Kaum Nasionalis di Pengasingan PDF

Title Kaum Nasionalis di Pengasingan
Author Amin Mudzakkir
Pages 6
File Size 313.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 457
Total Views 721

Summary

Kaum Nasionalis di Pengasingan1 Amin Mudzakkir Tahun 1965-1966 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia modern. Dalam dua tahun ini terjadi dua hal yang menentukan arah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia selanjutnya. Hal pertama adalah munculnya Gerakan 30 September (G30S) pada akhir 1965 yang da...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Kaum Nasionalis di Pengasingan Amin Mudzakkir

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kit a Amin Mudzakkir

Indonesia Yang Dibayangkan: Perist iwa 1965-1966 dan Kemunculan Eksil Indonesia Wahyudi Akmaliah Memat ahkan Pewarisan Ingat an: Wacana Ant i-Komunis & Polit ik Rekonsiliasi Pasca-Soehart o Hary Hardiansyah

Kaum Nasionalis di Pengasingan1 Amin Mudzakkir Tahun 1965-1966 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia modern. Dalam dua tahun ini terjadi dua hal yang menentukan arah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia selanjutnya. Hal pertama adalah munculnya Gerakan 30 September (G30S) pada akhir 1965 yang dalam narasi sejarah Orde Baru secara otomatis dilekatkan dengan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga namanya disebut Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993). Menurut versi sejarah resmi, gerakan yang memakan korban enam orang jenderal dan beberapa perwira tersebut adalah bentuk pengkhiatan PKI terhadap negara Pancasila. Dengan dalih ini, lahir hal kedua, yaitu rangkaian peristiwa kekerasan sepanjang 1965-1966. Setelah memegang kendali pemerintahan melalui serangkaian proses delegitimasi terhadap kekuasaan Sukarno, Jenderal Soeharto memerintahkan militer untuk melakukan genosida anggota PKI. Ratusan ribu orang yang diidentifikasi sebagai anggota PKI dibunuh secara brutal, sisanya dibuang ke Pulau Buru dan tempat-tempat lainnya (Cribb, 1990).2 Implikasi dari peristiwa 1965-1966 sangat luas dan awet. Komunisme dan kiri, keduanya sering dipertukarkan, kemudian mendapatkan stigma negatif dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Selama Orde Baru, mantan tahanan politik yang dikeluarkan dari Pulau Buru secara bertahap sejak 1979, anggota keluarga mereka, atau siapa saja yang dianggap bagian dari komunisme diawasi secara ketat oleh negara. Sementara individu atau kelompok yang berusaha menentang pemerintahan Orde Baru dengan mudah dicap sebagai komunis, aparatus ideologis negara mereproduksi gambaran orang-orang komunis atau kiri yang jahat, anti-agama, anti-Pancasila, dan atribut tuna moral lainnya (Budiawan, 2004; Heryanto, 2006). Proses penyingkiran terhadap komunisme di Indonesia berlangsung dalam kancah Perang Dingin Abad ke-20. Pertentangan antara blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet pada masa itu sangat mewarnai berbagai peristiwa politik dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia di bawah Sukarno berusaha mempertahankan posisi non-blok yang digagasnya bersama beberapa negara lain, meskipun tidak selalu berhasil. Kebijakan Sukarno yang membangun poros politik dengan negara-negara komunis sangat mengkhawatirkan Amerika Serikat dan sekutunya. Dengan berbagai cara mereka membantu kelompokkelompok anti-komunis di Indonesia. Peristiwa 1965 dan berbagai implikasi setelahnya tidak bisa dipisahkan dari gambaran besar Perang Dingin ini (Wardaya, 2009). Masuknya modal asing secara besar-besaran setelah peristiwa itu juga merupakan bagian dari suatu konfigurasi internasional yang dalam beberapa hal masih bertahan hingga sekarang. Setelah Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan pada 1998, muncul berbagai wacana dan aksi tanding yang berusaha menggugat narasi anti-komunisme tersebut (Budiawan, 2004). Kemunculannya merupakan bagian dari aspirasi gerakan hak asasi manusia yang mengiringi gelombang demokratisasi. Pada tataran akademis, wacana itu mengambil istilah yang cukup kontroversial, yaitu ‘pelurusan sejarah’ (Adam, 2009). Pada 1

