Jurnal PendarPena No V, April 2008 (Tema: Kuliner, Makanan) PDF

Title Jurnal PendarPena No V, April 2008 (Tema: Kuliner, Makanan)
Author Berto Tukan
Pages 16
File Size 1.5 MB
File Type PDF
Total Downloads 377
Total Views 885

Summary

Pendar Pena ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ Pendar Pena ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ...


Description

Pendar Pena ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Pendar Pena

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

N o m o r 5 Ta h u n I , A p r i l 2 0 0 8

Sumber : Indonesian Heritage

P

endar Pena adalah media alternatif populer yang diterbitkan Kelompok Belajar Pendar Pena. Media ini mengangkat masalah-masalah budaya kontemporer. Dilengkapi pembahasan seputar filsafat, sejarah, kajian budaya, dan sastra, media ini berusaha memajukan kehidupan budaya dan intelektual di negeri ini. Sumbangan tulisan, pemikiran, ilustrasi, puisi dan foto sangat diharapkan demi keberlangsungan terbitan ini. Tanpa peran aktif pembaca, terbitan ini pun tak mungkin berjalan sebagaimana mestinya. Kami menanti kritik dan saran anda.

Daftar Isi Pembuka Kalam Redaksi......................1 Metafisika Makanan...................................3 Di Sini Butik Roti, di Sana Pasar Tradisional.............................................. 5 Karya : Puisi Arthur Rimbaud ................. 7 Kata Pembaca......................................... 7 Pho, Nasionalisme dalam Makanan........... 8 Kuliner Laut, Selera Nusantara............... 10 Di Balik Sebotol Wine............................. 12 Dari Istana Hingga Lapak Margonda...... 14 Warta FIB Nyeni..................................... 16

Penanggung Jawab: Rapat Dewan Redaksi Pemimpin Redaksi: Berto Tukan Redaksi: Sulaiman Harahap, Hendra Kaprisma, Mufti Ali S., Tia Septian. Tlp: 0813 200 12821, 0856 1112 954 E-Mail: [email protected] Penerbit: Kelompok Belajar Pendar Pena

Kelompok Belajar Pendar Pena

1

Nomor 5, Tahun Pertama, April 2008

Pendar Pena Pembuka Kalam:

Aku Lapar, Maka Aku Berubah?

