermati Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 103 3 Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar didunia Lihat Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 3 Kekayaan dan keanekaragaman agama, etnik dan kebudayaan, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kekayaan ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa, dan dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional, sulit dijelaskan secara mono-kausal. Cermati Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama, 2005). h. 21 4

Achmad Syahid, Riuh Di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 420 dalam menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama kadang-kadang timbul gesekan, persaingan dan benturan-benturan yang meningkat menjadi konflik sosial dengan simbol-simbol agama. Di Sulawesi Utara penduduk Kristen protestan (47, 26%) dan Islam (46, 47%), namun hubungan antar umat beragama masih berjalan dengan baik. Identifikasi karakter daerah sangat mempengaruhi pemetaan kerukunan umat beragama sehingga tidak terjadi gesekan dan benturan yang berujung pada konflik sosial. 5

Tarmizi Taher, Menuju UmmatanWasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia (Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1998), hlm. 40 secara umum mendeskripsikan hubungan harmonis antar umat beragama di Indonesia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Karena itu, secara serius perlu terus dikembangkan dari waktu ke waktu kualitas hubungan yang lebih baik antar umat beragama. Beberapa wacana juga perlu dibicarakan. Lihat Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 244 menjelaskan setidaknya terdapat tiga wacana yang mewarnai hubungan Muslim-Non Muslim, khususnya Kristen, dalam kehidupan berbangsa di tanah air, yaitu wacana kaum Muslim tentang ancaman Kristenisasi, wacana kaum Kristen tentang ancaman negara Islam, dan wacana bersama yang dikembangkan melalui dialog antar agama, sehingga keharmonisan antar suku bangsa dan agama dapat terjaga.

3

Salah

satu

yang perlu

dipikirkan

adalah

menanamkan

nilai-nilai

multikultural terhadap siswa agar nantinya mereka dapat memiliki sikap pluralis.6 Istilah Multikultural mempunyai makna kesediaan menerima kelompok lain sebagai kesatuan, kesetaraan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka diperlakukan sama di dalam ruang publik.7 Bagi umat Islam, kita diajarkan untuk tidak menutup diri terhadap istilah atau konsep-konsep baru dari luar Islam, seperti multikulturalisme. Tetapi istilah itu perlu diklarifikasi maknanya. Jika tidak sesuai dengan pandangan Islam, maka perlu diberikan makna baru, seperti yang dilakukan para pendakwah Islam di Nusantara. Nah kalau yang dimaksud dengan multikultural adalah sejumlah nilai yang relevan agar peserta didik atau siswa dapat hidup berdampingan secara harmonis8 dalam realitas keberagaman dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola keberagaman menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan Indonesia, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya. seperti nilai “keadilan” misalnya, yang didefinisikan sebagai: “Kesadaran

7

Kemajemukan dan perbedaan yang alami tidak terjadi dalam pokok-pokok yang menjadi kesatuan jika dalam pokok-pokok kesatuan terjadi perselisihan. Perselisihan itu adalah permusuhan bukan kemajemukan, dan menjadi masalah dalam agama. Oleh karena itu dibutuhkan kesatuan bagi kemajemukandan rujukan bagi perbedaan yang terjadi, serta suatu kebersamaan dari orang-orang yang berbeda dengan kekhasan masing-masing. Lihat Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan Dan Kemajemukan Dalam Bingkai Persatuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 35 8

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 153-154. Salah satu upaya mewujudkan hubungan yang harmonis adalah melalui kegiatan pendidikan multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuhkembangkan kearifan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perilaku (mode of action) peserta didik terhadap keragaman agama, budaya dan masyarakat. Dengan pengertian itu, pendidikan multikultural bisa mancakup pendidikan agama dan pendidikan umum yang “mengindonesia” karena responsif terhadap peluang dan tantangan kemajemukan agama, budaya, dan masyarakat Indonesia. Tentu saja pendidikan multikultural di sini tidak sekedar membutuhkan “pendidikan agama”, melainkan juga “pendidikan religiusitas”. Pendidikan religiusitas mengandung arti pendidikan yang tidak sebatas mengenalkan kepada peserta didik ajaran agama yang dianutnya, melainkan juga mengajarkannya penghayatan visi kemanusiaan ajaran agama tersebut. Hal ini diperlukan untuk menghadapi era globalisasi, agar umat beragama tidak dikungkung oleh pandangan kebangsaan sempit dan parokialistik.