Disampaikan dalam diskusi buku foto Exile karya Rosa Panggabean, Galeri Antara, Jakarta, 17 Januari 2015. Hingga saat ini tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah orang yang meninggal dalam peristiwa itu. Orang pada umumnya memperkirakan yang tewas mencapai ratusan ribu. Sedangkan sejumlah orang Indonesia yang dicap “PKI” oleh pemerintah dan terpaksa mendekam di penjara satu setengah juta orang. Rezim Soeharto sendiri memberikan bermacam angka statistik yang berbeda. Pada 1981, pejabat rejim Soeharto mengatakan bahwa ada 1,5 juta eks-tapol. Empat tahun kemudian, para pejabat mengatakan jumlah mereka sesungguhnya 1,7 juta. Try Soetrisno, dalam sebuah majalah, mengatakan bahwa jumlah mereka 1,8 juta. Mungkin saja jumlah mereka lebih besar dari itu. Lihat, John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid (ed), Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 (Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2004), hlm. 9. 2

1

tataran sosial, berkembang inisiatif untuk mengadakan rekonsiliasi di antara berbagai pihak yang tersangkut peristiwa 1965. Alih-alih berasal dari negara, inisiatif rekonsiliasi tersebut justru datang dari kalangan masyarakat sipil, yaitu terutama kalangan Nahdlatul Ulama (NU), yang pada masa lalu pernah menjadi bagian dari kelompok anti-PKI dalam periode politik yang rumit. Di bawah pengaruh pemimpinnya yang progresif, Abdurrahman Wahid, beberapa kelompok yang berafiliasi secara kultural dengan NU mengadakan berbagai kegiatan untuk menjajaki kemungkinan proses rekonsiliasi terkait peristiwa 1965. Akan tetapi, di tengah munculnya gelombang baru tersebut, keberadaan kaum eksil tetap terlupakan. Pada tataran akademis, implikasi peristiwa 1965 terhadap orang Indonesia yang berada di luar negeri kurang mendapat perhatian. Fokus penelitian tentang peristiwa 1965 berpusat pada situasi di dalam negeri (Lihat, misalnya, Cribb, 1990; Roosa, 2008; Anderson dan McVey, 2009). Secara umum studi-studi tersebut menunjukkan kekerasan negara yang sistematik terhadap anggota partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Cina. Kekerasan tersebut tidak hanya berupa pembunuhan dan pemenjaraan anggota PKI tetapi juga bekerja pada ranah pengetahuan dan kesadaran. Kaum eksil yang dimaksud adalah orang Indonesia yang ketika peristiwa 1965 meletus sedang berada di luar negeri untuk berbagai macam keperluan: ada yang sedang sekolah, ada yang sedang menjalankan tugas sebagai diplomat, atau yang sedang menjadi wakil di organisasi regional/internasional, ada juga rombongan yang diundang oleh pemerintah Cina untuk menghadiri