P

embaca yang budiman. Pendar Pena kali ini sedikit berbenah diri. Kini, kami hadirkan artikel yang lebih singkat namun tetap padat dengan tata letak yang mengalami perubahan di sana-sini. Pada edisi kali ini dan seterusnya, kami menambahkan jumlah lembar halaman demi memenuhi terbukanya kolom-kolom baru. Sehingga informasi yang termuat di tiap edisi mulai sekarang hingga kedepannya nanti akan menjadi lebih bervariasi. Perubahan ini terjadi selain karena dorongan dari dalam, juga sebagai sebuah jawaban atas beberapa kritikan, keluhan yang masuk pada kami. Perubahan memang akan terjadi dan selalu terjadi terhadap sesuatu yang dinamis. Sebagai produk zaman dan budaya, Pendar Pena tentu juga harus berusaha fleksibel dengan tuntutan zaman. Kami berusaha tak tenggelam dalam arus zaman yang begitu kencang dan kebal prediksi ini. Kami memohon izin pada pembaca sekalian atas perubahan ini, serentak mengharapkan pemahaman anda atas tuntutan zaman yang kita hadapi bersama. Terlepas dari itu, Pendar Pena kembali hadir—berusaha setia pada identitasnya—dengan tema yang tentu saja menggairahkan untuk kita perbincangkan; makanan. Ketika lapar secara jasmani menyerang, tentu saja yang akan kita cari adalah makanan. Di sini, makan berhubungan dengan usaha manusia untuk terus hidup. Elizabeth Telfer dalam pengantar karyanya Food for Though, pernah mengungkapkan, jika hanya demikian fungsi makanan itu, kenapa manusia masa kini tidak menggunakan infus saja untuk tetap hidup? Sehingga, kegiatan itu bisa dilakukan ketika tertidur dan kita akan lebih banyak menghemat waktu. Ternyata membicarakan makan dan makanan tak sesederhana itu. Makan bukan sekadar usaha memenuhi tubuh kita dengan bahan bakar. Makan bisa menjelma sebuah interaksi sosial, tuntutan status sosial, sebuah dosa, sebuah kriminalitas, pemenuhan nafsu manusia yang ‘jelimet’, dan hal-hal lainnya. Dalam sebuah makanan pun kita bukan hanya menjumpai zat-zat bergizi penuh energi positif, dibaliknya kita akan menemukan otak manusia, usaha keras, kompromi-kompromi budaya, identitas sebuah tempat, serta masih banyak lagi. Dibuka dengan Metafisika Makanan dari Adhi Putra Tawakal, Pendar Pena edisi ini mencoba sedikit mengupas perihal makan dan/makanan dalam hidup kita. Fenomena membanjirnya butik roti di tengah kehidupan urban Jakarta coba dihadap-hadapkan dengan pasar tradisional oleh Puthu Ayu Wardhani dalam Di Sini Butik Roti, di Sana Pasar Tradisional. Pho sebuah makanan khas Vietnam ternyata adalah saksi dan bukti dinamika perjalanan budaya, serempak identitas masyarakat Vietnam. Negara yang mungkin kebanyakan kita lebih mengenalnya lewat kisah perang itu diungkapkan sejarahnya lewat Pho, Nasionalisme dalam Makanan oleh L.O. Pratama. Kuliner Laut; Selera Nusantara adalah upaya penelusuran sejarah Sulaiman Harahap atas pengaruh budaya maritim atas aktifitas makan di nusantara ini. Tak kalah menarik, pembahasan perihal anggur yang diangkat Pradita Galuh Savitri dalam Di Balik Sebotol Wine. Sebuah pencuci mulut yang menarik bila pada akhirnya anda sampai di halaman bertajuk Dari Istana Hingga Lapak Margonda. Agni Malagina dalam tulisannya ini membahas sebuah jenis makanan yang bahkan sampai di gang tersempit di pelosok nusantara mana pun bisa anda temukan; mie. Dari kelahirannya di masa lampau kekaisaran Cina, perubahan-perubahan dan statusnya dalam masyarakat Cina, hingga keterdamparannya di Margonda (sebuah jalan di Depok-BT) diungkapkan secara ringkas dalam tulisan ini. Selain itu, anda bisa menikmati kelaparan Arthur Rimbaud dalam puisi Perjamuan Sang Lapar yang disadur Nosa Normanda dari Fêtes De La Faim. Semoga anda semakin lahap menikmati Pendar Pena dalam penampilan barunya ini, dan semoga anda semakin lapar akan kerja intelektual nan kreatif. Berto Tukan Pendar Pena edisi Mei akan membahas seputar Sastra. Bagi yang berminat menyumbangkan artikel, harap dikirimkan ke e-mail redaksi sebelum 1 Mei 2008. Tulisan berkisar antara 5.000-6.000 karakter, nir-spasi.

Nomor 5, Tahun Pertama, April 2008

2

Pendar Pena A d h i Pu t r a Ta w a k a l

.

