HAJI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Fiqih, Normatif-Filosofis, dan Sosial PDF

Title HAJI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Fiqih, Normatif-Filosofis, dan Sosial
Author Hatman Alba
Pages 12
File Size 1.7 MB
File Type PDF
Total Downloads 248
Total Views 629

Summary

HAJI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Fiqih, Normatif-Filosofis, dan Sosial) Hatman Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan PAI IAIN Madura [email protected] Abstrak Memahami esensi ibadah haji dapat kita lihat dari berbagai perspektif, diantaranya yaitu, pertama, haji dalam perspektif fiqih memiliki kesamaa...


Description

Accelerat ing t he world's research.

HAJI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Fiqih, NormatifFilosofis, dan Sosial Hatman Alba Hatman

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers Ini Oleh-Oleh Saya dari Mekkah Qur'anli Sobandi

Seri Fiqih Kehidupan (6) : Haji Seri Fiqih Kehidupan (6 Adya kanza Syifa Haji dan Umrah udoenx diyas

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

HAJI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF (Fiqih, Normatif-Filosofis, dan Sosial) Hatman Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan PAI IAIN Madura [email protected] Abstrak Memahami esensi ibadah haji dapat kita lihat dari berbagai perspektif, diantaranya yaitu, pertama, haji dalam perspektif fiqih memiliki kesamaan ibadah syar’i lainnya. di dalamnya terdapat syarat, rukun dan kewajiban haji itu sendiri sesaui kaidah fiqih teori praktik fiqih yang berlaku. Kedua, haji dapat dipahami melalui perspektif Normatiffilosofis, yaitu mempunyai makna membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah (simbol dari tawaf), berramar ma’ruf nahi munkar (simbol dari melontar jumroh), mempunya prinsip dan usaha yang kuat (simbol dari niat dan sa’i) dan saling menghormati antar sesama manusia (simbol dari ihram). Ketiga, dalam perspektif sosial, haji dapat dimaknai sebagai persamaan dan kebersamaan tanpa melihat status sosial yang ada. Menumbuhkan rasa saling menghormati dan gotong royong sebagaimana anjuran agama dalam nash-nash Quran maupun sunnah. Kata Kunci: Haji, Fiqih, Normatif-Filosofis, Sosial.

PENDAHULUAN Selain sebagai salah satu rukun Islam yang terkahir, haji tidak hanya dipandang sebagai tutunan syariat yang harus ditunaikan bagi yang mampu, namun lebih dari itu haji harus dipandang sebagai aktivitas sosial yang disyariatkan oleh agama Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa pengamat sosial bahwa haji merupakan ibadah yang mengandung makna sosial. Makna itu termanifestasikan dari pengetahuan, pemahaman dan implementasi berbagai pesan simbolik ajaran yang ada dalam ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat. Kewajiban haji merupakan kewajiban yang secara esensial lahir dari keinginan yang kuat dalam hati seorang muslim dengan maksud menyempurnakan agama, memenuhi panggilan Allah dan melaksanakan ibadah yang tidak semua ummat muslim dapat melaksanakannya. Motivasi haji dalam konteks siosial secara umum ditengah masyarakat sangatlah beragam. Haji secara ideal adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dan membuahkan kesadaran sosial. Namun dalam kontek sosial haji mengalami pergeseran makna, pada umumnya hanya berorientasi kepada kepentingan individual. Yaitu hanya

1

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

ingin mendapatkan pahala yang lebih banyak. Padahal jika dilihat dari efek pelaksanaan haji secara teologis, haji memiliki makna yang tidak kecil. Seseorang yang pernah melalaksanakan haji tentu akan menjadi lebih baik dan mengalami perubahan sosial yang sangat signifikan. Sementara itu, manusia diciptakan oleh Allah Swt, selain unruk mengabdi kepadany-Nya, juga bertanggung jawab terhadap peranan sosial. Hanya saja peran dua ganda itu acapkali diabaikan salah satu diantaranya. Fenomena ini menggambarkan adanya pergesaran makna substansial haji. Sikap individual ini dapat dilihat dari orang yang melakukan haji berkali-kali. Namun minim kepekaan sosial. Indikasi ini dapat dilihat dari kecenderungan untuk berhaji secara terus menerus tanpa melihat kondisi sosial disekitarnya. Masalah tersebut merupakan masalah kontradiktif tehadap esensi makna haji itu sendiri, haji seharusnya dijadikan mediasi renungan tentang kepekaan sosial dan menumbuhkan rasa simpati terhadap orang disekitarnya. Haji bukan untuk meningkatkan status sosial agar dapat dihormati oleh masyarakat akan tetapi haji harus dipandang bahwa manusia tidak ada perbedaan di sisi Allah Swt kecuali kualitas ketakwaannya itu sendiri.

