IMPLEMENTASI ISTISNA DALAM LKS PDF

Title IMPLEMENTASI ISTISNA DALAM LKS
Author Endang retno asih
Pages 14
File Size 147.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 661
Total Views 789

Summary

IMPLEMENTASI JUAL BELI ISTISHNA’ DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS) Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqih Mu’amalah Dosen Pengampu: Imam Mustofa ,S.H.I., M.SI. Disusun Oleh : ENDANG RETNO ASIH (1502100175) Kelas A PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI...


Description

IMPLEMENTASI JUAL BELI ISTISHNA’ DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS) Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqih Mu’amalah Dosen Pengampu: Imam Mustofa ,S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh : ENDANG RETNO ASIH

(1502100175)

Kelas A

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO 2016

A. PENDAHULUAN Makalah ini membahas tentang Implementasi Jual Beli Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Kajian tentang Implementasi Jual Beli Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pentinng untuk di sajikan pada kelas A S1 Perbankan Syariah, karena agar kita mengetahui bagaimana penerapan jual beli yang terjadi dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS), bagaimana agar akad itu terjadi, dan bagaimana fatwa mui.

Kajian dalam makalah ini beredasarkan kajian dalam buku, kitab dan jurnal yang berkaitan langsung dengan masalah Implementasi Jual Beli Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Pembahasan makalah ini dimulai dengan penyetujuan kontrak istishna oleh mazhab Hanafi, aplikasi akad istishna’, status bank dalam istishnna, cara pembayaran, selanjutnya tentang jual beli Istishna dalam praktik LKS dan contoh kasus yang terjadi. Transaksi jual beli istishna’ merupakan kontrak penjualan antara mustashni’ (pembeli ) dan shani’ (pembuat barang/penjual). Dalam kontrak ini shani’ menerima pesanan dari mustashni’. Shani’ lalu berusaha sendiri ataupun melalui orang lain untuk membuat mashnu’ (pokok kontrak) menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada mustashni’. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran (Antonio,1999:145)1

1

Dadang Setiana, 'Pemikiran Musthofa Ahmad Az Zarqo tentang Jual Beli Istishna’, Skripsi,Jurusan Syari'ah Fakultas Agama slam Universitas Muhammadiyah Surakarta 2008, h.7-8

2

B. PEMBAHASAN 1. Penyetujuan Kontrak Istishna menurut Mazhab Hanafi Menurut mazhab Hanafi,mereka menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istishan atas dasar-dasar berikut: a. Masyarakat telah mempraktikan bai’ istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma atau konsensus umum. b. Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama. c. Keberadaan

bai’al-istishna

didasarkan

atas

kebutuhan

masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cendderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka. d. Bai’ al-istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengn aturan syariah.2

Istishna adalah akad yang tidak mengikat, baik sebelum ataupun sesudah pembuatan barang pesanan.setiap pihak memiliki hak pilih (hak khiyar) untuk melangsungkan, membatalkan atau atau meninggalkan akad tersebut, sebelum pemesan (mustashni’) melihat barang yang dipesan. Jika pembuat (shani’) menjual barang pesanan (mashnu’) sebelum pemesan melihatnya, maka hal ini di perbolehkan. Karena akad ini bersifat tidak mengikat. Disisi lain, objek akad dalam kontrak ini bukanlah barang yang telah dibuat, akan tetapi contoh dengan spesifikasi (miniature) yang berada dalam tanggungan.3

Muhammad Syafi’i Antonio,”Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik”,(Jakarta:Gema Insani Press,2001)h.114 3 Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Mu’amalah”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010), h.139 2

3

2. Fatwa MUI tentang Jual Beli Istishna’ 1. Fatwa tentang Jual Beli Istishna’ 4 Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran: 1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. 3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang: 1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 3. Penyerahannya dilakukan kemudian. 4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli ( mustashni’ ) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. 7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketiga : Ketentuan Lain: 1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat. 2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’. 3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya

dilakukan

melalui

Badan

Arbitrasi

4 Sutan Remy Sjahdeini, “Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya”,(Jakarta:kencana,2014)cet.pertama,h.258-259

4

Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa tentang Istishna’ paralel5 Fatwa DSN-MUI No.22/DSN-MUI/III/2002 TentangJual Beli Istisha’ Paralel memberikan ketentuan sebagai berikut : Pertama : Ketentuan Umum 1.

