RESUME BUKU “PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS” KARYA PAULO FREIRE PDF

Title RESUME BUKU “PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS” KARYA PAULO FREIRE
Author Cahyani Damawati
Pages 44
File Size 304.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 124
Total Views 956

Summary

Tugas UAS Landasan Pedagogik RESUME BUKU “PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS” KARYA PAULO FREIRE OLEH Nyoman Ari Cahyani Damawati 1302351 PRODI PENDIDIKAN IPA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 1 BAB I PENDAHULUAN Saat ini Indonesia berada pada titik kritis dimana seluruh jaja...


Description

Tugas UAS Landasan Pedagogik RESUME BUKU “PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS” KARYA PAULO FREIRE

OLEH Nyoman Ari Cahyani Damawati 1302351

PRODI PENDIDIKAN IPA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014

1

BAB I PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia berada pada titik kritis dimana seluruh jajaran pemeritahan sedang bergulat menentukan dan membuat regulasi yang dianggap dapat membantu mewujudkan tujuan bangsa Indonesia seperti yang tertera pada pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan bangsa dan mencerdasakan kehidupan bangsa. Kedua hal tersebut dapat diwujudkan melalui pendidikan yang baik, dimana manusia atau terdidik dipandang sebagai manusia seutuhnya, makhluk yang „mengada‟, yang memiliki hak yang hakiki yang tidak dapat dirampas keberadaannya. Sistem pendidikan yang dapat „meng-adakan‟ peserta didiknya dikemukan oleh Paulo Freire seorang tokoh pendidikan asal Brazil dalam bukunya yang berjudul “Pedagogy of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas)”. Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang terbelakang dan identik dengan kemiskinan. Sejak kecil Paulo Freire sudah terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat pergumulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum-kaum tertindas” lahirlah buah-buah pemikiran yang brilian dan kontroversial. Freire mempunyai latar belakang pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorang pengacara. Kemudian Freire menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun (1941-1947). Sekitar tahun 1944 Freire menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan. Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). Di kemudian hari, Freire bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, Freire menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, Freire diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk

2

Kebudayaan Populer. Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Freire memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia. Dari Bolivia Freire pindah ke Chili dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform Movement. Dalam masa lima tahun ini, Freire dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 Freire sempat menjadi visiting professor di Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, Freire pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960an inilah Freire menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed. Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 Freire ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada. Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, Freire menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Freire juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO‟s Peace Prize tahun 1987, dan dari The Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding Christian Educator, pada tahun 1985. Di Indonesia, persebaran pemikiran Freire dapat dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama setelah tumbangnya Orde Baru. Buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Pendidikan yang Membebaskan; Belajar Bertanya; Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan; Pendidikan Kaum Tertindas; Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan; Dialog Bareng Paulo Freire: Sekolah Kapitalisme yang Licik; dan Pendidikan Sebagai Proses: Surat Menyurat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea Bissau. Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti

3

kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis). Buku yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul Pedagogy of The Oppressed, yang diterbitkan oleh LP3ES. Pada buku versi bahasa Inggris, kata pengatar diberikan oleh Richard Shaull, sedangkan pada buku terjemahannya terdapat prawacana yang diberikan oleh F Danuwinata. Pada buku yang berjudul Pedagogy of the Oppressed inilah Freire menuangkan buah pikirannya mengenai bagaimana seharusnya pelaksanaan pendidikan bagi kaum tertindas. Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini dibagi menjadi 4 bab. Bab pertama berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh para penindas, maka dibutuhkan suatu pendidikan bagi “kaum-kaum tertindas”. Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. “Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng”, (hal 27-28). Dari kedua tahap tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Paulo Freire ingin mengajarkan kepada masyarakat agar berjuang untuk membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian memanusiakan kaum penindasnya, dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas berhasil mengambil alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika kekuasaaan hanya berpindah kutub. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum tertindas yang berjuang harus dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan dalam pendidikan, agar pendidikan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

4

Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan”, (hal 52). Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”. “Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan murid di sisi lain, (hal 64). Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan betapa pentingnya adanya dialog di dalam pendidikan kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia, (hal 77). Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.

5

BAB II ISI

A. Identitas Buku Judul Buku

: Pendidikan Kaum Tertindas

Pengarang

: Paulo Freire

Penerbit

: Pustaka LP3ES Indonesia

Cetakan

: Ketujuh

Halaman

: 215

B. Resume Pendidikan Kaum Tertindas Pendidikan bagi kaum tertindas merupakan hasil pengamatan Freire selama enam tahun dalam pengasingan politik. Freire menganalisis peran „penyadaran‟ untuk mewujudkan pendidikan yang membebaskan manusia. Untuk dapat membebaskan diri, kaum tertindas harus terlebih dulu menghilangkan ketakutannya akan kebebasan melalui usaha penyadaran. Tanpa memlalui hal tersebut, ketika kaum tertindas itu dapat mandiri ia akan cenderung berperilaku sama dengan penindasnya.