PEMBAHASAN Pengertian Haji Kata haji berasal dari bahasa arab “‫ ”الحج‬yang berarti datang atau berkunjung. Dalam Islam maknanya “melakukan ibadah haji”, yaitu datang ke Baitullah dan melakukan ibadah-ibadah tertentu di sana, dimulai dari berpakaian ihram, lalu berdiam (wuquf) di Arafah, dilanjutkan dengan melontar jumrah di Mina, ṭawaf, kemudian saʻi, dan di akhiri dengan mencukur rambut (tahallul).1 Definisi lain mengatakan bahwa haji adalah suatu amalan yang dengan sengaja untuk mengunjungi Baitullah atau rumah Allah dengan syarat dan rukun tetentu.2 Dalam istilah lain juga dijelaskan bahwa haji secara bahasa adalah al-qoshdu yang artinya adalah menyengaja untuk melakukan suatu yang agung. Para Ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan haji antaranya adalah: 1. Mendatangi Ka’bah untuk mengadakan ritual tertentu

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, (Jakarta: PT Karya Toha Putra, cet. 3, 2009), 293. 2 M. Ash-Shiddieqy, Pedoman Haji, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 14.

1

2

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

2. Berziarah ke tempat tertentu pada waktu tertentu dan amalan-amalan tertentu dengan niat ibadah. Dari definisi di atas, bahwa haji merupakan aktivitas yang meliputi sebagi berikut: 1. Ziarah adalah mengadakan perjalanan (safar) dengan menempuh jarak yang biasanya cukup jauh hingga meninggalkan negeri atau kampong halaman kecuali penduduk mekkah. 2. Tempat tertentu, yang dimaksud adalah Ka’bah di Baitullah Kota Mekkah alMukarramah, Padang Arafah, Musdalifah dan Mina. 3. Waktu tertentu, yang dimaksud adalah bahwa haji hanya dapat dilaksanakan pada bulan haji yaitu pada bulan syawwal, dzulqa’dah dan dzulhijjah. 4. Amalan tertentu, yang dimaksud adalah semua yang termasuk ke dalam perbuatan rukun haji, wajib haji, dan sunnah seperti tawaf, wuquf, sa’I, mabit di Mina dan Muzdalifah dan malan lainnya. 5. Dengan niat ibadah, semua itu tidak bernilai haji kalau pelakunya tidak meniatkannya sebagai ritual ibadah kepada Allah Swt.3 Sejarah Singkat Ibadah Haji Ibadah haji telah ada sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni pada masa Nabi Ibrahim AS (1861-1686 SM). Pun serangkaian ibadah haji, di antaranya juga berasal dari kisah keluarga Nabi Ibrahim AS. Salah satunya, Sa'i. Sa'i adalah lari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Ritual ini berawal dari Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim AS, yang ditinggalkan sendirian bersama bayinya, Ismail di dataran Mekah yang tandus dan kering. Hajar yang dilanda kebingungan karena bayinya menangis kehausan, berlari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwa hingga sebanyak tujuh kali. Hingga akhirnya atas kehendak Allah SWT, keluarlah mata air di bawah kaki Ismail yang diberi nama zam-zam. Berkat mata air itu, dataran yang semula sepi berubah ramai dengan kedatangan penduduk baru yakni bangsa Jurhum. Menginjak usia remaja, Ismail bersama ayahnya, Nabi Ibrahim AS, bekerja sama membangun Kakbah sampai ketinggian 7 hasta. Dengan petunjuk Jibril, mereka meletakkan posisi Hajar Aswad seperti perintah Allah SWT. Lalu Ibrahim membuat 2 pintu ka’bah. Pintu pertama 3

Muhammad Ajib, Ibadah Haji Rukun Islam ke Lima, (Jakarta: Lentea Islam, 2012), 8.