Jika LKS melakukan transaksi Istishna’, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq ) pada istishna’ kedua.

2.

LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC ( margin during construction ) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.

3.

Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Istishna’ (Fatwa DSN nomor 06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam Istishna’ Paralel.

Kedua : Ketentuan Lain 1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

3. Aplikasi Akad Istishna Produk istishna menyerupai prodik salam, tetapi dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran.6

5 6

Ibid Mardani, “Fiqh Ekonomi : Fiqh Muamalat”, (Jakarta : Kencana,2012),h.135

5

1) Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. 2) Oleh karena istishna’ merupakan kontrak pemesanan antara pembeli dengan produsen yang barangnya harus diproses terlebih dahulu untuk pengadaannya karena barangnya belum ada, maka transaksi ini dalam perbankan biasanya

dilakukan

antara

lain

untuk

pembiayaan

konstruksi dimana pada saatpenyelesaian konstruksi tersebut bank menjualnya kepada nasabah pada harga jual yang besarnya terdiri atau biaya konstruksi ditambah margin atau keuntungan.7 4. Posisi/Status Bank dalam Akad Istishna8 1) Dalam praktiknya, dalam suatu transaksi istishna’ bank dapat bertindak sebagai pembeli atau sebagai penjual. 2) Jika bank bertindak sebagai penjual dengan cara bank terlebihh dahulu memesan barang yang akan dijual dari pihak lain (subkontraktor) untuk menyediakan baranng pesanan tersebut dengan cara istishna’, maka istishna’ yang demikian ini disebut istishna’ bertingkat (istishna’ almuza’. 3) Cara ini dibenarkan, selama akad kedua, yaitu akad antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama, yaitu akad antara bank dan pembeli akhir. Akad kedua harus dilakukan setelah akad pertama sah. 4) Dalam perjanjian istishna’ antara bank dengan nasabah, apabila bank sebagai penjual, bank tidak diaruskan untuk menyediakan penunjang produksi barang yang dipesan. Dengan perkataan lain, penjual (bank) tidak diharuskan untuk

memproduksi sendiri

tersebut.melainkan

dapat

barang

memesan

(outsource). Sutan Remy Sjahdeini, “Perbankan Syariah……….,h.261 Ibid

7

8

6

yang

dari

dipesan

pihak

lain

5. Ketentuan tentang Pembayaran a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat. b. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan. c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang (ibra’).9 6. Implementasi Jual Beli Istishna dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Jual beli istishna dalam praktik LKS adalah istishna pararel. Istishna pararel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu oleh nasabah kepada LKS. Pembelian tidak secara langsung dengan melakukan penyerahan barang, akan tetapi nasabah hanya memberikan spesifikasi barang, kemudian LKS memesan barang yang diminta nasabah kepada pihak ketiga atau produsen. Biasanya LKS melakukan pembayaran atas barang tersebut secara tunai. Barang tersebut kemudian di jual kepada konsumen atau nasabah, bias secara tunai atau secara angsuran.10 Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam gambar berikut :

Sumber: Google Immage 9 Nurul Huda dan Mohammad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoretis Dan Praktis”, (Jakarta:Kencana,2010)h.56 10 Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016),h.91

7

Keterangan: 

Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual melalui negosiasi dan akad istishna’. Dalam pemesanan barang telah di jelaskan spesifikasinya, LKS akan menyediakan barang sesuai



dengan pemesanan nasabah. Setelah menerima pesanan nasabah, maka LKS segera memesan barang kepada pembuat/produsen. Produsen membuat barang

 

sesuai pesanan bank syariah. Bank menjual barang kepada pembeli/pemesan dengan harga sesuai dengan kesepakatan. Setelah barang selesai dibuat, maka diserahkan oleh produsen kepada nasabah atas perintah LKS.11

Selain jual beli istishna dengan cara pembelian barang oleh LKS,LKS juga bias mewakilkan pembelian barang kepada nasabah. Praktik semacam ini hamper sama dengan jual beli sitishna sebelumnya, hanya ada sedikit perbeedaan. Yaitu dengan tahap :     