Metafisika Makanan

D

engan “metafisika makanan”, saya tidak bermaksud “omong kosong tak ramah pendengar soal makanan”, melainkan “…philosophical investigation of the nature, constitution, and structure of reality”1 dari makanan. Makanan memiliki hakikat, kostitusi, dan strukturnya sendiri. Makanan di sini bukanlah jambu an Sich yang siap dipetik di pohon, melainkan yang telah diolah dan disediakan manusia. Apakah setiap kejadian memiliki sebab(?), merupakan pertanyaan yang biasa diajukan metafisikus. Maka, kita pun bisa bertanya, “apakah makanan memiliki sebab?” Jawabannya tentu saja, ya. Kerja manusia adalah sebab ketersediaan makanan. So what? What’s the big deal? Makanan dan memasak yang dianggap remeh itu adalah akhir dari rantai konseptualisasi yang panjang. Teknik memasak, resep bahkan signifikansi memasak tidaklah didapat melalui anamnesis2 atau rekoleksi, melainkan ditemukan (discovered) manusia dengan usaha kognitif yang luar biasa. Hakikat Manusia “Man’s mind is his basic tool of survival. His life is given to him, survival is not. His body is given to him, its sustenance is not. His mind is given to him, its content is not. To remain alive, he must act, and before he can act he must know the nature and purpose of his action. He cammot obtain his food without a knowledge of food and of the way to obtain it… To remain alive, he must think. But to think is an act of choice. The key to what you recklessly call ‘human nature’, the open secret you live with, yet dread to name, is the fact that man is a being of volitional consciousness.”3

Bayangkan manusia purba yang terlahir telanjang secara fisik dan mental. Ia telanjang secara mental karena belum mengenal sains dan teknologi sebagaimana kita

kini. Ia menghadapi alam buas yang siap memangsanya, namun di sisi lain siap untuk diungkap dan dikuasai otak manusia. Manusia purba ini lantas berusaha memanjat pohon demi buah yang menggiurkan di pucuknya. Seorang t e m a n n y a memperhatikan dari bawah. Tiba-tiba, puluhan yellow crazy ant menyerangnya. Manusia purba itu mati. Temannya hanya menyaksikan dalam diam, menjauh dalam kebingungan dan horor. Ia mungkin sadar, semut-semut itulah penyebabnya. Ia pun masih lapar karena buah yang tak jadi dipetik. Ia dendam dan lapar. Namun buah itu harus didapatnya demi bertahan hidup. Caranya? Kita tentu tahu bahwa ia perlu tangga, galah, atau batu untuk melempar. Bukan Kitab Suci, intuisi, atau roh leluhur yang memberitahukan cara itu. Ia mengungkapkannya sendiri. Alhasis, ia telah memberikan dirinya pengetahuan ketika berhasil mendapatkan buah itu. Pengetahuan ini diwariskan pada keturunannya yang lantas mengembangkannya. Akumulasinya pun sampai pada kita. Ilustrasi di atas bukanlah drama atau basa-basi. Ia merupakan fakta kondisi manusia. Dahulu dan sekarang memang berbeda kondisi, namun berprinsip sama; makanan harus disebabkan (dihasilkan). Alam tak menyediakan atau memberi tahu kita apa yang bisa dimakan. Alam hanya menyediakan materinya, namun manusialah yang menciptakannya. Manusia tidak menciptakan ex nihilo (dari ketiadaan) melainkan mengatur-ulang formulaformula materi yang disediakan alam. Dari sekedar memetik buah sampai meramu cocktail terdahsyat, semuanya dilakukan manusia dengan pengetahuan dan penguasaan atas formula-formula materi alam. Gastronomi Dari ilustrasi di bagian sebelumnya, kita dapat memahami bahwa manusia harus discover apa yang bisa dimakannya dan bagaimana ia mendapatkannya. Discovery adalah langkah pertama ilmu pengetahuan. Pertama manusia menemukan apa yang bisa dimakan dan “enak di badan”, kemudian apa yang “enak di lidah”. Lalu, bagaimana cara menjadikannya enak di lidah—cara yang disebut “masak”.