perayaan ulang tahun mereka pada akhir 1965. Mereka umumnya diutus oleh pemerintahan Soekarno dan sedang berada di negara-begara sosialiskomunis (Hill, 2008). Di luar itu, kaum eksil juga merujuk pada kaum Tionghoa Indonesia yang melakukan eksodus ke luar negeri beberapa saat setelah peristiwa 1965 untuk menghindari aksi pembersihan oleh militer dan kelompok-kelompok sipil. Sebagian kaum eksil memang berafiliasi dengan PKI, tetapi sebagian lagi bukan. Tidak sedikit dari mereka bahkan pada awalnya kurang mempunyai ketertarikan terhadap dunia politik sama sekali. Terhadap mereka, Soeharto mengeluarkan keputusan: mereka diperbolehkan pulang ke Indonesia asalkan mengakui kesetiaan kepada pemerintah baru yang dipimpinnya, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga harus menyetujui pernyataan bahwa Gerakan 30 September didalangi oleh PKI dan Soekarno ikut terlibat di dalamnya. Menghadapi keputusan tersebut, sebagian besar mereka menolak. Akibatnya pemerintahan Soeharto mencabut status kewarganegaraan mereka dan mencegahnya pulang ke tanah air. Mereka kemudian menjadi orang-orang tanpa negara (stateless). Dalam perkembangannya, banyak eksil Indonesia yang tersebar di berbagai negara sosialis-komunis mencari suaka ke negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda. Di sana mereka membangun kehidupan baru. Sebagian besar mengajukan aplikasi untuk menjadi kewarganegaran setempat dan akhirnya diterima. Meskipun demikian, ikatan dan rasakepemilikan mereka terhadap Indonesia tidak hilang. Dengan segenap cara mereka tetap aktif membangun komunikasi baik di antara mereka atau dengan sejawat lain yang mempunyai perhatian terhadap situasi di Indonesia. Tidak hanya dalam isu politik, mereka pun aktif berkesenian. Karya-karya sastra kaum eksil berkembang pesat, sehingga membentuk sebuah genre tersendiri dalam dunia sastra (Alex Supartono, 2001). Singkatnya, meski terhalang jarak dan waktu, nasionalisme mereka tidak pudar. Sekarang kewarganegaraan mereka bermacammacam, mengikuti negara di mana mereka tinggal, tetapi secara politik dan ideologi mereka tetap merasa sebagai orang Indonesia. Mereka adalah kaum nasionalis jarak jauh. Perhatian akademis terhadap peristiwa 1965 dan implikasinya terhadap orang Indonesia di luar negeri masih sangat kurang. Beruntung belakangan banyak dari kalangan eksil sendiri menerbitkan karya, terutama berupa autobiografi (misal, Umar Said, 2004; Isa, 2012). Sementara itu, sebuah proyek yang dilakukan oleh International Institute of Social History (IISH), Amsterdam, mendokumentasikan wawancara Hersri Setiawan yang ekstensif 2