Nasabah (mustashni’) mengajukan pemesanan barang dengan menjelaskan spesifikasinya kepada LKS. Kemudian melakukan akad istishna antara LKS dan nasabah Kemudian LKS mewakilkan pembelian barang kepada nasabah (mustashni’) dengan meberikan uang. Nasabah memesan barang pada produsen Nasabah membayar harga barang pada LKS dengan cara angsur.12 Praktis pelaksanaan kegiatan istishna’ dalam perbankan syariah

cenderunng dilakukan dalam format istishna paralel seperti penjelasan sebelumnya. Hal ini dapat dipahami karena :

11 Ismail,Di Kutip Oleh Imam Mustofa,”Fiqih Mu’amalah Kontemporer”,(Jakarta:Rajawali Pers,2016)h.99 12 Ibid

8

1. Kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah. 2. Bank syariah bukanlah produsen dari barang yang dimaksud.13 Namun persyaratan dalam istishna dan istishna paralel ini tidak jauh berbeda. Perbedaan, paling tidak terdapat dalam hal posisi bank dan sifat akad.dalam istishna , posisi bank adalah penjual, sedangkan dalam istishna paralel, bank tidak hanya sebagai penjual tetapi juga pembeli. Selain itu dalam istishna hanya berlaku satu transaksi sedangkan dalam istishna parallel ada dua transaksi dimana kontrak kedua tidak boleh tergantung atas kontrak pertama, dan oleh karenanya, kedua kontrak ini harus terpisah.14

Ringkasan Tahapan Akad Istishna’ dan Istishna Paralel Menurut SOP Bank Syariah.15 No

Tahapan

1.

Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah pembeli kepada bank syariah sebagai mustashni’.

2.

Wa’ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan waktu tangguh pengiriman barang yang disepakati.

3.

Mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang yang dimaksud (sesuai batas waktu yang disepakati dengan harga yang lebih rendah).

4.

Pengikatan I antara bank dan nasabah untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah di tentukan.

5.

Pembayaran oleh nasabah dilakukan sebagian di awal akad dan sisanya sebelum barang di terima (atau sisanya di sepakati untuk di angsur).

Ascarya, “Akad dan Produk Bank Syariah”,(Jakarta:Rajawali Pers,2011),h.227 Atang Abd dan Hakim,”Fiqih Perbankan Syariah :Transformasi Fiqih Muamalah ke dalam Peraturan perundang-undangan”,(Bandung:Refika Aditama,2011),h.242 15 Ascarya ,”Akad dan Produk……h.227 13

14

9

6.

Pengikatan II antara bank dan produsen untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.

7.

Pembayaran dilakukan secara bertahap bank kepada produsen setelah pengikatan dilakukan.

8.

Pengiriman barang dilakukan langsung oleh produsen kepada nasabah.

Contoh pembiayaan istishna pada perbankan syariah:16 Produk/jasa

akad

Pemesanan barang investasi

Istishna’

Renovasi

Istishna’ Jika pembuat telah membawa barang pesanan tersebut kepada

pemesan dan telah dilihat olehnya, maka maka hak khiyar-nya menjadi gugur, karena ia telah merelakannya kepada pemesan, sehingga ia mengirimkan kepadanya. Bagi pemesan yang telah melihat barang pesanan yang dibawa oleh pembuat, ia tetap memiliki hak khiyar. Jika barang itu sesuai dengan keinginannya, maka kontrak akan berlangsung, dan jika tidak, maka kontrak batal adanya, hal ini menurut Abu Hanifah. Berbeda dengan Abu Yusuf, jika pemesan telah melihat barang pesanannya dan telah sesuai dengan spesifikasinya, maka akad ini menjadi lazim, pemesan tidak memiliki hak khiyar (Zuhaili,1989, jilid IV,h.634).17 Jika pembuat datang kepada pemesan dengan membawa barang pesanan yang telah sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan, maka hukum kontrak tersebut adalah munculnya kepemilikan yang tidak mengikat pada hak pemesan, sehingga ia memiliki pilihan untuk melihat (khiyar ru’yah). Jika ia telah melihatnya maka ia bias menentukan untuk meneruskan atau meninggalkan kontrak.18 16

Ascarya dikutip oleh Mardani, Op.Cit.,h.136 Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Mu’amalah”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010),h.139 18 Ibid h.140 17

