Kualifikasi Pustakawan di Era Digital PDF

Title Kualifikasi Pustakawan di Era Digital
Author Nuning Kurniasih
Pages 11
File Size 236 KB
File Type PDF
Total Downloads 289
Total Views 505

Summary

Kualifikasi Pustakawan di Era Digital Nuning Kurniasih, S.Sos., M.Hum. Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Fikom Unpad Jl. Raya Bandung Sumedang KM.21 Jatinangor Sumedang Email : [email protected]; [email protected] Prosiding Semiloka Nasional Kepustakawanan Indonesia 2015...


Description

Kualifikasi Pustakawan di Era Digital Nuning Kurniasih, S.Sos., M.Hum. Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Fikom Unpad Jl. Raya Bandung Sumedang KM.21 Jatinangor Sumedang Email : [email protected]; [email protected] Prosiding Semiloka Nasional Kepustakawanan Indonesia 2015 “Library Move on: Bangga Menjadi Profesional di Dunia Perpustakaan dan Informasi” UPI Bandung, 19-21 Agustus 2015 Halaman: 439-449 Abstrak Kehadiran internet telah memunculkan optimisme yang sangat tinggi terhadap kemudahan dan kecepatan akses terhadap informasi. Di sisi lain, euporia terhadap kekuatan internet memunculkan pesimisme yang juga tinggi terhadap keberadaan Perpustakaan sehingga memunculkan keraguan, masih perlukah perpustakaan apabila kita bisa mendapatkan semua informasi melalui internet tanpa pergi ke perpustakaan? Ini menjadi tantangan bagi pustakawan. Era digital memerlukan kualifikasi khusus dari para pustakawan agar dapat beradaptasi dengan era dan generasi digital (generasi Y). Berdasarkan analisis wacana dari berbagai sumber terkait dengan era digital oleh penulis, kualifikasi pustakwan di era digital adalah mencakup kemampuan profesional dan komampuan personal. Kemampuan profesional adalah kemampuan profesi yang harus dimiliki setiap pustakawan dan profesional informasi lainnya dalam menjalankan perannya di era digital. Kemampuan profesional dapat dibagi ke dalam kemampuan umum dan khusus. Kemampuan umum bagi profesional informasi mencakup kemampuan dibidang manajemen dan organisasi informasi serta penggunaan teknologi informasi. Kemampuan khusus akan sangat beragam karena berkaitan dengan tempat pustakawan bekerja. Kemampuan personal mencakup kemapuan yang seharusnya melekat pada diri pustakawan atau sering disebut sebagai soft skills seseorang. Keywords : Era Digital, Pustakawan, Kompetensi

Pendahuluan “We live in the information age, where access to many wonderful Internet resources is just a few quick clicks away. For this reason, you might be thinking, "Cool. I don't have to go to the library. I can do all my research online." Not so fast. The Internet is not a substitute for the library. It's a tool best used in addition to to traditional research sources.” (Littell, 2008). Kutipan di atas merupakan realita yang dihadapi oleh masyarakat yang bergerak di bidang Informasi dan Perpustakaan. Disadari atau tidak, kehadiran internet telah memunculkan optimisme yang sangat tinggi terhadap kemudahan akan ketersediaan informasi dan kecepatan akses terhadap informasi tersebut, di sisi lain euporia terhadap kekuatan internet telah memunculkan pesimisme yang juga tinggi terhadap keberadaan Perpustakaan. Hal ini kemudian memunculkan keraguan dari beberapa pihak terkait masih perlukah perpustakaan apabila kita bisa mendapatkan semua informasi yang kita butuhkan melalui internet, tanpa harus beranjak dari tempat duduk ataupun pergi ke perpustakaan? Sebuah pertanyaan yang cukup wajar dan perlu disikapi dengan bijak oleh kalangan praktisi maupun akademisi bidang perpustakaan.

PROSIDING: Seminar Lokakarya dan Workshop Kepustakawanan Nasional Indonesia 2015|

