KAJIAN TASAWUF AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI STUDI KITAB AL-RI`AYAH LI HUQUQ ALLAH PDF

Title KAJIAN TASAWUF AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI STUDI KITAB AL-RI`AYAH LI HUQUQ ALLAH
Pages 28
File Size 480.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 453
Total Views 579

Summary

Di lingkungan umat Islam, nama al-Muhasibi tidak cukup masyhur. Popularitasnya kalah dengan para yuniornya seperti al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, Abi al-Hasan al-Syadzili, dan Abdul Qadir al-Jilani. Namun, di kalangan para pengkaji tasawuf, nama al-Muhasibi bukan nama asing. Buku-buku al-Muhasibi ba...


Description

Abdul Moqsith

3 KAJIAN TASAWUF AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI STUDI KITAB AL-RI`AYAH LI HUQUQ ALLAH Abdul Moqsith Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di lingkungan umat Islam, nama al-Muhasibi tidak cukup masyhur. Popularitasnya kalah dengan para yuniornya seperti al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, Abi alHasan al-Syadzili, dan Abdul Qadir al-Jilani. Bahkan, tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi sudah menjadi madzhab tasawuf resmi organisasi keulamaan seperti Nahdlatul Ulama. Sementara al-Syadzili dan alJilani cukup terkenal di dunia tarekat terutama di kalangan para pengikut tarekat Syadziliyah dan tarekat Qadiriyah. Namun, di kalangan para pengkaji tasawuf, nama alMuhasibi bukan nama asing. Buku-buku al-Muhasibi bahkan telah lama menjadi rujukan utama para sufi seperti al-Ghazali. Dengan terus-terang dalam al-Munqid min al-Dhalal Imam al-Ghazali mengakui keterpengaruhannya pada al-Muhasibi. Sedangkan Junaid al-Baghdadi adalah murid langsung dari alMuhasibi. Junaid pun mengakui bahwa pilihan hidup dan kesukannya pada tasawuf sangat dipengaruhi alMuhasibi. Begitu juga dengan sufi-sufi lain yang banyak mengutip tasawuf al-Muhasibi seperti al-Qusyairi, alSarraj, al-Hujwiri, dan lain-lain. Perujukan pada tasawuf al-Muhasibi tersebut bisa dimaklumi karena al-Muhasibi merupakan salah satu ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

41

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah ulama yang meletakkan dasar-dasar tasawuf. Ia tak hanya mendidik para murid melainkan juga menulis buku. Di antara karyanya yang cukup monumental adalah al-Ri`ayah li huquq Allah,1 dan al-Washaya.2 Namun, al-Ri`ayah li Huquq Allah merupakan karya al-Muhasibi yang paling banyak dirujuk para ulama sufi pasca alMuhasibi. Karena itu, membedah kitab tersebut adalah cukup penting. Namun, sebelum artikel ini menelaah kitab tersebut, penting kiranya dikemukakan biografi sosial intelektual al-Muhasibi. Sebab, dengan cara itu akan diketahui bagaimana pola pembentukan tasawuf alMuhasibi, bagaimana konteks sosial yang ikut mempengaruhi tasawuf al-Muhasibi.

Biografi Singkat Al-Harits ibn Asad al-Muhâsibi Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits ibn Asad al-Muhâsibi al-Bashri. Ia dilahirkan di Bashrah, Iraq. Tentang tahun kelahirannya, Abdul Halim Mahmud tidak bisa memastikan. Buku-buku sejarah yang mengupas tentang riwayat hidupnya tidak menyebutkan tahun kelahirannya. Mereka hanya memperkirakan bahwa al-Muhâsibi lahir pada tahun 165 H. dan wafat tahun 243 H.3 1

Bedakan dengan kitab dengan judul yang hampir mirip, yaitu alRi`âyah bi Huquq Allah karya Muhammad ibn Hadhrawih. Kitab alRi`ayah li Huquq Allah karya al-Muhasibi ini belakangan diedit oleh Abdul Qadir Ahmad `Atha. Baca al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, Beirut-Lebanon, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, Tanpa Tahun. Kitab al-Washaya karya al-Muhasibi ini belakangan diedit oleh Abdul Qadir Ahmad `Atha. Baca al-Muhasibi, al-Washaya, BeirutLebanon, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1986. 2