6

Buku ini berakar langsung dari kondisi nyata yang mewakili reaksi kaum pekerja serta masyarakat kelas menengah yang telah diamati secara langsung maupun tidak langsung sepanjang masa pekerjaan mendidik yang dilakukan oleh Freire. Paulo Freire berharap lewat halaman-halaman buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang dia ciptakan ini dapat melestarikan hal-hal berikut: “keyakinannya kepada rakyat jelata, keyakinannya kepada manusia, dan kepada penciptaan sebuah dunia tempat manusia dapat lebih mudah mencintai sesamanya”, (hal. 9). # Bab 1 Secara aksiologi, masalah humanisasi dipandang sebagai permasalahan utama manusia yang selalu berhasil menimbulkan keprihatinan. Keprihatinan terhadap masalah humanisasi akan menuntun kita untuk mengakui adanya masalah dehumanisasi. Dalam konteks yang kongkret dan objektif, masalah humanisasi dan dehumanisasi merupakan kemungkinan yang selalu ada bagi seseorang sebagai makhluk tidak sempurna yang menyadari ketidaksempurnaannya. Namun sepanjang humanisasi atau demhumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertamalah yang merupakan fitrah manusia. Fitrah inilah yang selalu diingkari namun melalui pengingkaran tersebutlah fitrah tersebut diakui. Dehumanisasi, ditandai oleh mereka (kaum tertindas) yang telah dirampas kemanusiaanya, namun juga dialami oleh kaum penindas yang telah merampas kemanusiaan orang lain walaupun dalam bentuk yang berbeda. Perampasan tersebut adalah suatu bentuk penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Perjuangan untuk humanisasi, untuk emansipasi kaum pekerja, untuk mengatasi keterasingan, untuk pengesahan manusia sebagai pribadi-pribadi akan bermakna. Perjuangan sangat mungkin dilakukan karena dehumanisasi merupaka fakta sejarah yang nyata yang bukan merupakan takdir yang diterima begitu saja, tetapi merupakan hasil dari tatanan tidak adil yang melahirkan kekejaman pada kaum penindas, yang kehudian melahirkan dehumanisasi terhadap kaum tertindas. Dengan demikian maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang menentang mereka yang telah membuat mereka menjadi demikian. Agar perjuangan mereka mejadi lebih bermakana, maka kaun tertindas yang berusaha merebut kembali kemanusiaannya tidak boleh berbalik menjadi penindas kaum penindas, namun memulihkan kembali kemanusiaan keduanya (kaum tertindas

7

dan kaum penindas) Berbagai usaha memperlunak kekuasaan kaum penindas dengan alasa untuk lebih menghormati kelemahan kaum tertindas hampir selamanya mewujudkan diri dalam kemurah hati yang palsu. Untuk mengkekalkan kemurah hati yang palsu, maka kaum penindas juga harus mengekalkan ketidakadilan. Suatu tatanan sosial yang tidak adil, merupakan alasan yang harus ada bagi eksistensi kemurah hatian ini, yang selalu dibayangi oleh bayangan maut keputusasaan, dan kemiskinan. Hal inilah yang mendorong kaum penindas menjadi gelap mata terhadap ancaman paling kecil sekalipun atas kemurah hati palsu meraka. Kemurah hati yang sejati justru terdapat pada usaha menghancurkan sumbersumber penyebab yang telah menghidupi kedermawanan palsu tersebut. Kemurah hati yang sejati terletak dalam memperjuangkan agar tangan-tangan yang terulur untuk meminta perlindungan tidak usah diulurkan untuk memohon dan makin menjadi tangantangan manusiawi yang bekerja, dan dengan bekerja dapat mengubah dunia. Kendati demikian, pelajaran dan praktik ini haruslah datang dari kaum tertindas itu sendiri atau dari mereka yang benar-benar berpihak pada mereka. Dengan berjuang dan menata kembali kemanusiaan mereka, sebagai pribadi atau anggota masyarakat, mereka sesungguhnya tengah berusaha menegakkan kembali kemurahan hati sejati. Yang dapat memahami arti pembebasan yang lebih baik adalah melalui perjuangan pembebasan dan juga melalui pengenalan akan arti penting dari pembebasan itu sendiri. Perjuangan untuk kaum tertindas merupakan tindakan cinta melawan ketiadaan rasa cinta yang bersarang dalam jantung kekejaman kaum penindas, ketiadaan cinta yang sekalipun berkedok kemurahan hati palsu. Sejak awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukannya mengusahakan pembebasan tetapi cenderung menjadikan dirinya sebagai penindas. Struktur pikiran mereka telah dibentuk oleh kontradiksi dalam situasi ekstensial yang kongkret. Tujuan mereka memang menjadi manusia, tetapi bagi mereka,menjadi seorang 'manusia' adalah menjadi seorang penindas. Inilah model harkat kemanusiaan bagi mereka. Gejala inidapat dijelaskan dari fakta bahwa kaum tertindas pada momentum tertentu, dalam pengalaman ekstensial mereka, cenderung mengambil sikap "melekat" pada penindasnya. Pada taraf ini pandangan mereka terhadap diri sendiri sebagai lawan kaum penindas belum merupakan suatu pelibatan diri dalam perjuangan untuk mengatasi