439

Era Digital Jumlah Pengguna Internet Vs Pengunjung Situs Web Perpustakaan Pengguna internet di dunia saat ini mencapai 3,175 Milyar jiwa , dan Indonesia menempati urutan keenam terbesar di dunia dengan jumlah diperkirakan mencapai 88,1 juta pengakses selama tahun 2014. Dari jumlah tersebut, Asosiasi Pekerja Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis bahwa pengguna internet sebagian besar memiliki dan menggunakan aplikasi/konten jejaring sosial sebesar 87,4%, searching 68,7%, instan messaging 59,9%, mencari berita terkini 59,7% , mendownload dan mengupload video 27,3% (Pangarepan, 2015).Hal ini memperlihatkan bahwa pengguna internet di Indonesia belum banyak yang mempergunakan internet sebagai media untuk menunjang produktivitas kerja. Lalu bagaimana dengan pengguna perpustakaan di Indonesia? Belum ada data pasti tentang jumlah seluruh perpustakaan di Indonesia dan berapa pengunjung rata-rata setiap perpustakaan setiap harinya, namun sebagai gambaran, berikut grafik jumlah pengunjung situs web Kelembagaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia setiap tahunnya sejak tahun 2007 hingga Agustus 2005: Grafik 1 Statistik Tahunan Pengunjung Situs Web Kelembagaan Pepustakaan Nasional RI Januari 2007 - Agustus 2015

Sumber : (Kelembagaan PNRI, 2015) Dari data statistik jumlah pengunjung situs web Perpustakaan Nasional terlihat fluktuasi jumlah kunjungan dengan angka kunjungan tertinggi di tahun 2009 dan terrendah di tahun 2011, di tahun 2013 baru kemudian meningkat kembali dan menurun pada tahun 2014. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan jumlah pengakses internet yang setiap tahunnya mengalami kenaikan yang cukup sigifikan, sebagaimana terlihat pada grafik 2 berikut ini : Grafik 2 : Jumlah dan Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Tahun 2005 - 2014

Sumber : (Puskakom UI, Maret 2015)

440|PROSIDING: Seminar Lokakarya dan Workshop Kepustakawanan Nasional Indonesia 2015

Penurunan jumlah pengunjung perpustakaan tidak hanya terjadi di Indonesia, di Inggrispun menurut data Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga Inggris (DCMS), proporsi orang dewasa yang menggunakan perpustakaan telah berkurang dari 48% menjadi 36% sejak tahun 2005 sehingga sekitar 350 perpustakaan diperkirakan telah ditutup atau berisiko ditutup sejak April tahun ini (National Geographic Indonesia, 2013) . Salah satu penyebab penurunan jumlah pengunjung perpustakaan dapat disebutkan karena kekuatan internet yang mampu menyediakan search engine raksasa seperti google. Sebuah penelitian di Australia menemukan bahwa banyak pelajar beranggapan bahwa “segalanya” dapat diperoleh melalui internet. Ini tentu anggapan yang salah, mengingat ada lebih dari 4 miliar website yang dapat diakses secara publik, hanya 6% dari jumlah tersebut mengandung unsur pendidikan, rata-rata web hidup hanya 75 hari, google sebagai search engine terbesar hanya mengindeks 18% halaman yang ada, internet tidak dapat terinteks oleh search engine tradisional, setiap orang dapat memuat web page dan tak seorangpun mengecek apakah informasi tersebut benar, baru atau dapat dikonfirmasi dan disana terdapat situs-situs yang tidak menyenangkan walaupun jumlahnya kurang dari 1% (Credaro, 2002). Sementara di perpustakaan, informasi terorganisasi dengan baik dari sumber-sumber informasi yang terseleksi. Kita menyadari betul bahwa orang-orang tidak ingin membuang waktu untuk informasi dengan kualitas rendah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Setiap orang tentunya berharap dapat menginvestasikan waktunya untuk mendapatkan informasi dengan kualitas tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, kita dapat mengatakan bahwa perpustakaan masih sangat diperlukan (Kurniasih, 2013) Internet (Free Internet) Vs Perpustakaan (Manual dan Digital) McDougal Littell (2008) menyebutkan bahwa internet bukanlah substitusi untuk perpustakaan. Internet merupakan sebuah alat yang dipergunakan sebagai tambahan dari sumber-sumber penelitian tradisional. Dengan demikian internet adalah sebuah media yang dapat dipergunakan perpustakaan untuk menjalankan perannya sebagai pusat layanan informasi. Internet menjadi salah satu alat yang dapat meningkatkan kekuatan peran perpustakaan terutama dalam menjangkau khalayak yang lebih luas dan pemberian layanan 24 jam secara cepat. Mark Herring sebagaimana dikutip oleh Joyce B. Radcliff (Radcliff, 2014) menyebutkan 10 alasan mengapa internet tidak dapat dijadikan substitusi, yaitu : 1. Tidak semua hal ada di internet. Internet hanya berisi sebagian kecil publikasi. Menurut ALA hanya 8% jurnal yang ada di internet dan buku kurang dari itu. Sementara kita ketahui bahwa sumber informasi ilmiah yang dapat diandalkan adalah buku dan jurnal. 2. Internet tidak terorganisir. Ketika kita menggunakan mesin pencari, kita hanya mencari bagian dari internet. Pencarian yang tidak relevan dengan topik dapat membuat waktu terbuang, frustasi dan bingung. 3. Internet tidak memiliki kontrol kualitas karena sumber informasi terbuka. 4. Sumber informasi di internet sulit untuk diidentifikasi. 5. Database perpustakaan online dapat diakses 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu,melalui internet. 6. Biaya kuliah biasanya termasuk biaya untuk penggunaan perpustakaan. 7. Pustakawan berperan sebagai professional terlatih yang mampu memberikan bantuan kepada pengguna melalui berbagai media, termasuk internet. 8. Perpustakaan menyediakan e-book yang dapat diakses melalui halaman web. 9. Internet memiliki lebih sedikit material arsip. 10. Perpustakaan virtual tidak dapat menggantikan perpustakaan tradisional. Lalu nilai apa yang sebenarnya diberikan oleh era digital ini pada pustakawan? Dr. Laili bin Hashim dan Ms. Wan Nor Haliza Wan Mokhtar (Hashim & Mokhtar, April 2012) menyebutkan bahwa pustakawan memainkan peran kunci dalam pengembangan kebijakan informasi bagi PROSIDING: Seminar Lokakarya dan Workshop Kepustakawanan Nasional Indonesia 2015|