4

untuk memperlakukan orang lain tidak berat sebelah/tidak memihak dan tidak membedakan keberpihakan kepada sesama karena perbedaan warna kulit, golongan, suku, agama, ekonomi, jenis kelamin, dsb. Tentu hal semacam ini sejalan dengan ajaran Islam.9 Pendidikan mempunyai peran penting dalam membentuk kehidupan publik, selain itu juga diyakini mampu memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk politik dan kultural. Dengan demikian pendidikan sebagai media untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial, sehingga akan menjadi basis institusi pendidikan yang syarat akan nilai-nilai idealisme.10 Sekolah adalah skala kecil dari masyarakat, yang di dalamnya terdapat pendidikan formal. Sekolah inilah yang menjadi salah satu media pemahaman tentang menanamkan nilai-nilai multikultural. B.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat beberapa

rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Konsep Multikultural? 2. Bagaimama Konsep Pendidikan Multikultural? 3. Bagamana Desain Pendidikan Multikultural dan Penerapannya dalam pembelajaran?

9

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 188 memperkuat pernyataan di atas bahwa kesadaran mengenai adanya kemajemukan keagamaan (religious pluralism), mendasari sikap toleransi, keterbukaan, dan kejujuran yang menonjol terhadap agama lain seperti pernah ditampilkan dalam sejarah Islam. Ini mengandung arti kita dituntut menyikapi segala bentuk perbedaan dengan baik, wajar, dan tulus sebagai sarana fastabiqul khairat, percaya bahwa menghargai keberadaan orang lain dan segala perbedaannya tidak otomatis menghilangkan eksistensi diri karena kita justru semakin bisa mengenali diri sendiri ketika kita semakin mengenali yang lain, dan membangun komunikasi secara baik dan penuh keterbukaan (dialog) dengan kelompok yang berbeda. 10

M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan (Yogyakarta: Resist Book, 2008), h. 81

5

BAB II PEMBAHASAN

A.

Multikultural Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, ialah bentuk

jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atu akal”. Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi. Dalam istilah Inggris berasal dari kata lain Colere, berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti berkembang arti Culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengolah alam. Kbudayaan mempunyai tiga wujud, ialah: (1) Wujud Ideal; (2) Wujud kelakuan; dan (3) Wujud Fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, ialah (i) tingkat nilai budaya, (ii) tingkat norma-norma, (iii) tingkat hukum, (iv) tingkat aturan khusus. Tingkat nilai budaya, terutama dalam masyarakat adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini yang kita sebut dengan gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena hampir semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerjasama dengan orang lain. Tingkat adat kedua dan lebih kongkret adalah sistem norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Jumlah norma dalam suatu kebudayaan lebih banyak daripada jumlah nilai budayanya.11 Kebudayaan adalah kenyataan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan. Kebudayaan tidak saja asalnya, tapi juga kelanjutannya bergantung pada manusia. Sumber dari tiap-tiap apa yang dikatakan. Kebudayaan adalah jiwa dengan 11

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2016), h. 11

6

berpangkal pada kejiwaan, dapat disusun satu defenisi yang akan menjadi rumusan pengertian kebudayaan. Semua cipta dan laku perbuatan manusia yang dikerjakan sehari-hari atau selama kehidupannya dalam rangka hubungan dengan manusia lain dan alam, masuk lapangan kebudayaan.12 Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan manusia (masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaanya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia. Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi hubungan antarpersekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring berjalannya waktu. Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya ketidaksesuaian di antara unsuunsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan. Perubahan kebudayaan mencakup banyak aspek, baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang dilaluinya. Perubahan kebudayaan di dalamnya mencakup perkembangan kebudayaan, pembangunan dan modernisasi termasuk pula perubahan kebudayaan.13 Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain perubahan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regres (kemunduran) bukan progress (kemajuan); perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan di luar kendali manusia. Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari satu kelompok ke kelompok lain atau suatu masyarakat ke masyarakat yang lain. Misalnya, kebudayaan dari masyarakat Barat 12

Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 78

13

Cetak miring dan tebal ditambahkan oleh penulis

7

(negara-negara Eropa) masuk dan mempengaruhi kebudayaan Timur (bangsa Asia dan Afrika). Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan secara meluas. Dalam hal penyebaran kebudayaan, seorang sejarawan Arnold J. Toynbee merumuskan tentang radiasi budaya sebagai berikut; 14 Pertama, aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan, melainkan individual. Kebudayaan Barat yang masuk ke dunia Timur pada abad ke-19 tidak masuk secara keseluruhan teknologi merupakan unsur yang paling mudah diserap. Industrialisasi di negara-negara Timur merupakan pengaruh dari kebudayaan Barat. Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya. Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk diterima. Contoh religi adalah lapis dalam dari budaya. Religi orang Barat (Kristen) sulit diterima oleh orang Timur dibandingkan teknologinya. Alasannya, religi merupakan lapisan budaya yang paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi merupakan lapisan luar dari budaya. Ketiga, jika satu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur budaya lain. Unsur teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pula nilai budaya asing melalui orang-orang asing yang bekerja di industri teknologi tersebut. Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi. Dalam hal ini, Toynbee memberikan contoh nasionalisme. Nasionalisme sebagai hasil evolusi sosial budaya dan menjadi sebab tumbuhnya negra-negara nasional di Eropa abad ke-19 justru memecah belah sistem kenegaraan di dunia Timur, seperti kesultanan dan kekhalifahan di Timur Tengah. Masyarakat multikultural dibentuk melalui proses asimilasi15 kelompok minoritas ke dalam kelompok dominan. Kemudian berbagai kelompok tersebut 14

Ferdian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 54 Interaksi masyarakat berbudaya mengakibatkan terjadinya penetrasi budaya. Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi budaya secara damai diantaranya terjadi melalui proses Asimilasi budaya (bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru) Lihat Ferdian Tonny Nasdian, Sosiologi 15

8

mengasimilasikan dirinya sebagai masyarakat baru, sehingga terbentuklah suatu masyarakat bangsa sebagai hasil dari asimilasi tersebut. Proses seperti itu diabadikan dalam sebuah teori terkenal, yaitu teori melting pot.16 Teori melting pot pada awalnya diwacanakan oleh J.Hektor seorang imigran dari Normandia. Dalam teorinya dia menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asalnya, sehingga seluruh masyarakat hanya memiliki satu budaya baru.17 Kemudian ketika komposisi etnik dan ras beragam dan majemuk, maka teori melting pot tidak sesuai lagi, sehingga muncul teori baru yang disebut teori salad bowl (gadogado) sebagai teori alternatif yang dipopulerkan oleh Horace Kallen. Teori salad bowl tidak melelehkan budaya asal, tetapi sebaliknya kultur-kultur lain di diakomodasi dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya. Hal ini kemudian melahirkan teori Cultural Pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua. Dua ruang gerak itu adalah: 1) Ruang gerak publik untuk seluruh etnik/ras mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial. Dalam konteks ini masyarakat homogen dalam sebuah tatanan budaya. 2) Ruang gerak privat, yang di dalamnya masyarakat mengekspresikan budaya etnis/ras mereka secara leluasa. Teori-teori tersebut dikembangkan di Amerika untuk membangun persatuan dan kesatuan dan mengembangkan kebangsaan serta warga negara Amerika Serikat. Namun demikian pada dekade 1960an masih ada sebagian masyarakat Amerika yang merasa hak-hak sipilnya belum dapat dijamin sepenuhnya. Hal itu memunculkan pemikiran baru agar semua kelompok masyarakat dapat hidup Umum, h. 55 Menurut Ki Supriyoko, kontak budaya akan menghasilkan dua kemungkinan, yaitu: Pertama, pertemuan antar budaya tanpa membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna, disebut asimilasi, dan Kedua, pertemuan antar budaya yang membuahkan nilainilai yang lebih bermakna, disebut akulturasi. Proses asimilasi dan akulturasi hasil kontak budaya pasti terjadi dan keduanya akan memberikan dampak positif dan negative. Lihat juga Ki Supriyoko, Pendidikan Nasional Sebagai Pengiring Kebudayaan Nasional, Materi Perkuliahan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tahun 2007 16

Bill Watson, Multiculturalism: Its Strenth and Weaknesses, dalam JPIPS, No.23, Tahun XIII, Des...


Similar Free PDFs