3

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

terbuka ke timur dan pintu kedua terbuka ke barat. Setelahnya, keduanya melakukan ibadah haji atas perintah Allah.4 Menurut beberapa sumber, Nabi Adam As telah melaksanakan haji dengan cara tawaf (mengelilingi Ka’bah) setelah membangun Ka’bah di Mekkah. Pada masa Nabi Adam As, pelaksanaan ibadah haji tentu masih sangat sederhana. Menurut Abu Hurairah yang diperkuat oleh Muhammad bin al-Munkadar dan Ibn Abu Lubaid alMadani, Adam melaksanakan ibadah haji setelah selesai membangun Ka’bah. Ketika itu Nabi Adam dibimbing oleh Malaikat, baik mengenai tata cara pelaksanaan iabadah haji maupun ucapan doanya. Ibnu Abbas menambahkan bahwa Nabi Adam melaksanakan tawaf sebanyak tujuh putaran. Lebih lanjut Abdullah bin Abi Sulaiman meriwayatkan bahwa setelah Nabi Adam menyelesaikan tawaf, ia kemudian mengerjakan sholat dua rakaat di depan pintu Ka’bah dan diakhiri dengan doa di pintu multazam. Selaian Nabi Adam disebutkan juga bahwa beberapa nabi lain juga pernah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Seperti Nuh, Hud, Shaleh, dan Syu’aib.5 Setelah sepeninggal Nabi Ibrahim AS, banyak penyelewengan ibadah haji yang dilakukan. Belum lagi Ka’bah yang sering dijadikan tempat maksiat. Karena itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengembalikan tempat dan tata cara berhaji agar sesuai dengan ajarannya semula. Ibadah ini baru diwajibkan kembali kepada umat Nabi Muhammad pada tahun ke-6 hijriah (ada juga yang menyebutkan pada tahun ke-3 atau 5 hijriah) melalui firman Allah SWT: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim, barang siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji menuju baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya dari semesta alam” (QS Ali Imran: 97). Sejarah singkat di atas, sedikit menggambar bahwa risalah yang pernah dibawa oleh para nabi sehingga sampai kepada Rasulullah mengalami perubahan aktualisasi naun tidak menghilangkan esensi dari nilai ajaran tesebut. Begitu pula ajaran atau risalah yang di bawa oleh Rasulullah tehadap sahabat, tabi’in sehingga sampai kepada ulama. Ulama’ terdahulu tidak menginginkan prodak hukum yang dihasilkan pada saat 4 5

https://www.inibaru.id/islampedia/sejarah-singkat-ibadah-haji-umat-islam (diakses pada 27 April 2020) M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS 2007), 21.

4

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

itu dijadikan sebagai hukum yang tidak bisa diubah, melainkan mengajarkan bahwa hukum akan berubah sesaui dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Haji dalam Perspektif Fiqih Fiqih juga mengatur tata cara dalam melaksanakan ibadah haji, sebagaimana ketentuan-ketentuan ibadaha lainnya. Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum menunaikan iabadah haji. Syarat-syarat tersebut menurut Jumhur Fuqaha adalah sebagai berikut: 1. Islam 2. Baligh 3. Berakal sehat 4. Merdeka (bukan hamba sahaya) 5. Mampu (istitha’ah) Syarat-syarat tersebut disepakati oleh empat mazdhab kecuali Imam Syafi’I yang mengajatakan syarat wajib haji hanya satu yaitu islam. 6 (Fiqih Madzhab Arba’ah 1/632) Keislaman seseorang menjadi persyaratan mutlak bagi orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Karena tidak sah ibadah haji bagi orang yang tidak beragama islam. Adapun kesanggupan atau yang dikenal dengan istilah istitha’ah dalam menunaikan ibdah haji adalah sebagai berikut: 1. Orang mukallaf yang sehat badan. 2. Perjalanan aman dari segala bentuk bahaya baik tehadap jiwa maupun harta. 3. Terdapat alat angkutan baik darat laut ataupun udara 4. Memiliki perbelanjaan yang cukup.7 Haji dapat dikatakan sah secara syariat jika memenuhi rukun dan wajib haji. Empat mazdhab beda pendapat dalam menentukan rukan haji. Penulis ingin menyampaiakn rukun haji menurut Imam Syafi’i sebagai berikut: 1. Ihram 2. Wuquf di arafah 3. Thawaf 4. Sa’i 6

Gus Arifin, Fiqih Haji dan Umrah, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), 185. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, terj. Masykur Afif Muhammad dan Idrus al-Kahfi, (Jakarta: Lentera, 2010), 205.