8

kontradiksi (pertentangan dialektis antara kekuatan sosial yang saling berlawanan) tersebut, yakni sebagai sisi yang bukannya menginginkan kebebasan, tetapi menginginkan indentifikasi dengan sisi lawan. Kaum tertindas kesulitan untuk melihat 'manusia baru',karena manusia tersebut harus dilahirkan dari pecahnya kontradiksi ini, dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan ke arah pembebasan. Bagi mereka manusia baru tersebut adalah diri mereka sendiri yangkemudian menjadi penindas. Rasa "takut kebebasan" yang meninpa kaum tertindas, ketakutam yang baik mendorong mereka untuk menginginkan peranan sebagai penindas maupun mengurung mereka tetap sebagai orang tertindas, harus ditelaah. Adanya pemolaan merupakan salah satu unsur dasar dari hubungan antarakaum penindas dengan kaum tertindas. Setiap pemolaan merupakan pemaksaan pilihan seseorang terhadap orang lain, mengubah kesadaran orang yang dipola agar cocok dengan kesadaran orang yang memilih pola itu. Perilaku tertindas adalah perilaku terpola, menuruti apa yang telah digariskan oleh kaum penindas. Kaum tertindas menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut menjadi bebas. Untuk mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus mengenali secara kritis sumber penyebabnya, kemudian melakukan tindakan perubahan dimana mereka dapat menciptakan situasi baru, situasi yang mungkinkan terciptanya manusia yang lebih utuh. Perjuangan untuk menjadi manusia seutuhnya, telah dimulai dalam perjuangan otentik untuk mengubah situasi. Kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dalam struktur penindasan dimana mereka tenggelam dan pasrah terhadapnya. Perjuangan mereka untuk merebut kebebasan tidak saja mengancam kaum penindas, tetapi juga rekan-rekan senasib yang takut akan kemungkinan penindasan yang lebih hebat. Kaum tertindas mengidap sikap mendua yang tumbuh di dalam diri mereka yang paling dalam. Mereka menemukan bahwa tanpa kebebasan mereka tidak dapat mengada secara otentik. Mereka adalah dirinya sendiri sekaligus para penindasnya, yang alam pikirannya telah meteka internalisasi. Pertentangan itu terletak dalam memilih antara menjadi diri sendiri secara utuh atau menjadi diri yang terbelah (antara melawan atau tidak melawan kaum tertindas). Inilah dilema menyedihkan dari kaum tertindas yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mereka.

9

Pendidikan kaum tertindas merupakan suatu pendidikan yang harus diolah bersamabukan untuk kaum tertindas dalam perjuangan tanpa henti merebut kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan tersebut menjadikan penindas dan sebab-sebabnya sebagai renungan bagi kaum tertindas, dan dari renungan itu akan muncul rasa wajib untuk terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka. Pendidikan kaum tertindas adalah sebuah perangkat agar mereka mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka sendiri maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari humanisasi. Kaum tertindas dapat mengatasi kontradiksi dimana mereka terjebak hanya jika pengetahuan itu mendorong mereka berjuang membebaskan diri. Salah satu rintangan terberat untuk mencapai kebebasan adalah realitas yang menindas dapat memukau mereka yang berada di dalamnya dan karena itu menundukkan alam pikiran mereka. Secara fungsional, penindasan berarti penjinakan. Agar tidak berlarut-larut menjadi korban pengaruhnya, maka seseorang harus bangkit melawannya. Hal itu hanya dapat terwujud melalui praksis: refleksi dan tindakan atas dunia mengubahnya. Dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Namun, tindakan hanya manuasiawi jika bukan semata-mata sebuah pekerjaan rutin tapi juga merupakan suatu perenungan yang mendalam. Pendidikan kaum tertindas merupakan pendidikan bagi manusia yang terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka berakar dari praksis. Tidak ada pendidikan yang sungguh-sungguh membebaskan yang tetap membuat jarak dari kaum tertindas, dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang tidak beruntung dan menyajikan model pelajaran tiruan yang berasal dari kaum penindas. Kaum tertindas harus menjadi contoh bagi diri sendiri dalam perjuangan bagi pembebasan mereka.

Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum

penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelaskan penindasan itu sendiri. Hal tersebut merupakan perangkat dehumanisasi, maka pendidikan kaum tertindas tidak dapat diselenggarakan oleh kaum penindas. Akan menjadi kontradiksi bila kaum penindas tidak hanya membela kaum tertindas tapi juga melaksanakan pendidikan yang membebaskan. Pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama, kaum ...


Similar Free PDFs