441

organisasi dan memastikan bahwa akses ke semua sumber daya informasi disediakan secara strategis, efektif dan hemat biaya. Era informasi elektronik memberikan peluang baru bagi organisasi untuk menghasilkan serta menggunakan produk informasi. Pustakawan era baru, mempunyai keakraban dengan pasar informasi, dapat berkontribusi dalam pengembangan, pemasaran dan penggunaan produk informasi. Digital Immigrants vs Digital Natives dan Millennial Generation Berbicara era digital tentu saja berbicara generasi yang berada dalam era tersebut. Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) UI merilis bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia yaitu hampir setengah dari total jumlah pengguna internet di Indonesia (49%)berusia 18-25 tahun (Puskakom UI, Maret 2015). Ini berarti sebagian besar pengguna internet di Indonesia adalah mereka yang lahir setelah tahun 1980 atau termasuk dalam kategori “Digital Native” (generasi digital). Sedangkan generasi yang lahir sebelum tahun 1980 atau sebelum internet marak dipergunakan di Indonesia, dikenal dengan istilah “Digital Immigrant”(generasi analog). Istilah Digital Native dan Immigrant sendiri diperkenalkan oleh Marc Prensky pada tahun 2001 (Prensky, 2001). Digital Natives, yaitu generasi muda yang lahir dan hidup pada era internet cenderung menggunakan dunia internet dalam kehidupan sehari-hari, sementara itu Digital Immigrants yaitu generasi tua yang mengenal internet ketika mereka sudah dewasa, mereka memerlukan masa belajar untuk beradaptasi dengan teknologi baru. Ini tentu merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pustakawan atau ahli informasi di dalam meraih Digital Native dan Digital Immigrant di dalam jangkauan atau target penggunanya (Kurniasih, 2013) Adapun perbedaan diantara generasi digital dan generasi analog dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Digital Natives (Generasi Digital) cenderung untuk menerima informasi secara cepat dari berbagai sumber, seperti multi media dan menggunakan sumber-sumber hyperlink ; bekerja secara serentak (multitasking) dengan proses berpikir yang pararel ; berinteraksi secara real-time serta menghasilkan konten. Setiap orang dapat menjadi produsen informasi. (2) Digital Immigrants (Generasi Analog) menerima sumber informasi terbatas dan terkontrol, cenderung menerima informasi berupa teks ; fokus pada satu tugas (sigle task); memerlukan ruang privasi pribadi untuk instrospeksi serta menyukai informasi yang sifatnya linear, logis dan berurutan. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1

Sumber gambar : (The Social Media Trainee, 2010) Di dalam digital natives terdapat generasi milenia (Millennial Generation), generasi ini biasanya selalu online, selalu terkoneksi dengan dunia maya ; ingin mendapatkan informasi dengan cepat, biasanya mendapatkan informasi secara online dan gratis ; menciptakan, mengemas dan mengorganisasikan informasi yang didapatnya sendiri dengan jumlah yang sangat banyak, kemudian mendistribusikan dan memasarkan informasi yang dihasilkannya tersebut. Pustakawan tentu saja harus dapat beradaptasi dengan semua generasi.