3

Nomor 5, Tahun Pertama, April 2008

Pendar Pena Perkembangan biologi lantas memberitahukan manusia akan kandungan nutrisi pada setiap makanan. Nutrisilah yang membuat makanan “enak di badan”. Kini, aplikasi teknologi pada makanan telah begitu jauh hingga pada tahap molekuler. Molecular gastronomy telah memungkinkan es krim rasa telur dan daging panggang atau minuman yang disajikan dengan nitrogen cair 4. Lebih fundamental lagi, kreativitas manusialah yang menghasilkan semua itu. Entah berapa banyak rasa, resep, teknik, sensasi, dan kepuasan menyangkut makanan telah dihasilkan dari aplikasi teknologi yang ketat. Beragam profesi pun menjamur. Sebut saja nutritionist, molecular gastronomist, sampai koki makanan mentah favorit selebriti Hollywood. Kognisi manusia beradaptasi dengan keadaan. Saat merebak anggapan bahwa junk food meracuni kaum urban, Raw Revolution dikumandangkan; kembali pada makanan mentah, yang utuh nutrisinya. Bukankah sains pula yang memberi tahu kita, memasak menghilangkan sebagian kandungan nutrisi bahan makanannya?

Di lain pihak, ada anti-konsumerisme dengan analisis negatifnya terhadap gaya hidup kaum urban dan pengaruh luasnya. Ada yang bilang, konsumsi makanan sekarang bukanlah konsumsi makanan secara fisik, namun konsumsi imaji. Pernyataan ini benar adanya. Nada negatif dari analisa itu menyiratkan, konsumsi imaji adalah konsumsi yang ilusif, dangkal, dan tidak fundamental. Terhadap sikap demikian, kita bisa bertanya; “Which wants are ‘fundamental’, beyond a cave, a bearskin, and a chunk of raw meat?”6 Saya ingin makan Tenderloin Pure Bread Pedigree, certified Wagyu m9) on consome pearl topped with French Oyster tempura and umenoleda di restoran Y-Grilldi Jakarta 7. Apakah keinginan saya itu dangkal dan saya adalah korban ilusi? Bila ya, maka secara implikatif anda menganggap molecular gastronomy dan kreativitas manusia yang menghasilkan makanan itu dangkal pula. Ingatlah! Konsumsi selalu berada dalam transaksi dengan produksi. Mengatakan suatu konsumsi dangkal, sama saja dengan mengatakan, bahwa keseluruhan transaksi itu, termasuk produksi dan sebab dari produksi (which is human creativity), adalah dangkal. Jadi, apa nature-nya makanan? Makanan adalah ciptaan manusia. Constitution-nya? Kreativitas manusia dan materi alam. Structure-nya? Seluruh sistem filsafat yang mencakup metafisika, epistemologi, etika, politik, ekonomi, dsb. Bila makanan bukanlah big deal, maka sumbernya, yaitu usaha keras kognisi manusia, juga bukan big deal. Bila demikian, lantas apa yang dapat dianggap big deal?

Bila demikian, lantas apa yang dapat dianggap big deal?

Misanthropi5 Pada hemat saya, industri kuliner mempunyai dua musuh; religi dan anti-konsumerisme. Secara fundamental, keduanya adalah musuh kognisi dan kreativitas manusia. Beberapa religi mengatur tentang makanan yang halal dan haram. Religireligi tertentu menganggap binatang atau hewan tertentu, bahkan ada yang melarang memakan semua jenis binatang, tak halal/haram. Haram bisa diartikan sebagai sesuatu yang dilarang Tuhan. Tak ada penjelasan pasti soal mengapa Tuhan melarang binatang atau hewan itu untuk disantap. Beberapa rasionalisasi sempat diungkapkan. Binatang atau hewan mengandung kuman penyakit yang tak baik untuk tubuh manusia. Bukankah hal-hal serupa itu telah diatasi ilmu medis? Bukankah membunuh kuman adalah juga tujuan memasak? Pilihan untuk tunduk atau tidak pada mitos demikian adalah pilihan kita untuk mengutamakan rasio atau tidak. Saya menganggap, submisi terhadap mitos semacam itu adalah hinaan bagi usaha keras kognisi manusia untuk mengungkap apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Dengan sains, kita telah mengungkap nutrisi, seperti vitamin dan protein. Apakah religi pernah bicara soal nutrisi?