10

Ketentuan umum pembiayaan istishna adalah spesifikasi barang pesanan harus jelas, macam ukurannya, mutu, dan jumlahnya. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.19 Dalam kontrak Istishna, pembuat barang menerima pesanan pembeli. Pembayaran atas transaksi jual beli dengan akad istishna dapat dilaksanakan di muka. Dengan cara angsuran, dan atau ditangguhkan sampai jangka waktu pada masa yang akan datang. Adapun mekanisme pembayaran akad istishna dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu : 1) Pembayaran di muka, yaitu pembayaran dilakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir (nasabah). 2) Pembayaran dilakukan pada saat penyerahan barang, yaitupembayaran dilakukan pada saat barang diterima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini dimungkinkan adanya pembayaran termin sesuai dengan progres pembuatan aset istishna. Cara pembayaran ini yang umum dilakukan dalam pembiayaan istishna bank syariah. 3) Pembayaran ditangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna diserahkan oleh bank kepada pembeli akhir.20

Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah……,h.135 Ismail sebagaimana di kutip oleh Enny Puji Lestari,’’ Risiko Pembiayaan dalam Akad Istishna pada Bank Umum Syariah’’Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, Vol. 02 Nomor 1 (STAIN Jurai Siwo Metro),h.9-10 19

20

11

7. Contoh Kasus 1) Kasus Pertama Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp.20 juta. Produks ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum di pasar biasanya Rp.40.000,00, sedangkan perusahaan itu bias menjual kepada bank dengan harga Rp.38.000,00.21 Jawaban Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum tersebut. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp.2.000,00. Per kostum atau sekitar Rp.1 juta rupiah (Rp.20juta/Rp.38.000,00 xRp.2.000,00) atau 5 persen dari modal. Bank bias menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.22 2) Kasus Kedua Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp.5.000.000. penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras di jual dengan harga Rp.2.000 per Kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bank akan mendapatkan beras Rp.5 juta di bagi harga beras Rp.2.000 per Kg = 2,5 ton setelah melalui negosiasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400 perKg yang berarti total dana ynag kembali sebesar Rp 6.000.000. sehingga bank mendapat keuntungan 20%.

21 Muhammad Syafi’i Antonio,”Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik”,(Jakarta:Gema Insani Press,2001)h.116 22 Ibid

12

C. PENUTUP Transaksi jual beli istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang/penjual (lembaga keuangan syariah / bank). Dalam kontrak ini bank menerima pesanan dari pembeli. bank lalu berusaha sendiri ataupun melalui orang lain untuk membuat barang atau jasa tersebut menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli. Dalam praktik jual beli istishna’ biasanya menggunakan istishna parallel. Istishna dan istishna parallel tidak jauh berbaeda, hanya yang memmbedakan adalah lembaga keuangan syariah tersebut membuat sendiri barang /jasa pesanan atau membutuhkan orang lain untuk membuatnya sehingg terjadilah istishna parallel. Tahapan transaksi istishna di mulai dari negosiasi dan spesifikasi barang selanjutnya akan terjadi akad. Setelah akad pihak lembaga keuangan syariah / bank akan membuat sendiri pesanan tersebut atau menyuruh orang lain untuk mengerjakannya. Selanjutnya setelah pesanan itu jadi, akan di antarlah pesanan tersebut dan pemesan/pembeli tinggal membayar kepada bank atau LKS dengan mengangsur atau tidak mengangsur sesuai dengan kesepakatan.

13

D. DAFTAR PUSTAKA

Dadang Setiana, 'Pemikiran Musthofa Ahmad Az Zarqo tentang Jual Beli Istishna’, Skripsi,Jurusan Syari'ah Fakultas Agama slam Universitas Muhammadiyah Surakarta 2008. Sutan Remy Sjahdeini, “Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya”,Jakarta:kencana,2014 Nurul Huda dan Mohammad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoretis Dan Praktis”, Jakarta:Kencana,2010. Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, Jakarta : Rajawali Pers, 2016. Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Mu’amalah”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010. Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalat”,

Jakarta :

Kencana,2012. Enny Puji Lestari,’’ Risiko Pembiayaan dalam Akad Istishna pada Bank Umum Syariah’’Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, Vol. 02 Nomor 1 STAIN Jurai Siwo Metro. Muhammad Syafi’I Antonio, ”Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik”, Jakarta:Gema Insani Press,2001. Ascarya,

“Akad

dan

Produk

Bank

Syariah”,Jakarta:Rajawali

Pers,2011. Atang Abd dan Hakim,”Fiqih Perbankan Syariah :Transformasi Fiqih Muamalah

ke

dalam


Similar Free PDFs