442|PROSIDING: Seminar Lokakarya dan Workshop Kepustakawanan Nasional Indonesia 2015 Pilar-pilar Era Digital

Perubahan tatanan perpustakaan berjalan seiring berjalannya era digital. Ada transformasi dari era analog ke era digital. Oscar Berg menyebutkan ada 6 pilar dalam dunia digital yaitu berkaitan dengan manusia sebagai sentral (people centric), mobilitas (mobility), layanan (services), kesederhanaan (simplicity), sosial (social) dan kesinambungan (continuous) (Berg, 2013) Keenam pilar dalam dunia digital tersebut digambarkan oleh Oscar Berg sebagai berikut : Gambar 2 Ruang Kerja Digital

Sumber : (Berg, 2013)

Kualifikasi Pustakawan di Era Digital Ruang Kerja Digital di Dunia Perpustakaan Dari gambar Ruang Kerja Digital yang digambarkan oleh Oscar Berg dapat dilihat enam pilar berdiri sejajar dalam menopang ruang kerja digital yang kokoh. Lalu, bagaimana implementasi keenam pilar tersebut dalam dunia perpustakaan dan informasi? Penulis mencoba menjabarkannya sebagai berikut : 1. Manusia sebagai Sentral Era digital ditandai dengan penggunaan teknologi baru yang menuntut kualifikasi yang berbeda pada pengelola perpustakaan atau pusat-pusat informasi lainnya. Hal ini ditujukan agar tugas-tugas yang awalnya dikerjakan secara analog dan kemudian ditransfer ke dalam bentuk digital berjalan lancar. Digitalisasi merupakan sebuah proses memasukkan kode-kode digit binary ( nol dan satu) untuk menghadirkan suatu informasi. Peran pustakawan atau ahli informasi di sini sangat penting karena merekalah aktor dalam setiap penggunaan atau pengendalian teknologi informasi. Sementara itu secanggih apapun teknologi informasi, ia adalah objek dari setiap aksi yang dilakukan oleh pustakawan. 2. Mobilitas Dunia digital menawarkan sensasi dunia dalam gemgaman hal ini mendorong pustakawan dapat bekerja dengan mobilitas tinggi. Pustakawan dapat bekerja dimana dan kapanpun. Ini artinya era digital seyogyanya dapat menciptakan pustakawanpustakawan yang gesit/ tangkas/tanggap dalam memenuhi tuntutan dari para penggunanya. Dengan kata lain, dunia digital dapat menambah produktivitas kerja para pustakawan. Layanan Web 3.0 memungkinkan pustakawan juga memberikan layanan mobile selain melalui web interaktif. 3. Layanan Era digital ditandai dengan derasnya arus informasi digital. Perpustakaan berhadapan dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Semua orang bisa menjadi sumber informasi dan memuatnya di web, setiap orang dapat membuat perpustakaan virtual pribadi yang dapat diakses oleh siapapun di seluruh belahan dunia, ditambah dengan banyaknya search engine yang dapat dengan mudah dipergunakan sebagai alat penelusuran informasi. Tingkat kompetisi dalam konteks perpustakaan tentunya tidak mengandung pengertian untuk saling mengalahkan, tetapi menjadi peluang bagi terjalinnya kerja sama atau kemitraan. Setiap ada simpul baru sumber informasi akan menjadi kekuatan dalam melengkapi sumber-sumber informasi yang ada. Namun demikian, salah satu indikator keberhasilan perpustakaan adalah tingkat penggunaan PROSIDING: Seminar Lokakarya dan Workshop Kepustakawanan Nasional Indonesia 2015|

443

4.

5.

6.