7

5

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

5. Memotong atau memendekkan rambut (tahallul) 6. Tertib, yaitu mendahulukan ihram dari semua amalan haji.8 Sedangkan wajib haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan, naun tidak menyebabkan batal (tidak sahnya) haji, apa bila tidak dikerjakan sendiri boleh dilakukan oleh orang lain. Adapun waijib haji yang dimaksud adalah; 1. Berpakaian ihram dari miqat 2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah. 3. Melontar jumroh aqobah pada tanggal 10 Dzulhijjah, serta al ula, wustha, aqobah pada hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah 4. Mencukur atau memendekkan rambut bagi laki-laki, sedangkan khusus perempuan dipotong sedikit. 5. Mabit di Mina pada tanggal 10 dan 11 Dzulhijjah bagi yang ingin nafar awal, dan sampai dengan malam tanggal 12 Dzulhijjah bagi yang ingin nafar tsani. 9 Islam merupakan agama yang senantiasa berpegang tuguh kepada ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran dan hadits. Keduanya menjadi sumber rujukan dalam melakukan aktivitas peribadatan dan muamalah dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan haji, tentu saja ada dasar hukum yang menjadikan haji sebagai kewajiban untuk dilaksanakannya. Firman Allah dalam Quran surat al-hajj ayat 27: ”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepada dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. Kemudian firman Allah dalam al-Quran surat al-Baqaroh:196 mengatakan: “Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah Swt”. Selaian dari Nash Quran juga ada anjuran dari hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Barang siapa hendak mengerjakan haji, maka hendaklah dikerjakannya dengan segera, karena dia mungkin akan sakit, akan hilang kendarannya, dan timbul kebutuhan-kebutuhan yang lain”.10

8

Ibid., 186. Arizal Widjanarko, Tuntunan Praktis Haji dan Umroh, (Jakarta: Palinggam, 1995), 38. 10 Indah Purwanthini, “Fenomena Haji di Kalangan Masyarakat Petani” (Skripsi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2008), 43. 9

6

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

Haji Perspektif Islam Normatif dan Filosofis Memahami haji secara esensial tidak cukup hanya dipahami melalui perspektif fiqih yang menerangkan secara teori dan praktik. Haji juga harus mampu dipahami melalui kacamata normatif dan filosofis dalam Islam. Dalam literature fiqih, definisi haji secara termenologi adalah mengunjungi Mekkah untuk mengejakan ibadah tawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan ibadah lainnya untuk mendapatkan Ridho dari Allah Swt. Menurut Drs. Ishak Farid haji adalah mengunjungi atau ziarah ke suatu tempat yang dipandang mulia dan diangungkan.11 Haji merupakan ibadah yang relatif tidak mudah untuk dilaksanakan, karena di dalamnya terdapat rukun dan dan wajib haji yang menguruas tenaga. Di dalamnya pula terdapat simbol-simbol yang penuh makna filosofi. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa haji merupakan penyempurna orang islam dalam melaksanakan perintah agama. Diantara ritual pelaksanaan ibadah haji yang memiliki makna filosofis adalah miqat yang memiliki makna waktu juga digunakan sebagai makna tempat. Karenanya miqat ada dua, yaitu miqat makani adalah ketentuan batas tempat untuk memulai ihram haji atau umrah. Sedangkan miqat zamani adalah ketentuan batas waktu untuk mengerjakan batas haji.12 Keduanya merupakan aktifitas menaggalkan semua pakainnya lalu menggantikan dengan pakaian ihram. Hal ini merupakan simbol penaggalan pakaian lama penuh warna dan anekaragam motif disain yang menunjukkan bahwa pakain tersebut menunjukkan pola, prefensi, status dan berbagai pembeda antar manusia. Kadang pakaian merupakan sumber perpecahan dan sumber diskriminatif. Di dalamnya menunjukkan sifat “keakuan”. Tentu ini banyak dijumpai diberbagai perilaku sosial seperti ras, kelas, kelompok, kedudukan dan keluarga. Proses tersebut seharusnya dimaknai secara filosofis bahwa pakaian ihram menunjukkan nilai-nilai persamaan sosial. Tidak ada perbedaan ras, suku, kedudukan, keluarga. Semuanya sama yaitu manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Said Hawwa yang mengatakan bahwa ibadah haji adalah simbol persatuan ummat Islam, tanpa memandang ras, suku, warna kulit dan kebangsaan, karena dasar persatuan kaum muslimin adalah syari’ah dan aqidah Islam.13

11

Ishak Farid, Ibadah Haji Dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Renika Cipta, 1999), 44. M. Ash-Shiddieqy, Pedoman Haji, 43. 13 Azalia Mutammimatul Khusna, “Hakekat Ritual Ibadah Haji Dan Maknanya Berdasarkan Pemikiran William R. Roff”, Vol. 2, No. 1, (Maret, 2018), 134.