3

Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits al-Muhâsibi, al-Ri’ayah li huquq Allah, Kairo: Dâr al-Ma’rif, 1984, hlm. 6. Untuk mengetahui secara agak lengkap tentang al-Muhasibi mulai dari

42

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

Abdul Moqsith Jika al-Muhasibi lahir tahun itu, maka itu berarti alMuhasibi hidup pada zaman keemasan Islam dimana ilmu pengetahuan berada pada puncak kejaannya. Di era itu semua disiplin ilmu tumbuh dan berkembang, bukan hanya teologi, fikih, ushul fikih, fikih, dan tasawuf melainkan juga sastra dan seni. Sebab, pada era ini para khalifah ikut mendorong pengembangan ilmu pengetahuan. Lahir tahun 165-243 H./781837 M, maka itu berarti al-Muhasibi hidup di era kekhalifahan al-Mahdi (775-785 M.), al-Hadi (785-786 M.), Harun al-Rasyid (786-909 M.), al-Amin (809-813), al-Ma’mun -833 M.), dan al-Mu’tashim (833-842). Ia beruntung hidup di era itu. Sebagaimana diketahui, dari deretan para khalifah tersebut, Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun adalah dua khalifah yang getol menyemarakkan penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani ke dalam bahasa Islam dan yang paling kuat mendorong penulisan karya-karya akademik tinggi.4 Jika pada saat Harun al-Rasyid menjadi khalifah, al-Muhasibi baru berumur 5 tahun5, maka pada saat al-Ma’mun menjadi khalifah al-Muhasibi sudah berumur 32 tahun, usia yang sudah matang baik secara psikologis maupun intelektual. Memperhatikan tahun kelahiran dan kematian alMuhasibi, maka al-Muhasibi sesungguhnya satu generasi dengan para pendiri madzhab fikih Islam. Imam Ahmad ibn Hanbal lahir tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H., itu berarti al-Muhasibi lebih muda satu tahun dari Imam Ahmad ibn biografinya sampai dengan ajaran-ajaran tasawufnya, baca Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Kairo: Dâr alKutub al-Haditsah, 1973. Kautsar “zhari Noer, al-Ri’ayah Li Huquq “llah al-Muhasibi , dalam Kautsar Azhari Noer (editor), Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi, Jakarta: Sadra, 2015, hlm. 7. 4

Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad alMuhasibi, hlm. 34. 5

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

43

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah Hanbal. Sementara dengan Imam Syafii, al-Muhasibi lebih muda 15 tahun karena Imam Syafii lahir tahun 150 H. dan wafat tahun 204 H. Walau usianya terpaut jauh, al-Muhasibi masih mengikuti zaman Imam Malik karena Imam Malik wafat tahun 179 H. dan lahir tahun 93 H. Itu berarti , ketika Imam Malik wafat, al-Muhasibi sudah berumur 14 tahun. Hanya alMuhasibi tidak mengikuti zaman Imam Abu Hanifah karena Imam Abu Hanifah wafat tahun 150 H. bersamaan dengan lahirnya Imam Syafii.6 Al-Muhasibi juga hidup dalam satu era dimana diskursus ilmu Kalam cukup semarak diselenggarakan. Al-Muhasibi sezaman dengan tokoh-tokoh Muktazilah seperti Abu alHudzail al-`Allaf yang wafat tahun 226 H., Ibrahim alNazhzham yang wafat tahun 231 H. Juga hidup sezaman dengan a-Jahizh yang wafat tahun 225 H. Ia juga hidup sezaman dengan seorang penyair besar bernama, Abu Nuwas (l.145 H./747 M.- w. 190 H./806 M.). Sementara dalam bidang tasawuf, ia hidup sezaman dengan Ma’ruf al-Karkhi (l. 165 H./781 M.-w. 200 H./815), Bisyr ibn al-harits al-Hafi (l. 150H./767 M.-w. 227 H./841), dan al-Siri al-Saqathi (l.153 H./800 M.- w. 254 H./898 M.). Bersama para sufi abad kedua ini, al-Muhasibi memiliki andil besar dalam meletakkan fondasi tasawuf Islam. Hanya beda dengan Sirri al-saqathi yang tak membuat karya akademik, al-Muhasibi menulis banyak buku. Secara umum buku tasawufnya berisi renungan dan refleksi diri yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadits. Konon ia diberi nama

Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad alMuhasibi, Kairo: Dar al-Ma’arif, , hlm. -35. 6

44

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

Abdul Moqsith al-Muhâsibi karena ia senantiasa melakukan introspeksi diri (muhâsabah al-nafs).7 Al-Muhasibi lahir dari keluarga kaya. Ketika ayahandanya meninggal dunia, sang ayah mewarisi tujuh puluh ribu dirham uang. Namun, al-Muhasibi tak mengambil bagian dari harta peninggalan ayahandanya itu. Ini, menurut Abdul Halim Mahmud, disebabkan perbedaan pemikiran antara sang ayah dan sang anak. Al-Muhasibi tak mau mengikuti pemikiran ayahandanya yang mengikuti pemikiran Muktazilah. Al-Muhasibi berbeda pandangan dengan ayahnya. Jika sang ayah mengagungkan rasionalisme murni, maka sang anak mendambakan kebersihan hati melalui perpaduan antara rasionalisme dan spiritualisme. Abdul Halim Mahmud menambahkan, keengganan al-Muhasibi mengambil warisan orang tuanya sebagai salah satu usahanya untuk membersihkan hati dari syubhat.8 Kecenderungannya pada spiritualisme terus bergelora. Al-Muhasibi merasa tak cukup hanya belajar di Bashrah. Umur 20 tahun, ia pindah ke Baghdad. Saat itu Baghdad memang Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqât al-Auliya`, Kairo: Dâr al-Ta’lif, Tanpa Tahun, hlm. 175. 7

Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits al-Muhasibi, al-Ri ayah li huquq Allah, hlm. 6. Sebelum ayahanda al8

Muhasibi wafat, sebuah kisah menarik dikemukakan Abu Ali ibn Khairan al-Faqih. Suatu waktu Abu Ali ibn Khairan melihat Abu Abdillah al-Haraits ibn Asad sedang bersandar pada pintu bangunan yang ada di tengah jalan, sementara banyak orang berkerumun di sekitar al-Muhasibi. Lalu al-Muhasibi berkata pada ibunya, thalliq ummi fa’innaka `ala din wa hiya `ala gharihi (ceraikanlah ibuku, sebab engkau telah menganut satu agama, sedang ibu menganut agama yang lain). Baca Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, BeirutLebanon: Dar al-Kutub al-`Arabi, Tanpa Tahun, Jiilid VIII, hlm. 214; Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawuf al-Islami fi Madrasah Baghdad, Iskandariyah: Dar al-Mathbu`at al-Jami`iyah, 1972, hlm. 195. ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

45

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah menjadi pusat ilmu, bukan hanya ilmu yang bertumpu pada argumen-argumen rasional melainkan juga ilmu yang bertitik tekan pada pembersihan hati. Dengan perkataan lain, Baghdad bisa menampung dua kekuatan ilmu; ilmu yang berbasis pada rasionalisme dan ilmu yang berbasis pada spiritualisme. Dengan tujuan untuk pendalaman ilmu-ilmu sipiritualnya, alMuhasibi memilih untuk tinggal di Baghdad.9 Walau lahir dari keluarga kaya raya, al-Muhasibi memilih hidup sederhana. Al-Junaid menceritakan tentang seringnya menyaksikan kesederhanaan al-Muhasibi. Suatu waktu alJunaid menyaksikan wajah al-Muhasibi yang lesu karena kelaparan. Al-Junaid berkata, wahai pamanku jika engkau datang ke rumahku, maka engkau akan mendapati makanan . Lalu al-Junaid menyediakan makanan untuk sang guru. Duduk di samping al-Muhasibi, al-Junaid menyaksikan al-Muhasibi yang kesulitan memasukkan makanan ke dalam mulut. Makanan itu ia muntahkan dan dia pergi meninggalkan alJunaid tanpa berkata satu kata pun. Keesokan harinya, ketika bertemu al-Muhasibi, al-Junaid bertanya, kenapa kemarin engkau tak bisa makan? . “l-Muhasibi menjawab demikian:

Artinya: Wahai anakku, sesungguhnya kebutuhan terhadap makanan) sudah mendesak. Saya sudah berusaha untuk

9

Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995,

hlm. 25.

46

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

Abdul Moqsith memakan makanan yang engkau bawa untukku. Tapi, antara aku dan Allah tampaknya sudah ada tanda. Jika makanan itu tak diridhai, maka aku akan kesedak dan jiwaku tak bisa menerima. Maka aku lemparkan satu suap makanan itu di gang rumahmu lalu aku pergi .10 Begitulah cara Allah menjaga al-Muhasibi. Dia bukan tak mampu membeli makanan dan al-Muhasibi memang tak tergolong orang miskin. Bahkan, menurut al-Junaid, rumah alMuhasibi jauh lebih luas dari rumah al-Junaid. Di rumah alMuhasibi tersedia beragam makanan. Tapi, tak setiap makanan yang tersaji dikonsumsi al-Muhasibi. Dia memilih menjadi sufi dengan melupakan urusan-urusan duniawi yang mengganggu komunikasinya dengan Allah. Al-Muhasibi berkata:

Artinya: Meninggalkan harta benda dunia tapi masih mengingatnya merupakan sifat orang-orang zuhud. Sedangkan meninggalkan harta benda dunia sambil melupakannya merupakat sifat orang-orang `arifin (orang yang makrifat kepada Allah).11 Namun, itu tak berarti al-Muhasibi membenci harta. Menurutnya, zuhud tak identik dengan kemiskinan. Banyak juga orang kaya yang zuhud dan tak semua orang miskin itu zahid. Ia berkata:

Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salâm, Jiilid VIII, hlm. 213-214. 10

Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salâm, Jiilid VIII, hlm. 213. 11

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

47

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

Artinya: Zuhud tak berarti menghancurkan kepemilikan pribadi. Zuhud adalah perbuatan hati yang dibenarkan anggota badan (tangan). Sebab, banyak orang miskin yang serakah. Dan tak sedikit juga orang kaya yang zuhud.12 Ini menunjukkan tahap kematangan spiritual al-Muhasibi. Jika sebelumnya ia terkesan anti kekayaan, maka dalam perkembangannya ia tak meletakkan kezuhudan pada ukuranukuran lahiriah semata-mata. Zuhud baginya ada di dalam hati yang memantul ke dalam tindakan jasmani. Menurut alMuhasibi, banyak orang kaya yang hatinya tak terpaut pada harta. Sementara tak sedikit orang miskin yang serakah pada harta sehingga tak disebut sebagai zahid. Kematangan spiritual al-Muhâsibi mengantarkan yang bersangkutan mendapatkan kedudukan terhormat di kalangan sufi lain. Banyak ulama dan para sufi Baghdad belajar pada alMuhasibi. Di antaranya adalah Abu al-Abbas ibn Masruq alThusi (w. 299 H.) dan Junaid al-Baghdadi (w. 298 H.). Tentu alMuhasibi bukan satu-satunya rujukan para sufi Baghdad. Di samping al-Muhasibi, al-Siri al-Saqathi tak bisa diabaikan, dan al-Muhasibi memang sahabat al-Siri al-Saqati. Al-Muhâsibi sering berkunjung ke rumah al-Saqati. Demikian juga sebaliknya. Seringnya berkunjung ke rumah al-Saqathi-berdiskusi dan sekaligus bertemu dengan al-Junaid--maka alMuhâsibi dapat mengenal al-Junaid dengan baik.