Nomor 5, Tahun Pertama, April 2008

4

Catatan Akhir 1

Audi, Robert, ed. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1999. 2 Suatu gagasan epistemologi Plato, bahwa pengetahuan didapat dengan mengingat apa yang telah diperoleh di Dunia Ide. 3 Rand, Ayn. ‘Faith and Force: The Destroyers of The Modern World ’ dalam Philosophy: Who Needs It. New York: Signet, 1984, hlm. 72-73. 4 Wihardja, Janto, ‘Swing Your Mind, ’ dalam Harper’s Bazaar Indonesia, April 2007, hlm. 157-158. 5 Saya tidak tahu apakah term ini pernah digunakan sebelumya. Saya mengartikan term ini sebagai ‘kebencian terhadap manusia ’ yang secara partikular ditujukan pada kognisi, kreativitas, dan keberdayaannya. 6 Rand, Ayn. ‘What is Capitalism? ’ dalam Capitalism: The Unknown Ideal. New York: Signet, 1967, hlm. 33. 7 Loc. Cit

Adhi Putra Tawakal, Mahasiswa S1

Program Studi Filsafat, FIB, UI angkatan 2004

Pendar Pena

Di Sini Butik Roti, Di sini Butik Roti, di sana Pasar di Sana Pasar Tradisional Tradisional Putu Ayu Indah Wardhani . Tidak hanya seni, fashion, dan musik yang mendapat pengaruh Barat. Makanan tradisional Indonesia pun tak luput. Dulu, orang harus bangun pagi-pagi untuk pergi ke pasar tradisional demi jajanan pasar ‘fresh from the oven’. Tapi kini, toko-toko kue menjualnya 24 jam sehari. Suasana nyaman, konsep modern, pengemasan dan penyajian produk yang apik dan rapi menjelma kebutuhan kaum urban. Jajanan pasar tradisional pun ikutan ‘naik kelas’, menjadi bagian gaya hidup urban.

H

ampir setiap mal, hypermart, town square, plasa, ada butik roti. Jajanan pasar tradisional favorit masyarakat dijejerkan “sekelas” dengan aneka roti, kue tart, pastri di etalase industri kuliner-pop ini. Kebutuhan akan jajanan pasar yang sebenarnya berasal dan terdapat di pasar tradisional, kios kecil terkadang menjadi alasan untuk pergi ke butik roti

Pasar Kue Subuh Blok M Pasar kue subuh, Aldiron, Blok M beraktivitas dari pukul 03.00 AM08.00 AM. Pukulan tiang listrik di sudut jalan menandakan berakhirnya aktifitasnya. Di sana, anda bisa menemukan kue lapis, lumpia, bakwan, klepon, lemper, onde-onde, kue cucur, wajik, getuk, kue mangkok, tahu isi, dan bolu kukus. Aneka pastri dan kue tart pun tersedia. Harganya sangat terjangkau untuk ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, pembeli berkesempatan mencicipi. Hal ini dimaksudkan agar konsumen dapat menilai cita rasa makanan yang akan dibelinya. Bukan masalah bila setelah mencicipi konsumen tidak jadi membeli. Betty Marlena,

salah satu pedagang kue subuh di Blok M mengatakan bahwa dagangan yang tidak habis atau tidak laku, biasanya dijual dengan harga semurah-murahnya atau malah dibagikan pada sesama penjual dan pembeli. Selain itu, bisa juga dititipkan di toko atau warung dekat rumah. Harga murah, bukan berarti tak untung. Ibu Nining yang menjual kue mangkok di sana bisa meraup untung Rp 500.000,00 per hari untuk kue mangkok seharga Rp 600,00-nya. Kalau akhir pekan atau menjelang hari raya, keuntungannya bisa berlipat ganda.