terhadap orang eksil di Belanda. Di tempat lain, David Hill (2008, 2010) menulis beberapa artikel tentang kaum eksil kiri Indonesia dan menunjukkan kedudukan mereka yang sangat penting dalam percaturan politik dan sejarah intelektual Indonesia. Review of Indonesian and Malaysian Affairs (RIMA), Vol. 44, No. 1 (2010) menerbitkan edisi khusus tentang kaum eksil Indonesia di berbagai negara. Terakhir, sebuah tesis master di International Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda, mengkaji kaum eksil Indonesia di Belanda dan Ceko (Sipayung, 2011). Istilah ‘eksil’ (‘exile’) sendiri telah dipergunkan secara luas dalam berbagai literatur, tidak hanya ilmu-ilmu sosial, tetapi juga teologi. Secara historis istilah eksil untuk pertama kali disematkan kepada orang Yahudi yang dideportasi oleh Nebuchadnezzar II, penguasa Babilonia, pada abad ke-6 SM. Pada abad ke-20, selama periode Perang Dunia II, istilah ini juga mengacu kepada orang Yahudi yang berdiaspora ke berbagai negara dari kejaran tentara Nazi. Istilah ini juga dialamatkan kepada bangsa-bangsa yang terbuang dari tanah leluhurnya oleh karena perang, seperi orang Palestina yang terusir dari Yerussalem. Bertolak dari berbagai peristiwa tersebut, Edward Said (2000) merefleksikan kaum eksil sebagai kaum yang kesepian tetapi sekaligus sangat bergairah dalam berjuang. Secara implisit Said menunjukkan peliknya narasi tentang kaum eksil sebagai diaspora dalam menempuh kehidupan baru di dunia yang baru sambil pada saat yang sama mempertahankan hubungan dengan masa lalu di tanah leluhurnya. Mengikuti pengertian yang diberikan oleh Nina Glick Schiller dan Georges Fouron (2002: 356-365) perlu kiranya diklarifikasi terlebih dahulu beberapa istilah kunci yang sering muncul dalam diskusi dengan tema ini. Nasionalisme adalah seperangkat keyakinan dan praktik yang menghubungkan kebersamaan antara penduduk sebuah bangsa dan teritorinya. Sementara itu, bangsa merupakan orang-orang yang berbagi asal-usul dan sejarah yang dicirikan dengan persamaan budaya, bahasa, dan identitas. Istilah kunci lainnya adalah negara yang secara umum dipahami sebagai sistem pemerintahan yang berdaulat dalam sebuah teritori tertentu. Meski demikian, apa yang disebut sebagai nasionalisme jarak-jauh sejatinya bukan hal baru sama sekali. Jenis nasionalisme ini mempunyai preseden sejarahnya pada abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20. Perubahan penting dalam diskursus nasionalisme terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sejak itu nasionalisme diidentikkan dengan negarabangsa tertentu. Ini tentu saja problematik sebab konsep negara-bangsa itu sendiri dalam praktiknya tidak selalu mengacu pada satu bangsa dan satu negara. Dalam sebuah negara seringkali tinggal beraneka macam bangsa, dan anggota suatu bangsa tidak selalu menempati negara yang sama. Arus migrasi yang berlangsung masif pasca-Perang Dunia justru membuktikan bahwa konsep nasionalisme sulit diletakkan secara ketat pada satu teritori negara-bangsa tertentu. Beberapa negara menerapkan kebijakan bahwa kaum migran yang berasal dari negaranya tetap diakui sebagai warga negaranya meski mereka telah tinggal di luar negeri dan bahkan telah menjadi warga negara di tempat barunya. Dengan demikian, seperti akan ditunjukkan di bawah, nasionalisme jarak-jauh menimbulkan persoalan serius pada konsep kewarganegaraan dalam pengertiannya yang konvensional. Lebih lanjut Schiller dan Fouron mengajukan lima proposisi tentang nasionalisme jarak-jauh. Pertama, nasionalisme jarak-jauh mempunyai kemiripan dengan nasionalisme konvensional sebagai sebuah ideologi yang menghubungkan orang dan teritorinya. Akan tetapi, berbeda dengan nasionalisme konvensional yang berbasis pada teritori yang terbatas, yaitu negara-bangsa yang terlokalisasi, nasionalisme jarak-jauh menyediakan justifikasi bagi suatu pemerintahan untuk mengkonfigurasi ulang dirinya sebagai negara-bangsa transnasional (transnational nation-state). Nasionalisme jarak-jauh mengikat para imigran yang terpencar di mana-mana ke dalam suatu konsep kewargaan lintas-batas (trans-border citizenry)