Majdi Muhammad Ibrahim, Abu al-`Abbas al-Mursi: Madzhabuhu wa “ra’uhu al-Shufiyyah, Beirut: Books Publisher, 2014, hlm. 19. 12

48

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

Abdul Moqsith Hubungan guru-murid antara al-Muhâsibi dan al-Junaid bermula dari keinginan al-Muhâsibi untuk mengajak al-Junaid jalan-jalan. Di tengah jalan, al-Muhasibi menasehati al-Junaid. Al-Junaid mengisahkan peristiwa itu demikian:

Artinya: al-Junaid berkata, pada suatu ketika, Harits datang ke rumah kami dan berkata; Mari keluar jalan-jalan bersamaku. Aku (al-Junaid menjawab “pakah engkau akan mengajak aku ke luar dari kesendirinku, yang didalamnya aku merasa tentram, menuju jalan penuh resiko yang penuh dengan godaan nafsu? Namun, alHarits tetap mengajakku Keluarlah bersamaku dan jangan takut. Maka aku pun pergi keluar. Jalanan kosong. Kami hanya melihat pemandangan yang menyenangkan. Tiba-tiba kami sudah sampai di suatu tempat diskusi.. Lalu dia memintaku, bertanyalah tentang sesuatu . Lalu aku menjawab “ku tidak mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepadamu . Dia berkata lagi Tanyakan tentang sesuatu yang sedang ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

49

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah ada dalam pikiranmu . Kemudian aku menanyakan semua masalah yang ada dalam pikiranku. Dia pun langsung menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan saat itu. Lalu ia pulang ke rumah, dan dia menuliskan semua pertanyaan dan jawaban itu pada kitabkitabnya .13 Dari dialog al-Muhasibi dan al-Junaid tersebut, ada dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa al-Junaid lebih suka mengisolir diri ketimbang bergaul dengan masyarakat umum. Kedua, relasi al-Junaid dengan al-Muhâsibi sebagai guru-murid memiliki hubungan simbiosis mutualistis. Bukan hanya alJunaid yang kebetulan berposisi sebagai murid mendapat tambahan ilmu dari jawaban-jawaban al-Muhâsibi, tapi juga alMuhâsibi yang berperan sebagai guru merasa mendapat wawasan dan inspirasi baru dari pertanyaan-pertanyaan kritis al-Junaid.14 Dalam bertasawuf, al-Muhâsibi berbeda dengan al-Saqati. Al-Saqathi dan sebagin besar para sufi meyakini bahwa tujuan tasawuf adalah bersatu dengan Allah. Bagi al-Muhâsibi, tasawuf adalah ilmu yang lebih banyak berhubungan dengan akhlaq ketimbang berkaitan dengan tauhid (persatuan dengan Tuhan), fana` dan syathahat. Dengan demikian, dalam bertasawuf, al-Muhâsibi mengingatkan murid-muridnya agar

13

Su`ad al-Hakim, Taj al-`Arifin: al-Junaid al-Baghdadi, Mesir: Dar alSyuruq, 2007, hlm. 90; Abu Na`im al-Ishfahani, Hilyah al-“uliya’ wa Thabaqat al-“shfiya’, Mesir: al-Sa’adah, 1972, Jilid I, hlm. 255-256; Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 10. Al-Khâthib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, Jilid VIII, hlm. 213; Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawwuf al-Islami Fi Madrasah Baghdad, hlm. 178. 14

50

Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26. ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

Abdul Moqsith menjauhi syathahat, karena syathahat bisa berujung pada kesesatan.15 Setelah sekian lama mendidik umat dan menulis kitab, alMuhasibi meninggal dunia pada tahun 243 H. 16 Beberapa menit sebelum wafat, al-Muhasibi berbisik kepada Ja`far (anak lakilaki “bi Tsaur , jika aku melihat sesuatu yang aku sukai, maka aku akan tersenyum kepadamu. Dan jika aku melihat sesuatu yang tak aku sukai, kamu pasti akan melihat perubahan di mukaku . Ja`far berkata, al-Muhasibi tersenyum sebelum meninggal dunia.17 Namun, ada informasi lain bahwa al-Muhasibi wafat ketika ia sedang uzlah, dari tahun 232 H.-243 H. Kepergian alMuhasibi merupakan kehilangan besar bagi dunia Islam saat itu. Al-Qusyairi berkata:

Artinya: “l-Muhasibi memang tiak ada tolok bandingnya, baik ilmu, keilmuan, pergaulan, maupun hal ihwal kesehariannya .18

15

Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26-27.