Butik Roti Le Gourmet Butik roti ini terletak di lantau satu gedung Apotik Mahakam di Jl. Mahakam II. Buka sejak pukul 07.00 AM hingga 08.00 PM. Sesuai konsep tokonya “butik roti”, Le Gourmet menjual berbagai jenis roti, terutama roti isi atau roti dengan topping. Selain roti, konsumen disuguhkan pula aneka kue (cakes) dan aneka jajanan pasar tradisional Indonesia. Hal ini cukup

5

membingungkan, mengingat konsep yang diusung toko ini. Toko ini berkonsep “Le Gourmet – Breads Boutique”. Kata Le Gourmet sendiri berasal dari bahasa Perancis “le” + “gourmet”. “Le” adalah definit artikel yang menandai jenis kelamin kata benda bahasa Perancis. Sedangkan “gourmet” (kata benda maskulin) berarti tukang makan atau ahli pencicip makanan dan minuman; a connoisseur of fine food and drink. “Bread” (bahasa Inggris) berarti roti dan “Boutique” yakni butik atau toko kecil. “Bread Boutique” seharusnya adalah toko atau butik yang menjual berbagai jenis roti. Namun Le Gourmet justru menyajikan hampir separuh jualannya dengan jajanan pasar tradisional Indonesia seperti lemper, arem-arem, semar mendem, kue mangkuk, dsb. Sepertinya tidak tepat “Bread Boutique” sebagai konsep toko, sementara jualannya lebih didominasi jajanan pasar. Semua kue jajanan pasar tersaji dalam kemasan yang menarik dan jumlah yang banyak.

Nomor 5, Tahun Pertama, April 2008

Pendar Pena Lantas diberi label Le Gourmet. Le Gourmet sepertinya menjual brand, menjamin citra dan prestise untuk pembelinya. Walau ‘hanya’ jajanan pasar, namun dari Le Gourmet. Perbandingan antara Pasar Kue Subuh Blok M dan butik roti Le Gourmet Pasar Kue Subuh Blok M Buka pukul 03.00 - 08.00 WIB

Buka puku

pasar tradisional, lapak, kaki lima, atau gelaran.

gedung, a AC

suasana: ramai, agak berdesak-desakan, panas

suasana: n

Menggunakan tampah, nampan dari anyaman bambu, dus atau wadah plastik. Jumlah makanan satu wadah wadah sangat banyak dan ditumpuktumpuk

makanan disusun r tumpuk.

harga mulai dari Rp 500,00-Rp 2.000,00-an, bisa ditawar.

harga pa 2000,00-R

jenis panganan sangat variatif, anatara lain lemper, tahu isi, arem-arem, bacang, kroket, risoles, bolu kukus, putu mayang, cenil, getuk, kue mangkok, serabi, semar mendem, sosis solo, klepon, nagasari, kue lapis, aneka pastri dan kue tart.

jenis pan cake, dan lain lemp kroket, ge bolu kuku

ukuran makanannya kecil

ukuran pa

Pembeli boleh mencicipi sebelum dibeli.

pembeli diinginkan

Jumlah panganan bisa dibeli eceran atau dus-dusan

Jumlah pa bila meme

Kue-kue merupakan buatan para pedagangnya atau titipan. Kue-kue sisa dijual sangat murah, dibagikan, dll. Kue titipan dikembalikan beserta setoran uangnya.

Kue-kuen Diusahaka

Perbandingan harga beberapa jenis jajanan pasar Pasar Kue Subuh Blok M

Le Gourmet

Lemper Ayam

Rp 800,00 – Rp 1.000,00

Rp 4.500,00

Risoles

Rp 600,00 – Rp 2.000,00

Rp 3.700,00

Bolu Kukus

Rp 800,00 – Rp 2.000,00

Rp 3.500,00

Cenil

Rp 1.000,00 – Rp 1.500,00

Rp 7.000,00

Kehadiran butik roti yang juga menyajikan panganan tradisional Indonesia mengakibatkan sebagian masyarakat ‘menjauhi’ pasar tradisional. Suasana nyaman...


Similar Free PDFs