layanan perpustakaan. Untuk itu diperlukan strategi bagi perpustakaan untuk terus meningkatkan jumlah pengguna perpustakaam, sehingga investasi yang ditanamkan untuk bergabung dengan dunia digital menjadi lebih bermakna bagi banyak orang. Salah satu hal yang dpat dilakukan untuk itu adalah dengan menambah nilai guna perpustakaan yang dapat dipersepsi sebagai keunggulan perpustakaan di mata masyarakat. Selanjutnya pemberian layanan prima tentu menjadi harapan baik perpustakaan maupun pemustaka. Kesederhanaan Dunia digital telah memberikan beragam kemudahan bagi kita sehingga pustakawan dapat memberikan layanan yang mudah dan sederhana. Meyederhanakan proses yang kompleks atau rumit, mempermudah yang sulit, mempercepat layanan yang tadinya lama, serta mencairkan suasana interaksi antara perpustakaan dengan publiknya dari kekakuan. Layanan harus didesain semenarik dan seinteraktif mungkin seta menghilangkan kesan membosankan atau menakutkan. Pustakawan harus dapat menyajikan layanan yang dapat menambah nilai positif perpustakaan di mata masyarakat dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan perpustakaan dan lembaga penaungnya, serta penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk bekerja. Sosial (Kemasyarakatan) Oscar Berg (2013) menyebutkan bahwa sosial (kemasyarakatan) tidak sesederhana teknologi. Oleh karena itu ruang digital harus didisain sesuai untuk dipergunakan oleh manusia baik sebagai individu maupun tim kerja.. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar ruang digital lebih manusiawi, yaitu : a. Keterbukaan untuk mengakses informasi. b. Transparansi untuk menggalinya. c. Apabila memungkinkan, mendukung partisipasi setiap orang karena kita akan berhadapan dengan beragam masalah dan kesempatan. d. Perlu ruang dialog untuk memastikan bahwa komunkasi berjalan efektif dan mencapai kesepakatan di dalam pemahaman dan tindakan. e. Pemberian pengakuan untuk memberikan motivasi bagi mereka yang berpartisipasi dan terus berkolaborasi dan berbagi (Berg, 2013) Kesinambungan Ketika sebuah perpustakaan memutuskan untuk masuk dan bergabung dengan dunia digital, ini merupakan hasil analisa yang mendalam terhadap berbagai situasi dan kondisi lingkungan baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal dan bukan atas desakan proyek jangka pendek semata. Perumusan visi dan missi perlu dilakukan di awal sebagai panduan dalam merumuskan tujuan dari setiap program kegiatan yang dipilih.

Adaptasi Perpustakaan terhadap Dunia Digital Pergeseran dunia analog dan digital seperti telah dipaparkan pada bagian-bagian sebelumnya, memerlukan adaptasi dari perpustakaan, Adaptasi ini memerlukan keterbukaan dalam menerima setiap perubahan dan selalu berusaha meningkatkan kapasitas diri dan lembaga. Kesuksesan adaptasi perpustakaan di era digital bergantung pada beberapa faktor berikut : a. Ide dan kekhasan b. Pengetahuan dalam berinteraksi dengan pengguna. c. Ketahanan, modernitas dan keinginan untuk berubah. d. Profesionalisme. e. Kerja sama dan kemitraan. f. Pemasaran dan branding (pelabelan / merek) g. Model layanan dan pendanaan.(Jens Thorhauge 2011)

444|PROSIDING: Seminar Lokakarya dan Workshop Kepustakawanan Nasional Indonesia 2015

Tinjauan terhadap Kualifikasi Pustakawan di Era Digital Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Secanggih apapun teknologi di era digital, manusia tetap menjadi sentral. Dalam dunia perpustakaan, pustakwanlah yang pada akhirnya akan menjadi penentu keberhasilan sebuah perpustakaan. Pada tahun 1997, Abbas menyimpulkan sejumlah peran yang diidentifikasi sebagai pustakawan masa depan yaitu bahwa pustakawan harus mampu menjadi jembatan masa lalu dan masa yang akan datang, menjadi guru, menjadi manajer atau pekerja informasi (pengetahuan), menjadi organisator sumber-sumber kerja sama, menjadi penasehat untuk pengembangan kebijakan publik, menjadi partner masyarakat, berkolaborasi dengan penyedia sumber-sumber teknologi, menjadi penyaring sumber-sumber informasi, menjadi teknisi serta menjadi konsultan informasi individu (Abbas, 1997). Begitu banyak harapan yang dilekatkan pada pustakawan masa depan dan ini menjadi sebuah tanggung jawab bagi para pustakawan dan ahli informasi lainnya untuk terus membekali diri dengan beragam pengetahuan dan keterampilan agar dapat memenuhi peran harapan tersebut. Untuk Perpustakaan Akademik, Linda Marion (2001) menyebutkan ada tiga dimensi keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan digital, yaitu : keterampilan dasar, sistem perpustakaan yang terintegrasi dan kemampuan teknis komputer. Adapun sub area untuk setiap kategori keterampilan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini : Gambar 3 Keterampilan Kerja bagi Pustakawan Akademik

Sumber : (Marion, 2001) Menurut Marion (2001) seorang pustakawan akademik haruslah memiliki keterampilan dasar berupa kemampuan interpersonal, kolegial, kerja tim, layanan publik, inovatif, kepemimpinan, pemahaman pada lingkungan, pemahaman pada keberagaman, energik, mandiri ...


Similar Free PDFs