12

7

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

Selain miqat tahapan ritual berikutnya adalah niat haji. Niat adalah salah satu rukuan haji yang memiliki simbol ketekatan untuk mengukuhkan diri, yaitu meninggalkan kehidupan sehari-hari untuk menggapai cinta Allah Swt. Setelah melaksanakan niat, jamaah haji bernagkat ke Arafah kemudian dilanjutkan ke Muzdalifah dan mina untuk melakukan tahapan selanjutnya yaitu wuquf pada tanggal 9 Dzulhijjah, mabit pada malam tanggal 10 Dzulhijjah dan bermalam di Mina pada tanggal 10 sapai tanggal 12 atau 10 Dzulhijjah. Wuquf diawali dengan mendengarkan khatbah, sholat dhuhur dan asar, kemudian diisi dengan membaca doa, dzikir, membaca Quran, tasbih dan istighfar. Pada saat itulah para jamaah haji berkumpul dari berbagai penjuru dunia.14 Makna filosofis yang terkandung dalam berbagai kegiatan di atas, bahwa mengingatkan manusia kelak akan dikumpulkan di padang mahsyar pada hari kiamat nanti. Kita akan menyaksikan amat banyak manusia berdesakan, suara-suara keras yang saling bersahutan dan bahasa-bahasa yang beraneka ragam. Begitu pula dengan ritual melontar jumroh pada tanggal 10 Dzulhijjah dan melontar jumroh ula, wustha dan aqobah pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah dengan niat sebagai kepatuhan kepada Allah dan menapakkan penghambaan diri sepenuhnya. Karena pada esensinya adalah melempar wajah setan dengannya dan mematahkan tulang punggungnya. Sa’i yang dipandang sebagai bagain ritual dalam haji memiliki makna filosofis dan historis yakni sebuah pencarian. Jamaah haji ketika melakukan sa’i berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Dalam pandangan historis, di mana Siti Hajar istri Nabi Ibrahim As berlari-lari sebagai upaya untuk mendapatkan sumber air untuk putranya Ismail As. Pada waktu sa’i inilah manusia beperan sebagai Hajar yang berjuang dengan gigih untuk mendapatkan apa yang dicarinya.15 Secara umum makna ibadah haji dalam perspektif filosofis mempunya makna membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah (simbol dari tawaf), berramar ma’ruf nahi munkar (simbol dari melontar jumroh), mempunya prinsip dan usaha yang kuat (simbol dari niat dan sa’i) dan saling menghormati antar sesama manusia (simbol dari ihram).

Indah Purwanthini, “Fenomena Haji di Kalangan Masyarakat Petani” (Skripsi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2008), 36. 15 Ibid.

14

8

Haji Dalam Berbagai Perspektif (Fiqih, Normatif-Filosofis dan Sosial)

Haji Perspektif Sosial Dalam nash Quran, dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk saling mengetahui dan menganal antara satu sama lain, bahu-membahu dalam menyelesaikan suatu masalah, menciptakan budaya gotong royong dan saling menghormati tanpa membedakan ras, suku budaya bahkan agama. Sebagai human social, manusia diharapkan dapat meringankan beban dan kesulitan yang tejadi, karena pada esensinya manusia tidak akan dapat bertahan hidup tanpa uluran tangan manusia lainnya. Begitu pula makna ritual haji dalam perspektif sosial. Menurut Willian R. Roff dalam analisisnya yang mengelaborasikan teori Van Gennep bahwa haji mabrur mengandung suatu perubahan16, yaitu perubahan efektif seorang individu dari posisi tertentu ke posisi lainnya. perubahan tersebut dapat terfanifestasi dari berbagai aspek sosial, baik itu sikap atau karakter, kepedualian dan kepekaan sosial, dan aspek lainnya yang dapat kita lihat di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Kesadaran sosial ini diwujudkan dengan peningkatan amal-amal sholeh, diantaranya adalah: 1. Meningkatkan sholat berjamaah 2. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin 3. Menjenguk orang yang sesang mendapatkan musibah baik sakit maupun meninggal dunia. 4. Kerja bakti dan saling tolong-menolong. 5. Menjadi mediator bagi orang yang sedang berselisih. Secara normal, manusia yang kembali dari tanah suci hendaknya lebih shalih dan santun dalam sikap serta ucapannya, karena saat berhaji mereka mempelajari nilainilai kehidupan yang t...


Similar Free PDFs