3

Kedua, nasionalisme jarak-jauh tidak eksis hanya dalam wilayah imajinasi dan sentimen. Dengan demikian, nasionalisme jarak-jauh menyaratkan adanya aksi-aksi tertentu, bisa dengan bentuk ikut serta dalam pemilihan umum (vote), demonstrasi, kontribusi uang, menciptakan karya-karya seni, atau bahkan mati untuk tanah air yang mungkin tidak pernah ditinggalinya. Schiller dan Fouron menggambarkan sosok Georges (tak lain adalah Georges Fouron sendiri), seorang warga negara Amerika Serikat yang tidak hanya bermimpi tentang Haiti sebagai tanah airnya tetapi juga melakukan aksi-aksi politik tertentu atas nama dan demi untuk tanah airnya tersebut. Ketiga, nasionalis jarak-jauh mempunyai tujuan politik membentuk sebuah negarabangsa transnasional. Mereka menantang bermacam teori yang mapan tentang bangsa dan negara. Di tangan mereka, nasionalisme tidak lagi hanya milik rakyat yang tinggal di tanah kelahirannya, tetapi juga para imigran yang berdiaspora ke seluruh dunia. Oleh karena itu, beberapa pemerintahan telah mengubah kebijakan kewarganegaraannya untuk mengakomodasi kaum nasionalis jarak-jauh ini, yaitu dengan cara menetapkan identitas kewarganegaraan ganda (dual citizenship). Negara-negara seperti Republik Dominika, Ekuador, dan Brazil telah melakukan kebijakan ini. Warga negara mereka, dengan demikian, bisa mempunyai dua paspor. Keempat, kondisi-kondisi di tanah air atau di negeri baru yang ditinggali sekarang mungkin mendorong atau merusak kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang berkontribusi bagi nasionalisme jarak-jauh. Proposisi ini mengacu, misalnya, pada negaranegara pengirim kaum migran ketika di bawah kepemimpinan diktator yang tidak mengizinkan adanya kontak yang terbuka dengan dunia luar karena mungkin akan dituduh sebagai kegiatan spionase. Contohnya adalah Portugal di bawah Salazar dan Haiti di bawah Duvalier. Pada masa itu kegiatan nasionalis jarak-jauh justru dicurigai sebagai bentuk infiltrasi. Hal serupa juga terjadi di negara-negara penerima imigran yang menerapkan kebijakan asimilasionis secara ketat, seperti Amerika Serikat dan Jerman pada tahun-tahun pertama setelah Perang Dunia. Kelima, nasionalisme jarak-jauh harus dibedakan dengan dari bentuk-bentuk rasa memiliki kolektif yang lain. Kita, misalnya, mesti membedakan antara nasionalisme jarakjauh dan diaspora yang mengacu pada rasa kepemilikan kolektif terhadap tanah leluhur. Diaspora bisa menjadi nasionalisme jarak-jauh jika ia mengandung unsur dan tujuan politik tertentu yang mengaitkan antara orang-orang dan tanah leluhurnya secara kuat. Ini terjadi, sebagai contoh, pada orang Yahudi yang berdiaspora ke banyak negara, tetapi mereka tetap mempertahankan komitmen politis terhadap negara Iseral, padahal pada saat yang sama banyak dari mereka yang telah mempunyai identitas kewarganegaraan negara lain.

Daftar Pustaka Adam, Asvi Warman. 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Bhabha, Homi. 1994. The Location of Culture. London /New York: Routledge. Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta: Elsam. Cribb, Robert (ed.). 1990. The Indonesian Killings of 1965-1966. Monash Papers on Southeast Asia, No. 21, Clayton. Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London/New York: Routledge.

4

Hill, David. 2008. “Knowing Indonesia From Afar: Indonesian Exiles and Australian Academics”. Paper presented to the 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Melbourne 1-3 July 2008. _____ and Ana Dragojlovic. 2010. “Indonesian Exiles: Crossing Cultural, Political and Religious Borders”, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol. 44, No. 1 (2010). Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka [edisi empat]. Roosa, John, Ayu Ratih, Hilmar Farid (ed.). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia. Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Masal. Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra Said, Edward. 2000. Reflections on Exile and Others Essays. Cambridge: Harvard University Press. Said, Umar. 2004. Perjalanan Hidup Saya. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Setiawan, Hersri. 2004. “Membangun Kembali Budaya Rekonsiliasi” dalam Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta: Elsam Sipayung, Bambang Alfres. 2011. “Exiled Memories: The Collective Memory of Indonesian 1965 Exiles”. Tesis Master, International Institute of Social Studies, The Hague, Belanda. Supartono, Alex. 2001. Rajawali Berlumur Darah: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani. http://www.reocities.com/nurrachmi/budaya/on-utuy.pdf Turner, Victor. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Aldine Transaction. Van Gennep, Arnold. 2006 [1960]. The Rites of Passage. London/New York: Routledge:

5...


Similar Free PDFs