16

Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits al-Muhasibi, al-Ri’ayah li huquq Allah, Kairo: Dâr al-Ma’rif, 1984, hlm. 6. Untuk mengetahui secara agak lengkap tentang al-Muhasibi mulai dari biografinya sampai dengan ajaran-ajaran tasawufnya, baca Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Kairo: Dâr alKutub al-Haditsah, 1973. Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, Jilid VIII, hlm. 215. 17

18

Muhammad Ghallab, al-Tashawwuf al-Muqarin, hlm. 52.

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

51

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah Isi dan Kandungan Kitab Al-Ri’ayah li Huquq “llah adalah salah satu karya alMuhasibi. Sebab, al-Muhasibi memiliki karya-karya lain. Merujuk pada al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi’iyyah dan alManawi dalam al-Kawakib al-Durriyah, Abdul Halim Mahmud memperkirakan 200 buku karya al-Muhasibi. Bahkan, ada yang berkata; 460 buku, yang sebagian besar berbicara ilmu tasawuf dan suluk. Disebut sebagian besar karena al-Muhasibi juga menulis buku-buku lain selain tasawuf, seperti fahm al-Qur’an dalam bidang ilmu Kalam. Namun, buku ini sudah tak dijumpai lagi.19 Beberapa buku al-Muhasibi yang masih berbentuk manuskrip adalah Kitab al-Masa’il fi al-Zuhd, Fashl min Kitab al`Adlmah, Kitab fi al-Muraqabah, Ahkam al-Taubah, Kitab al-`Ilm, Kitab al-Shabr wa al-Ridla.20 Sedangkan di antara beberapa karya al-Muhasibi yang sudah dicetak adalah: Pertama, dalam pengantar al-Ri’ayah li Huquq “llah, Abdul Halim menyebut karya akademik al-Muhasibi adalah Kitab al-Wahm yang pertama kali terbit di Mesir tahun 1937. Namun, pada buku Ustadz al-Sa’irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Abdul Halim Mahmud menyebut judul buku al-Muhasibi dengan Kitab alTawahhum . Kedua, adalah Risalah al-Mustarsyidin. Kitab ini cukup ringkas hanya berisi petunjuk bagi orang-orang yang ingin mengenal Allah seperti menjelaskan tentang taubat, taqwa, khauf (takut pada Allah), sabar, dan ridha atas ketentuan Allah. Melalui kita ini diketahui bahwa tasawuf al-Muhasibi disandarkan sepenuhnya pada dalil-dalil al-Qur’an dan al“bdul Halim Mahmud, Muqaddimah , dalam al-Muhasibi, alRi’ayah li Huquq “llah, hlm. 11-12. 19

Secara lebih utuh, baca Abdul Halim Muhammad, Ustadz alSa irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 69-96. 20

52

ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017

Abdul Moqsith Sunnah. Ketiga, adalah Kitab al-Washaya. Judul lengkapnya adalah al-Washaya au al-Nasha’ih al-Diniyah wa al-Nafahat alQudsiyahli Naf’i Jami’ al-Bariyyah. Muhammad Ghallab menambahkan karya-karya al-Muhasibi; Risalah fi al-Mabadi` al`Asyrah al-Mushilah ila al-Sa’adah, Syarh al-Ma’ain wa ”adzl alNashihah, al-”a’ts wa al-Nasyr, Risalah fiy al-Akhlaq, Mahiyah al`aql wa Ma’nah, Risalah fi al-`Azhamah, Risalah fi Fahm al-Shalah.21 Namun, dari beberapa karya al...


Similar Free PDFs